Chereads / SEBUAH NODA / Chapter 5 - SANG MARTABAK MANIS

Chapter 5 - SANG MARTABAK MANIS

Hampir satu jam, atau mungkin lebih. Entalah. Dari tadi aku mengitari jalan di kota ini. Mencari toko roti yang masih buka guna untuk membeli makanan yang di sebut pancake. Tenang saja, aku masih ditemani oleh hujan yang semakin deras. Beruntungkan aku?

Sudah ada lima toko roti aku datangi, tapi menu pancake itu sudah habis. Aku sama sekali tidak menyalahkan toko rotinya, aku hanya menyalahkan waktunya. Kenapa sekarang jam sudah menunjukan pukul 22.03? Kalau saja jam itu menunjukan waktu tiga jam lebih awal, mungkin semua toko roti itu masih menyediakan pancake. Dan tenang saja, saat ini temanku bertambah. Tidak hanya hujan yang deras tetapi juga petir yang saling menggelegar.

Masih tetap ku kemudikan mobil dari Pak Handoko ini. Selain bertujuan untuk menghabiskan bensin, aku juga tidak menyerah untuk mencari orang yang menjual pancake. Hebatnya lagi, jam yang menggantung di kaca mobil sudah menunjukan pukul 23.15. Astaga, aku ini sedang mencari pancake atau pengendara taksi malam ya?

Menyerah? Iya. Sudah aku putuskan bahwa aku menyerah. Yang benar saja, tadi aku berangkat setengah delapan kurang dan sekarang waktu menunujukan hampir tengah malam. Jika ku teruskan semuanya akan jadi percuma. Percayalah, tidak ada toko roti yang masih buka di tengah malam. Kecuali kau menemukannya di film horor.

Aku arahkan mobilku untuk kembali ke rumah Pak Handoko dengan tangan kosong. Karena memang aku tidak mendapatkan apapun. Tapi setelah aku pikir-pikir, bukankah sangat menggelikan jika aku keluar selama ini tetapi tidak membawa apapun. Pasti Tiara akan kecewa. Eh tunggu, ini bukan soal Tiara. Ini soal pekerjaanku yang akan terlihat sia-sia. Bukan soal Tiara.

~oo0oo~

Aku menginjakan kaki di rumah Pak Handoko tepat pukul 00:30. Semoga saja tidak ada kejadian misteri di rumah ini. Rumah ini tidak mungkin ada setan, sebab pemilik rumah ini sudah memiliki hati yang sama seperti setan. Jadi, aku tidak terlalu takut dengan hal itu.

Ku langkahkan kaki menuju kamar Tiara. Ku buka pintunya dengan pelan. Disana hanya ada Tiara saja, pastinya Pak Handoko dan Bu Verona sudah tidur di kamar mereka sendiri. Aku pikir Tiara juga demikian. Jadi, aku segera keluar dari kamar ini.

"Tunggu!" Suara Tiara nyaris membuat jantungku copot. Rupanya, dia belum tidur. "Kenapa kau lama sekali. Aku menunggumu dari tadi."

Ku balikan badanku dan menatapnya. Dia dengan begitu nyaman duduk dan bersandar di kasur empuknya. Sedangkan aku yang baru saja jalan-jalan dan diikuti dengan hujan juga petir karena mencari makanan yang diingikan. Ya meskipun tidak berhasil, tapi disini aku yang sengsarakan? Dan dia langsung melayangkan protesnya padaku. Bolehkan aku menambah kadar benciku padanya?

"Tidak ada pancake." Segera ku sampaikan informasi itu. Voila! Ku lihat wajah kecewanya dan itu sudah membuatku bahagia.

"Dari tadi aku belum makan." Balasnya lemas. "Apa_"

"Aku membawa martabak manis." Aku menaruh kantung yang berisi satu kotak martabak manis di nakasnya. "Jika kau suka, makanlah. Jika tidak suka, biar aku yang makan."

