Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Fatum; Tenebrist

🇮🇩Rama_D_1524
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
136
Views
Synopsis
Di sebuah planet bernama Renant, seluruh makhluk dari berbagai ras—troll, elf, manusia, dwarf, wildbeast, dan goblin—hidup dengan damai. Hal itu dibuktikan dengan kota Syslodia, yang dielukan sebagai jantung para ras, dimana seluruh bangunannya merupakan gabungan keunikan dari seluruh ras. Semua ras hidup di sini dengan damai dan telah melewati dunia modern; kini semuanya dimudahkan oleh kemampuan unik seperti sihir yang muncul melalui fatum. Beberapa ras memilih kembali ke konsep pertengahan abad zaman dulu, sebagian lainnya memilih untuk beradaptasi di dunia yang telah mengalami pergeseran budaya akibat munculnya fatum. Tetapi sayangnya, dimana ada utopia pasti ada distopia. Stark—pejuang dari desa Tanpa Nama yang belum pernah melihat dunia luar, Elijah—mantan bangsawan bertubuh besar, Lyra—petinggi Elf dari keluarga Vedera yang ingin mengubah prasangka buruk, dan Tenebrist—wanita dengan ingatan hanya satu tahun terakhir, disatukan oleh sebuah misi yang bagi orang lain tampak menjijikkan; menolong goblin yang hilang. Perjalanan mereka berujung pada sebuah misteri yang diam-diam melanda Renant, sudah sejak lama. Ini adalah cerita tentang bagaimana mereka menemukan kejanggal demi kejanggalan alih alih kebenaran. Ini adalah cerita tentang dunia yang ditinggalkan Nephilim; sosok pahlawan maha kuat yang tiba-tiba datang dan menghentikan The Great War—Perang Besar—tiga abad lalu, kemudian menghilang secepat ia datang. Ini adalah cerita tentang bagimana perjanjian damai yang tercipta semenjak Perang Besar diam-diam sirna. Ini adalah cerita tentang perjuangan dia yang telah lama mati di Tanah Tak Bertuan.
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1: Pertaruhan Tahap Satu

Pada pagi yang sejuk di Syslodia, ibu kota luas di planet Renant. Dikenal sebagai "Jantung Para Ras," Syslodia sering dipuji sebagai kota utopia—contoh gemilang atas harmoni dan kerja sama di antara para penghuni planet yang beragam. Di sini, arsitekturnya mencerminkan kesatuan yang diimpikannya: menara ramping milik elf berdiri di samping bangunan kokoh karya dwarf, sementara pasar goblin yang ramai tersembunyi di bawah tanah, di balik bayang-bayang kastel manusia yang megah. Kota ini dipenuhi aktivitas; para pedagang menjajakan barang dagangan mereka, para turis saling tawar-menawar, dan para penghibur menghibur kerumunan di jalanan berbatu. Kota ini selalu ramai, penuh dengan berbagai ras yang beraktivitas di jalan-jalan sempitnya. Ras elf dengan langkah elegannya berjalan beriringan dengan beastman yang biasa bekerja keras tanpa mengenal lelah. Di sudut-sudut jalan, suara tawa anak-anak troll terdengar, sementara para manusia dan dwarf sibuk dengan alat mereka, memperbaiki atau menciptakan sesuatu, sesekali dengan sihir. Sihir, telekinesis, dan kemampuan unik lainnya sering kali terlihat di udara, saling bersinggungan dalam harmoni yang aneh namun menenangkan. Kadang ada juga beberapa orang dari beragam ras yang terlihat berkomunikasi dengan telepati. Sesekali akan ada anak kecil nakal yang sengaja melaju cepat menggunakan sihir angin, tetapi orang tuanya menghentikannya dengan sihir tanaman yang merambat ke kaki anak tersebut. Suara riuh dari segala macam kerumunan itu selalu melambangkan kedamaian bahagia yang dijaga dengan susah payah.

Namun, di balik tampilan nan ideal ini, terdapat ketegangan yang terselubung, seperti pengingat tak bersuara akan luka yang ditinggalkan oleh The Great War – Perang Besar — tiga ratus tahun lalu dan prasangka pahit yang masih membekas di hati banyak orang.

Tiga abad lalu, Renant adalah dunia yang sangat mirip dengan Bumi di masa kejayaannya. Langitnya penuh dengan pesawat yang melintas, kota-kotanya dipenuhi dengan gedung pencakar langit, dan kehidupan modern didorong oleh teknologi. Telepon genggam, kendaraan bermotor, dan senjata militer adalah simbol kemajuan. Tetapi dunia modern itu juga dipenuhi dengan peperangan tiada henti oleh seluruh ras. Elf dan Troll seringkali menjadi musuh bebuyutan, saling bantai satu sama lain. Manusia, dengan keegoisannya, berusaha menaklukan seluruh dunia. Wildbeast dan Dwarf juga turut serta dalam peperangan berdarah dingin itu. Semua saling bantai, semua saling rampas. Tidak ada yang benar ataupun salah, yang ada hanyalah menang atau kalah. Dari seluruh ras itu, yang paling kejam dan ganas adalah goblin. Goblin tidak pernah mengambil tawanan perang, ia selalu membunuh dan menodai siapapun lawannya, tanpa terkecuali, tanpa istirahat, tanpa kenal ampun. Namun, semua itu sirna ketika keberkahan, yang kemudian disebut fatum, tiba.

Dalam satu hari yang misterius, di tengah-tengah Perang Besar, semua ras di Renant menerima fatum—simbol bercahaya yang muncul di tubuh mereka—masing-masing memberikan satu kemampuan unik. Beberapa mampu mengendalikan salah satu elemen seperti api, yang lain bisa membaca pikiran, terbang melintasi langit, atau bahkan melintasi ruang dengan teleportasi. Bersamaan dengan munculnya fatum dan sosok maha kuat sang pemberi fatum itu, Perang Besar berhenti. Berdasarkan catatan sejarah, ada cerita yang lebih dalam mengapa Perang Besar bisa terhenti, dan siapa sebenarnya si pemberi fatum.

Pada awalnya, dunia bingung. Kemampuan ini mengguncang struktur masyarakat modern. Siapa yang membutuhkan transportasi jika seseorang bisa terbang? Siapa yang membutuhkan pemanas ruangan jika mereka bisa memanggil api dari udara? Bahkan persenjataan militer kehilangan relevansinya ketika individu dengan fatum mampu menghancurkan tank hanya dengan satu gerakan tangan. Segala bentuk transaksi dan daya jual beli barang ataupun jasa perlahan juga ikut berubah, beradaptasi dengan kemampuan unik yang dimilik masing-masing individu. Untuk apa membayar mahal listrik ketika ada seseorang dengan kemampuan elemen listrik dapat memberikan persediaan listrik dengan murah, atau bahkan gratis?

Kehidupan di Renant mulai berubah. Teknologi yang dulu mengikat mereka perlahan ditinggalkan, dan budaya baru mulai tumbuh. Ras-ras yang sebelumnya hidup terpisah mulai mencari cara untuk bekerja sama, menyadari bahwa kekuatan unik mereka hanya bisa berkembang jika mereka bersatu. Mereka mulai membangun ulang peradaban yang sempat porak poranda akibat Perang Besar. Syslodia kemudian lahir sebagai simbol persatuan ini—sebuah kota tempat ras elf, manusia, dwarf, wildbeast, troll, dan goblin hidup berdampingan.

