12 September 1274 AG
Suatu tempat di Selat Nerodia
—————
Di Selat Nerodia yang tenang, kepulan asap membumbung tebal di atas air. Serpihan kayu berserakan bersama potongan tubuh ribuan orang. Pembantaian itu terjadi begitu cepat tanpa menyisakan satupun korban selamat. Di antara ribuan mayat, sesosok admiral mengambang tak berdaya menanti ajalnya.
"Ini hukuman Tuhan … itu pasti burung ababil ..." Admiral itu meracaukan kalimat yang sama. Dia masih mengingat detik demi detik burung raksasa itu menghabisi seluruh armadanya.
Hawa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Dia tidak bisa lagi merasakan kaki dan tangannya yang sudah hancur karena makhluk terbang tadi. Dia terpaku melihat langit sambil mengingat lagi dongeng burung neraka yang dia yakini dari kitab sucinya.
Dia menerima akhir hidupnya. Admiral itu menghabiskan sisa napasnya dengan satu gumaman penuh penyesalan.
"Gerbang neraka telah terbuka … kiamat sudah dekat!"
***
Beberapa jam sebelumnya.
"Tenggelamkan semua kapal asing yang kita temui! Jangan sampai ada yang lolos!" Di dek sebuah kapal sepanjang 30 meter, seseorang berteriak lantang dalam Bahasa Iram⁴.
Ratusan kapal berlayar membentuk formasi. Dari bendera yang kapal-kapal itu kibarkan, menujukkan bahwa armada itu berasal dari negeri padang pasir.
"Jangan ragu meski kapal-kapal itu milik kaum pedagang! Kalian boleh jarah barang-barang mereka!"
Perintah komandan itu ternyata memantik perhatian seseorang di sebelahnya.
"Tolong admiral pikirkan sekali lagi, kita bukan bajak laut."
"Aku tahu. Tapi menjarah barang dan memperkosa perempuan itu motivasi bagi prajurit. Jika tidak, mereka akan ragu di medan perang."
"Tapi lawan kita cuma iring-iringan kapal pedagang, Admiral."
"Informasi dari mereka lebih berbahaya dari ratusan armada, Kapten. Ekspedisi kita tidak memperbolehkan satupun saksi."
Di balik bumbungan asap, admiral menjawab satu-persatu pertanyaan kapten dengan tenang. Dia tidak menunjukan sedikit pun luapan emosi dari ucapannya. Tapi di saat tidak ada prajurit yang melihatnya, isi hatinya tidak tertahan lagi.
"Kafir keparat itu!"
Pintu kabin terbanting. Di sebuah ruang yang tidak begitu lebar, dia melihat seseorang dari ras berbeda sedang berdiri menyambutnya. Sang komandan memberi wajah sinis kepada pria berkulit putih dan berambut pirang itu. Namun seakan wibawanya tak berharga, si orang asing itu dengan santainya membentangkan peta di meja dan mengarahkan telunjuk ke permukaannya.
"40 mil lagi kita tiba di pantai Kerajaan Atlantia. Kita sudah setengah perjalanan, Tuan Admiral."
Tidak ada jawaban.
Admiral masih curiga padanya.
Si kulit putih itu nampaknya tahu sang admiral merasa tidak nyaman. Lelaki berjubah itu melirik sebentar dan memberi admiral itu nasihat.
"Saya mengantongi surat penunjukan resmi dari Ameer² anda, Tuan Admiral. Anda bukan desertir³, 'kan?"
Admiral semakin memicingkan matanya. Dengan masih curiga dia berjalan menuju meja dimana peta itu terbentang. Dia mengamati baik-baik peta itu dan mulai bersuara.
"Aku tidak peduli urusan politik antara orang Celeste sepertimu dengan komandan militer tertinggi kerajaanku. Lebih baik segera selesaikan tugasmu sebelum aku berubah pikiran."
Si kulit putih yang dikenali sebagai pemuka agama Celestesphaira itu hanya tersenyum dan melirik sekilas. Dia meneruskan apa yang ingin dia katakan tanpa peduli mata analitis lawan bicaranya.
"Kerajaan Atlantia hanya memiliki 2.000 pasukan. Sedangkan anda membawa 5.000 orang."
