"Sepupu," panggil Feng Cang saat sambungan teleponnya terhubung dengan seseorang.
"Kakak Cang!" sapa suara manis seorang gadis dari seberang telepon. "Apa kamu sudah tahu kondisi kakek?"
Feng Cang berdeham.
"Sekarang kakek ada di rumah sakit Ibukota. Aku akan mengirimkan nomor ruangannya segera," jawab suara manis itu.
"Terima kasih, sepupu."
"Hmm."
"Ada apa?" tanya Feng Cang saat merasa bahwa gadis di seberang telepon ragu-ragu.
"Kakek terus memanggil namamu," ucapnya setengah berbisik. "Cepatlah kemari."
Feng Cang tersenyum tipis. "Baiklah."
"Ada apa?" Gu Qishao yang sejak tadi menatapnya bertanya dengan rasa ingin tahu.
"Aku harus pergi," pamit Feng Cang.
"Ah? Kemana?" Gu Qishao merasa sedikit tidak rela.
"Rumah sakit."
"Apakah kamu sakit?" tanya laki-laki itu panik.
Feng Cang memutar kedua bola matanya. "Bukan aku tapi kakekku."
Gu Qishao menatap kosong. "Oh, baiklah."
"Selamat tinggal."
Gu Qishao menatap sosok Feng Cang yang semakin menjauh lalu tertawa bodoh sambil menatap secangkir kopi di tangannya.
Feng Cang berbalik hanya untuk melihat punggung Gu Qishao yang terlihat kesepian dan begitu rapuh. "Pria bodoh," gumamnya lembut lalu terus berjalan.
Lima belas menit kemudian, Feng Cang sudah sampai di rumah sakit dan sedang menuju ke ruangan dimana kakek Feng dirawat setelah mendapatkan nomor kamar.
Ekspresi khawatir di wajah Feng Bao retak seketika saat melihat Feng Cang yang datang. Tetapi, dia buru-buru kembali ke penampilan teratai putih yang tidak bersalah dan segera menghampiri Feng Cang.
"Saudari, akhirnya kamu datang! Kakek tidak bisa berhenti mengkhawatirkanmu," ucap Feng Bao sambil berusaha meraih Feng Cang.
Feng Cang langsung menghindar dan menghampiri gadis remaja yang duduk di pojok ruangan, benar-benar mengabaikan Feng Bao.
Feng Bao yang mendapat bahu dingin dari Feng Cang sedikit tertegun dan menatap Tuan Feng Chen dengan mata berair seakan sedang dianiaya. "Saudari..."
"Feng Cang! Apa yang kamu lakukan di sini?!" seru Feng Chen yang tak lain adalah ayah Feng Cang sendiri. Dia tidak tahan melihat anak perempuannya, Feng Bao, bersedih seakan sedang dianiaya oleh gadis tidak tahu malu itu.
Feng Cang tersenyum dingin. Melihat sikap pria ini padanya, dia tidak yakin kalau dia benar-benar ayah kandungnya.
Feng Cang tak menghiraukan tatapan jijik keluarganya dan mengalihkan pandangan ke arah gadis yang masih duduk di pojokan.
Gadis itu menatap Feng Cang penuh harap. "Kakak, cepat lihat kakek! Dia terus memanggil namamu," ucapnya.
Feng Cang mengangguk.
"Feng Cang, berhenti di sana!" seru Feng Chen.
"Kamu anak tidak tahu malu! Setelah menghilang begitu saja kamu datang untuk ikut mengambil bagian dalam warisan, hah?!" Wanita di samping ayahnya tiba-tiba berteriak marah.
"Benar! Siapa yang mengatakan bahwa kamu boleh masuk?" timpal Feng Chen.
Cahaya di mata Feng Cang meredup. Betapa bodohnya dia dulu mempercayai orang-orang ini. Mereka jelas tidak menganggapnya sebagai anggota keluarga. Apa pikiran mereka hanya dipenuhi dengan uang?
"Nyonya Feng, Tuan Feng, apa kita masih memiliki hubungan?" Feng Cang tersenyum pada mereka dengan senyum dipenuhi ejekan.
"Kamu..."
"Pelacur!"