Atau setidaknya begitulah yang terlihat.

Di sudut sebuah tavern remang-remang bernama The Rusty Keg, Stark duduk di kursi kayu yang goyah sambil memegang tankard berisi bir. Wajahnya muda, penuh semangat, dengan sepasang mata hitam tajam yang memancarkan tekad dan rambut silver pendek kebiruan yang tersisir cukup rapi. Kemeja biru gelapnya terlihat longgar, dan kemeja itu dirapikan ke dalam celana kain hitam flexibel, lalu celana itu dirapikan ke dalam sepatu boot coklat tua bertali. Meskipun usianya mungkin tidak lebih dari pertengahan dua puluhan, sikapnya yang percaya diri dan tubuhnya yang atletis menunjukkan pengalaman bertarung yang tidak bisa diremehkan. Terlebih dengan sebuah katana tersarung yang terselip di pinggang kanannya. Pria penuh semangat dan percaya diri itu menatap papan misi di dinding dengan penuh minat, sesekali meminum birnya lagi, membiarkan suara bising para petualang di sekelilingnya mengalun seperti latar belakang.

Papan itu dipenuhi pengumuman—dari perburuan monster hingga permintaan bantuan mencari harta karun. Tapi di sudutnya, ada selebaran lusuh yang tampaknya hampir dilupakan: "Dicari: Bantuan untuk menemukan anak goblin yang hilang. Tolong, siapa pun yang peduli." Tulisan itu hampir kabur, tinta buram seolah-olah air mata atau hujan pernah menetes di atasnya. Rusty Keg saat itu dipenuhi oleh kumpulan petualang yang terlihat sangat berpengalaman, seperti dwarf dengan janggut panjangnya, troll dengan tubuh besarnya, ataupun manusia dengan otot kekarnya. Tetapi seperti benar-benar tidak ada yang ingin menyentuh selebaran misi itu. Mereka lebih memilih untuk duduk mengobrol, membicarakan kejayaan mereka, dan menikmati segelas besar bir yang tampak telah tumpah sebagian ke meja hitam di depan mereka.

Rasa penasaran Stark tumbuh. Dia tahu betul bagaimana rasanya diabaikan; hal itu mengingatkannya pada hari-hari sulit di masa kecilnya. Saat tangannya hendak meraih selebaran itu, sesosok figur berjubah gelap tiba-tiba berdiri di sampingnya.

"Aneh, bukan? Tak ada yang peduli untuk membantu, sementara papan ini penuh dengan tantangan yang lebih sepele," gumam suara perempuan yang lembut namun tegas. Stark menoleh dan menyadari ada seorang wanita—atau mungkin gadis—yang tiba-tiba ada di dekatnya.

Tubuhnya diselimuti oleh jubah hitam pekat yang memancarkan aura misterius. Garis-garis emas yang rumit mengalir dari pergelangan tangannya, menyusuri lengan dengan elegan, lalu bertemu di ujung tudung yang menutupi sebagian besar wajahnya. Tudung itu cukup besar, melingkupi kepalanya seperti perlindungan dari dunia luar, hanya memperlihatkan kilauan rambut hijau toska dengan poni sakura pink yang mencolok namun tetap memancarkan keanggunan, hampir menyentuh mata hijau cerahnya. Jubah itu bagian depannya memanjang hingga ke paha—seperti mantel panjang, memperlihatkan sebagian paha dan lutut cerahnya dari arah depan. Bagian belakangnya memanjang hingga hampir ke mata kaki, seperti jubah bersayap yang bagian bawahnya melebar. Kain jubahnya tampak berat namun aslinya ringan dan lembut, bergoyang pelan mengikuti setiap langkahnya, memberikan kesan bahwa dia selalu siap untuk bergerak tanpa suara. Kakinya dilindungi oleh sepasang sepatu boot tinggi—hingga tepat di bawah lutut—berbahan kulit coklat muda dengan sedikit aksen putih yang memeluk betisnya dengan sempurna. Sepatu itu memiliki desain minimalis tanpa hiasan mencolok, tetapi sol hitamnya terlihat kokoh, cocok untuk perjalanan panjang di medan yang sulit.

Dia tidak berbicara banyak, hanya diam dalam pengamatannya, setiap gerakannya penuh kehati-hatian dan direncanakan dengan cermat. Sosoknya seperti bayangan yang sulit dipahami, namun sulit untuk diabaikan. Ada tongkat kayu panjang tanpa ujung runcing disandarkan di bahunya, seperti tombak tanpa mata.

"Siapa kau?" tanya Stark, setengah terkejut, setengah waspada.

"Tenebrist," jawab wanita itu singkat. Tidak ada senyuman, tidak ada emosi yang terlihat. Namun, ada sesuatu yang anggun dan misterius darinya, seolah dia menyimpan dunia di balik matanya yang gelap. Stark baru menyadari bahwa wanita itu juga mengenakan syal merah di lehernya.

Sebelum Stark bisa menjawab, suara langkah berat terdengar dari belakang mereka. Seorang pria bertubuh besar dengan armor ungu gelap berhenti di dekat mereka

 Seorang pria bertubuh besar berdiri tegap dengan tinggi sekitar dua meter, mengenakan armor megah berwarna ungu tua yang memancarkan aura kebangsawanan. Ukiran-ukiran rumit menghiasi setiap bagian armor, menambah kesan elegan sekaligus tangguh. Armornya sepenuhnya menutupi tubuhnya, menyisakan wajah yang memperlihatkan kerutan halus dan bekas luka—tanda perjalanan panjang dan pertempuran yang telah ia lalui. Meskipun demikian, matanya lembut, berwarna hijau zamrud, memancarkan kebijaksanaan dan kebaikan yang mendalam, seolah mampu menenangkan mereka yang berada di dekatnya. Di punggungnya tergantung sebuah perisai besar, kuat dan kokoh, seolah mampu melindungi dirinya dari bahaya apa pun. Perisai itu memiliki ukiran yang senada dengan armor, mencerminkan harmoni dalam desain perlengkapannya. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah gada satu tangan yang berat, ujungnya berbentuk seperti kepala gada berbilah, memberi kesan kekuatan yang tak tertandingi. Setiap gerakannya menunjukkan kewaspadaan dan kesiapan, tetapi tidak kehilangan ketenangan seorang pemimpin yang bijaksana. Sosok ini seperti paduan sempurna antara kekuatan fisik, keagungan, dan kebijaksanaan,

"Apa yang sedang kalian lihat?" tanyanya dengan suara dalam yang menenangkan, meskipun tubuhnya besar cukup untuk membuat siapa pun merasa terintimidasi.

"Ini," jawab Stark, menyerahkan selebaran itu kepada pria tersebut.

Elijah mengambil selebaran itu dan membaca tulisan di dalamnya perlahan, alisnya berkerut. "Seseorang yang putus asa meminta bantuan… dan tidak ada yang peduli?" Dia menghela napas panjang, menatap kedua orang di depannya. "Ini salah satu alasan aku berhenti jadi bangsawan. Dunia ini penuh orang yang mengabaikan mereka yang benar-benar membutuhkan."