"Matematika tidak selalu pasti di medan perang, Tuan Bishop."
"Dua banding lima, apanya yang tidak pasti? Hitung-hitungannya sudah jelas, Tuan Admiral." Sang tamu masih bersikukuh dengan wajah angkuh.
"Atlantia hanya punya dua resimen karena kerajaan itu di bawah perlindungan hampir semua kerajaan di Benua Meropis, Tuan Bishop. Saya yakin anda lebih tahu itu."
"Soal itu jangan kuatir, misi armada ini hanya untuk menghancurkan satu kota di Atlantia. Setelah ini, silahkan anda bersantai, Tuan Admiral."
Admiral itu diam sejenak. Dia menengok sekitarnya untuk memastikan tidak ada satu pun prajurit di kabin rapat. Dia melirik bishop itu dan menunjukkan wajah dingin.
"Perang suci sudah berakhir 150 tahun lalu. Tapi sekarang, anda membuat prajurit saya seperti sekumpulan perompak. Kamu pikir aku tidak tahu rumor bodoh tentang organisasimu itu?"
Sang Bishop mengangkat sebelah alisnya dan menyeringai sinis.
"Memang, tidak ada lagi permusuhan di antara penganut Celeste dengan Qalamist, Tuan Admiral. Seharusnya anda berterima-kasih sudah menjadi segelintir orang yang tahu siapa kami."
"Aku tidak butuh tahu siapapun kalian."
"Tapi orang militer seperti anda butuh kegiatan, bukan?"
"Saya butuh kegiatan, katamu?"
Seperti api yang menjalar di getah pohon, itulah yang admiral rasakan saat bishop itu melecehkannya. Kalimat yang bermakna 'anda pengangguran' itu seakan mendidihkan darahnya, sehingga dia menggebrak meja dan meremas peta di atasnya.
"Sebenarnya apa rencana organisasi keparatmu itu?"
"Kita serang Ibukota Atlantia, bakar perpustakaannya, culik satu VIP, misi selesai. Selebihnya, jangan menanyakan informasi di luar gaji anda, Tuan Admiral."
BRAKKK!!!
Kedua kalinya meja tergebrak. Kali ini admiral sudah malas berbasa-basi. Dia menancapkan pisaunya di atas peta itu dan membentak, "Kamu sadar apa yang kamu katakan, Kafir!? Kamu mau membuat kerajaanku dimusuhi satu benua!?"
"Lebih baik tanyakan itu pada atasan anda, Tuan Admiral."
Selesai sudah. Sikap tenang itu menyudahi hasrat admiral untuk berdebat. Dengan penuh amarah dia langsung keluar kabin sambil mengumpat, "Kafir tetaplah kafir! Membusuklah kalian di neraka!!!"
"Ehem ...."
Mendengar deheman itu, Admiral memasang kembali wajah berwibawanya. Terlebih ketika dia melihat kapten kapal menyambutnya di atas dek.
"Bagaimana, Admiral? Apa misi ini perlu kita lanjutkan?"
"Kita tidak punya pilihan. Berapa lama lagi hingga tiba di Atlantia?" Admiral menjawab tanpa mau berbasa-basi.
"14 jam lagi jika kita berlayar di tiga knot kecepatan konstans."
"Baiklah, pastikan tidak ada satu pun kapal asing melihat armada kita."
Semua layar terbentang. Puluhan galley² memasukan dayung mereka. Armada itu kembali memasang formasi setelah kapal-kapal pedagang dipastikan tenggelam. Kapal terbesar yang admiral naiki pun mengibarkan benderanya, yang menandakan bahwa armada harus melanjutkan perjalanan.
Tapi belum sempat kapal-kapal itu berangkat, semua kepala menegadah ke langit.
WWOOOOZZZZZZ!!!
Sayup-sayup terdengar suara gemuruh yang membuat semua orang menunjukan wajah keheranan. Sang Admiral pun ikut menegadah dan bertanya kepada sang kapten.
"Apa sebentar lagi mau badai?"
Sang Kapten terdiam. Dia mengernyitkan dahi seakan menerka-nerka gemuruh aneh yang dia dengar.
"Kapten?"
"Oh, tidak, Admiral. Saya belum pernah mendengar gemuruh ini seumur hidup saya sebagai kapten kapal."