Ariana von Eisenwald: Pemburu dalam Kegelapan
Malam itu, Ariana von Eisenwald berdiri di balkon kamarnya, menatap langit berbintang.
Matanya yang tajam menyorot ke arah halaman akademi, di mana para siswa mulai kembali ke asrama masing-masing setelah jadwal pelajaran berakhir. Namun, pikirannya tidak tertuju pada pelajaran atau kehidupan akademik biasa.
Ia sedang memburu sesuatu.
"Vincent Louvret menghilang selama dua hari tanpa jejak, lalu ditemukan dalam kondisi koma."
"Tidak ada bukti fisik, tidak ada saksi mata, dan yang lebih aneh lagi, tidak ada tanda-tanda perlawanan di kamarnya."
Ariana menggigit bibirnya pelan. Seseorang melakukan ini dengan rapi.
Namun, apa yang membuatnya semakin curiga adalah ekspresi seseorang—Riven Aldevar.
Sejak kejadian ini terjadi, ekspresinya tidak pernah berubah. Tidak ada ketakutan, tidak ada kepanikan, tidak ada rasa penasaran. Seolah-olah ia sudah tahu apa yang terjadi sebelum orang lain mengetahuinya.
"Aku akan menemukan kebenarannya."
Dan jika benar bahwa Riven memiliki hubungan dengan kasus ini…
Ia akan membongkarnya, apapun yang terjadi.
---
Rencana Riven: Target Selanjutnya
Di asrama Hildegarde, Riven duduk di dekat jendela kamarnya, menikmati udara malam sambil menyesap secangkir teh.
Ia sudah memperhitungkan segalanya. Vincent Louvret hanyalah langkah pertama.
"Bangsawan macam dia hanyalah pion kecil dalam permainan ini. Aku harus bergerak lebih jauh."
Namun, sebelum ia bisa memutuskan target berikutnya, ia harus menghadapi masalah baru: Ariana von Eisenwald.
Sejak interogasi di kantor kepala sekolah, gadis itu terus mengawasinya.
Ia bisa merasakan tatapan Ariana setiap kali mereka bertemu di kelas, di lorong, bahkan saat makan siang. Tidak ada kata-kata langsung, tapi tatapan itu berbicara banyak.
Ariana tidak mempercayainya.
Dan itu bisa menjadi masalah besar.
"Jika dia terus menyelidiki, mungkin dia akan menemukan sesuatu yang seharusnya tidak dia ketahui."
Tapi Riven tidak panik.
Ia hanya perlu membuat Ariana berhenti mencari.
Dan untuk itu… ia harus membuatnya percaya bahwa ia hanyalah siswa biasa.
---
Hari Esok yang Penuh Intrik
Keesokan harinya, di kelas strategi militer, Ariana akhirnya mendapat kesempatan untuk mengamati Riven lebih dekat.
Mata birunya menajam saat melihatnya duduk santai di kursinya, tangan disandarkan di belakang kepala dengan ekspresi malas.
"Orang seperti dia… benar-benar pelaku insiden Vincent?"
Tidak lama kemudian, Profesor Helmut memasuki kelas, membawa sebuah dokumen tebal.
"Hari ini kita akan melakukan latihan strategi kelompok. Kalian akan dibagi menjadi beberapa tim dan diberikan skenario pertempuran. Tim yang berhasil menyusun strategi terbaik akan mendapatkan poin tambahan."
Para siswa mulai berbisik-bisik. Strategi militer adalah salah satu mata pelajaran paling penting di akademi ini. Tidak hanya untuk keperluan perang, tetapi juga untuk politik dan manipulasi kekuasaan.
"Aku akan mengumumkan tim pertama…"
Saat nama-nama disebutkan, Ariana tiba-tiba merasa jantungnya berdebar lebih kencang ketika mendengar nama terakhir dalam daftar timnya.
"Ariana von Eisenwald, Cedric Leinhardt, Ophelia Welford… dan Riven Aldevar."
"Hah?"
Ariana menoleh dengan cepat ke arah Riven, yang hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai.
"Sepertinya kita akan bekerja sama, nona Eisenwald."
Ariana menyipitkan matanya. Ini kesempatan bagus.
"Baiklah, Aldevar… Aku akan melihat sendiri apakah kau benar-benar tidak bersalah atau hanya pandai berpura-pura."
---
Latihan Strategi: Ujian Kecerdasan
Setiap tim diberikan skenario unik dan diminta menyusun strategi untuk menghadapinya.
Tim Ariana mendapatkan skenario tentang pemberontakan rakyat jelata terhadap kerajaan bangsawan.
Ariana langsung mengambil peran sebagai pemimpin diskusi.
"Baik, kita perlu memutuskan bagaimana menekan pemberontakan ini seefisien mungkin. Ada ide?"
Cedric Leinhardt, seorang bangsawan dari keluarga militer, langsung berbicara.
"Kita harus menumpas mereka dengan kekuatan penuh. Gunakan pasukan elit untuk menghabisi pemimpin pemberontakan, lalu buat contoh dari mereka agar yang lain takut."
Ophelia Welford, gadis bangsawan yang terkenal karena kepintarannya, mengangguk setuju.
"Ya, tapi kita juga perlu memastikan tidak ada dampak jangka panjang. Jika kita terlalu brutal, bisa muncul pemberontakan yang lebih besar di masa depan."
Ariana mengangguk, kemudian menoleh ke arah Riven, yang masih duduk santai tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Aldevar, kau belum berbicara. Apa pendapatmu?"
Riven membuka satu matanya dan tersenyum kecil.
"Pemberontakan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan kekuatan. Jika aku adalah pemimpin bangsawan, aku tidak akan membantai mereka… Aku akan menghancurkan harapan mereka."
Semua orang menatapnya.
"Hancurkan… harapan mereka?" tanya Ophelia ragu-ragu.
"Benar. Bunuh pemimpin mereka? Mereka bisa mencari yang baru. Tetapi jika kita membuat mereka merasa tidak ada gunanya melawan, maka pemberontakan itu akan mati dengan sendirinya."
Ariana mulai merasa ada sesuatu yang aneh dalam cara Riven berbicara.
"Jelaskan lebih lanjut."
"Misalnya… kita buat mereka saling curiga. Sebarkan informasi bahwa ada mata-mata di antara mereka. Gunakan propaganda untuk menunjukkan bahwa bangsawan bukanlah musuh mereka, tetapi teman mereka. Biarkan mereka saling mengkhianati, dan pada akhirnya… mereka akan menghancurkan diri mereka sendiri tanpa kita perlu mengotori tangan kita."
Hening.
Semua orang di tim menatap Riven dengan ekspresi campuran antara kagum dan takut.
Strateginya bukan strategi seorang bangsawan yang memimpin dari atas.
Ini adalah strategi seseorang yang pernah merasakan penderitaan di bawah kekuasaan bangsawan.
Strategi seorang revolusioner.
Ariana mulai merasa bulu kuduknya berdiri.
"Orang ini… bukan sekadar siswa biasa."
"Dia… sesuatu yang lain."
Riven hanya tersenyum dalam hati.
Ia tahu bahwa Ariana mulai menyadarinya.
Dan ini hanya permulaan dari permainan mereka.