Stark tersenyum kecil. "Aku menyukaimu, pria besar. Kita butuh lebih banyak orang sepertimu. Aku Stark, kamu?" Stark menjulurkan tangan.

Elijah mengangguk dan membalas juluran tangan tersebut. "Elijah," katanya pelan. "Jadi, kau ingin mengambil misi ini?"

"Aku sudah bersumpah untuk membantu siapa pun yang membutuhkan," kata Stark dengan antusias.

Tenebrist memandang mereka berdua. "Aku juga ingin ikut. Meski aku tak tahu banyak tentang diriku sendiri, aku tahu satu hal—aku tidak bisa hanya berdiri diam melihat ini."

Stark mengangkat alis. "Tidak tahu tentang dirimu sendiri?"

"Amnesia," jawab Tenebrist datar. "Aku hanya punya ingatan satu tahun terakhir. Sisanya… kosong."

Ada jeda singkat, di mana Stark dan Elijah bertukar pandang. Seorang wanita, tiba-tiba datang, mengaku amnesia, mengaku tertarik dengan misi ini. Sejujurnya Stark tidak terlalu percaya, tetapi ia merasa belum perlu mempermasalahkan itu. Lagipula, wanita ini ingin menolong. Apa salahnya? Stark menepuk bahu Tenebrist. "Baiklah, kalau begitu. Mungkin ini bukan hanya quest untuk menemukan anak goblin. Mungkin ini juga quest untuk menemukan sedikit bagian dari dirimu."

Tenebrist mengangguk kecil, dan seolah tanpa sadar, dia mengusap syal merahnya, satu-satunya benda yang tampaknya memiliki arti emosional baginya.

Ketiganya sepakat untuk bekerja sama. Mereka duduk di meja kayu tua di sudut tavern itu, membentangkan peta lusuh yang menyertai selebaran quest. Tenebrist, dengan kecermatan yang tak terduga, menunjukkan rute yang paling aman. Berdasarkan keterangan di misi tersebut, si Goblin terakhir terlihat berada di Cavern of Wailing Shadows, dan cara tercepat serta teraman untuk ke sana adalah dengan melalui Forest of Gloom. Jari telunjuk Tenebrist bergerak dengan anggun namun tegas seirig ia menjelaskan dan menandai beberapa tanda di peta lusuh itu. Elijah menambahkan masukan tentang jalur yang mungkin memiliki sumber air, sementara Stark, dengan semangat muda yang tak terbendung, memastikan mereka juga merencanakan waktu istirahat yang cukup. Stark tidak pandai dalam urusan perencanaan seperti ini, jadi dia hanya bisa mempercayakannya kepada dua orang yang sepertinya baru saja menjadi rekannya. Ah, momen ini yang aku tunggu-tunggu. Batinnya sambil tersenyum lebar, menatap Tenebrist dan Elijah yang sedang sibuk mengatur perencanaan rute.

Setelah perencanaan selama beberapa jam, mereka telah siap. Stark berjalan paling depan, mengenakan kemeja biru gelap dan celana hitam yang fleksibel, dengan katana tergantung di pinggangnya. Elijah mengikuti di belakang, langkahnya mantap, armor ungu gelapnya berkilau di bawah cahaya matahari. Di tengah mereka, Tenebrist berjalan dengan tenang, berjubah hitam yang melambai tertiup angin, tongkat panjangnya terayun di sisi tubuhnya. Mereka keluar dari Rusty Keg, menyusuri kota Syslodia yang sedang ramai oleh beragam ras dengan beragam aktivitas—ada yang berbelanjan, ada yang bermain, ada yang berjalan bersama—menuju gerbang utama. Di sisi kiri kanan mereka dipenuhi bangunan-bangunan, sebagian tingkat satu sebagian tingkat dua, dan di depan bangunan itu cukup penuh dengan lapak penjualan. Mulai dari buah-buahan, perlengkapan senjata, kendaran aneh yang perlu energi sihir, semua ada. Tetapi mereka mengabaikan hal-hal tersebut. Mereka tetap berjalan hampir beriringan, meninggalkan kota Syslodia melalui gerbang utama yang dijaga oleh dua penjaga ras wildbeast.

Saat mereka berjalan menuju Forest of Gloom, Tenebrist sekali lagi mempelajari isi quest yang mereka ambil termasuk rute yang harus mereka tempuh. Dari Kota Syslodia, mereka harus bergerak ke arah timur, melewati Forest of Gloom, kemudian menuju Goa besar. Berdasarkan catatan sejarah, di tempat-tempat terpencil dan gelap yang jarang dikunjungi, seperti goa, terdapat semacam makhluk aneh, seperti monster buatan hasil gabungan eksperimen. Misalnya seekor kelelawar dengan buntut bunglon, atau ular dengan kaki dan kepala buaya. Goa-goa seperti ini yang sering menjadi masalah utama di dalam misi-misi yang biasa terpampang di papan pengumuman di Rusty Keg. Sedangkan untuk Forest of Gloom, tidak banyak informasinya selain beberapa dugaan, salah satunya adalah tempat itu dulunya adalah tempat tinggal ras naturia.

Tenebrist, dengan suaranya yang tenang namun tajam, menceritakan asal-usul hutan itu. "Dulu, Forest of Gloom adalah tempat tinggal ras naturia," katanya. "Ras tanaman indah dengan kebijaksanaan tanpa tanding. Tapi saat Perang Besar terjadi, mereka musnah. Hutan ini adalah satu-satunya saksi bisu atas tragedi mereka. Meskipun terang dan penuh tanaman indah, hawa kelam yang mencekam membuatnya dinamai 'Forest of Gloom'." Yang lain terheran, bukankah Tenebrist amnesia? Tenebrist berkata dengan pelan dan sedikit datar, lantas kalau amnesia apakah tidak bisa belajar lagi?

Perjalanan mereka berlanjut dalam banyak keheningan hingga akhirnya mereka memasuki Forest of Gloom. Langkah mereka terasa semakin berat, bukan karena medan yang sulit, melainkan suasana yang menyelubungi mereka. Cahaya matahari yang menembus dedaunan menciptakan pola-pola keemasan di tanah, namun bukannya membawa ketenangan, sinar itu justru terasa seperti mata-mata yang mengawasi mereka dari segala arah. Pohon-pohon besar dengan cabang yang melengkung seperti tangan melambai berdiri berjajar, seakan-akan sedang membentuk lorong yang tak berujung. Stark berjalan paling depan, menggenggam erat gagang katananya. Sesekali, dia melirik ke kanan dan kiri, matanya tajam mengawasi setiap gerakan. "Aku tidak suka tempat ini," gumamnya.

"Tempat ini juga tidak menyukaimu." Jawab Tenebrist dengan nada datar dari belakang, sambil mengetukkan tongkat panjangnya ke tanah.

Stark menoleh ke belakang dengan ekspresi tidak percaya. "Serius? Apakah artinya aku tidak diterima di sini?"

"…. Maaf. Aku niatnya bercanda." Balas Tenebrist, meskipun wajahnya tetap tanpa ekspresi.

Elijah, yang berjalan di tengah dengan perisai di punggung dan gada di tangan kanan, menyeka keringat di dahinya. "Kau harus belajar cara bercanda yang lebih baik. Kalau tidak, kau hanya akan membuat orang seperti Stark... stres."