Dia tidak membalas perkataanku. Sebab, dia langsung turun dari ranjangnya dan berlari ke arah toilet. Beberapa detik kemudian, ku dengar suara orang mutah dari dalam toilet tersebut.

Untuk berberapa menit, aku tidak beranjak dari posisiku. Tetapi entah dapat dorongan dari mana, aku menyusul Tiara ke toilet. Setelah masuk, ku lihat Tiara yang sedang mengeluarkan isi perutnya di wastafel.

Aku mendekat, ku usap dan kuberi pijatan ringan di tenggkuknya. Dia mendongak, menatapku dari cermin di depannya. Kemudian, dia melanjutkan sesi mutahnya. Dia tidak memutahkan apapun, hanya air. Tetapi, lihatlah wajahnya semakin pucat saja.

Dia berkumur, membersihkan mulutnya. Kemudian membasuh wajahnya. Untuk membuang sisa-sisa mutahnya, mungkin. Aku juga tidak tahu. Lalu tiba-tiba, Tiara menyandarkan kepalanya di dadaku. Refleks, aku segera memeluk lengannya agar tidak jatuh.

"Aku capek." Suaranya terdengar sangat lemas.

Tanpa membalasnya, ku gendong tubuh adik angkatku itu menuju ranjangnya kembali. Setelah itu, ku ambil martabak manis yang ada di nakas dan ku letakan di pangkuannya.

"Kau belum makan kan? Makanlah!" Ucapku sambil beranjak untuk pergi dari kamarnya.

"Kak!" Dia memegang erat tanganku. "Suapi aku!"

Apa? Astaga! Anak ini! Oh Tuhan! Jika tidak mengingat dia sedang sakit, pasti aku akan segera memaki dan melontarkan banyak kata-kata kasar padanya sekarang juga. Beruntung dia sedang sakit. Beruntung dia sakit. Juga sial bagiku. Kesialan bagiku karena aku harus menahan amarahku lagi.

"Tiara." Aku bersuara sambil menahan emosi. "Bisakah kau sekali dalam hidupmu untuk tidak menyulitkan hidup orang lain? Kau punya dua tangan yang masih bisa digunakan bukan?"

Tiara melepaskan tanganku. Wajahnya menunduk. Tidak lama kemudian, ada air yang menetes dari matanya. Dia menangis. Tiara menangis. Astaga! Dia menangis hanya karena aku menolak untuk menyuapinya. Tuhan! Inginku berkata kasar sekarang.

Tetapi anehnya, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Lebih aneh lagi, aku langsung duduk di sisinya. Mengambil dan membuka bungkusan martabak manis dari pangkuannya, mengambilnya sepotong dan...

"Makanlah. Aku akan menyuapimu." Ucapku yang mungkin saat ini sedang kerasukan malaikat.

Mata Tiara yang penuh air mata itu terlihat berbinar bahagia. Dengan cepat, dia langsung menggigit potongan martabak manis yang ditawarkan oleh tanganku. Dia memakannya dengan cepat dan lahap.

Dalam kurang lebih sepuluh menit. Martabak manis itu tinggal tiga potong. Dua potong masih di dalam bungkusnya, yang satu potong sudah ada di tanganku. Tiara benar-benar menghabisi mereka. Sungguh, Tiara juga tidak terlihat seperti orang yang sudah mual-mual seharian. Sehingga aku berfikir, apakah ini cuma akal-akalannya saja untuk mengerjaiku?

"Aku sudah kenyang." Ucapnya saat satu potongan tadi sudah menghilang kedalam mulutnya. "Ini kau saja yang habiskan ya?" Dia melirik dua potongan martabak yang masih tersisa.

"Iya." Jawabku sambil mengambil salah satu potongan yang tersisa. Tetapi tangan Tiara menahanku dan mengambil potongan martabak itu.

"Kali ini biarkan aku yang menyuapimu." Ucapnya dengan senyum merekah. "Ayo buka mulut."

