Chereads / INDIGO / Chapter 20 - #Darah

Chapter 20 - #Darah

Hargailah dirimu saat ini, karena kamu akan menyesal kemudian hari di saat kamu belum menyadarinya.

-

----------

Doni diam, dan masih terpaku tepat di belakangku.

Aku rasa dia memiliki sebuah rahasia yang dia pendam.

Tapi tiba-tiba

Semua badanku gemetaran, kepalaku pusing seketika setelah aku melihat darah.

Darah...

Perutku menjadi mual.

Tak kuat aku menahan ini.

Semua menjadi tak seimbang,

dan kurasa dunia di sekelilingku oleng dan berputar.

Mataku tidak bisa berkompromi, aku sudah tidak sanggup lagi menahan berat badanku.

"Hei,,, H.. sadarr H."

Kumendengarnya, tetapi semuanya menjadi buram dan gelap.

***

Kumendengar sayup sayup suara Adzan Maghrib.

Kubuka mataku perlahan,

Ahhhhhhhh

Kumengerang, karena kilasan kejadian yang kulihat di perempatan itu terputar ulang, di saat kucoba membuka mata.

Ku menutup erat erat mataku dan juga telingaku.

Aku masih belum tahu sekarang aku berada dimana, kucoba bangkit dari tidurku tetapi sekujur badanku masih lemas.

Aku mengerang, kali ini. Bukan hanya erangan kecil yang ku keluarkan, melainkan erangan cukup keras yang ku keluarkan dari mulutku.

Arghhhhhhhh

"Hei, H.. hei... Tenanglah aku ada disini"

Aku memberontak saat dia merangkulku mencoba menenangkanku

"Hei, buka matamu. Ini aku Doni, hei H buka matamu"

Ternyata Doni, kubuka mataku perlahan.

"Arghhhhhh aku tidak kuat melihat mereka"

Bukan wajah Doni yang kulihat, melainkan mereka yang berada di perempatan itu yang merayap menghampiriku.

"Hei, H... Tenanglah, tarik napas dalam- dalam. Hei dengarkan aku, tarik napas dalam- dalam, ya seperti itu"

Kulakukan apa yang Doni minta

"Hembuskan perlahan, ulangi terus hingga kamu merasa enakkan"

"Dan kemudian, buka matamu perlahan"

Kubuka mataku perlahan dan, uhhhhh akhirnya.

"Thanks Don"

"Iya sama sama"

Doni berdiri seraya mengambil segelas air putih yang berada di meja sebelahnya.

"Nih, kamu minum dulu"

Ku hanya tersenyum dan mengangguk saat Doni memberikan segelas air putih itu.

Ku teguk perlahan...

Ku mengrenyitkan dahiku, karena ku merasakan air yang ku minum agak berbeda rasanya.

"Don, ini air apa?"

"Air putih biasa, kenapa memangnya?

"Agak aneh rasanya, asin dan amis juga"

"Masak sih"

Saat ku coba untuk minum kembali, ku langsung membanting gelas tersebut. Karena yang ada di gelas itu bukanlah air putih, melainkan cairan berwarna merah kental.

"Hei, H kenapa?"

"DARAH...!!!"

Ku membentak keras kepada Doni.

"H, rasanya ada yang tidak beres denganmu. Tunggu sebentar ya"

Doni beranjak pergi dari hadapanku, aku tidak tahu kemana dia mau pergi. Apakah dia tersinggung dengan yang kulakukan barusan?.

Ku putuskan untuk berbaring kembali di ranjang.

"Hei, H ayahku sebentar lagi ke kamar menemui mu."

Aku terkejut di saat suara Doni berada di pikiranku. Hmmm sudah kuduga bahwa dia sama seperti ku.

Aku tidak membalasnya dan aku hanya terdiam.

Kudengar suara tapak kaki yang mendekat ke arah ranjang dimana aku berada.

Suara tapak kaki itu berhenti tepat di belakangku.

"Siapa?"

Ku mencoba menanyakan, barangkali ada orang di belakangku.

Mungkin ayahnya Doni.

Tapi tidak ada jawaban.

Ku bangkit dari posisi tidurku dan mengambil posisi duduk, masih membelakangi tapak kaki yang berada di belakangku.

"Siapa?"

Kutanyakan hal yang sama, tetapi tidak ada jawaban.

"Don, apakah ayahmu sudah ke kamarku?"

Lantas ku putuskan untuk bertanya kepada Doni melalui telepati.

"Belum, dia masih bersama denganku. Aku sedang membantunya untuk membawa se ember air, kenapa?"

Hmmm lantas siapa yang berada di belakangku.

"Hei"

Ku terkejut saat dia menyapaku, dia yang berada di belakangku.

Ku hanya terdiam tak berkutik, dan hanya menunggu kehadiran Doni bersama dengan ayahnya.

"Hei, Ngapain munggungin aku?"

Seketika itu aku langsung membalikkan badan, karena aku mengenal suara itu.

