"Berhenti di sana, wahai pemuda!"
Meskipun dia mengatakan 'pemuda', namun orang di depannya sekarang ini tidak berpenampilan seperti seorang pemuda. Orang yang mengangkat pedangnya dan mengarahkannya pada Selia itu nampak seperti seorang pria paruh baya.
Dia berkelebat di udara dan terlihat akan menusuk Selia, membuat gadis menawan itu panik setelah dia menyerobot semak dan menegurnya. Selia menarik tubuhnya ke samping dan mencoba menghindari pedang panjang yang berkilauan ditimpa cahaya matahari itu.
"A-apa...!?"
Namun, kecepatan gerak murid Herdian benar-benar mengerikan. Dalam satu kedipan mata saja dirinya yang berjarak cukup jauh dari Selia bisa tiba-tiba ada di depannya. Selia tak bisa berbuat apa-apa lagi, dia menutup matanya dan mengucapkan beberapa kata dengan lirih.
"Selamat tinggal, ibu. Sepertinya aku membuat kesalahan dengan datang menemui murid Tetua. Mungkin ini hanya kesalah pahaman, namun, sepertinya dia adalah orang yang benar-benar waspada. Sampai-sampai ketika ada orang yang menegurnya, dia langsung menyerang....."
Selia tak bisa menahan keanehan ini, dibunuh oleh orang yang ingin ditemuinya yang juga adalah adik seperguruan? Seberapa lucukah itu, apalagi ini hanyalah sebuah kesalah pahaman.
Dia hanya bisa tertawa dalam hati.
Dan, pada saat Selia bisa merasakan angin dari pedang yang diarahkan pada dirinya.
"Sha...Sha...Sha." Tiga serangan dilancarkan.
Selia merasakan punggungnya basah oleh sesuatu, rasanya lengket dan ... baunya amis. Namun dia tidak merasakan apa-apa, hanya punggungnya yang basah. Selia lalu membuka matanya, dia bisa melihat dari dekat wajah murid gurunya itu. Ternyata tidak terlalu buruk, lumayan untuk orang yang sepertinya berumur 50 tahun.
Tidak lama, sebuah suara raungan bernada rendah membuat Selia menoleh ke belakang.
"Hiiii!!" Selia menjerit karena melihat monster mengerikan akan meraih tubuhnya dari belakang. Bentuknya seperti kera, namun semua tubuhnya terbakar dan sangat besar. Ditambah wajahnya yang tidak memiliki kulit, hanya kerangka tengkorak dan tidak memiliki bola mata, bagaimana mungkin seorang gadis tidak menjerit dan menjadi panik karena pemandangan itu?
Untuk sesaat, Selia menahan napasnya karena terkejut. Dia masih tidak dapat mencerna apa yang sudah dilihatnya. Kera yang terbakar itu, kepalanya terputus dari badan dan membuat darahnya terciprat ke mana-mana. Meskipun kepalanya hanya sebuah tengkorak tanpa bola mata, namun sepertinya dia masih memiliki darah tetapi berwarna merah kekuning-kuningan.
"Maaf nona, sepertinya kau sudah diikuti oleh monster ini dari tadi." Dia menarik pedangnya dan menebas udara, menyingkirkan bekas darah dari sana.
Selia memperhatikannya sesaat dengan pandangan bingung, matanya terlihat sangat bersahabat dan memancarkan sesuatu yang hangat. Namun Selia mengetahui, saat dia menerjang ke arahnya dan menebas Demonic Beast yang sama sekali tidak dikenalinya, orang ini terlihat sangat bengis dan menakutkan.
Selia tidak tahu dia harus bersikap seperti apa, apakah harus bersikap ramah ataukah marah karena tiba-tiba saja dia diserang? Yah, meskipun itu hanyalah kesalah pahaman.
"Te-terima kasih, tuan." Pada akhirnya Selia lebih memilih untuk berterima kasih terlebih dahulu.
