Chereads / Pulau Terkutuk / Chapter 2 - Pulau Bisikan Maut

Chapter 2 - Pulau Bisikan Maut

BYUR... BYUR...

Ombak bergulung, membasahi pasir putih yang berserakan kayu kapal pecah, rumput laut, dan sisa-sisa kehidupan yang hancur. Matahari mulai mendaki perlahan, menghangatkan udara dan memantulkan kilauan perak di permukaan laut.

Axel Drake menyeret langkah di sepanjang pantai, langkahnya terasa berat. Setiap jejak kaki di pasir yang bertabur cangkang menghasilkan bunyi KRESEK! tajam di telinganya. Tubuhnya masih terasa sakit akibat cobaan malam sebelumnya.

Dia masih hidup. Tapi sampai kapan?

Saat pikirannya mencoba menyusun kembali kejadian yang membuatnya terdampar di pulau ini, sesuatu di kejauhan menarik perhatiannya.

Sebuah tubuh.

Setengah terendam di tepi air, tubuh itu didorong perlahan ke arah pantai oleh arus. Wajahnya pucat, kebiruan, dan pakaiannya compang-camping.

Axel menelan ludah. Dia mendekat dengan hati-hati.

KRESEK! KRESEK!

Langkahnya semakin berat seiring setiap langkahnya. Saat dia berdiri di samping tubuh itu, kengeriannya menjadi jelas—lengan kanan hampir putus, dan betisnya terkoyak, seolah-olah dicabik-cabik oleh sesuatu.

Laut mulai "mengawetkan" tubuh itu, tetapi bau tembaga masih tercium, membuat Axel memalingkan wajah.

"Ugh... sial."

Dia mencubit hidungnya, mencoba menahan rasa mual. Namun, sesuatu menarik perhatiannya—sebuah jam tangan mahal masih menempel di pergelangan tangan pria itu.

Axel mengerutkan kening. Dengan cepat, dia menggeledah saku pria itu, mencari sesuatu yang berguna. Dari saku yang basah, dia mengambil beberapa barang yang berpotensi berharga:

* Sebuah Rolex – mungkin sekarang tidak berguna, tapi siapa tahu?

* Sebuah pena logam – bisa menulis... atau menjadi senjata darurat.

* Sebungkus biskuit cokelat – pembungkusnya utuh, kemungkinan masih bisa dimakan.

Axel menghela napas dan memasukkan barang-barang itu ke dalam sakunya. Lebih baik daripada tidak sama sekali.

Namun, sebelum dia bisa berdiri—

"HEY!"

Suara tajam itu mengejutkannya.

Nova Sinclair berdiri beberapa meter jauhnya, wajahnya memerah karena marah. Mata cokelatnya menatapnya seperti elang yang siap menerkam.

"Apa yang kau lakukan?!"

Axel dengan santai mendongak, lalu mengangkat bahu. "Mencari sesuatu yang berguna."

Nova melangkah mendekat, rahangnya terkatup. "Kau tidak punya hati, ya?! Itu mayat manusia, bukan barang rampasan!"

Axel menatapnya datar. "Kau pikir dia masih membutuhkannya di akhirat?"

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

Axel tidak bereaksi, hanya menggosok pipinya yang memerah dan menahan tawa. Nova berdiri di depannya, napasnya berat karena emosi.

"Kita masih manusia, Axel! Kita harus menghormati orang mati!"

Axel mendengus. "Dan kita yang hidup harus bertahan hidup."

Nova menatapnya tajam, tetapi akhirnya, dia menundukkan kepalanya, menghela napas. "Jika kau benar-benar punya hati, kita akan menguburnya."

Axel menghela napas panjang. "Baiklah, baiklah."

Dengan tangan kosong, mereka menggali lubang di pasir. Tanah itu lembut, tetapi tetap membutuhkan waktu untuk membuat kuburan yang cukup dalam. Setelah tubuh pria itu ditutupi pasir, Nova berdiri dan membisikkan sesuatu, seperti doa singkat.