"Anjir, lo Wan bikin aku jantungan aja. Kenapa kamu itu muncul bukan di hadapanku. Kan aku udah pernah bilang kalau datang langsung aja di depanku. Rese lu!"

"Ya kan, aku keliling dulu. Ya maaf"

Ku kendorkan raut wajahku yang semula cemberut menjadi biasa saja, huftt mau gimana lagi yang memang itu udah sifat bawaan dari mereka yang tidak terlihat.

"Awan, aku tadi lihat kecelakaan yang menyeramkan"

Ku bercerita kepada Awan, ya setidaknya agar lebih ringan beban ku.

"Hmmm, yang ada di perempatan itu?"

"Iya, kok kamu tahu"

"Ya tahulah, aku bisa melihat dari matamu"

"Hmmmm"

"Apa yang kamu rasakan sekarang? Udah mendingan?"

Kumenoleh padanya saat dia menanyakan keadaanku.

Kupandangi wajahnya yang pucat, dan aku yang selalu berharap andai saja kamu masih hidup Wan, pasti aku tidak kesepian hari ini. Yah maksudku adalah kesepian dalam arti yang normal, kalau gak normal sih ya bukan sepi lagi. Udah kayak pasar.🤐

"Hmm, yah aku sudah baikan"

Kulihat dia berpindah posisi dan duduk di sebelahku.

"Kenapa kamu datang kemari, aku tidak memanggilmu"

"Oh, aku hanya ingin menemuimu saja"

Ku hanya menganggukkan kepalaku.

Dan suasana menjadi hening sesaat.

"H, Udah baikan?"

Aku dan Awan menoleh ke belakang secara bersamaan.

"Ah, iya. Masih pusing"

Tak lama kemudian ada seorang pria tinggi yang hadir di belakangnya Doni. Hmm apakah itu ayahnya?

"H, ini ayah aku. Dia ingin bertemu denganmu"

Di menghampiriku dan menjabat tanganku.

Agak lama.

Dan memang lama.

Ku coba melepaskan dari jabatan tangannya, tetapi kemudian dia berkata.

"Kamu langka, tidak seperti anak yang lainnya. Bahkan Doni"

Hmmm aku terdiam dengan mata melotot ke arahnya.

"Maksudnya?"

Dia mengambil duduk di sebelah kiriku, yang memang kosong. Aku rasa dia merasakan kehadiran Awan juga.

"Tidak banyak anak spesial yang memiliki kemampuan lebih sepertimu"

Dia melepaskan jabatan tangan kita dan beralih, tangan kanannya menuju ke atas mengelus lembut kepalaku.

"Doni, anaknya sama seperti mu tapi tidak sepenuhnya seperti kamu"

Hmmm rasanya dia udah mau cerita panjang nih, siap siap dengarkan ceramah panjang.

"Dia bisa melihat makhluk yang tidak terlihat, dia bisa telepati tapi dia tidak bisa sepertimu. Yang dimana kamu bisa melakukan banyak hal dari kemampuanmu, yang belum kamu gapai sepenuhnya. Jangan sampai kamu terkalahkan oleh kemampuanmu sendiri ya, itu pesan dari bapak."

Belum sempat kuberkata - kata dia sudah bergegas meninggalkanku.

"Itu tadi ayahku, ya memang begitu orangnya"

Berjalan mendekat dan duduk di samping kananku.

Awan yang sebelumnya berada di samping kananku, langsung berpindah di sebelah kiriku.

Sambil membual.

"Dasar, padahal ada yang sebelah kiri. Milihnya yang kanan 😫"

Hmmm andai kamu bisa lihat seperti apa raut wajahnya Awan, pasti kamu tidak bisa berhenti tertawa dalam sejenak.

"Dia baru saja menyembuhkan kamu, apakah kamu sadar?"

"Aku? Dari? Aku gak sakit"

Aku menyela kepada Doni, apanya yang disembuhkan. Dia saja tadi cuma jabat tangan dan mengelus kepalaku.

"Iya, kamu kan sedang terbayang bayang masalah kemarin di perempatan. Mangkanya aku minta ayah untuk sembuhin kamu."

"Kemarin???"

"Iya, kemarin kan kamu setelah datang kesini langsung tidur. Dan baru bangun Maghrib tadi."

Aku terdiam melihat Awan dan Awan hanya mengangkat bahunya.

Sungguh aku tidak menyadari hal itu.

Yang ku maksud keduanya, aku tidak menyadari bahwa aku ternyata sudah nginep di rumahnya Doni sedangkan aku harusnya cuma berkunjung saja dan yang ke dua aku gak sadar kalau ayahnya Doni baru aja nyembuhin aku dari bayang bayang itu.

Aku harus segera pulang.

.

.

.

---------

Apakah aku harus menceritakan ini kepada Ayah? Atau Ibu? Apakah mereka mencariku?.

Aku teringat bahwa aku belum minta izin ke mereka. 🤮🤮🤮