Feng Cang melemparkan dirinya ke sofa lalu mendesah lelah sesampainya di kantor Ah Shen.
"Apa kamu pikir ini rumahmu?" tanya Ah Shen tak berdaya karena Feng Cang selalu datang dan pergi dari kantornya sesuka hati.
Feng Cang hanya diam, enggan menanggapi karena terlalu lelah.
Ah Shen juga tak begitu memperhatikan Feng Cang dan kembali berkutat dengan tumpukan dokumen di mejanya.
Feng Cang melirik Ah Shen sekilas. "Kenapa kamu terus-menerus lembur? Ini sudah hampir jam dua pagi." Dahi Feng Cang berkerut tak suka saat melihat wajah Ah Shen yang masih tidak terlihat lelah.
Hampir sebulan ini Feng Cang melihat Ah Shen selalu lembur dan tidur sekitar jam tiga pagi, dia merasa kalau pria ini terlalu memaksakan diri! Sekarang Feng Cang tidak heran mengapa perusahaan ini cepat berkembang.
"Bukan masalah. Aku hanya butuh tidur sekitar empat jam sehari." Ah Shen menjawab tanpa melirik Feng Cang sedikit pun.
Feng Cang mendengus lalu melangkah pergi.
"Kemana?"
"Tidur," jawab Feng Cang seadanya lalu menutup pintu. Kalau dia tidak perduli dengan dirinya sendiri, kenapa aku harus perduli?
Ah Shen menatap pintu yang ditutup dengan cara yang kasar dengan tatapan kosong sebelum menghela napas berat. Dia menatap setumpuk dokumen di ujung mejanya yang belum selesai dia urus sebelum meletakkan pena di meja dan pergi untuk menyusul Feng Cang.
Ah Shen tidak suka membuang-buang waktu dan selalu ingin semuanya berjalan seefektif mungkin. Jadi, lantai paling atas gedung ini digunakan sebagai tempat tinggalnya.
Meskipun tempat tinggal Ah Shen ada di gedung perusahaan, tidak ada orang yang berani secara sembarangan mengunjunginya. Bisa dibilang, lantai paling atas merupakan zona terlarang. Lagipula, siapa yang mau menyinggung bos besar?
Feng Cang baru saja membuka pintu kamar saat ponselnya berdering.
Seandainya Feng Cang melihat nama yang muncul di layar ponsel, dia tidak akan mengangkatnya.
"Bos, ada berita tentang Keluarga Feng, apa yang harus kami lakukan?"
Feng Cang memutar bola matanya. "Apa itu begitu penting hingga kamu harus menelponku sekarang? Kalau itu hanya berkaitan dengan mereka, kamu bisa melakukan seperti yang biasa kita lakukan."
Orang di seberang telepon terlihat terburu-buru. "Tentu saja! Ini tentang Feng Tian, tetua keluarga Feng, yang aku dengar sedang kritis."
Ponsel Feng Cang hampir terjatuh saat mendengarnya. "Apa kamu serius?!" tanya Feng Cang sambil berusaha menyembunyikan kepanikannya.
"Tentu saja! Kami sudah mendapatkan informasi lengkap tentangnya. Kalau sampai berita ini tersebar, maka keluarga itu akan..."
Orang itu tidak berusaha menyelesaikan kalimatnya. Dia tahu bosnya selalu berusaha untuk menurunkan Keluarga Feng. Setiap ada berita buruk tentang keluarga itu, bos selalu memintanya untuk menambahkan minyak ke dalam masalah itu, memperburuk kondisinya.
Dia tidak pernah bertemu dengan bosnya secara langsung. Jadi, dia tidak tahu sedalam apa dendam bos terhadap Keluarga Feng. Tetapi, dia tahu kalau semua itu tidak sederhana dan akan lebih baik kalau dia tidak tahu terlalu banyak.
"Cari tahu apa penyebabnya! Aku ingin semua informasi secepatnya," ucap Feng Cang dingin lalu buru-buru menutup panggilan.
Tangannya sedikit bergetar saat mencari nomor ponsel kakeknya. Setelah beberapa kali panggilan, telepon tak kunjung diangkat, membuat Feng Cang cemas. Bagaimana bisa kakek kritis tiba-tiba? Minggu kemarin, ketika dia berkunjung, dia terlihat baik-baik saja, bahkan mengajaknya bermain golf. Ini terlalu tidak masuk akal!
"Feng Cang!" Ah Shen berlari menghampiri Feng Cang saat melihat gadis itu terduduk di lantai dengan tatapan kosong.