Axel hanya memperhatikannya. Dia tidak percaya takhayul, tetapi dia membiarkan Nova menyelesaikan ritual kecilnya.

Namun, Nova belum selesai. Dia menoleh ke Axel dengan ekspresi serius.

"Kita butuh aturan."

Axel mengangkat alis. "Aturan?"

Nova menyilangkan tangannya. "Ya. Kau tetap di sisi pantai itu, aku tetap di sini. Kau tidak menerobos wilayahku, aku tidak menerobos wilayahmu. Setuju?"

Axel melirik ke arah yang ditunjuk Nova—bagian pantai yang lebih dekat ke hutan.

Dia mendengus. "Kedengarannya adil."

Beberapa jam kemudian…

PLUNG! PLUNG!

Axel berdiri di air dangkal, mencari makanan di antara karang dan bebatuan. Dia melihat beberapa tiram dan bulu babi menempel di celah-celah.

"Ha, lumayan."

Dengan pisau lipatnya, dia mencongkelnya satu per satu, mengumpulkan apa yang bisa dia makan.

Di kejauhan, Nova masih duduk di pasir, wajahnya lelah. Bibirnya kering, matanya lesu.

Axel dengan santai berjalan ke arahnya, memegang kelapa yang telah dia pecahkan sebelumnya. KRETAK!

"Hei."

Nova dengan lemah mendongak.

"Kau butuh air?" Axel mengangkat kelapa, menggoyangkannya sedikit untuk menekankan cairan di dalamnya.

Nova menelan ludah. "Berapa harganya?"

Axel terkekeh. "Pintar."

Dia menunjuk ke tumpukan kayu kering di dekat Nova. "Bantu aku membuat api. Maka ini milikmu."

Nova menghela napas, tetapi akhirnya, dia dengan lesu bangkit. "Kau benar-benar menyebalkan."

Axel hanya memberikan senyum tipis. "Aku lebih suka... pragmatis."

Nova mengambil kayu kering dan dengan hati-hati menyusunnya. Dia tahu Axel benar—mereka membutuhkan api. Untuk memasak, untuk perlindungan... dan mungkin sebagai sinyal jika pesawat atau kapal lewat.

Beberapa menit kemudian, dengan usaha gabungan mereka, percikan api muncul. KRETAK! Nyala api kecil berkedip di antara ranting-ranting kering.

Axel menyerahkan kelapa kepada Nova, dan dia segera meminumnya.

Setelah selesai, Nova menatapnya. "Aku masih ingin aturan di sini."

Axel terkekeh. "Silakan."

Nova mengambil ranting dan mulai menulis di pasir:

HUKUM PANTAI

* Tidak mencuri dari satu sama lain.

* Tidak menerobos wilayah satu sama lain.

* Saling menghormati.

* Menjaga kesopanan manusia.

Axel membaca kata-kata itu dan mengangguk perlahan.

"Bagus."

Nova menyipitkan matanya. "Kau setuju?"

Axel menatapnya untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya mengambil tiram dan mulai membukanya.

"Kau benar," katanya akhirnya. "Kita masih manusia... untuk sekarang."

Namun, sebelum Nova bisa menjawab, sebuah KRETAK! bergema dari hutan.

Mereka berdua mengarahkan kepala ke arah suara itu.

Suasana menjadi tegang.

Sesuatu sedang mengawasi mereka.

Axel mencengkeram pisaunya, sementara Nova berdiri kaku.

Dari dalam dedaunan lebat, bayangan samar tampak bergerak.

Axel menahan napas.

Nova mengepalkan tangannya dengan erat.

Dan kemudian—

SWOOSH!

Sesuatu bergerak cepat, menyelinap kembali ke dalam kegelapan.

Mereka bertukar pandang, jantung berdebar kencang.

"Kita tidak sendirian di pulau ini," bisik Nova.

Axel mencengkeram pisaunya lebih erat.

"Tentu saja tidak."