Aku membuka mulutku. Sambil menatapnya dengan heran. Apakah mual bisa menghilangkan kesehatan mental seseorang? Namun, belum sempat aku berfikir, potongan martabak itu sudah memasuki paksa mulutku. Aku pun tersedak karenanya. Dan Tiara tertawa dengan apa yang menimpaku.

Setelah martabak itu habis tak bersisa, segera ku bersihkan bungkusnya dan ku buang di tempat sampah di sudut kamar Tiara. Kemudian aku segera beranjak dari kamar ini. Sungguh aku benar- benar aku sudah sangat mengantuk.

"Tunggu." Tangan Tiara menahanku lagi.

"APALAGI?" Sungguh anak ini benar-benar membuatku frustasi.

Dia tidak menjawab. Tetapi malah menarik kuat tanganku. Aku limbung serta wajahku dan Tiara menjadi dekat. Sangat dekat. Aku hendak memakinya, namun tangannya menahan wajahku erat. Tiba-tiba bibirnya mencium keningku, pipi kiriku, pipi kananku, hidungku dan selesai.

"Terimakasih." Bibirnya tepat berada segaris dengan bibirku ." Terimakasih atas martabaknya."

Dia hendak menarik wajahnya. Tapi dengan cepat ku tarik tenggkuknya. Lalu, ku cium kasar bibirnya. Ku dorong tubuh Tiara agar berbaring. Dengan cepat, aku segera menindihnya.

"Mphh...sebentar." Dia melepaskan ciuman panas kami. "Aku baru saja mutah, apa kau tidak jijik?"

"Aku tidak peduli." Kulumat kembali bibirnya, bibir yang seminggu ini tidak aku nikmati sama sekali.

Kami saling mengecup, menghisap, menggigit. Lidah kami saling menari, saling menggelitik isi mulut kami. Saliva kami saling bertukar, ada pula saliva yang menetes dari bibir kami karena ganasnyan lumatan kami. Melepas sebentar, kemudian berciuman lagi. Ya, seperti itulah untuk berkali-kali.

"Ahh kaak...ahh cukup...nafasku ahh sudah sesak." Pinta Tiara dengan nafas yang sudah sangat tersenggal.

Aku pun menghentikan serangan pada mulutnya. Ku arahkan bibirku ke leher putih miliknya. Aku pun menggigit dan menghisapnya kasar. Sehingga, berberapa kismark tercetak disana. Apalagi aroma keringat Tiara semakin membuatku bergairah dan enggn untuk berhenti.

"Sshhh...aaahhhhhh...emmmh...kaakk.." Dia semakin mendesah saat kuturunkan bibirku ke tulang selangkanya. Ku gunakan kedua tanganku untuk mulai meremasi kedua payudaranya. "Ooohhh....ssshhhhaaahh... Aahh..." Dia semakin menggelijang.

Kepalaku berada diantara kedua buah dadanya. Bibir dan mulutku seolah tahu kalau itu adalah tempat yang enak untuk melancarkan gigitan serta jilatan. Jadilah aku, menambah kecupanku juga memperbanyak tanda disana. Selain itu, kepalaku semakin di tenggelamkan oleh Tiara di kedua gunung lembut itu.

"Ehhmmm kak...sshhhaahhh...kak..." Desahanannya semakin hebat dari sebelumnya. Bahkan sekarang tangannya juga ikut meremas dan menjambak rambut-rambutku. Dan itu malah membuat hasrat gairahku menjadi bangkit.

"Arrghhh emmm..." Erangku saat kaki Tiara menyentuh senjataku.

Ku dongakan wajahku dan kutatap Tiara untuk meminta penjelasan dari perbuatan kakinya. Dia hanya tersenyum sambil mengulurkan tangannya untuk menghusap keringat dan mengecup keningku. Saat itulah, kulihat hasil kerjaku pada tubuh adikku.