Feng Cang bergegas memasuki ruangan tanpa memperhatikan amarah orang-orang di belakangnya.
"Kakek!" panggil Feng Cang sambil mengusap tangan pria tua di hadapannya. Tubuhnya terlihat kurus dan lemah, wajahnya yang biasanya bersinar dan penuh vitalitas sekarang kuyu dan pucat.
Pemandangan ini sangat menyedihkan baginya.
"Cang er," panggil pria tua itu. Matanya yang awalnya redup terlihat sedikit bersemangat.
"Kakek, kondisimu ini—"
"Aku tahu," sahut pria itu sambil tersenyum lemah. "Orang-orang itu tidak sabar untuk mendapatkan manfaat dariku."
Genggaman tangan Feng Cang mengencang saat melihat raut wajah kecewa di wajah kakeknya.
"Aku baik-baik saja." Kakek menatap gadis di depannya dengan penuh kasih sayang.
"Ya, kamu akan baik-baik saja. Aku pasti akan membawa dokter hebat untuk merawatmu." Feng Cang mengangguk yakin.
Kakek mengiyakan meskipun dia sebenarnya tidak menganggap ucapan Feng Cang sungguh-sungguh. Bahkan dokter di rumah sakit ini sudah menyerah dengan kondisi fisiknya yang memburuk, apa yang bisa gadis kecilnya lakukan?
"Cang er," panggil kakek lemah. "Maafkan aku."
"Kakek, apa yang kamu katakan?" Feng Cang merasa tidak enak.
"Aku minta maaf karena selama ini tidak bisa melindungimu di rumahmu sendiri." Kakek Feng mendesah. "Aku adalah penatuamu tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, ah."
Feng Cang menggeleng cepat. "Ini bukan salahmu," ucapnya.
Kakek mengangguk setuju. "Ini salah orang tuamu," ucapnya lalu mendesah panjang. Bagaimanapun juga, Feng Cang juga anak mereka tapi mereka memperlakukannya secara berbeda dengan saudaranya.
Feng Cang tersenyum kecut saat mengingat masa lalunya.
Sejak kecil dia dibesarkan oleh neneknya di luar negeri karena orang tuanya merasa bahwa pendidikan di sana lebih baik dan maju dibandingkan di negaranya sendiri. Feng Cang tidak merasa bahwa itu buruk dan menuruti apa yang mereka perintahkan. Dia berusaha mendapatkan nilai terbaik, belajar bermain musik dan seni lainnya, menguasai lima bahasa, dan selalu menjuarai kegiatan yang ada di sekolah. Dia juga dituntut untuk mempelajari ekonomi dan bisnis sejak usia muda.
Bahkan setelah dia mencapai semua itu, dia tidak merasakan sedikit pun kepuasan. Bahkan jika dia menjadi nomor satu di segala bidang, orang tuanya tidak akan menemuinya. Ya, dia hanya akan bertemu dengan orang tuanya di akhir tahun saat liburan dan dia pun hanya bisa melihat orang tuanya sekilas di pagi hari karena mereka selalu disibukkan dengan pekerjaan mereka. Lama-kelamaan, dia merasa bahwa... dia tidak jauh lebih baik daripada orang asing.
Itu membuatnya merasa miris. Beruntung dia masih memiliki neneknya dan Qiao Qing, anak yang diadopsi neneknya, yang selalu menyayanginya dengan sepenuh hati.
Hal yang sama terus berulang hingga saat dia lulus SMA, dia meminta kembali ke negaranya dengan alasan untuk lebih mengenal bisnis keluarga.
Dia tidak berharap mendapatkan sambutan hangat atau apapun dari orang tuanya. Itu akan baik-baik saja kalau mereka masih ingat bahwa mereka masih memilikinya. Sayangnya, dia tidak siap dengan kejutan lain yang dia terima.
Saat dia membuka pintu rumah, dia melihat ayah ibunya yang selama ini selalu serius dan pendiam tersenyum dan tertawa dengan seorang gadis seumurannya yang ada di pelukan mereka. Mereka melupakannya...
"Ayah, ibu, siapa dia?"
Saat itu juga, dia merasa yakin bahwa dia memang hanya orang asing. Dia mendekati mereka dengan hati-hati, takut merusak gambar keluarga bahagia di depannya.
