Chereads / Brave New Age (Bahasa) / Chapter 41 - Benteng Courbe

Chapter 41 - Benteng Courbe

Benua Meropis dan Benua Alkebula hanya dipisahkan Selat Nerodia. Kedua benua itu memiliki ras berbeda, budaya, juga agama mayoritas yang berbeda pula. Dua agama itu adalah agama Celestesphaira dan agama Qalamist.

Sayangnya, meski di pisah benua, dua agama itu memiliki tempat suci yang sama yaitu Kota Zioneta.

Perang suci pun tak bisa dihindari. Setelah sekian lama perang berkobar, tak ada lagi pertumpahan darah di antara benua itu sejak terjadinya genjatan senjata 150 tahun lalu.

Akan tetapi, sisa-sisa konflik justru terjadi di Benua Meropis sendiri.

Tepat 900 km di utara Kerajaan Arcadia, ada dua Kerajaan yang masih berperang hingga sekarang. Dua kerajaan itu adalah Kerajaan Saguene dan Ysdeville.

Kenapa mereka berperang?

Dulu hanya Kerajaan Saguene yang berdiri pasca perang suci. Karena perang suci menewaskan banyak sekali bangsawan, perebutan kekuasan pun menjadi alasan pertikaian. Peta dari kerajaan yang dulunya berbentuk jam pasir itu akhirnya terpecah dua karena perang saudara. Sampai detik ini Kerajaan Saguene belum menerima kemerdekaan Ysdeville yang teritorinya jauh lebih kecil. Dan tepat di tengah jam pasir itu, adalah lokasi perbatasan dari dua kerajaan yang saling bermusuhan.

Lokasi itu bernama Courbe de Taille.

Tempat itu adalah ngarai curam yang dikelilingi deretan pegunungan dan hutan-hutan berbahaya. Tempat itu adalah lokasi yang diperebutkan dua kerajaan selama hampir 100 tahun mereka berperang. Tapi Lord seakan memihak Kerajaan Saguene. Tepat di antara tebing curam dan hutan lebat itu, berdirilah sebuah benteng perbatasan yang sampai detik ini belum mampu Ysdeville taklukan.

Setidaknya, sampai kaum 'iblis' ada di pihak mereka.

—————

27 September 1274 AG - 09:00 Am

Kastil Benteng Courbe de Taille

—————

"Mustahil!"

Seseorang ber-chainmail mewah berteriak murka dan melempar piring. Dengan tergesa dia berdiri dari kursinya saat orang berzirah lain menyampaikan kabar yang menurutnya tidak mungkin. Matanya melotot, hidangan yang dia santap tercampak begitu saja di mejanya. Jamuan yang seharusnya jadi pesta kemenangan itu justru berubah jadi bencana saat mendengar kabar dari mulut seorang captain.

Dia mengambil pedangnya. Dia berjalan terburu untuk membuktikan kebenaran yang prajurit itu sampaikan. Tapi langkahnya terhenti saat captain itu memberi gelagat akan mencegah.

"Ada apa lagi?"

"Tuan Earl, tolong urungkan niat anda." Perwira satu tingkat di bawah earl itu memberi peringatan.

Berkali-kali captain itu menelan ludah saat sang earl menatapnya dingin. Nampak sekali dia memaksakan keberaniannya demi mengucapkan sesuatu yang sangat penting. Setelah menguasai dirinya, captain itu menyampaikan informasi tambahan.

"Sudah dua dari dari lima captain yang tewas misterius, Tuan Earl. Ada delapan banneret yang juga tewas. Sepertinya, musuh kita .…"

"Mengincar para komandan?"

"I—iya, Tuan Earl."

Earl itu masih memicingkan mata dengan wajah dinginnya. Dia menoleh perlahan ke meja makan dan menatap satu-persatu peserta jamuan. Earl itu berubah ramah saat akal sehat menegurnya untuk berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa. Demi menenangkan para tamunya, dengan terpaksa dia berbohong.

"Ini biasa terjadi di perbatasan, Tuan-tuan. Maaf saya lepas kendali."

"Lord pasti melindungi kita, Earl Encolé du Bretaque. Kami percaya perlindungan Lord! Tenanglah!"

Seseorang yang memakai topi miter¹ berdiri dari kursinya dan merentangkan tangan. Orang itu memejamkan mata dan berdoa dibalik jubah sutera dan permata mewah yang menempel di topinya.

"Saya baru berbicara dengan Lord. Dia sudah merestuimu, Anakku."

"Saya tidak pernah meragukan kekuatan Lord, Yang Mulia Bishop Poulette."

Earl yang bernama Encolé du Bretaque itu menaruh satu tangan di dada dan membungkukkan badan. Dia kembali menoleh ke perwira yang tadi memberinya laporan.

"Kamu tahu musuh kita masih 2 km dari benteng, Captain?" Earl itu bicara kalem masih dengan wajah dingin. "Daripada bicara omong kosong, lebih baik pikirkan kemungkinan yang lebih masuk akal. Pasti ada desertir di antara pasukan kita, cari mereka!"

"Tapi Tuan Earl, saya melihat sendiri bagaimana mereka tewas. Tidak ada anak panah, tidak ada juga yang membunuh mereka dari jarak dekat. Para komandan itu tewas seperti tersambar petir, Tuan!"

"Hentikan omong kosongmu!" Earl itu naik pitam.

Encolé kembali melihat ke meja jamuan untuk memastikan bishop dan beberapa cleric tidak bergeming dari hidangan. Tapi laporan captain itu terlanjur membuat tamu-tamunya menyisakan banyak makanan di piring mereka. Amarah Encolé meledak. Dia mencekik leher captain itu dan berteriak, "Pakai matamu! Bicara yang benar, Captain!"

"Tap—tapi Tuan!"

Captain itu meronta saat gauntlet besi dingin sang komandan meremas lehernya. Untunglah cekikan itu tak berlangsung lama karena datangnya seorang prajurit yang tergepoh-gepoh menyampaikan laporan.

"Tuan Earl!" ujar prajurit itu ngos-ngosan mengambil nafas. "Du—dua banneret lagi tewas, Tuan! Mereka tewas dengan cara yang sama!"

Laporan itu menggeretakkan gigi Encolé. Earl itu melepaskan cekikan dan melangkah melewati pintu yang memisahkan ruang makan dengan lorong panjang kastil.

Dia mulai panik ketika mendengar tamu saling berbisik. Dia mengumpat pelan ketika melihat lima tamu agamawan itu saling bicara dengan wajah cemas. Pria berzirah itu pun menoleh ke beberapa prajurit dan memerintah mereka.

"Bawa mayat itu ke sini!"