Tiara sudah telanjang dada dengan banyak bercak merah di sepanjang kulitnya yang sudah terbuka. Kulitnya bahkan mengkilap karena keringat dan air liurku. Jujur, dia semakin menggoda.

Tanganku pun segera ku alihkan untuk membuka kemeja yang aku gunakan. Dan tiba-tiba, mataku menoleh pada tempat sampah, tempat dimana aku membuang bungkus martabak manis tadi. Di tempat sampah itu tidak hanya ada bungkus martabak, tapi juga bungkus berberapa obat. Ya karena itulah, ku hentikan diriku untuk membuka kancing-kancing kemeja.

Kurasakan tangan Tiara yang lembut sudah berada di dadaku yang terbuka. Kutahan tangannya. Serta ku kecup lembut jari-jarinya.

"Kita harus berhenti." Tegasku. Dia pun memberikan sorot mata yang seolah bertanya 'kenapa'. "Kau masih sakit Tiara. Kau masih lelah. Tidurlah." Sambil kurapikan baju Tiara yang nyaris terkoyak karena ku. "Tidurlah Tiara. Aku akan aku menemanimu."

Kubaringkan tubuhku disisinya. Sambil kupandang wajahnya, entah kenapa aku ingin sekali mendaratkan sebuah kecupan di kening Tiara. Setelah kening putiih itu terkecup, kubelai lembut rambut halusnya.

Tidak berberapa lama. Ku dengar suara dengkuran halus dari bibirnya. Dia sudah terlelap. Mengetahui itu, aku pun segera beranjak dari kamar adik angkatku.

~oo0oo~

Semenjak kejadian di kamarnya itu, sifat Tiara semakin aneh. Ya memang sebelumnya sudah aneh, hanya saja sekarang dia tambah aneh. Dia selalu bertanya kemana aku akan pergi? Dengan siapa aku akan pergi? Apa yang sedang aku lakukan? Dan mungkin pertanyaan-pertanyaan lainnya yang seharusnya tidak perlu di pertanyakan. Hingga suatu waktu karena aku terlalu jengkel, dan Tiara menannyakan pertanyaan tidak pentingnya maka ku beri dia jawaban. " Apa urusanmu menanyakan itu, Tiara?"

Aku pikir sikap anehnya akan berhenti saat itu. Ternyata tidak, dia semakin menjadi super aneh. Saat dia pulang sekolah atau saat dia tidak sekolah, dia selalu mengawasi semua pekerjaanku. Dan itu semakin membuatku risih juga frustasi.

Aku ingat, saat itu Sabtu siang aku diminta Pak Handoko untuk menanam bibit pohon persik. Tiara terus mengawasiku dari belakang tanpa berniat membantuku sama sekali. Bahkan, dia semakin sering melontarkan senyuman yang menurutku menyebalkan.

"Aku janji, akan aku jaga pohon persik ini." Janjinya yang tidak jelas. Ataukah memang otaknya sudah tidak jelas.

"Terserahmu. Aku sama sekali tidak peduli." Balasku saat itu.

~oo0oo~

Malam ini aku terbangun dari tidurku dengan nafas yang terengah-engah dan celanaku yang basah. Benar, aku baru saja bermimpi bersegama hebat dengan Tiara. Apakah ini akibat aku sudah terlalu lama tidak menidurinya? Ah sudahlah.

Aku kembali tidur. Ku coba kembali untuk memejamkan mata. Tetapi semua itu tidak bisa membantuku kembali terlelap. Apalagi, pikiranku telah dipenuhi oleh tubuh telanjang serta desahan menggairahkan Tiara yang kudapat dari mimpi tadi. Ku coba tenangkan pikiranku secara perlahan. Nihil. Tidak berhasil. Aku butuh pelampiasan. Nafsuku harus segera dipuaskan. Dengan cepat aku bangun dan segera menuju ke kamar Tiara.

