Chereads / Fatum; Tenebrist / Chapter 2 - Chapter 2: To the Town Where the Sunlight Does Not Reach

Chapter 2 - Chapter 2: To the Town Where the Sunlight Does Not Reach

Stark lahir di sebuah desa terpencil yang bahkan tak memiliki nama, tersembunyi di balik pegunungan yang diliputi kabut sepanjang tahun. Desa itu kecil, hanya dihuni oleh beberapa keluarga yang hidup sederhana sebagai petani dan pemburu. Dari kejauhan, desa ini tampak seperti titik kecil di tengah lautan hijau yang luas, terlindung dari hiruk-pikuk dunia luar. Penduduk desa hidup dalam kedamaian, namun dengan keheningan yang menyiratkan isolasi mendalam.

Sejak kecil, Stark sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam seni bela diri. Ibunya sering bercerita bahwa dia adalah anak yang selalu mencari tantangan, memanjat pohon tertinggi atau mencoba melawan arus sungai deras yang mengalir di dekat desa. Dia juga suka mewarnai rambutnya dengan warna macam-macam. Tapi tidak ada yang bisa menjelaskan kenapa seorang anak kecil seperti dia begitu terhubung dengan pedang yang ditemukan di puncak gunung di belakang desa.

Gunung itu dikenal oleh penduduk desa sebagai Gunung Lima Matahari, dinamai demikian karena puncaknya sering diterangi oleh lima pancaran cahaya saat matahari terbit. Di puncak itulah lima pedang legendaris tertancap, berdiri tegak seolah-olah menantang langit. Setiap pedang memiliki ukiran dan ornamen unik, dengan warna yang melambangkan elemen yang berbeda: merah menyala seperti api, biru tua seperti air, hijau zamrud seperti angin, cokelat seperti tanah, dan perak berkilauan seperti kilat.

Penduduk desa percaya bahwa pedang-pedang itu adalah peninggalan dari Lima Master Samurai, lima pejuang legendaris yang memimpin pertempuran besar dalam Great War ratusan tahun lalu. Dalam perang itu, mereka mengorbankan hidup mereka untuk melindungi dunia dari kehancuran, dan sebagai penghormatan, pedang mereka ditanamkan di gunung ini. Tapi legenda itu hanyalah cerita bagi kebanyakan orang—kecuali Stark.

Ketika Stark berusia tujuh tahun, dia memutuskan untuk mendaki Gunung Lima Matahari seorang diri. Tidak ada yang tahu apa yang mendorongnya—hanya perasaan mendalam bahwa ada sesuatu yang memanggilnya dari puncak gunung itu. Perjalanan mendaki gunung bukanlah hal mudah untuk anak seusianya; jalan setapak yang terjal, kabut tebal, dan dinginnya angin membuat banyak orang dewasa sekalipun enggan mendaki. Tapi Stark tidak menyerah.

Ketika akhirnya dia mencapai puncak, dia tertegun melihat kelima pedang itu berdiri dalam keheningan abadi. Saat dia mendekati pedang-pedang itu, sesuatu yang ajaib terjadi: lima cahaya yang sebelumnya samar tiba-tiba bersinar terang, dan dari masing-masing pedang muncul sosok roh yang memancarkan aura luar biasa.

Lima roh itu memperkenalkan diri sebagai Master Samurai: Kaen, sang penjaga api, dengan rambut merah menyala dan mata yang seperti bara api. Suijin, sang pengendali air, tenang seperti danau namun mematikan seperti ombak. Kazemaru, sang roh angin, lincah dan penuh teka-teki, selalu bergerak seperti bayangan. Chikaru, penjaga bumi, besar dan kokoh, suaranya seperti gemuruh gunung. Raiden, penguasa kilat, dengan kepribadian tajam seperti petir yang dia kendalikan.

Mereka menatap Stark dengan rasa ingin tahu dan kebijaksanaan yang mendalam. "Kau adalah yang pertama mencapai puncak ini sejak perang besar," kata Kaen, suaranya seperti nyala api yang bergemerisik.

"Kami memilihmu," lanjut Raiden, kilatan petir melintas di matanya. "Kau akan menjadi pewaris kekuatan kami, dan pedang-pedang ini akan menjadi alatmu untuk melindungi dunia."

Dari hari itu, Stark menjadi murid kelima roh tersebut. Setiap hari sebelum matahari terbit, dia mendaki gunung untuk berlatih di bawah bimbingan mereka. Kaen mengajarinya kekuatan serangan yang menghancurkan. Suijin mengajarinya ketenangan dan fleksibilitas. Kazemaru mengajarinya kelincahan dan strategi. Chikaru memberinya kekuatan dan daya tahan. Raiden mengajarinya kecepatan dan presisi.

