Chereads / Brave New Age (Bahasa) / Chapter 29 - Sekolah Gratis

Chapter 29 - Sekolah Gratis

Apa yang istimewa dari Kota Tigris?

Orang yang pernah mengunjunginya akan berkata, "Oh, sangat banyak! Peradaban Kota Tigris seakan meninggalkan seluruh kerajaan di dunia, termasuk Arcadia kerajaannya sendiri!"

Namun, mereka juga akan mengatakan bahwa Tigris punya satu hal yang tidak pernah berubah.

Yaitu militernya.

Ada lebih dari 5.000 prajurit militer di Kota Tigris saja. Jumlah itu belum termasuk prajurit yang ada di kota-kota kecil, desa-desa yang tersebar di seluruh Propinsi Tigris, prajurit pribadi para bangsawan serta para prajurit bayaran. Jika ditotal seluruhnya, ada 12.000 prajurit resmi yang tunduk kepada perintah Marquis Grall del Stauven.

Cukup banyak bukan?

Padahal itu jumlah yang sama persis seperti 15 tahun silam. Teknologi militernya pun sama sekali tidak berubah.

Ada apakqh gerangan?

Kenapa militernya masih terbelakang?

Konon katanya peraturan militer sangatlah ketat sehingga tidak bisa sembarangan diubah tanpa seizin kerajaan. Konon katanya pula, Marquis Grall tidak mau mengembangkan militer karena apapun teknologinya adalah milik bersama. Dalam artian, apapun yang diciptakan sang marquis di militer akan menjadi milik kerajaannya.

Siapa juga yang mau kerja sosial?

Namun, ada satu perbedaan nyata di Kota Tigris yang tidak dimiliki militer di tempat-tempat lain. Keunikan itu selalu terselenggara di setiap hari selasa di lapangan militer Tigris.

Keunikan apakah?

—————

24 September 1274 AG 08:15 AM

Kota Tigris - Markas Militer.

—————

"Terima kasihku kepada tuan marquis!"

Seorang petualang berkapak besar mengangkat kapaknya tinggi-tinggi ke udara. Dia tancapkan kapak berat itu ke tanah dan menundukkan kepalanya setengah menangis.

"Kalau aku jadi petualang di kota lain, mungkin selamanya aku jadi rank-D, atau bahkan rank-E, karena... hiks! Karena biaya sekolah mahal!" kata Orang berbadan besar itu lagi sambil menaruh tangan ke dadanya sendiri. "Sungguh mulia Tuan Marquis mengizinkan petualang miskin sepertiku sekolah gratis!"

"Jangan berlebihan, nikmati saja."

Melodrama itu terhenti gara-gara kritikan petualang bermata sipit

"Jaga mulutmu, Sipit! Kamu tahu kan semahal apa biaya sekolah olah elemen?"

"Iya aku tahu, biaya perbulan bisa mencapai dua platinum. Sedangkan rank-D seperti kita dapat lima gold perbulan saja sudah luar biasa. Penghasilan terbesar kita hanya setengah biaya sekolah."

"Tidak salah kan kalau aku berterima kasih ke Tuan Marquis? Penghasilanku hanya satu gold dan lima silver perbulan. Kebutuhan pria lajang sepertiku saja lima bronze perhari. Kalau ditotal semua... semua jadi...hmm...jadi..." Si kapak kesulitan menghitung. "Oh, 200.000 flor! lumayan lah."

"Lima bronze itu senilai 5000 flor. Kalau dikali 30 jadinya 150.000 flor. Itu senilai satu gold dan lima silver. Uangmu pas-pasan, hahahaha!"

Pria berkapak besar melirik kesal si mata sipit yang membusungkan dada setelah berhitung cepat. Tapi dia tidak mau berargumen meskipun si sipit itu juga menghina kondisi keuangannya. Dia tahu isi kepala terkadang berlawanan dengan ukuran badan.

"Memangnya berapa penghasilanmu?" tanya si kapak besar penasaran.

"Satu gold empat bronze ... hiks!" Si sipit itu menyebut angka yang lebih rendah dari orang yang dia cibir.

Gantian si kapak besar yang terbahak-bahak. Dia menepuk pundak si mata sipit itu dan mulai curhat.

"Jadi petualang miskin itu berat, Kawan. Untuk bisa naik ke rank-C kita harus menguasai skill olah elemen. Jika kita tidak sekolah, selamanya kita tidak akan naik rank. Kamu tahu artinya apa? Selamanya kita kere!"

Baik si kapak besar maupun si sipit itu adalah sebagian dari ratusan petualang rank-D yang berbaris di lapangan militer Kota Tigris. Mereka mendapat kesempatan langka untuk mengikuti pelatihan tanpa biaya yang rutin di selenggarakan untuk mempelajari olah elemen. Setelah beberapa saat berbagi penderitaan, di kapak besar merangkul akrab si mata sipit.

"Sepertinya kamu sering mengikuti pelatihan ini, sejauh mana yang kamu pahami soal olah elemen?"

Si mata sipit berdehem beberapa kali sebelum memasang wajah intelek.

"Semua manusia memiliki salah satu dari empat elemen fisik yang menjadi bakat sejak lahir. Elemen itu meliputi akvo atau elemen air, tero atau tanah, aero atau udara, serta pyro atau elemen api," ujarnya seperti orang jago hafalan. "Semua manusia berbekal salah satunya tanpa ada diskon ataupun bonus. Tak ada yang terlahir tanpa bakat elemen, tidak ada pula yang memiliki lebih dari satu. Semuanya sama rata."

Si kapak besar tertegun meskipun yang diucapkan kawan barunya itu adalah sesuatu yang sangat umum. Melihat caranya menjelaskan, si kapak besar sadar bahwa si mata sipit itu memang pintar. Dia diam saja dan memberi kesempatan si sipit itu berlagak bijak.

"Tapi sayangnya, hanya yang melatihnya saja yang bisa mengolah elemen menjadi beragam skill. Setiap orang bisa mempelajarinya di sekolah khusus yang selalu tersedia di kota-kota besar untuk menunjang kemampuan bertarung mereka maupun di kehidupan sehari-hari. Sedangkan bagi mereka yang tak mampu sekolah, bakat itu akan selamanya mengedap!"

"Dan sekolah olah elemen itu sangaaattttt mahal!" balas si kapak besar semakin akrab.

"Biaya sekolah olah elemen tidak pernah ramah untuk kita para petualang miskin. Biaya sekolah itu bahkan lebih mahal dari sekolah umum. Seperti kataku tadi, karena kendala biaya, banyak petualang yang karirnya berhenti di rank-D seperti kita!"

"Karena masalah uang juga sebagian besar menyerah mengejar karir. Bahkan ada yang rela terbelit hutang hingga profesi mereka sebagai petualang jadi lebih mirip perbudakan," kata si kapak besar ikut-ikutan sok filosofis.

"Iya benar katamu, Pria besar! Beruntunglah kita di Tigris. Karena program pelatihan militer yang khusus melibatkan para petualang, rambut kita tak harus beruban karena terlalu lama menabung!"

Meratapi nasib, si kapak besar yang lebay itu memeluk teman barunya.

"Terima kasih kita pada tuan marquis! Hiks... Uwaaa!!!"

"Iya, hiks!"

Tingkah mendayu mereka ternyata menarik perhatian seseorang yang kebetulan lewat.

"Apa aku baru mendengar drama ibu-ibu di komplek militer?"