Stark mendengus, tapi sebelum dia bisa membalas, langkah mereka terhenti. Di depan mereka, akar-akar pohon yang besar menjalar melintasi jalan setapak, membentuk penghalang alami. Daun-daun besar menggantung rendah, dan di antara mereka, terlihat bunga-bunga kecil bercahaya yang memancarkan warna ungu dan biru.

Elijah menatap bunga-bunga itu dengan rasa ingin tahu. "Indah sekali... Apakah ini beracun?"

"Jika kau harus bertanya, jawabannya biasanya ya," jawab Stark cepat sambil menyingkirkan bunga itu dengan ujung katananya.

Namun, saat dia menyentuhnya, bunga itu mengeluarkan suara mendesis pelan, dan asap tipis berwarna merah muda melayang keluar. Mereka semua langsung menahan napas.

"Bagus sekali, Stark," kata Elijah dengan nada sarkastik sambil buru-buru menutup hidungnya dengan kain.

"Bagaimana aku tahu bunga itu akan mendesis seperti ular marah?" Stark membela diri.

"Cukup," kata Tenebrist sambil melangkah maju. "Ini hanya reaksi defensif tanaman. Jangan sentuh apa pun lagi, Stark."

Mereka melanjutkan perjalanan, melangkahi akar-akar pohon dan berusaha menghindari kontak dengan tanaman aneh di sekitarnya. Hutan semakin gelap meskipun hari masih siang. Cahaya yang tadinya menembus dedaunan kini hanya berupa titik-titik kecil yang redup. Jalan setapak di depan mereka tampak seperti membelah kegelapan yang hidup.

"Ini tempat paling aneh yang pernah kukunjungi," kata Stark akhirnya, memecah keheningan.

"Tunggu sampai kau mendengar suara itu," balas Tenebrist.

"Suar—"

Sebelum Stark menyelesaikan kalimatnya, suara tawa samar terdengar dari kejauhan. Tawa itu lembut, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri.

"Aku benci ini," gumam Stark, menggenggam katananya lebih erat.

Elijah mendekat ke Tenebrist, suaranya berbisik. "Kau tahu apa itu?"

"Tidak," jawab Tenebrist. "Dan aku lebih suka tidak tahu."

Perjalanan mereka semakin menegangkan, dengan suara-suara aneh terus mengikuti mereka. Sesekali, Stark berhenti dan berbalik dengan cepat, seolah yakin dia melihat sesuatu bergerak di sudut matanya.

"Jika kau terus begini, aku akan mengira kau takut," kata Elijah dengan nada menggoda.

"Tidak takut, hanya waspada," balas Stark tegas.

Namun, ketika seekor burung kecil tiba-tiba terbang keluar dari semak-semak dengan suara keras, Stark hampir menjatuhkan katananya.

Elijah tertawa kecil. "Ya, sangat waspada."

Akhirnya, setelah apa yang terasa seperti berjam-jam, mereka melihat cahaya terang di kejauhan. Mereka mempercepat langkah, hati mereka dipenuhi harapan untuk keluar dari hutan itu. Saat mereka akhirnya keluar dari Forest of Gloom, matahari yang hangat menyambut mereka, dan suara alam yang normal kembali terdengar.

Stark menghela napas panjang dan menjatuhkan diri di atas rumput. "Kalau aku tidak pernah melihat hutan itu lagi, aku akan sangat bahagia."

Elijah tersenyum kecil, menepuk pundaknya. "Yah, kau melakukannya dengan baik... meskipun aku rasa kau kehilangan beberapa tahun umur karena ketakutan."

Tenebrist, seperti biasa, hanya berdiri diam sambil menatap hutan yang baru saja mereka tinggalkan. "Ini hanya permulaan," katanya dengan nada rendah. "Tempat yang lebih gelap menanti kita."

Jalan berbatu dengan rumput yang mereka tempuh membawa mereka ke perbukitan yang mengarah ke Cavern of Wailing Shadow. Dalam perjalanan, mereka bertemu beberapa ras lain yang juga bepergian, memberikan rasa lega karena menemukan makhluk hidup lain, meski hanya sesaat. Stark tertawa kecil. "Kenapa tempat tujuan kita lagi-lagi terdengar angker?" candanya, mencoba meringankan suasana.

Saat tiba di mulut goa, mereka berhenti untuk bersiap. Goa itu besar, dengan dinding-dinding gelap yang seolah menelan cahaya. Suara angin yang berhembus dari dalam menciptakan gema samar seperti bisikan. "Menurut quest ini, anak goblin itu terakhir terlihat di dalam sini," kata Elijah sambil memeriksa perisainya. Tenebrist mengamati sekeliling dengan tajam, memastikan tidak ada ancaman yang mendekat. Setelah berdiskusi singkat, mereka sepakat untuk bergerak dengan Stark di depan, Elijah di tengah, dan Tenebrist di belakang.

Memasuki goa, mereka disambut oleh kegelapan yang hanya diterangi cahaya kecil dari kristal di dinding. Tak lama, suara gemerisik terdengar, dan dari bayangan muncul makhluk-makhluk aneh. Mereka tampak seperti serigala, tetapi tubuh mereka berupa tulang belulang dengan ekor menyerupai rantai logam. Makhluk-makhluk itu menyerang dengan ganas. Stark bergerak cepat, katana-nya menebas makhluk pertama dengan presisi. Elijah maju, perisainya menahan serangan brutal sebelum dia menghancurkan tengkorak salah satu makhluk dengan gadanya. Tenebrist, dengan gerakan anggun, menggunakan tongkat panjangnya untuk menghalau serangan dan memberikan ruang bagi rekan-rekannya.

Meski kemampuan individu mereka luar biasa, mereka menyadari kekurangan dalam kerja sama tim. "Kita harus lebih sinkron," kata Elijah saat serangan berhenti sementara. Stark mengangguk, mengatur napasnya. "Aku setuju. Tapi untuk saat ini, kita fokus pada misi."

Mereka melanjutkan perjalanan lebih dalam ke goa. Suasana semakin menekan, dan tiba-tiba, mereka merasakan sesuatu yang aneh. Tubuh mereka terasa berat, kaki mereka tidak bisa bergerak. Mereka saling bertukar pandang dengan rasa panik, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Di tengah keheningan itu, suara langkah-langkah berat mulai mendekat dari kegelapan, membuat mereka bersiap menghadapi apa pun yang akan muncul. Suara langkah kaki samar terdengar dari belakang, berirama pelan namun pasti, membuat ketiganya menegang.

Elijah, Stark, dan Tenebrist segera berbalik. Tidak, mereka seharusnya berbalik. tetapi sesuatu menghentikan mereka. Kaki mereka mati langkah, seolah terikat oleh rantai yang tak terlihat. Bayangan kelam yang menjalar dari dinding gua bergerak seperti makhluk hidup, menggeliat dan membelit kaki mereka. Bayangan itu memiliki gigi yang tajam, menancap ke dalam tanah, membuat mereka tak mampu bergerak.

"Kaki ini... seperti tertahan!" geram Stark, mencoba meronta.

"Ini bukan sekadar bayangan," gumam Tenebrist, matanya menyipit. "Ada sesuatu yang mengendalikannya."

Langkah kaki semakin mendekat. Jaraknya tak lagi jauh. Suara itu kini bercampur dengan gema lembut yang membuat suasana semakin mencekam.