"Feng Cang, apa kamu ingat kakak perempuanmu yang hilang sejak dia masih bayi?" ucap ibunya. "Dia kembali."
Feng Cang menatap gadis yang memiliki wajah mirip dengannya dengan tatapan kosong. "Kamu... saudaraku?"
Gadis itu mengangguk kikuk.
Ayah Feng menatap Feng Cang dengan serius. "Kakakmu sudah mengalami perderitaan selama delapan belas tahun karena harus menjalani kehidupan yang miskin di desa," ucapnya. "Kita harus memperlakukannya dengan baik."
Feng Bao tidak hanya diperlakukan dengan baik. Dia diperlakukan terlalu baik. Feng Bao hidup layaknya tuan putri sejak saat itu, setiap kebutuhannya terpenuhi, apapun yang dia minta tersedia, dan yang paling penting dia mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ayah dan ibunya, sesuatu yang tidak pernah Feng Cang bayangkan.
Ya, dia iri tapi di ajuga merasa bersyukur karena akhirnya dia memiliki seorang saudara yang bisa dia ajak berbelanja, bergosip, dan melakukan banyak hal seperti yang saudara-saudara lainnya lakukan. Hanya saja, entah mengapa, setiap kali mereka berdua bersama, Feng Bao selalu berakhir terluka atau berada dalam masalah. Itu seakan-akan... Feng Cang adalah pembawa kesialan baginya.
Hmm, Feng Cang baru menyadari fakta bahwa dia dijebak saat Feng Bao melepaskan topeng dihadapannya empat tahun lalu.
"Feng Cang."
Lamunan Feng Cang buyar saat mendengar panggilan kakeknya. "Ah, ya?"
"Apa yang kamu pikirkan?" tanyanya.
Feng Cang menggeleng. "Hanya hal-hal yang tidak penting. Ah, kakek, apa kamu ingin memakan buah-buahan?" ucap Feng Cang sambil mengupas apel.
***
"Kakak!" panggil seorang gadis remaja sambil berlari menghampiri Feng Cang saat dia baru saja keluar dari kamar. "Bagaimana keadaan kakek?"
"Dia baik-baik saja," jawab Feng Cang. "Kenapa kamu tidak masuk ke dalam?"
Gadis itu menggeleng lalu menundukkan kepala. "Kakek tidak memperbolehkan kami mengunjunginya."
Feng Cang mengangguk mengerti.
"Feng Yao, bagaimana kabarmu?" tanya Feng Cang kemudian.
Matanya menatap gadis di depannya hangat. Saat pertama kali dia datang, gadis ini hanyalah anak kecil yang selalu diam-diam mengikutinya dan membantunya dalam kegelapan. Dari dulu hingga sekarang, dia masih anak kecil pemalu yang manis.
Kalau bukan karena dia anak tidak sah dari pamannya, kakek mungkin akan memperlakukannya lebih baik. Apalagi gadis ini selalu mengkhawatirkan kondisi kakek meskipun dia tidak berani terlalu dekat dengan pria tua itu.
"Feng Yao, jangan terlalu dekat denganku," ucap Feng Cang mengingat kondisinya saat ini.
"Aku tidak mau kamu dijauhi karenaku," bisiknya lalu bergegas pergi diikuti tatapan menyelidik keluarga Feng.
Feng Yao menatap pergerakan Feng Cang dengan tatapan rumit.
"Yao Yao, apa yang dia katakan padamu?" tanya ayah Feng Cang dengan aura mengintimidasi.
"D-dia... Dia..."
"Siapa yang memperbolehkanmu mengintimidasi anakku?" tanya suara berat dari sudut ruangan.
Ayah Feng Cang mendecih saat mendengarnya. "Jadi apa? Dia hanya anak tidak sah darimu dan wanita jalang yang tidak dikenal."
Wajah pria itu menghitam. Memang benar, status Feng Yao sebagai anak tidak sah selalu menjadi kerikil di hatinya. Tetapi, bagaimanapun juga, dia masih anak kandungnya.
Dia bukan saudaranya yang bisa memperlakukan anak-anaknya seakan mereka semua hanyalah chip untuk bisnisnya.