23 September 1274 AG - 03:00 Pm
5 Km dari Benteng Tigris
—————
Musim gugur hampir berlalu. Air di selokan itu terasa membekukan kulitnya ketika Simian membasuh claymore sepanjang 1,5 meter. Bekas-bekas darah dia bersihkan sampai permukaan pedangnya benar-benar mengkilap.
Darah siapa?
Jangan terburu menebaknya.
Claymore itu Simian sarungkan. Dia duduk merenung di tepian jalan utama menuju Kota Tigris. Diskusi dengan tamu dari Maylon itu membuka cakrawalanya tentang keadaan dunia yang akan berbeda.
Tuan Tonos berkata bahwa dunia ini bagaikan buku sejarah bagi mereka. Dunia mereka pernah mengalami kejadian serupa sehingga orang-orang Maylon juga heran karena menyadari banyak sekali kemiripan. Orang Maylon itu juga menceritakan seperti apa kondisi perang di masa depan.
Teknologi mengubah segalanya. Perang di dunia itu tidak lagi terdengar denting pedang, desingan panah, atau ringkikan kuda sekalipun. Simian memandang kosong pedang kesayangannya bersama sejuta benak.
Ketika tiba era senjata api, apakah claymore itu akan menjadi pajangan?
Apakah kemampuan berpedangnya hanya menjadi dongeng anak-anak di masa tua?
Pemikiran itu membebaninya karena lompatan ratusan tahun itu akan Kota Maylon bawa ke dunianya. Simian tidak meragukannya karena perkembangan Kota Tigris adalah bukti nyata dari kata-kata pak tua itu.
"Berhenti memikirkan omong kosong. Lebih baik kau urus dagumu yang berewokan itu."
Simian menyudahi lamunannya ketika seseorang menegurnya dari kejauhan.
Pria itu menoleh. Dia melihat Mascara sedang mengasah mata panah di bawah pohon tak berdaun. Simian mengambil pedangnya dan duduk bersandar di pohon yang sama. Dia menurut saja saat gadis itu meraba dagunya.
"Kamu seperti gelandangan sekarang." Mascara berkata dengan nada mengatur-atur. "Kamu belum bisa merawat diri, Simian. Kamu juga tidak makan teratur akhir-akhir ini. Kamu pikir aku tidak tahu?"
Simian tidak menjawab. Dia menunjukan ekspresi bahwa itu sudah tugas Mascara sebagai kakak perempuannya. Dia memandang wajah cantik gadis itu yang sedang fokus memastikan dagunya licin.
Mascara kembali bersuara setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Kamu masih memikirkan bualan Pak Tua itu?"
"Iya, bukannya kamu juga mendapat penjelasan?"
Dengan masih berwajah dingin, Mascara menyeringai sinis.
"Kamu memintaku percaya bahwa ada senjata yang bisa membunuh dari jarak ribuan meter? Belajarlah realistis, Simian."
"Kamu tidak sadar kota kita sudah seperti dunia lain karena Kota Maylon?"
"Kota Tigris memang lebih beradab. Tapi itu bukan alasan untuk mempercayai dunia fantasi yang pak tua itu ceritakan. Kamu memang masih bayi, kamu masih suka dongeng sebelum tidur."
Simian enggan berdebat. Kalaupun dia gigih berargumen, dia tidak yakin kata-katanya tidak memantul di telinga si kepala batu itu.
"Baiklah, aku anggap kamu benar," ujar Simian beranjak dari duduknya. Dia buang muka dari Mascara yang sepertinya tidak terima dengan kata-katanya
"Apa maksudmu? Kamu pikir aku keras kepala, begitu?"
"Aku enggak bilang apa-apa, tuh?"
"Kamu yang keras kepala, Simian. Kamu merasa apa yang kamu yakini itu benar dan aku yang selalu salah."
Simian tidak menggubrisnya. Cepat-cepat dia alihkan perhatian sebelum gadis itu mengajaknya memperdebatkan topik lain yang tidak berhubungan.
"Misi kita selesai, bukan?"
Mascara bergelagat masih kesal karena Simian tidak menuruti hasratnya untuk mencari tahu siapa yang paling benar. Tapi dia terpaksa menyudahinya dan memandang bekas-bekas galian yang tidak jauh dari posisinya.
"Iya, aku pastikan misi kita selesai dan tidak ada saksi mata." Gadis itu menunjuk serpihan kayu kereta masih bertaburan di samping bekas galian itu. "Bisa kau singkirkan karya senimu itu?"
Simian melirik obyek yang sama. Dia bersiul untuk memanggil dua kelompok orang yang berbaris di kejauhan. Dia bicara dengan salah satu kelompok yang berpakaian seperti prajurit militer Tigris.
"Pastikan tidak ada bekas apapun. Hapus jejak konvoy itu sampai 5 km dari sini."
"Siap, Komandan!"
Simian menoleh ke beberapa orang sisanya.
"Kalian para petualang, kendalikan para bandit. Pastikan mereka bekerja sesuai arahan kita."
"Baik, Tuan!"
Simian mengemasi barang-barangnya ketika mereka menjalankan tugas. Dia menepuk pundak Mascara dan berkata, "Ayo kita pulang sebelum gelap."
"Enggak mau," jawab Mascara seenaknya.
Simian tahu gadis itu masih dendam dengan perdebatan yang menggantung barusan. Dia hafal Mascara pasti akan mengulik hal-hal lain untuk memuaskan hatinya.Seperti yang Simian duga, Mascara mengungkapkan sesuatu yang tidak mungkin gadis itu sampaikan di kondisi biasa.
"Kamu nanti mau pulang ke guild petualang, bukan? Mau tidur lagi sama resepsionis centil itu, bukan? Kamu sudah janji tidur terus sama aku."
Si tomboy itu benar-benar tidak bisa sembarangan dia janjikan. Mascara akan terus menagihnya sampai Simian menjual celana dalam.
"Baiklah, aku pulang ke mansion. Ayo kita berangkat." Simian mulai tidak sabaran karena Mascara masih saja diam dan buang muka darinya. "Aku tahu perempuan tidak pernah jelas setiap kali datang bulan. Tapi kamu keterlaluan, Mascara. Apa lagi maumu?"
"Gendong aku."
"Kamu gila? Kita 5 km dari kota! Aku juga capek habis bertarung, Mascara."
Simian menyerah ketika Mascara menepuk-tepuk pundaknya agar dia merendahkan badan. Pria itu tidak berani membantahnya karena semanja itulah Mascara setiap kali tiba fase kewanitaannya.
"Dunia perempuan dan ketidak-laziman mereka."
"Kamu bilang sesuatu?"
"Enggak."