"Aku tidak suka ini," kata Elijah dengan suara rendah. Meskipun tubuhnya terikat, tangannya masih bebas. Dengan kekuatan penuh, dia menghempaskan gadanya ke tanah. Dentuman keras menggema, membuat lantai gua bergetar seperti diguncang gempa kecil. Bayangan yang membelit mereka retak dan menghilang dalam sekejap, seolah lenyap oleh kekuatan besar.

Mereka langsung memutar badan, menghadapi suara langkah kaki itu. Namun, tidak ada apa-apa. Lorong di belakang mereka kosong, gelap, dan sunyi. Keheningan yang mendadak terasa seperti perangkap lain.

"Kamu di atas, bukan?!" seru Stark sambil mengangkat pandangan, katananya terhunus. Dia siap menebas apa pun yang mungkin turun dari langit-langit gua.

Tetapi tidak ada. Hanya kegelapan pekat yang menyelimuti.

Lalu, hawa itu datang. Hawa dingin yang mematikan, seperti pedang yang mengiris udara di belakang mereka.

"Sialan! Dari belakang lagi!" geram Stark. Dia berputar dengan cepat, menebas tanpa ragu ke arah hawa tersebut. Namun tebasannya meleset. Sosok itu sudah menghilang, muncul di belakang Stark yang baru saja berbalik. Sebelum Stark sempat bereaksi, sosok itu menghantamnya dengan kekuatan besar. Stark terpental, tubuhnya menghantam dinding gua dengan keras. Dia tidak diberi waktu untuk pulih, sosok tersebut sudah berada di depan stark. Giginya tajam, matanya… tidak ada.

Elijah tidak tinggal diam. Dia melompat ke udara, gadanya siap menghantam makhluk itu dari atas. Namun, sosok tersebut bergerak dengan kecepatan yang mustahil. Ia menghindar dan langsung menyerang Tenebrist.

Tenebrist tampak seperti mati langkah, tidak bergerak sama sekali. Dalam sekejap, sosok itu menembus tubuhnya, tangannya yang berbentuk tombak runcing memotong lengan Tenebrist dengan satu serangan. Darah berwarna gelap menyembur, mata Tenebrist terbelalak.

Sosok itu berhenti, berdiri membelakangi mereka, mengangkat potongan lengan Tenebrist yang tertancap di tangan runcingnya seperti trofi. Tubuhnya tinggi dan ramping, dengan kulit berwarna ungu gelap yang dihiasi semburat merah terang. Semburat itu berdenyut, seperti pembuluh darah yang mengalirkan energi hidup. Tangannya, berbentuk seperti senjata tajam yang berkilauan, memancarkan aura berbahaya. Meski tanpa suara, hawa membunuh yang dipancarkannya terasa nyata, membuat napas mereka tersengal. Ia perlahan memutar badannya. Ia memerhatikan mereka seolah ingin berkata, "Sudah siapkah kalian untuk serangan berikutnya?"

Tiba-tiba sebuah bilah katana, persis seperti milik Stark, menusuk punggung sosok itu dan menembus dadanya. Sosok itu terkejut, tubuhnya bergetar sesaat. Stark masih tidak beranjak sedikitpun, ia berhadapan cukup jauh dari si sosok. Tetapi katana itu jelas-jelas ditusuk dari belakang.

"Bagaimana bisa—" gumam Stark, memegang erat katana di tangannya. Elijah melirik ke depan, tempat di mana Tenebrist yang kehilangan lengan tadi seharusnya berdiri. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Hanya cairan transparan yang menetes ke tanah, menguap perlahan. Stark tidak membuang waktu. Dia menerjang sosok itu, melompat tinggi dengan katana terangkat. Dengan satu tebasan penuh tenaga, dia memenggal kepala makhluk itu. Namun, meski kepalanya terlepas, sosok tersebut tidak langsung mati. Tubuhnya bergetar, memancarkan aura sakit yang menyiksa. Tidak ada suara rintihan, tetapi gerakannya cukup untuk menunjukkan rasa sakit yang luar biasa.

"Dia belum mati!" seru Stark.

Elijah segera melompat, mengalirkan sihir es ke perisainya. Dengan kekuatan penuh, dia menancapkan perisai itu ke tanah di bawah sosok tersebut. Es menyebar dengan cepat, membekukan tanah, tubuh, dan sisa-sisa makhluk itu. Dalam hitungan detik, sosok tersebut membeku sepenuhnya, seperti patung kristal yang menyeramkan. Mereka bertiga terdiam, mengatur napas. Stark akhirnya mencari sosok yang menghunuskan katana ke punggung si sosok seram itu.

"Halo." kata Tenebrist.

"Penjelasan sekarang," desak Stark, nada suaranya tajam.

Tenebrist tersenyum kecil. "Yang tadi kau lihat, itu hanya doppelganger. Aku punya kemampuan untuk menciptakan tiruan diriku, lengkap dengan senjata. Itu bukan aku yang kehilangan tangan. Aku hanya menunggu waktu untuk menyerang dari bayangan."

Stark menghela napas panjang, menahan frustrasi. "Kau harusnya memberi tahu kami lebih awal."

"Dan menghilangkan kejutan? Itu tidak akan seefektif ini," jawab Tenebrist ringan. Sebenarnya mereka tidak menyangka kalau akan berhadapan dengan makhluk yang menyeramkan. Seandainya mereka tahu, mereka pasti akan meluangkan waktu untuk membicarakan cara bertarung masing-masing.

Elijah mendengus, mengalihkan pandangannya ke sosok yang kini membeku di tengah gua. Ia menghancurkan sosok beku tersebut. "Kejutan atau tidak, ini belum selesai. Makhluk ini terlalu aneh untuk dianggap hanya sebagai penjaga gua biasa, dan kita masih harus menyusuri tempat ini. Itu kalau memang si goblin berada di sini."

Setelah memastikan sosok yang telah menjadi es benar-benar hancur oleh serangan terakhir Elijah, mereka melanjutkan perjalanan di dalam gua yang dingin dan gelap. Misi mereka sederhana namun penting: mencari goblin yang hilang. Tidak ada jaminan goblin tersebut benar-benar berada di sini, tetapi gua ini adalah satu-satunya petunjuk yang mereka miliki.

Langkah kaki mereka menggema, sesekali diselingi suara tetesan air dari stalaktit. Namun perjalanan itu tidak tenang. Di setiap tikungan, ancaman baru muncul. Serigala tengkorak dengan mata berwarna merah menyala menerkam dari bayangan, tetapi Elijah menghempaskan mereka dengan ayunan gadanya yang penuh tenaga.

"Sepertinya gua ini tidak pernah sepi," ujar Stark sambil membersihkan bilah katananya dari serpihan tulang tengkorak.

"Kita belum melihat apa pun yang lebih menyeramkan dari makhluk es tadi. Jadi tetap waspada," balas Tenebrist dengan nada tenang.

Di tikungan berikutnya, seekor tengkorak dengan ekor panjang seperti serigala melompat ke arah mereka. Stark mengayunkan katananya dengan kecepatan kilat, memotong makhluk itu menjadi dua sebelum sempat menyentuh mereka. Mereka terus bergerak, hingga akhirnya menemukan sesuatu yang berbeda. Dinding gua di depan mereka penuh dengan goresan dan bekas cakar, tetapi ada tanda kehidupan: sisa-sisa makanan, jejak kaki kecil, dan kain robek.