"Jangan panggil aku tuan, namaku Aiden," orang itu mengulurkan tangan setelah memasukkan pedang pada sarungnya
"Tuan Aiden." ucap Selia sambil membungkuk, bagaimanapun, orang di depannya ini sudah menyelamatkan nyawanya, dan lagi dia lebih tua, Selia tentu harus membungkuk daripada menyambut tangannya.
"Jangan terlalu sungkan," Aiden mengulurkan tangannya semakin dalam diikuti dengan sedikit sentakan.
Selia memandang sesaat dengan bingung, dia lalu menyambut jabat tangan itu dan memperkenalkan diri, "Saya Selia Artania, Tuan Aiden."
"Sudah kubilang kan, jangan panggil aku dengan 'tuan'. Cukup dengan Aiden saja."
"Baiklah, Tu— Aiden."
Aiden mengerutkan dahi, namun kemudian dia tersenyum hangat pada Selia. Dia mengajukan beberapa pertanyaan pada Selia sambil mendekati Demonic Beast yang terbaring di tanah tanpa kepala. Kepalanya sudah terpenggal.
"Ngomong-ngomong, kenapa Nona tadi menegurku?" Dia bertanya dengan halus, dan di setiap kata-katanya dapat dirasakan perasaan yang membuat Selia merasa aman dan tenang.
Aiden menusuk daerah di antara dada Demonic Beast dan tiba-tiba seluruh tubuh Demonic Beast itu berubah menjadi abu, bahkan kepalanya yang berjarak beberapa meter dari sana juga menjadi abu, meninggalkan sebuah kristal yang terbakar di luarnya berwarna merah.
"Sebuah Demonic Core!" Melihat kristal itu, mata Selia seperti akan keluar dari tempatnya. Selama 50 tahun sudah dia hidup di hutan Lostingsoul, Selia belum pernah sekalipun melihat Demonic Core, karena semua monster yang dibunuhnya tidak sampai di tingkat Immortal Gate.
Biasanya Demonic Core hanya dimiliki oleh monster-monster yang sudah mencapai level Immortal Gate : Early Stage atau lebih, itu artinya Demonic Beast yang berada di bawah tingkat Immortal Gate sudah jelas tidak akan memilikinya. Namun yang satu ini memilikinya meskipun masih berada di tingkat Mortal Gate. Dan bagaimana Aiden mengetahuinya?
Pada dasarnya Demonic Beast tertentu lebih spesial daripada yang lainnya, seperti contohnya adalah Skull Fire Ape yang baru saja dibunuh oleh Aiden. Meskipun mereka masih berada di level Mortal Gate, namun beberapa sudah memiliki Demonic Core. Demonic Core adalah inti pusat dari Demonic Beast, monster-monster itu memusatkan semua Mana mereka di satu tempat agar bisa disebar luaskan ke seluruh tubuh, yaitu di tengah dada.
Selia yang tidak mengetahui hal ini merasa bingung dan terkejut, tetapi dia segera mengatur pikirannya untuk kembali tenang dan berkata pada Aiden.
"Apakah Tu— Aiden adalah murid Tetua Herdian?"
"Benar, dan bagaimana Nona Selia bisa mengenal guru saya?" Aiden mengambil Demonic Core itu dan memasukkannya ke sebuah dimensi ruang yang sangat luas. Selia kembali dibuat terkejut dan tidak percaya karena tiba-tiba saja setengah dari tangan Aiden yang menggenggam Demonic Core lenyap lalu muncul kembali di udara.
Di mana Demonic Core itu?!
"Nona?" Melihat Selia yang melamun dan nampak terkejut, yang menatapnya keheranan, Aiden melambaikan tangannya dan memanggil namanya.
"Eh... Ah, jadi benar itu adalah anda." Karena tidak ada hawa keberadaan manusia lain selain Ibunya dan orang di depannya ini, maka mana mungkin Selia bisa salah menebak. Juga karena ketangkasan dan jumlah energi yang dimilikinya, Selia menjadi sangat yakin bahwa itu adalah dia, murid Herdian.