"Bangun! Jangan duduk di lantai yang dingin!" perintah Ah Shen tegas sambil menarik tangan Feng Cang.
"Kakek... Kakek... Dia..."
"Tenang," ucap Ah Shen sambil menepuk-nepuk punggung Feng Cang lembut, membuat otak Feng Cang yang macet sejenak terasa seperti disiram air dingin. "Dia pasti akan baik-baik saja."
Feng Cang menghembuskan napas panjang. "Ada yang salah," ucap Feng Cang yang mulai tenang.
"Ya, aku tahu." Ah Shen mengangguk samar.
"Aku harus..."
"Kamu harus istirahat." Ah Shen menatap Feng Cang yang sudah tak sadarkan diri di pelukannya. Huh, dia yakin gadis ini akan terbang begitu saja apabila dia tidak menekan titik-titik akupunturnya.
Ah Shen dengan lembut menggendong tubuh Feng Cang yang seringan awan di pelukannya. Dia bertanya-tanya bagaimana bisa gadis ini melakukan banyak hal dengan tubuh kurusnya ini. Dalam hati dia sudah memutuskan untuk menambahkan beberapa sumplemen ke dalam makanannya.
Dia membaringkan tubuh Feng Cang di kasur dengan hati-hati sebelum menyelimutinya. Keningnya berkerut saat merasakan suhu ruangan yang cukup rendah lalu memutuskan untuk menambahkan selimut tebal di atas Feng Cang.
Setelah merasa bahwa semuanya sudah beres, dia menatap wajah Feng Cang yang terlihat lelah selama lima detik sebelum mematikan lampu dan menutup pintu dengan rapat.
Saat dia akan pergi ke kamarnya sendiri dan melewati ruang tamu, dia melihat ponsel Feng Cang yang masih tergeletak di lantai dan segera mengambilnya setelah berpikir selama tiga detik.
Ah Shen menatap ponsel itu dengan ragu sebelum memasukkannya ke dalam saku dan kembali ke kamarnya. Dia tidak bisa membantu tetapi merasa sedikit penasaran dengan isi ponsel Feng Cang.
Apa yang sebenarnya ada di dalam ponsel ini?
Ah Shen memikirkan berbagai macam kemungkinan tetapi tidak yakin untuk membuka ponsel Feng Cang. Bagaimana juga itu juga barang pribadi...
Dia menimang-nimang ponsel itu di tangannya dengan ekspresi sulit.
Ping!
Tiba-tiba ponsel itu bergetar dan layar ponsel menyala.
Ah Shen menjadi gelagapan karena takut menekan tombol yang salah. Tetapi, tubuhnya membeku saat melihat pesan yang tertera di layar ponsel.
Setan Wang: Sayangku, aku merindukanmu! Tunggu aku!
Ah Shen meremas ponsel di tangannya. Dia memutar otaknya dengan cepat. Siapa itu Setan? Dia tidak pernah ingat Feng Cang menyebutkan sesuatu tentangnya.
Matanya menatap lekat-lekat pada pesan di layar untuk waktu yang lama. Tanpa dia sadari, langit sudah kemerahan yang menunjukkan bahwa hari sudah pagi.
Dia mengalihkan pandangannya dengan enggan sebelum akhirnya menggela napas panjang dan mulai beraktivitas seperti biasanya.
Di kamar sebelah, Feng Cang terbangun dengan kacau. Dia menatap sekelilingnya dengan linglung. Uh, ini kamarnya?
Seingatnya, dia akan pergi memberi beberapa bajingan pelajaran. Kenapa dia ada di sini?
Feng Cang terdiam sesaat untuk mengumpulkan kesadarannya sebelum akhirnya mengumpat. "Ah Shen sialan!"
Dia buru-buru mengambil ponselnya, tetapi tidak dapat menemukannya. Dengan cepat, dia keluar untuk mencari Ah Shen.
Feng Cang mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya dengan tatapan berbahaya. Dia mengerutkan dahi saat melihat seorang pria yang sedang duduk melamun di ruang makan.
Wajahnya yang lembut dan halus terlihat bercahaya di bawah sinar matahari. Pria itu mengaduk kopinya dengan tatapan menerawang.
Untuk sejenak, Feng Cang merasa tersesat karena kecantikannya. Itu terasa tidak nyata... seperti mimpi.
Feng Cang menghela napas. Aiya, lihatlah, dirinya benar-benar tidak bisa marah jika dihadapkan dengan kecantikan yang terlihat menyedihkan ini.
"Kakak," panggil Feng Cang memecahkan lamunan Ah Shen.
