Chereads / Pulau Terkutuk / Chapter 6 - Koper dan Misteri di Dalamnya

Chapter 6 - Koper dan Misteri di Dalamnya

Matahari terbenam, meninggalkan semburat jingga yang memudar. Nova masih duduk di pasir, matanya terpaku pada isi koper yang baru saja mereka bongkar. Axel, di sampingnya, sibuk memeriksa pisau lipat besar yang dia keluarkan.

"Gila," gumam Nova. "Ini kayak adegan film aksi."

Axel mengangkat alis. "Film aksi murahan. Ini kenyataan."

Di dalam koper, mereka menemukan lebih banyak barang yang membuat bulu kuduk merinding—sebuah pistol kecil dengan dua magasin peluru, beberapa paspor dengan nama berbeda tapi wajah yang sama, dan dokumen, sebagian besar dalam bahasa asing, dengan cap yang terlihat resmi—atau mungkin rahasia.

Nova mengambil salah satu paspor dan membukanya. "Marcus Langley," bacanya keras-keras. "Kalau ini benar dia, berarti dia sudah lama di pulau ini."

Axel bersandar pada pohon kelapa yang tumbuh miring di pantai. "Pertanyaannya, kenapa dia bawa semua ini? Dan yang lebih penting..." Dia menatap Nova. "Apakah dia masih hidup, atau sudah jadi mayat?"

Rasa dingin merayapi tulang punggung Nova. Dia melirik peta usang yang juga mereka temukan. Beberapa lokasi dilingkari dengan tinta merah.

"Mungkin ini tempat-tempat yang dia kunjungi," kata Nova, menunjuk peta. "Mungkin ada sesuatu di sana."

Axel menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Besok, kita cari tahu."

Mereka memasukkan semuanya kembali ke dalam koper dan menguburnya di bawah pasir. Rasanya lebih aman begitu. Malam ini, mereka butuh tidur, tapi entah kenapa, pulau itu terasa lebih menakutkan setelah penemuan mereka.

Angin laut berhembus lembut, dan ombak berdebur perlahan di pantai. Di atas mereka, bintang-bintang berkelip, tak peduli dengan ketegangan antara dua orang di pantai itu.

Nova mencoba tidur, tapi matanya tak mau terpejam. Sesekali, dia mendengar suara ranting patah dari arah hutan.

Axel, yang juga terjaga, tiba-tiba berbisik, "Kamu dengar itu?"

Nova menahan napas. Langkah kaki. Pelan, tapi jelas.

Mereka berdua langsung duduk. Axel menggenggam pisaunya erat-erat, sementara Nova mencoba mengintip ke arah suara itu.

Sesuatu bergerak di balik semak-semak.

Sosok itu tidak mendekat. Juga tidak pergi.

Dia hanya berdiri di sana, mengawasi.

Jantung Nova berdebar kencang di telinganya. "Itu apa...?"

Axel mempererat genggamannya pada pisau. "Seseorang."

Hening.

Beberapa detik kemudian, sosok itu berbalik dan menghilang ke dalam hutan.

Nova menelan ludah. "Mereka mengawasi kita."

Axel mengangguk, masih waspada. "Dan mereka tahu kita di sini."

Malam itu, mereka tidak tidur sama sekali.

Saat matahari terbit, mereka langsung bersiap-siap untuk bergerak.

"Tujuan pertama," kata Nova, menunjuk peta. "Titik yang ditandai paling dekat."

Mereka menyusuri hutan, menghindari akar pohon besar. Setelah sekitar dua puluh menit, mereka tiba di tebing rendah. Di bawah, tersembunyi di antara bebatuan, ada sesuatu yang mencurigakan.

Nova turun lebih dulu, diikuti oleh Axel.

Di balik tumpukan batu, mereka menemukan kotak logam tua berkarat.

"Marcus pasti menyembunyikan ini," gumam Nova.

Axel mengambil batu besar dan menggunakannya untuk membuka tutupnya. Begitu terbuka, mata mereka melebar.

Di dalamnya, ada lebih banyak dokumen. Tapi kali ini, satu lembar paling menonjol—laporan dengan cap organisasi misterius.

Nova mengambilnya dan membaca keras-keras. "Operasi Pulau Hitam – Target: Marcus Langley. Prioritas: Eliminasi."

Dia langsung menoleh ke Axel. "Marcus Langley bukan orang sembarangan. Dia buronan."

Axel menghela napas panjang. "Dan kalau kita menemukan ini, berarti kita juga bisa jadi target."

Tiba-tiba—DOR!

Suara tembakan bergema di kejauhan.

Nova dan Axel langsung merunduk ke tanah, jantung mereka berpacu.

Dari balik pepohonan, langkah kaki mendekat.

Nova menggigit bibirnya. "Kita harus lari."

Axel mengangguk. "Sekarang."

Mereka melompat berdiri dan lari menerobos hutan. Di belakang mereka, sosok-sosok gelap mulai muncul. Orang-orang bersenjata.

Axel dan Nova berhenti di tepi sungai, terengah-engah. Pakaian mereka basah kuyup, tubuh mereka menggigil, tapi pikiran mereka berlari lebih cepat daripada sungai yang baru saja membawa mereka menjauh dari bahaya.