Selia kemudian menjelaskan semuanya. Bahwa dia adalah murid Herdian sebelum Aiden meskipun status murid itu tidak resmi. Dia juga mengatakan tujuan kenapa dirinya mencari Aiden, walaupun dia sedikit gugup ketika sampai pada bagian "menikahi", tetapi Selia masih lancar mengatakannya.
Aiden hanya mendengarkan dengan seksama, sesekali dia mengangguk sambil menutup matanya. Aiden juga mengelus janggutnya dan terlihat memikirkan sesuatu.
"Aku mengerti garis besarnya, tapi aku penasaran dengan dua hal."
"Hmm?" Selia memiringkan kepalanya dan memandang Aiden. "Apa itu?"
Dia bertanya dengan nada suara yang bahkan bisa mengetarkan sebuah gunung. Namun Aiden, yang 50 tahun belakangan ini tidak bertemu dengan seorang pun wanita, tetap tidak terpengaruh. Dia terlihat tenang dan dipenuhi oleh aura kebijaksanaan.
"Pertama, saat Nona Selia mengatakan kalau Nona adalah murid pertama dari guru meskipun tidak resmi, bukankah itu artinya Nona sudah di sini lebih dari 50 tahun, lalu bagaimana Nona bisa masih terlihat begitu mempesona?"
Pertanyaan itu membuat Selia tersentak dan sedikit tersipu. Seumur hidupnya, Selia belum pernah mendapatkan pujian atau hinaan seperti itu. Disebut pujian karena Aiden mengatakan bahwa dirinya 'mempesona', disebut hinaan karena secara tidak langsung Aiden mengatakan kalau Selia merupakan nenek-nenek yang terlihat muda. Namun sepertinya Selia lebih menganggap pertanyaan itu adalah pujian, dan membuat pipinya merah seperti tomat.
"Ah, i-itu.... Se-sebenarnya..." Karena dia kesulitan bernapas disebabkan ucapan Aiden barusan, Selia jadi sedikit kesulitan untuk menjawab.
Pada dasarnya, Hutan Lostingsoul memiliki sebuah kutukan atau kelebihan. Kutukan atau kelebihan ini dinamakan sebagai Soul Jail, dan yang pertama kali menemukan kutukan ini adalah Herdian yang juga merupakan penguasa hutan. Soul Jail memiliki efek pada jiwa seseorang dengan mengurungnya dalam penjara waktu.
Di dalam hutan, waktu akan berjalan lebih cepat, sepuluh tahun di dalam hutan sama dengan satu tahun di luar hutan. Sehingga siapapun yang hidup di dalam Hutan Lostingsoul pasti menganggap kalau selama ini dia sudah hidup sangat lama.
Namun kenyataanya, orang itu hanya mengalami percepatan waktu dunia. Tetapi percepatan waktu di dalam hutan tidak akan mempengaruhi umur, jadi ini lebih pantas disebut sebagai kelebihan daripada kutukan.
Akan tetapi, penampilan orang yang berada di dalam hutan akan tetap berubah sesuai dengan waktu yang sudah mereka lalui.
Sama halnya dengan Aiden yang sudah hidup di dalam hutan selama 50 tahun, dia terlihat seperti orang tua padahal kenyataanya Aiden hanya menghabiskan 5 tahun di waktu normal.
Namun, Aiden sama sekali tidak menyadari adanya kelebihan dari hutan ini, yang bisa membuat seorang mencapai level tertinggi dari Warrior dan Mage hanya dalam waktu belasan tahun saja di dunia luar.
Selia menyadari kalau Aiden tidak mengetahuinya, dia pun bertanya, "Tunggu, apakah Tetua Herdian tidak memberikan sebuah mantra untuk menghilangkan kutukan hutan?"