"Elijah, lihat ini," ujar Stark sambil memungut kain tersebut.

"Itu kain goblin," kata Elijah, mengenali teksturnya. "Dia pasti ada di dekat sini."

Mereka menyusuri jejak tersebut hingga tiba di sebuah ceruk kecil yang tersembunyi di dinding gua. Di dalamnya, seorang goblin duduk gemetar, matanya yang besar penuh ketakutan. Goblin itu melompat berdiri, mengangkat sebuah batu kecil sebagai senjata. "Pergi! Aku tidak akan menyerah tanpa perlawanan!"

Elijah mengangkat tangannya, menunjukkan bahwa mereka tidak bersenjata. "Kami tidak berniat menyakitimu. Kami di sini untuk menyelamatkanmu."

"Bohong!" teriak goblin itu, matanya melotot penuh ketakutan. "Semua makhluk yang datang ke sini hanya ingin membunuhku!"

Tenebrist maju perlahan, suaranya lembut namun tegas. "Jika kami ingin membunuhmu, kau sudah mati sejak tadi. Kami hanya ingin membawamu keluar dari sini."

Butuh beberapa saat hingga goblin itu mulai percaya. Ia seperti mengenang masa lalu, atau mengenang mimpi buruk. Tidak jelas, tetapi wajahnya tampak menimbang sesuatu dengan takut. Sempat terlintas di pikirannya untuk kabur, tetapi lalu apa? Kabur itu lah yang membuatnya ke tempat seperti ini. Ia telah mempelajari, dengan cara keras, bahwa tidak ada satu ras pun yang dapat dipercaya. Tiga orang di depannya ini pun seperti tidak bisa dipercaya. Tetapi setidaknya, mereka berbicara baik-baik. Setidaknya, kalau mereka memang berniat jahat, mereka pasti sudah melakukannya dari tadi. Gobiln itu tampak masih sangat takut, masih sangat menyimpan sesuatu yang ia belum kuasai. Akhirnya, setelah merasa bahwa mungkin saja tidak ada niat jahat dari mereka, dia menjatuhkan batu yang dipegangnya. "Baiklah... aku ikut. Tapi jangan harap aku mempercayai kalian sepenuhnya."

Setelah keluar dari Cavern of Wailing Shadows, mereka disapa oleh sinar mentari yang terpapar sangat menyilaukan. Mungkin juga dikarenakan mereka menghabiskan watku cukup lama di Goa. Stark berusaha menutupi silaunya matahari dengan tangannya. Elijah sepertinya sudah terbiasa, ia berjalan dengan santai. Tenebrist menundukkan tudungnya. Si goblin tetap berjalan bersama mereka. Selama perjalanan, mereka mulai membicarakan kehebatan satu sama lain, misalnya Stark yang kagum dengan Elijah karena gerakannya cepat meskipun tubuhnya besar dan peralatannya berat. Elijah mengatakan itu tidak sebanding dengan Tenebrist yang ternyata bisa menciptakan doppelganger, duplikat dari makhluk ataupun benda lain. Tenebrist mengakui bahwa sebenarnya dia sangat terbantu dengan kehadiran Elijah dan Stark. Tenebrist tidak dapat bergerak dan mengambil tindakan cepat. Makanya dia harus selalu waspada. Dia menciptakan doppelganger juga merupakan salah satu bentuk kewaspadaannya. Berbeda dengan Stark dan Elijah yang bisa sigap dan bereaksi cepat dengan perubahan kondisi yang tiba-tiba.

Seiring mereka berbicara, Stark menyadari bahwa si goblin sedari tadi berdiam diri. Jadi Stark mencoba mengajaknya berbicara.

"Jadi, gimana caranya kamu bisa bertahan selama ini disana? Hebat lho!" Puji stark, berusaha membuat goblin lebih terbuka. Tetapi si goblin tidak menjawab. Stark melihat Elijah dan Tenebrist, tersirat berusaha meminta tolong agar dapat mencairkan suasana tegang goblin. Tetapi mereka berdua tidak mengerti maksud tatapan stark, jadi dia berusaha mencari topik percakapan lain.

"Oh ah… Nama kamu?" Namun si goblin juga masih tidak menjawab.

"Aku Stark. Kalau dia…." Stark mengarahkan tangannya menunjuk Elijah. Elijah menatap Stark. Ia tidak mengerti maksudnya. "Kenalkan namamu, Elijah." Kata Stark.

Elijah memiringkan kepalanya. "Tapi kamu sudah tahu." Stark menghela nafas, maksud dia kenalkan untuk si goblin. Tolonglah ajak bicara si goblin penyendiri ini. Tetapi bahkan dengan usaha itu pun si goblin benar-benar tidak berbicara. Ia melihat Tenebrist yang sedang mempelajari isi quest, memastikan bahwa tidak ada permintaan dari misi yang terlewat. Si goblin melihat tulisan 'menghilang'. Seketika ia geram dan sedikit tidak terima dengan itu. Meskipun awalnya enggan, goblin tersebut akhirnya mulai membuka diri.

"Aku tidak menghilang," katanya pelan. "Aku kabur."

"Kabur? Kenapa?" tanya Stark.

Goblin itu terdiam sesaat, lalu mengangkat lengannya, menunjukkan bekas luka yang besar dan menghitam. "Karena ini. Besi panas. Majikanku menancapkannya ke tanganku karena aku menjatuhkan satu piring makanannya. Goblin seperti kami dianggap tak punya hak asasi. Kami diperbudak, disiksa, diperlakukan lebih buruk dari binatang."

Mata Stark dan Elijah mengeras, tetapi mereka tidak berkata apa-apa, membiarkan goblin itu melanjutkan.

"Aku tahu tidak ada yang peduli. Jadi aku memanfaatkan satu-satunya kesempatan untuk kabur. Aku pura-pura mati. Ketika mereka membuka kurungan untuk membakar tubuhku, aku lari secepat mungkin." Goblin itu terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang bergetar. "Kalau saja Nephilim masih di sini, semua ini tidak akan terjadi." Perbudakkan sudah sangat dilarang keras, tetapi sayangnya masih ada yang merasa berani membangkang. Apalagi semenjak kepergian Nephilim.