Selama bertahun-tahun, Stark menyerap semua ilmu mereka, hingga tubuhnya menjadi senjata yang sempurna. Namun, hidupnya di desa yang terisolasi membuatnya tidak pernah melihat dunia luar. Dia tumbuh dengan keyakinan sederhana bahwa keadilan harus ditegakkan, tanpa memahami kompleksitas dan abu-abunya dunia nyata.

Keadilan apanya?!

Stark melihat si goblin yang terpenggal. Kejadian itu terasa berlangsung dengan sangat lambat. Ia melihat sekitar, murka dengan kerumunan orang-orang Syslodia di Rusty Keg yang tampak menikmati peristiwa kejam itu. Tawa mereka menggema, seakan bukan lagi mentertawakan goblin yang telah mati, tetapi mentertawakan stark yang tidak berdaya.

Berhenti tertawa!

Stark terbangun dengan rasa hentakan yang luar biasa. Tubuhnya berkeringat, nafasnya terengah. Ia melihat bintang yang tersebar secara tidak merata, sinar putih kecilnya dari kejauhan berusaha untuk menghilangkan pekat malam. Rasanya hangat, ia duduk dan mendapati dirinya berada dekat dengan api unggun kecil. Tenebrist sedang menjaga api unggun itu agar tetap menyala dan memberikan kehangatan untuk dinginnya malam. Ia berjongkok di dekat api itu. Jubah hitamnya sudah terlepas, menyisakan kaos polos putih dan syal merah yang setia menjuntai di lehernya. Stark baru menyadari bahwa ternyata rambut Tenebrist panjang, sangat panjang. Cukup susah memperhatikan dengan seksama, tetapi warna rambutnya seperti campuran hijau biru toska dengan tambahan merah muda seperti bunga sakura di bagian poni.

"Sudah selesai menatapnya?" Tenebrist bertanya tanpa berpaling dari api. Entah dia bercanda, atau dia serius menyindir, Stark tidak bisa mengerti.

"Aku tidak menatap." Stark berusaha menyembunyikan rasa malu karena ketahuan menatapi Tenebrist dengan seksama. Tenebris menoleh ke arah Stark, sedikit terkejut.

"Oh? Sudah bangun rupanya." Kata Tenebrist. "Elijah, berhenti menatap bintang dan kesini sebentar." Sambungnya. Elijah berdiri sedikit jauh dari perapian. Sosoknya yang besar berhasil tersembunyi di dalam bayang malam. Ia berjalan perlahan menghampiri mereka berdua. Tampak seperti sosok gelap bertubuh besar yang bergerak menghampiri. Elijah sudah sampai ke perapian, cahayanya menyinari Elijah. Tetapi ia masih terlihat gelap. Stark baru menyadari bahwa Elijah melepas seluruh armor yang terpasang di badan dan kepalanya, dan bahwa Elijah ternyata berkulit gelap. Cahaya api pun tidak mampu menerangi. Stark memperhatikan dengan seksama, ia terkejut. Itu bukan warna kulit yang gelap. Itu bulu, seperti bulu gorilla yang gelap dan lebat tetapi tidak panjang. Elijah duduk di dekat mereka berdua. Stark tidak berkata sedikitpun. Dia masih belum menguasai diri, selain karena baru terbangun juga karena dia mendapati dua penampilan baru malam ini: Sosok Tenebrist tanpa jubah, dan sosok Elijah tanpa armor.

Elijah duduk dengan tenang di dekat api unggun, posturnya yang besar hampir menyelimuti cahaya kecil dari nyala api. Dia menarik napas panjang, seolah-olah kata-kata yang akan keluar dari mulutnya telah tertahan selama berabad-abad. Suara gemerisik daun yang tertiup angin malam menambah keheningan, sementara Stark dan Tenebrist menunggu dengan rasa penasaran. Meskipun Tenebrist tampak sudah mengetahui bahwa Elijah ingin menyampaikan sesuatu, tetapi ia menunggu hingga Stark terbangun.

"Sepertinya kita akan bersama untuk waktu yang cukup lama," kata Elijah akhirnya, suaranya dalam namun penuh kelembutan. "Jadi, kurasa sudah waktunya aku menceritakan siapa aku sebenarnya."

Stark menatapnya, mencoba membaca ekspresi di wajah Elijah, tetapi sulit baginya untuk menebak pikiran seseorang yang telah hidup jauh lebih lama darinya. Sementara itu, Tenebrist, seperti biasanya, hanya memandang dengan tatapan datar, meski sedikit gerakan di alisnya menunjukkan bahwa dia juga penasaran.