"Kutukan? Aku sama sekali tidak mendengarnya dari guru, bisakah Nona Selia menjelaskannya padaku? Serta mantra itu tolong?" Aiden terlihat tertarik, matanya berbinar. Karena bagaimanapun, bila seseorang bisa terlihat masih begitu muda setelah 50 tahun, bukankah mereka akan penasaran dan mencari tahu cara untuk bisa seperti itu?
"Tidak heran..... baiklah, lagipula aku juga merasa penasaran sebenarnya masih berapa tahun umur Anda ini."
Jika diasumsikan, Aiden sudah hidup di dalam hutan selama kurang lebih 50 tahun. Itu artinya dia hanya melewati waktu normal selama 5 tahun, dia pastinya masih terlihat muda. Itu sebenarnya juga tergantung dari umur berapa Aiden memasuki hutan, jika dia memasuki hutan saat berusia 13 tahun, maka saat ini seharusnya Aiden masih berumur 18 tahun dan masih terlihat muda serta tampan.
Selia beranggapan demikian karena meskipun di umur Aiden yang lebih dari 50 tahun, dia masih nampak segar dan tampan. Selia begitu tertarik dan merasa penasaran, bagaimanapun, Selia hanya pernah melihat seorang pria selama dia hidup di dalam hutan, yaitu Herdian. Dan itu pun hanya beberapa kali, serta dia hanyalah orang tua yang tidak memiliki kelebihan dalam fisiknya tetapi begitu hebat dalam seni bela diri dan ilmu pengetahuan.
Jelas Selia merasa kurang puas. Tapi sekarang, seseorang yang memiliki kemungkinan besar masih sebaya dengannya muncul dan menyelamatkan nyawanya, bukankah itu kesempatan yang bagus untuk mengetahui sedikit tentang lawan jenis? Lagipula, dia juga sangat berbakat dan kuat, tidak ada lagi keraguan bagi Selia untuk menikahinya bila dia kalah ataupun menang dalam pertarungan.
"Baiklah, dengarkan mantra yang akan saya ucapkan...." Selia membacakan mantra tersebut dengan perlahan, takut jika Aiden kesulitan untuk mengingatnya. Namun dia terlalu meremehkan Aiden. Aiden adalah murid dari Herdian, bagaimana bisa dia disamakan dengan orang yang biasa-biasa saja? Bahkan gurunya sendiri merasa kagum dengan kecepatannya dalam mencerna dan menghafal ilmu yang ia berikan, sampai-sampai Herdian menjulukinya sebagai seorang 'monster pengetahuan'.
Dengan mudah Aiden menghafal mantra itu dan pada saat yang sama juga membacanya. Kemudian, ketika Selia telah selesai membacakan mantra sepenuhnya, dia mempersilahkan Aiden untuk mengulangi mantra itu. Akan tetapi, ternyata Aiden juga sudah selesai membaca mantra itu hampir bersamaan dengan Selia.
Cahaya berwarna berwarna putih segera meliputi seluruh tubuh Aiden. Seperti sebuah kabut, cahaya itu sedikit demi sedikit menelan sosok Aiden dan merubah penampilannya. Seluruh struktur tubuhnya diremajakan, dari mulai wajah, rambut, anggota gerak, dan badannya. Sementara Selia tidak bisa melihat perubahan yang terjadi pada Aiden, dia terus merasa penasaran dengan perubahan yang akan terjadi padanya.
Sebagai seorang gadis berusia 18 tahun, Selia merasa sudah waktunya untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Terlepas dari rasa enggan yang ia tunjukkan pada ibunya, Selia sebenarnya hanya merasa ragu untuk mengutarakan perasaannya yang terdalam itu. Dia hanya merasa, dia harus menikah dengan orang pilihan gurunya, Herdian. Dan saat ibunya berkata kalau orang yang harus dia lawan adalah murid Herdian, Selia merasa sedikit bersemangat.