"Ini gila," Nova menyeka wajahnya yang basah, mencoba menenangkan diri. "Kita baru saja ditembak."

Axel menarik napas dalam-dalam dan melihat ke belakang, memastikan mereka sudah cukup jauh dari orang-orang bersenjata itu. "Kita harus mencari tempat aman," katanya. "Sampai kita tahu siapa mereka dan kenapa mereka mengejar kita."

Nova mengangguk, lalu melirik koper yang masih digenggam erat oleh Axel. "Dan kita harus mencari tahu siapa sebenarnya Marcus Langley."

Tiga jam kemudian, Axel dan Nova menemukan gua kecil yang tersembunyi di balik semak-semak tebal. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk berlindung sementara.

Axel menyalakan api kecil dengan ranting kering yang mereka kumpulkan. Nyala api yang berkedip-kedip melemparkan bayangan di wajah Nova yang masih tegang.

"Mari kita periksa koper ini lebih teliti," katanya.

Axel membuka koper lagi, mengeluarkan isinya satu per satu. Mereka sudah tahu tentang uang, paspor palsu, dan pistol. Tapi sekarang, mereka harus lebih teliti.

Nova mengambil salah satu paspor dan membukanya. Wajah pria itu menatapnya dengan ekspresi serius.

"Marcus Langley," gumamnya. "Tapi lihat ini... ada empat paspor lain dengan wajah yang sama tapi nama berbeda."

Axel mengambil salah satunya dan membacanya. "Jonathan Pierce."

Nova memeriksa yang lain. "David Crowley."

"Michael Lannister," gumam Axel, mengerutkan kening. "Orang ini punya banyak identitas."

Nova menatap Axel dengan serius. "Orang normal tidak punya paspor sebanyak ini."

Axel mengangguk. "Dia jelas bukan turis biasa. Dia bisa jadi mata-mata, penipu, atau penjahat."

Nova menghela napas dan terus mencari di dalam koper. Dia mengeluarkan amplop cokelat besar. "Apa ini?"

Axel mengambilnya dan dengan hati-hati membukanya. Di dalamnya, ada peta tua, beberapa foto, dan selembar kertas kecil dengan catatan tulisan tangan.

Nova membuka peta. "Ini... peta pulau ini," katanya pelan.

Axel menyinari peta dengan cahaya dari korek apinya. Beberapa tempat dilingkari dengan warna merah.

Nova menunjuk salah satu tanda. "Ini tempat kita sekarang."

Axel menunjuk tanda lain. "Dan ini... apa ini? Pangkalan?"

Nova membaca catatan kecil di sudut peta. "Situs utama – kuncinya ada di dalam brankas. Hati-hati dengan mereka."

Dia menatap Axel. "Apa artinya itu?"

Axel menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Tapi jelas Marcus Langley sedang mencari sesuatu di pulau ini."

Nova mengambil foto-foto dari amplop. Foto-foto itu menunjukkan reruntuhan, gua, dan... sesuatu yang tampak seperti bunker bawah tanah.

Axel dan Nova saling bertukar pandang. "Kalau ini nyata, berarti pulau ini menyimpan lebih dari sekadar pasir dan pohon palem," kata Nova.

Axel mengangguk. "Dan orang-orang yang menyerang kita... mungkin mereka mengejar hal yang sama."

Sementara itu, di tempat lain di pulau itu, seorang pria berjaket hitam berdiri di antara pepohonan. Dia memegang teropong kecil, mengamati Axel dan Nova dari kejauhan.

Dia menekan tombol di radio di sakunya. "Mereka sudah menemukan koper itu."

Sebuah suara kasar menjawab melalui radio. "Terus awasi mereka. Kalau mereka menemukan bunker itu, kita harus sampai di sana lebih dulu."

Pria itu menatap gua tempat Axel dan Nova bersembunyi dan menyeringai. "Mereka tidak akan jauh."

Kembali di gua, Nova menatap Axel. "Jadi, sekarang apa?"

Axel menarik napas dalam-dalam. "Kita punya dua pilihan."

Nova mengangkat alis. "Aku benci kalau kita cuma punya dua pilihan. Kenapa tidak pernah ada pilihan ketiga?"

Axel terkekeh, lalu kembali serius. "Pertama, kita bisa mencari tempat aman dan bersembunyi sampai bantuan datang—kalau bantuan itu pernah datang."

Nova melipat tangannya. "Dan yang kedua?"

Axel melihat peta lagi. "Kita pergi ke lokasi yang ditandai di peta ini... dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di pulau ini."

Nova menghela napas. "Jujur aku lebih suka pilihan pertama. Tapi aku tahu kita tidak bisa hanya duduk diam."

Axel tersenyum tipis. "Jadi kita pergi?"

Nova mengangkat bahu. "Kalau kita mati, aku akan menghantuimu di akhirat."

Axel terkekeh. "Dicatat."

Saat cahaya fajar pertama muncul, mereka keluar dari gua. Mereka akan mencari jawaban. Atau mati mencobanya.