27 September 1274 AG - 11:30 Am
Kastil Benteng Courbe de Taille
—————
Suara gemerincing zirah bergema di lorong kastil. Atmosfir berat menyelimuti 10 orang ber-chainmail yang berjalan tegang menuju pintu keluar. Seluruh helm mereka tertutup. Pedang merekapun siap terhunus kapan saja. Perintah bishop tadi menjadi titah Lord yang mutlak harus mereka terima. Atmosfir itu semakin berat ketika 10 orang itu menemui ratusan prajurit yang kesemuanya berwajah pucat.
Salah satu dari 10 orang berzirah itu membuka penutup helmnya dan berteriak, "Kita hanya kehilangan 12 orang! Mana nyali kalian?!"
Earl Encolé meradang melihat para pemanah dan para arbalist merunduk di balik pelindung atas benteng. Dia paham serangan misterius itu pasti menghilangkan nyali mereka untuk berani menunjukan kepala. Tanpa menunda earl itu menoleh ke salah satu knight terdekat dan memerintahnya.
"Kumpulkan para captain dan banneret tersisa! Kita tidak punya waktu!"
Perintah itu menciptakan barisan para perwira tidak lama sesudahnya. Di hadapan earl itu kini berbaris puluhan orang yang mengenakan chainmail besi berbeda dibanding para prajurit lain.
"Kalian Prajurit terhormat Kerajaan Saguene! Jangan hilang nyali karena trik murahan!" Earl Encolé berteriak lantang penuh amarah. "Kita satu resimen! Kita punya 1.000 prajurit! Kita juga di posisi bertahan!" Earl berumur 40-an itu menghunuskan pedangnya di langit. "Lawan kita hanya punya separuh resimen! Jumlah mereka separuh kita! Jangan permalukan Kerajaan Saguene!"
Namun sayangnya, pidato berkobar itu tidak mengubah keadaan. Para perwira itu hanya diam dengan wajah masih ketakutan.
Encolé menancapkan pedangnya ke tanah. Dia menoleh ke salah satu captain-nya dan bicara, "Beri aku laporan!"
"Prajurit Ysdeville sudah bergerak dari camp mereka, Tuan Earl! Mereka kini satu km dari benteng!"
"Alat tempur?"
"Mereka tidak membawa apapun. Tidak ada satupun trebuchet, mangonel, ballista, tower, bahkan tidak satupun battering ram!"
"Entah mereka bodoh atau punya strategi lain," Encolé bergumam. "Bagaimana formasi mereka?"
"Hanya ada 200 cavalry dan 300 pemanah. Tidak ada satupun pasukan lain selain itu, Tuan."
"Apa-apaan mereka!?" Encolé berteriak lantang saat mendengar susunan pasukan yang menurutnya tidak masuk akal. Dia kembali berteriak kepada para perwiranya. "Kembali ke posisi kalian!"
Tiga captain tersisa itu tidak langsung menuruti perintah. Mereka saling menoleh ketakutan dan berbisik dengan sesamanya. Salah satu dari mereka mendekati sang earl dan menyerahkan sesuatu yang masih berdarah.
"Apa-apaan ini?" Encolé terperanjat ketika melihat lubang besar di helm itu.
"Itu helm dari korban terakhir, Komandan. Lubang di helm itu jauh lebih parah dari serangan ballista," ujar captain itu menoleh dan menunjuk barisan pemanah yang berbaris di atas benteng. "Mereka tahu arah serangan itu dari pihak lawan, Komandan."
"Mustahil! Kalian tidak lihat di balik benteng ini hanya ada bekas ladang gandum? Tidak ada tempat bersembunyi! Kalian tidak periksa?"
"Cavalry ringan sudah menyisir hingga 300 meter ke depan, tapi tidak ada satupun alat atau manusia di radius pantau mereka, Komandan! Meski begitu, kami tetap yakin prajurit Ysdeville itu pelakunya!"
"Omong kosong!" Earl itu berteriak dan membanting helm banneret yang dia pegang. "Ini tidak masuk akal!"
Encolé sudah terperanjat melihat serangan itu, membuat helm besi setebal satu senti tak jauh beda dari potongan tipis mentega. Apalagi serangan itu katanya juga lebih jauh dari jangkauan ballista. Bahkan serangan itu juga sangat akurat menghabisi perwiranya tepat di bagian kepala mereka.
Earl itu geram. Dia memerintah para captain-nya bersama rasa heran yang sulit dia buang.
"Kembali ke posisi, jangan berdiri di tempat terbuka."
"Siap komandan!"
Matanya awas melihat ratusan archer berkumpul di atas benteng setinggi 12 meter. Dia juga menengok empat menara bundar setinggi 30 meter yang menempel di setiap bagian benteng perbatasan. Di atas menara besar itu terpasang mangonel yang siap menghujani batu pada musuh dari jarak 500 meter. Di samping mangonel itu terdapat pula ballista dan pemanah api yang bertugas membakar alat gempur lawan.
Pertahanan sekuat itu tidak seharusnya mudah Ysdeville taklukan.
"Aku bersumpah demi Lord, kalau mereka menembusnya, itu hanyalah mimpi buruk!"
Benteng Courbe de Taille adalah simbol kekuatan Kerajaan Saguene di perbatasan. Sejak Ysdeville menjadi kerajaan sendiri puluhan tahun silam, benteng itu tak sekalipun bisa ditembus. Bukan hanya karena kekokohan dan kontur alamnya. Benteng itu juga dilengkapi teknologi militer terkini yang berupa jebakan caltrop, abatis serta jebakan paku yang tersamar di ladang gandum. Benteng itu juga dilengkapi benteng lain yang lebih kecil di depannya untuk menghadang alat gempur berat.
Namun, ekspresi para prajuritnya jauh berbeda dari biasanya. Mereka tak lagi tertawa dan menganggap serangan lawan hanyalah gurauan. Wajah mereka nampak cemas karena kematian misterius dua orang captain dan sepuluh banneret.
Mereka ketakutan jika sewaktu-waktu serangan itu tidak lagi mengincar kepala para perwira.
Earl Encolé pun bersikap demikian. Karena menyaksikan kondisi mengenaskan korban serangan, dia jadi tidak berani menengok dari atas benteng. Dia terus meminta informasi perkembangan lawan dari laporan anak buahnya.
"Pasukan musuh berhenti tepat di luar jarak jangkau mangonel, Tuan!" Seseorang berteriak.
"Apa-apaan mereka!" Encolé berteriak semakin geram. "Mereka mau tamasya?"