Tiga abad lalu, Perang Besar melanda seluruh dunia. Ras-ras yang ada—manusia, elf, troll dwarf, wildbeast, goblin—terlibat dalam konflik berdarah yang tak berkesudahan. Namun, di tengah kekacauan itu, muncul Nephilim, sosok yang mendekati dewa. Nephilim adalah perpaduan dari berbagai ras yang menginginkan perdamaian. Ia muncul dengan kekuatan luar biasa, membawa harapan di tengah kehancuran. Untuk menghentikan perang, Nephilim terbang ke tengah medan pertempuran dan melepaskan cahaya terang menyilaukan. Cahaya tersebut sangat luas, sangat cepat, dan memberikan sejenis tanda pada seluruh ras, masing-masing pada anggota tubuh yang berbeda: Ada yang di punuk, di punggung, di tangan, di kaki, ataupun anggota tubuh lainnya. Tanda itu kemudian dikenal dengan sebutan fatum. Fatum memberikan kemampuan unik kepada setiap ras, sesuai dengan jati diri mereka. Namun, fatum juga menjadi pengingat. Siapa pun yang menggunakan kekuatannya untuk menghancurkan perdamaian akan dihukum tanpa ampun. Ketika para pemimpin ras menolak dan mencoba membunuh Nephilim, ia membuktikan kekuatannya. Dengan satu gerakan tangan, ia menghancurkan mereka menggunakan Fatum mereka sendiri. Kejadian itu menjadi peringatan keras bagi semua orang. Mereka semua tunduk menyembah, tetapi Nephilim berteriak menolak. Nephilim tidak menginginkan penyembahan. Ia hanya ingin menghentikan perang dan menciptakan dunia yang damai. Perang Besar seketika berhenti. Sebagian karena takut akan kekuatan Nephilim, sebagian lainnya merasa lega karena sebenarnya memang tidak menginginkan perang. Namun sejak saat itu Nephilim menghilang.

Stark berbicara sambil menatap langit yang terbuka. "Harus kuakui, fatum ini benar-benar membantu. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa sihir atau kemampuan kita sekarang."

Elijah mengangguk. "Benar. fatum membuat kehidupan menjadi sangat mudah. Musim dingin tidak lagi mengancam, karena kita bisa menghangatkan rumah dengan sihir. Tidak perlu membayar mahal untuk listrik atau transportasi." Baginya, sudah banyak hal dari masa modern yang tidak relevan semenjak terciptanya fatum. Setelah tiga abad, perubahan budaya sangat tampak di Planet Renant ini. Orang-orang sudah tidak lagi menggunakan pesawat atau kapal untuk bepergian. Tidak perlu lagi membayar untuk listrik, membeli barang-barang tersier seperti mesin penghangat atau pendingin, dan bahkan senjata militer juga sangat berubah. Semua sekarang diatasin, diakalin, dan disesuaikan oleh kemampuan dari fatum. Setelah tiga abad, seluruh ras telah beradaptasi.

"Bahkan makanan lebih mudah diolah," tambah Tenebrist. "Sihir memasak atau teknik bertani yang ditingkatkan membuat kelaparan hampir tidak ada lagi."

"Tapi apanya yang menjadi pengingat? Dia diam saja ketika ras goblin dijadikan budak dan disiksa tanpa ampun!" si goblin menggenggam tangannya, berusaha menahan kepahitan dan kemarahan yang selama ini dia alami. Yang lain hanya bisa berdiam diri. Memang cukup aneh Nephilim, berdasarkan catatan sejarah, langsung mehilang setelah memberikan Fatum. Seandainya pun dia dapat mengawasi dari jauh layaknya tuhan, mengapa ia tidak bertindak ketika goblin disiksa, mengingat tujuannya adalah perdamaian seluruh ras. Kemungkinan terbaiknya yang bisa mereka pikirkan sekarang adalah, Nephilim hanya akan bertindak ketika terjadi Perang Besar yang lain. Kemungkinan terburuknya, entah bagaimana caranya tetapi Nephilim memang sudah tidak ada, sehingga kalau ada Perang Besar terjadi lagi, maka tidak ada yang bisa menghentikannya. Seketika mereka merinding dan sepakat untuk merahasiakan teori ini. Kalau hal ini diketahui oleh pihak yang salah, maka bisa saja akan ada yang berani untuk menyulut kobaran perang. Meskipun memang selalu ada kemungkinan bahwa sudah ada yang menyadari hal ini, tetapi alangkah baiknya kalau dicoba untuk merahasiakan teori yang baru saja mereka sepakati. Kalau Nephilim benar-benar menghilang karena musnah sekalipun, entah karena apa, seharusnya fatum ini ikut menghilang. Berarti bisa saja Nephilim masih ada dan diam-diam mengamati.

Stark mengacak-acak rambutnya beberapa kali, ia memutuskan untuk memikirkan ini nanti saja. Ia tidak pandai dalam percakapan serius yang panjang seperti ini. Elijah dan Tenebrist tertawa kecil.

Tetapi Tenebrist kemudian kepikiran sesuatu. Berdasarkan catatatan sejarah yang sering ia pelajari selama setahun terakhir, goblin dulunya adalah ras yang paling mengerikan. Bahkan sebelum adanya fatum. Lalu sekarang dengan tambahan kekuatan unik, mengapa justru goblin bisa disiksa? Dia paham kalau ada pihak yang ingin balas dendam, tetapi mengapa para goblin tidak melawan balik? Apakah diam-diam ada konflik internal antargoblin ? Atau ada hal lain? Tenebrist menghela nafas sejenak, entahlah, batinnya. Pemikiran untuk di lain waktu. Sekarang, fokus satu dulu.

Mereka berjalan perlahan menuju Syslodia, membawa goblin itu dengan aman.

Pintu gerbang kota Syslodia menjulang megah di hadapan mereka, dihiasi ukiran indah yang melambangkan persatuan berbagai ras. Namun, suasana yang mereka rasakan jauh dari ramah. Dari penjaga gerbang hingga penduduk yang lalu lalang, semua mata tertuju pada mereka. Bisikan-bisikan terdengar, dan Stark, dengan nalurinya yang tajam, dapat merasakan hawa kebencian yang pekat.

"Kenapa mereka menatap kita seperti itu?" bisik Stark, menggaruk tengkuknya. Merasa tidak nyaman, dia mencium ketiaknya sendiri. "Tidak bau, kok. Elijah, kau juga kan?"

Elijah, yang sebelumnya hanya diam memperhatikan, menghela napas panjang lalu mengikuti tindakan Stark. Setelah memastikan sesaat, dia bergumam, "…. Ah, maaf."

Tenebrist tetap diam, berjalan dengan tatapan lurus, sama sekali tidak terpengaruh oleh suasana di sekitarnya. Namun roda gigi di otaknya berputar dengan sangat cepat. Ia harus menimbang suatu rencana, segera. Ia bukan orang yang pandai berkomunikasi, jadi ketika pikirannya merasakan ada sesuatu yang aneh, ia selalu merencanakan sesuatu dan bertindak sendirian. Goblin kecil di belakang mereka menunduk dalam-dalam, wajahnya tegang, seolah ingin menghilang dari pandangan.

Rusty Keg, tavern terkenal di Syslodia, dipenuhi pengunjung seperti biasa. Begitu mereka masuk, suara ramai percakapan mendadak mereda. Semua orang menatap mereka dengan ekspresi campuran antara jijik dan benci. Di balik meja bar, seorang wanita dengan rambut pirang keemasan yang disanggul rapi dan mengenakan gaun formal berwarna merah anggur mendongak. Biasanya, dia menyapa mereka dengan senyuman lebar, tetapi kali ini wajahnya sinis.

"Kalian kembali," katanya dengan nada dingin. "Tunggu di sana. Aku akan memanggil pemberi misi untuk memastikan goblin itu yang dimaksud." Tanpa menunggu jawaban, wanita itu berbalik, mengabaikan mereka sepenuhnya. Mereka memutuskan untuk duduk di salah satu meja yang tersedia. Hawa dingin terasa menusuk, bukan karena udara, tetapi karena tatapan para penghuni Rusty Keg yang tak henti-henti memandang mereka.