Ah Shen tersadar lalu melirik Lucia sambil tersenyum tipis. "Kamu sudah bangun?"
Feng Cang benar-benar terhipnotis oleh Ah Shen. Dia menggeleng cepat untuk segera menjernihkan pikirannya.
Ah Shen terkekeh geli saat melihat kekonyolan Feng Cang. "Ada apa denganmu?"
"Dimana ponselku?" Feng Cang mengalihkan pembicaraan.
Senyum Ah Shen kaku untuk sesaat.
Ah Shen berpura-pura menghela napas panjang. "Aku sudah berusaha keras menjadi keindahan yang lembut untuk membuatmu melupakan benda mati itu. Kenapa kamu tidak mau menghargainya?"
"Ah Shen!"
"Kenapa tidak memanggilku kakak lagi?" tanya Ah Shen.
Feng Cang melotot. Wajahnya memerah karena menahan kesal. Sejak dulu, Feng Cang memang memiliki kebiasaan memanggil nama Ah Shen setiap dia kesal. Itu hanya terjadi begitu saja dan terus berlanjut sampai saat ini.
Ah Shen tersenyum pahit lalu kembali menyibukkan diri dengan kopinya. Dia hampir saja meludahkan minumannya saat merasakan cairan hitam itu menyentuh indra perasanya. Sial! Kenapa kopi ini begitu pahit?
Ah Shen mengerutkan keningnya tak suka sebelum memutuskan untuk kembali bertingkah elegan di depan Feng Cang. Aku heran kenapa gadis itu sangat menyukai kopi...
"Hentikan itu," tegur Feng Cang dingin. "Aku tahu kamu membenci kopi."
Ah Shen terus meminum kopi, tidak menghiraukan ucapan Feng Cang sedikit pun.
Feng Cang mendengus dingin lalu pergi karena kesal.
Ah Shen buru-buru meludahkan kopinya setelah memastikan bahwa Feng Cang benar-benar pergi. Matanya menggelap saat memikirkan betapa konyolnya dia melakukan semuanya untuk Feng Cang. Hanya karena Feng Cang menyukai kopi, dia juga meminumnya. Itu... bodoh sekali tapi dia tetap melakukannya.
***
"Apa yang begitu penting? Apa ponselmu menyimpan rahasia atau sesuatu?"
Tubuh Feng Cang tersentak dan dia buru-buru berbalik dengan waspada hanya untuk menemukan Ah Shen yang bersandar di daun pintu sambil menyeruput secangkir kopi. Pria itu menatapnya dengan tatapan datar.
"Sejak kapan kamu di situ?" Feng Cang menyipitkan matanya curiga.
Ah Shen menatap Feng Cang yang berjongkok di bawah kasurnya dengan posisi menyedihkan.
"Apa yang begitu penting?" Ah Shen kembali bertanya tanpa menghiraukan pertanyaan Feng Cang.
Feng Cang mendengus. "Apa kamu bermain bodoh?"
Ah Shen menyembunyikan senyum masam di balik cangkirnya.
"Ada di laci pertama di samping kirimu," ucap Ah Shen.
Feng Cang buru-buru mengikuti arahannya dan akhirnya bisa menemukan ponselnya.
"Oh ya, semalam ada pesan yang masuk dan aku tidak sengaja membukanya," tambah Ah Shen sambil tersenyum ringan. "Maaf."
Jika Feng Cang mau memperhatikannya sedikit lebih jeli, dia akan menemukan keanehan dalam suara Ah Shen yang sedikit bergetar.
"Oh, siapa itu?" Feng Cang bertanya dengan santai.
"Setan."
Feng Cang mendengus dingin sebagai balasan. "Pria itu gila," ucapnya dipenuhi dengan ejekan.
"Halo." Feng Cang mengangkat panggilan di ponselnya tanpa memberikan Ah Shen pandangan sedikit pun.
"Bos, bagaimana dengan keluarga Feng? Apa yang harus kita lakukan?" Orang di seberang telepon terdengar ragu. Dia berusaha menelpon bosnya sejak semalam tapi tidak ada berita dan tidak tahu harus melakukan apa.
"Aku akan datang ke kantor," ucap Feng Cang dan segera mematikan telepon tanpa menunggu jawabannya.
"Kakak, aku harus pergi dulu," pamit Feng Cang dengan terburu-buru. Dia berjalan dengan cepat tanpa menunggu balasan dari Ah Shen.
Di belakangnya, Ah Shen hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh dengan tatapan penuh kerinduan, terlihat seperti istri kecil yang ditinggalkan.