12 September 1274 AG - 12:10 Pm
Kota Anteros - Di Sekitar Pelabuhan
—————
Di hari yang sama, lebih dari 800 km jauhnya dari Selat Nerodia.
WOOOOZZZZHHHHHHH!!!
"Gemuruh aneh itu terdengar lagi."
"Itu tanda bahwa misi sudah selesai."
"Apa gemuruh itu didengar orang-orang di seluruh dunia?"
"Hanya daerah yang dilintasi jalur terbangnya saja."
"Terbang? Benda itu terbang?"
"Jawabannya ada di ujung langit."
Dua orang pria bercengkrama di lorong remang. Mereka duduk agak jauh dari keramaian seakan diskusi mereka sangat rahasia. Dari seluruh orang yang ada, hanya dua orang itu saja yang nampak tenang menikmati keadaan. Sedangkan orang-orang di sekitarnya menunjukan wajah tegang karena gemuruh aneh yang melintas barusan.
Salah satu dari pria itu menutupi wajahnya dengan tudung hitam. Sedangkan pria satunya adalah pria awal 40-an yang memiliki ciri khas keturunan bangsawan. Dari rambut pirang emas dan pupil hijau jamrudnya, siapapun langsung mengenali pria paruh baya itu sebagai anggota Keluarga Stauven.
"Sudahlah, jangan pikirkan benda itu. Yang penting kita berhasil mencegah rencana mereka memicu perang." Pria bertudung hitam bicara lagi. Dari getar suaranya, terdengar bahwa suara pria itu adalah suara dari seseorang mungkin berusia akhir 60-an.
"Jarak dari Kota Maylon ke Selat Nerodia itu lebih dari 1.000 kilometer. Secepat itu kah?"
"Kecepatan benda itu 2.800 km/h."
"280 km/h!?"
"2.800 km/h. Itu kecepatan jelajah. Kecepatan maksimalnya 3.440 km/h. Kamu tidak salah dengar, Grall," jawab si pria tua bertudung itu menyebut nama lawan bicaranya.
Pria berambut pirang emas itu bernama Grall del Stauven. Dia adalah seorang marquis atau gelar bangsawan militer yang menguasai sebuah propinsi. Dari gelagatnya, nampak sekali bahwa Grall masih kesulitan mencerna kata-kata si pria tua, mesk diai melihat sendiri benda terbang itu di balik awan.
"Terserah apalah namanya benda terbang itu. Aku sudah bosan terkejut. Aku sampai lupa sedang bicara dengan mahluk asing."
Kakek-kakek yang wajahnya tertutup tudung hitam itu tertawa geli melihat Grall masih memusingkan kata-katanya.
"Berhentilah memikirkan sesuatu yang ada di luar imajinasimu. Lebih baik pikirkan langkah kita selanjutnya. Kamu paham maksudku?"
"Iya, aku tahu arah pembicaraanmu, Ayah," balas Grall, memanggil pria itu dengan sebutan ayah.
Grall dan pria tua itu adalah dua dari segelintir orang yang bertanggung jawab atas pembantaian yang baru saja terjadi di Selat Nerodia. Diskusi itu pun adalah bentuk evaluasi mereka pada benda terbang yang baru saja melintas.
Grall masih bingung. Dia masih belum yakin armada itu benar-benar hancur dalam sekejap mata. Dia mengamati tajam-tajam pak tua itu yang mengeluarkan kotak kecil dari sakunya.
"~Brtzzz … Pesawat sudah di hangar. Selesaikan tugasmu, Pak tua."
"Aku sedang bicara dengan puteraku sekarang."
"~Pastikan paket kita dikonfirmasi … brrrttzz ..."
Sejenak tertegun, Grall angkat suara setelah pak tua itu menaruh lagi kotaknya.
"Ayah bicara dengan kotak itu? Itu suara Tuan Phaulius?"
"Iya. Ini namanya radio. Ini alat komunikasi yang menghubungkanku dengan Kota Maylon."
Kepala Grall berasa mau meledak. Namun dia urungkan sikap terkejutnya karena sudah terlalu banyak kejutan yang ayahnya tunjukan.
"Beri aku waktu beradaptasi." Grall memijat tepian keningnya sendiri diikuti tawa pak tua yang jadi lawan bicaranya
Sekalipun pria tua itu adalah orang yang pernah membesarkannya, segala hal yang ayah angkatnya bicarakan masih berada di luar jangkauan. Hal itu sangat dimakluminya karena si pria tua itu adalah makhluk dari dunia lain. Grall sulit mengenali ayah angkatnya sendiri yang jadi berbeda setelau pintu gerbang itu terbuka.
15 tahun lamanya dua dunia terhubung. Grall masih belum terbiasa menerima dunia fantasi yang saat ini ada di depan matanya sendiri.
Iya, si pria tua itu adalah salah satu orang penting dari kota misterius yang bernama Kota Maylon. Grall kembali terkesima ketika melihat dua lembar kertas aneh yang pria tua itu taruh di atas meja.
"Bagaimana kertas bisa seputih ini? Apakah ini lukisan?" Grall terkejut. Dia melihat dua kertas seukuran saku itu bergambarkan wajah dua pemuda yang sangat dikenalinya. "Bagaimana bisa wajah anak-anakku ada di kertas ini?"
Si pria tua terkekeh.
"Ini namanya foto. Dasar manusia abad pertengahan, hahahaha!"
Grall cemberut. Dia mengambil salah satu kertas yang disebut foto itu dan mengamati dengan cermat wajah seorang gadis.
"Ini gambar puteriku baru-baru ini. Mirip sekali!"
"Cucu sulungku cantik, bukan?"
Grall melirik pria tua itu sekilas. Dia agak segan bicara karena tahu alasan kenapa foto itu ayah angkatnya tunjukan.
"Grall. Selama 15 tahun kita bekerja sama melawan New Age Order. Sekarang Kota Maylon sudah punya cukup sumberdaya untuk membuka gerbang lagi." Pak tua itu menatapnya santai. Dia bicara setelah menyulut batangan kecil yang mengeluarkan asap dari mulutnya. "Sekarang kami sudah bisa mengambil benda-benda fisik melalui gerbang. Kamu tahu langkah kita sekarang, bukan?"
Grall tidak langsung menjawabnya. Dia mengambil selembar foto lagi yang bergambar pria muda berambut merah. Dia menaruh dua foto itu di atas meja setelah memijat sendiri tepian keningnya.
"Kamu siap menyerahkan anak-anakmu ke Kota Maylon, Grall?"
Sebagai ayah, pertanyaan itu cukup berat. Tapi Grall tidak punya pilihan lain selain menjawab, "Iya, ayah. Sudah waktunya cucu-cucumu yang menggantikan perjuangan kita."
Siapakah dua manusia muda di foto itu? Dan kenapa pula kota dari dunia lain itu menginginkan mereka?
Seluruh manusia tidak akan menyangka bahwa sepasang manusia itulah tokoh utama di perang besar yang akan mengubah wajah dunia.