"Serius, aku tidak bau, kan?" gumam Stark lagi, kini lebih keras.

Elijah membuka mulut, hendak meminta maaf karena merasa mungkin dialah penyebab suasana ini, tetapi si goblin memotong, "Sudah jelas karena aku. Semua ini karena aku."

"Tapi kau tidak bau." Sanggah elijah dengan tenang.

Goblin itu menghela napas berat. "Goblin memang dibenci. Tidak peduli berapa lama waktu berlalu, luka yang kami tinggalkan masih membekas. Di masa Perang Besar, ras kami dikenal sebagai pembantai. Kami menyerang tanpa pandang bulu, membakar desa, menculik anak-anak, dan menyiksa tawanan hingga mati."

"Semua ras melakukan kekejaman saat itu," balas Elijah, tidak setuju.

"Tidak seperti kami," ujar goblin itu dengan getir. "Goblin menikmati kekejaman itu. Kami memakan korban kami hidup-hidup, menyimpan kepala mereka sebagai trofi, bahkan memburu mereka yang tak bersenjata hanya untuk hiburan."

Stark dan Elijah saling bertukar pandang, merasa sulit untuk membantah.

"Masalahnya," lanjut goblin itu, "kekejaman itu sudah berakhir tiga abad lalu. Kami yang hidup sekarang tidak bersalah. Tapi kebencian itu tetap ada. Dan aku yakin itu alasan kenapa aku, kami, harus hidup di bawah tanah, seperti sampah."

Tenebrist terkejut, ia tiba-tiba menyadari sesuatu. Tanpa berbicara panjang dan tanpa menjelaskan, ia meminta goblin itu ikut dengannya sebentar. Goblin itu seperti tidak punya alasan untuk mengiyakan ataupun menolak, jadi dia terpaksa ikut saja. Elijah dan Stark bertukar pandang, tidak mengerti apa yang dipikirkan Tenebrist.

"Tempat masuk bawah tanah, aku harus tahu itu. Sekarang." Ia mendesak goblin agar segera pergi menunjukkan jalan. Lagi-lagi Elijah dan Stark bertukar pandang. Apakah mungkin Tenebrist mulai memiliki sebagian ingatannya kembali? Atau ada sesuatu tentang ruang bawah tanah yang sangat penting? Mereka benar-benar tidak mengerti. Ketika mereka mencoba ikut pun, Tenebrist menolak dengan tegas. Nadanya sedikit marah. Sebuah tindakan yang belum pernah ia perlihatkan sebelumnya. Ia akhirnya pergi, menyisakan mereka berdua di meja itu. Orang-orang di Rusty Keg mulai menghentikan perhatian dan tatapan kebencian mereka. Suasana Rusty Keg yang semula tegang kembali mereda secara perlahan.

"Menurutmu, apakah Tenebrist memang kehilangan ingatan?" Tanya Stark kepada Elijah. Elijah menangkat alisnya. Tentu saja dia tidak tahu. Tapi itu bukan urusannya dia, karena dia tidak mau seenaknya mencampuri urusan orang lain. Stark terdiam sejenak, menyadari bahwa Elijah ada benarnya. Mereka kemudian duduk berdiam diri sambil menunggu Tenebrist.

Setelah beberapa menit kemudian, Tenebrist kembali bersama si Goblin. Wajahnya pucat, kepalanya sakit. Mungkin itulah mengapa dia memegangi kepalanya dan berjalan sedikit sempoyongan. Mereka berdua terheran dan sedikit khawatir melihat Tenebrist. Tenebrist dan goblin akhirnya duduk kembali bersama mereka, dan lagi-lagi suasana di Rusty Keg kembali tegang. Seketika semua hening.

"Tenebrist, kau sungguh pucat." Kata Stark. Tenebrist mengibaskan tangannya sedikit, ingin mengatakan bahwa tidak perlu khawatir. Percakapan mereka terhenti ketika seorang pria masuk ke ruangan. Dia manusia tinggi, berkulit pucat dengan rambut hitam yang disisir rapi ke belakang. Jubah panjangnya berwarna hitam dengan hiasan emas di bagian bahu, menandakan statusnya sebagai bangsawan atau setidaknya seseorang dengan kuasa tinggi.

"Ah, kalian berhasil," katanya dengan senyum dingin. Dia mendekat ke meja mereka, matanya tertuju pada goblin yang kini gemetar ketakutan.

Pria itu memperhatikan goblin dengan teliti, lalu melihat bekas luka di tangannya. Goblin itu membeku, mulutnya membuka seolah ingin berkata sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar.

Kepala goblin itu jatuh ke lantai, dipenggal dengan satu ayunan pedang tipis yang tiba-tiba muncul di tangan pria tersebut. Stark dan Elijah melompat berdiri, marah.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriak Stark, menggenggam gagang katananya. Pria itu tertawa dingin. "Oh, kalian tidak tahu? Aku adalah majikannya. Dia kabur dari tanganku. Aku hanya memberikan pelajaran kecil karena berani melawan tuannya." Pengunjung Rusty Keg mulai tertawa, dan beberapa bahkan bertepuk tangan.

"Dia tidak lebih dari sampah," lanjut pria itu dengan nada sombong. "Ras rendah yang tidak pantas berjalan di atas tanah ini. Kalian, ambil saja uangnya. Ini hadiah untuk pekerjaan kalian." Dia melemparkan sebuah karung kecil berisi kepingan perak ke meja mereka. Mereka bertiga tidak perlu berdiskusi. Hadiah itu tetap berada di atas meja, tidak ada yang berniat menyentuhnya.

"Beraninya kau," gumam Elijah, suaranya rendah tetapi penuh ancaman. Tenebrist fokus memperhatikan keadaan sekitar dengan sangat waspada. Bukan marah, ia seperti menunggu atau mencari sebuah reaksi.

Namun sebelum mereka bisa bergerak, kerumunan penjaga datang, dipimpin oleh seorang pria besar dengan baju zirah lengkap berwarna perak. "Beraninya kalian merusak kedamaian Syslodia!" teriaknya lantang. Para penjaga mengelilingi mereka bertiga, senjata terhunus.

"Yang merusak kedamaian adalah dia!" balas Elijah, menunjuk pria yang membunuh goblin itu.

Pemimpin penjaga mengangkat tangannya. "Goblin dilarang masuk ke area permukaan Syslodia. Mereka hanya boleh hidup di bawah tanah. Dan kalian membawa satu ke sini. Itu sudah cukup untuk mengusir kalian." Kerumunan mulai melempari mereka dengan makanan dan barang-barang kecil, berteriak agar mereka pergi. Mereka bertiga tahu bahwa melawan akan sia-sia. Jumlah penjaga terlalu banyak, dan mereka tidak tahu kekuatan para penghuni Rusty Keg yang tampaknya mendukung penjaga. Dengan enggan, mereka keluar dari kota, membawa amarah yang membara di dalam hati mereka.

"Syslodia bukan tempat untuk kita," gumam Tenebrist pelan saat mereka berjalan menjauh dari gerbang. Namun, ia diam-diam tersenyum pelan. Ia tahu bahwa ia orang yang waspada, tetapi kadang ia masih bisa berbangga diri dengan kewaspadaannya. Rencana yang ia buat seorang diri berhasil. Pertaruhan tahap satu selesai, batinnya