Daniel yang baru saja datang, akhirnya terpaksa berpura pura baru berkenalan dengan Rose.
Hal tersebut ia lakukan sebab Rose sendiri juga lah yang tak ingin jika nanti nya membuat curiga pada Jenni awal pertemuan mereka, yang tak lain di rumah sakit.
Bukankah bisa bisa menjadi bahan pertengkaran mereka nantinya sebab ia tidak tahu menahu keadaan Rose sebelumnya.
Setelah nya Rose pun tak lupa mengajak Daniel untuk makan bersama dirinya dan juga Jenni.
Daniel tentu saja tak menolak ajakan Rose, karena dengan begitu ia dapat berlama lama melihat wajah kekasih nya itu bukan ?
Suasana ruang makan itu tampak menyenangkan, sebuah obrolan kecil ataupun candaan kecil menghiasi ruangan tersebut.
Tak ada rasa canggung ataupun gugup diantara ketiganya, terlebih Rose sendiri sebenarnya sudah menganggap Daniel layaknya anak nya semenjak mengetahui hubungannya dengan putri semata wayangnya itu, sedangkan Daniel juga tak jauh berbeda dari Rose ia juga telah menganggap Rose layaknya orang tuanya sendiri.
Jujur ia sendiri pun terkesan pada Rose sebab jiwanya yang mandiri, dan bijak, serta mampu mengambil resiko menurut nya.
Setelah jamuan makan itu selesai, barulah ketiganya menuju ruang tamu, dan melanjutkan obrolan mereka yang masih tampak segar dan ringan untuk di perbincangkan.
"Mom ..., terimakasih kau mau banyak bicara dengan kekasihku ini," bisik Jenni tiba tiba di telinga Rose yang berada di samping kanannya.
Lantas suara tawa yang sempat beberapa detik Rose tahan pecah mengisi suara ruang tamu itu.
"Ada apa ?" delik Jenni yang bingung mendapti respon ibunya itu tak seperti harapannya.
Rose hanya menggelengkan kepalanya pelan. Jujur ia sendiri pun tak mengetahui alasan tubuhnya seperti itu saat mendengar ucapan dari Jenni yang tampak lucu di telinganya.
"Sepertinya hari ini aku sangat bahagia, untuk itu jadinya seperti ini," ujar Rose asal bicara.
Jenni yang tak terlalu paham maksud pembicaraan Rose hanya menganggukan kepalanya pelan.
Daniel yang sejak tadi hanya memperhatikan interaksi keduanya, hanya dapat tersenyum menatapnya.
Ia senang akan interaksi yang terjadi, tidak seperti dirinya yang bisa di bilang jarang, bahkan hampir tidak pernah seperti itu.
Seulas senyuman di bibir Daniel terangkat sempurna.
Sejenak Daniel justru mengingat sosok ayahnya yang ia compare kan dengan Rose.
Bukannya Daniel mengingat akan tingkah atau momen bersama sang ayah, Daniel justru tersentak mengingat kejadian sebelumnya, yang dimana Jenni bertemu dengan sang ayah.
Pertanyaan terbesar nya kini terus menerus mengusik dirinya akan pertanyaan yang terus menerus berputar di kepalanya.
'Hampir aku lupa mengenai ...—' benak Daniel menggantung.
Lamunan Daniel di buyarkan oleh Jenni yang terus menerus melambaikan tangannya di wajah Daniel.
"Ada apa dengan mu bang ? kau baik baik saja ?" tanya Jenni pada Daniel yang terlihat sekali sedang memikirkan sesuatu.
Daniel hanya menggelengkan kepalanya pelan, berusaha mengalihkan pertanyaan Jenni itu padanya.
Sejenak Jenni mengerutkan dahinya, ia sadar pasti kekasih nya itu menutupi hal dari nya. Entah itu perasaannya saja, ataupun kebenarannya, hanya saja ia meyakini hal itu.
Dengan senyuman yang terlihat jahil, Daniel justru memanfaatkan kesempatan ini untuk mengusap lembut rambut Jenni.
Jenni sedikit menghela nafasnya, dan setelahnya mempoutkan bibirnya menghadap kearah Daniel.
"I'm Ok."
Hanya sebuah dua kata pendek yang di lontarkan oleh Daniel sebagai sebuah jawaban untuk Jenni.
Mau tak mau Jenni terpaksa menerima nya saja, toh ia tak dapat memaksa kekasih nya itu untuk membuka mulutnya saat ini juga.
"Sepertinya Mom akan mengambilkan beberapa cemilan dan juga minuman dulu di dapur," ujar Rose sembari berlalu lalang meninggalkan Jenni dan juga Daniel diruang tamu.
Sepertinya Rose ingin memberikan waktu berdua untuk keduanya, Rose sadar ia tak mau mengganggu hubungan putrinya, toh ia dulu pernah merasakan masa masa ia muda dulu seperti putrinya itu.
'Aku jadi merindukanmu ... sayang,'
***
Seorang pria paruh baya tampak duduk tenang dikediamannya.
Semenjak pertemuannya dengan kekasih dari putranya, pria paruh baya itu tampak menimbang baik baik mengenai gadis yang ia temui itu.
Disatu sisi ia menyukai sosok gadis itu yang tampak apa adanya dan terbuka, bahkan ia tak sungkan menjelaskan apapun yang di tanyakan oleh dirinya.
Kerumitan yang ia pikirkan di kepala nya perlahan terasa semakin penat, dan memusingkan dirinya.
Perlahan manik yang sebelumnya terbuka, akhirnya ia coba paksa untuk tertutup.
Ia ingin merilekskan pikirannya, sekaligus hatinya yang seolah olah selalu bertentangan di pikirannya yang rasional.
"Apakah ucapanku salah ?" Monolog Carl saat sibuk berusana memejamkan maniknya yang belum terpejam sempurna.
Setelah beberapa menit barulah Carl dapat benar benar menutup maniknya, dan lambat laun ia dapat mengistirahatkan fikirannya itu.
Sebuah dengkuran halus mulai terdengar menghiasi ruangan dimana biasanya ia menghabiskan waktunya dengan dirinya sendiri, dan kemungkinan besar ruangan itu tidak di ketahui oleh putranya.
————
Leave comment, and vote