Kubuka pintu kamar adik angkatku itu. Disana kudapati Tiara masih terjaga sambil membaca sebuah novel serta ditemani oleh setoples besar cemilan. Perasaanku saja atau bagaimana, aku merasa akhir-akhir ini nafsu makan Tiara semakin bertambah.

Ku memasuki kamar itu dan kututup pintunya. Dia pun akhirnya menyadari kehadiranku.

"Kenapa? Ada apa?" Tanya Tiara sambil menutup buku yang dibacanya.

"Kau belum tidur?" Tanyaku. Kemudian pandanganku beralih pada toples disebelahnya. "Kau tidak takut gendut?"

"Aku lapar." Jawabnya enteng. "Tidak masalah aku besok bangun siang. Besokan tanggal merah. Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kemari?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Tiara. Tapi langsung saja kucium kasar bibir mungilnya. Aku yakin, dengan ini dia sudah tahu apa yang aku inginkan.

~oo0oo~

Kami. Aku dan Tiara saling mendesah, mengerang berteriak dibawah kabut gairah. Berusaha mengapai puncak dengan cara mencium, membelai, menghisap bersama sang hasrat. Hingga akhirnya, pucak yang ditunggu pun datang, bagai gelombang yang menyeret serta mengggulung kami pada sesuatu yang disebut kenikmatan. Demikianlah.

Sudah tiga kali aku mengeluarkan cairanku. Tetapi anehnya, aku tidak mau berhenti menyetubuhi Tiara. Tiara sendiri pun terlihat hendak memasuki alam lelapnya, namun selalu saja aku bisa menggagalkannya. Ku berikan dia gigitan dan remasan kasar pada tubuhnya agar dia terus terjaga. Dia pun protes karena lelahnya, tapi sekali lagi. Aku suka menikamati Tiara yang seperti ini, yang tampak lemah, pasrah, tidak berdaya dan terlihat tersiksa. Aku suka.

Kusemburkan cairanku untuk kesekian kalinya. Baru kali ini lelah menghampiriku. Aku pun ambruk tepat di dada Tiara yang menggoda. Meskipun lelah, aku enggan mengeluarkan burungku dari lembah kenikmatan Tiara. Aku masih ingin di dalam sana.

Kudengar nafas teratur Tiara. Ku dongakan wajahku untuk memandangnya, dia sudah tertidur. Dia terlihat tenang dan nyaman. Ya tentu saja akan seperti itu, hidupnya memang selalu tenang dan nyaman. Bahkan aku yakin, dia pasti tidak pernah mendapatkan masalah.

Ku belai halus pipinya yang semakin hari semakin terlihat gembil. Lalu kuusap lembut keringat yang membasahi keningnya. Serta baru kusadari, Tiara memiliki bentuk alis yang indah. Bulu matanya pun juga sangat lentik. Bibirnya yang sedikit terbuka, membuat tanganku beralih mengusapnya. Lama-lama, bibir mungil itu membuatku ingin mengecupnya. Ya, kuturuti saja. Ku kecup bibir itu dengan perlahan. Kusapukan bibirku dengan lembut diatas bibir Tiara. Lagi-lagi, aku tidak bisa berhenti.

"OH TUHAN! SATRIO!" Suara Bu Verona tiba-tiba menggaung hebat di telingaku.

Astaga, aku lupa mengunci pintu. Oh Tuhan, aku juga belum merubah posisiku. Kenapa Bu Verona kemari di jam seperti ini? Baiklah itu bukan persoalan. Persoalannya adalah bagaimana aku harus terbebas dari masalah ini.

Bu Verona memberikan tatapan sadisnya padaku. Namun wajahnya berubah pucat dan tiba-tiba pingsan. Bagus ini kesempatanku untuk lari dari rumah ini. Segera ku cabut kejantananku dari vagina Tiara. Kuambil celanaku dan bajuku. Dengan cepat, sebelum semuanya terlambat aku segera berlari. Keluar dari rumah ini.

Akhirnya aku terbebas dari rumah Pak Handoko.

Bersambung...