"Aku bukan manusia biasa. Aku adalah satu-satunya..." Elijah berhenti sejenak, menelan ludah, seolah-olah menyusun keberanian untuk melanjutkan. "...gabungan antara troll dan elf."

Kata-kata itu menggantung di udara. Stark berkedip beberapa kali, memastikan dia tidak salah dengar. Tenebrist sedikit memiringkan kepalanya, rambut panjangnya yang lembut berkilauan diterpa sinar api.

"Elf dan troll? Bukankah... mereka musuh bebuyutan dalam Perang Besar?" tanya Tenebrist akhirnya, mencoba menghubungkan titik-titik dalam pikirannya.

Elijah mengangguk pelan. "Benar. Dan di situlah kisahku dimulai."

Elijah memandang jauh ke dalam nyala api, seolah-olah melihat kembali ke masa lalu yang suram. "Perang Besar bukan hanya tentang pertempuran. Itu adalah masa ketika kekejaman tak mengenal batas. Troll... mereka adalah makhluk buas, dipenuhi kebencian dan nafsu. Mereka menyerang tanpa belas kasihan, membakar desa, menghancurkan keluarga, dan... menodai segalanya."

Stark merasa tenggorokannya mengering mendengar kata-kata itu. Sementara Tenebrist tetap diam, meskipun matanya menunjukkan sedikit perubahan, seolah dia mencoba memahami emosi yang tak pernah dia tunjukkan.

"Ibuku adalah salah satu korban," lanjut Elijah, suaranya mulai bergetar. "Dia seorang elf, indah, anggun, seperti kebanyakan dari mereka. Tapi ketika troll menyerang desanya, dia tak bisa melarikan diri. Mereka..." Elijah berhenti, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. "Mereka memperkosanya. Dan dari kekejian itu, aku lahir."

Stark memalingkan pandangannya sejenak, memberi ruang pada Elijah untuk melanjutkan.

"Perang akhirnya berakhir, tetapi bekas luka itu tidak pernah hilang. Kaum elf melihatku sebagai simbol aib. Mereka menghukum mati ibuku karena melahirkanku, meskipun dia tidak bersalah. Dia berhasil menyembunyikanku selama belasan tahun, tetapi pada akhirnya, mereka menemukanku juga. Aku diusir, dianggap lebih rendah dari binatang."

Elijah mengangkat tangannya dan menunjuk ke telinganya. "Ini... adalah buktinya."

Dia menyibakkan rambut pendeknya, memperlihatkan telinganya yang tidak biasa: satu runcing seperti elf, satu lagi tumpul dan padat seperti troll. Stark menatap dengan rasa iba, sementara Tenebrist, meskipun tetap tanpa ekspresi, memiringkan kepalanya sedikit lebih jauh, seolah-olah mencoba memahami lebih dalam.

"Tubuhku berbulu seperti troll, gelap dan kasar. Tapi wajahku..." Elijah menyentuh pipinya, menunduk. "...wajahku lebih menyerupai manusia. Itulah satu-satunya alasan aku bisa menyembunyikan siapa diriku sebenarnya."

"Ketika aku memutuskan untuk berkelana, aku tahu aku tidak bisa membiarkan siapa pun melihat wujud asliku. Jadi, aku mengenakan armor ini," Elijah melanjutkan, menunjuk ke arah tumpukan armor tebalnya yang tergeletak di samping. "Armor yang menutupi tubuhku, membuatku terlihat seperti seorang bangsawan yang terhormat. Orang-orang menghormati bangsawan, atau setidaknya, mereka tidak banyak bertanya."

Tenebrist mengangguk pelan, mencoba membayangkan beban yang harus dipikul Elijah selama ini. "Itu sebabnya kau langsung mengatakan bahwa kau adalah seorang mantan bangsawan ketika kita bertemu," katanya.

"Benar," jawab Elijah. "Aku harus memilih kata-kata dengan hati-hati. Mengaku sebagai bangsawan memberiku alasan untuk mengenakan armor itu, dan mengatakan aku mantan bangsawan membuat kalian lebih mungkin percaya bahwa aku memiliki alasan untuk mengambil quest ini."

Elijah menatap Stark dan Tenebrist dengan serius. "Aku tahu ini sulit dipercaya, tetapi aku ingin kalian tahu bahwa aku tidak menyembunyikan ini karena aku ingin menipu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin menimbulkan masalah."

Stark tersenyum kecil, meskipun matanya menunjukkan rasa hormat yang tulus. "Kau tidak perlu khawatir, Elijah. Kau telah menunjukkan siapa dirimu dengan tindakanmu, bukan hanya dengan kata-kata. Dan sejauh yang kulihat, kau adalah seorang pria yang layak dihormati."

Elijah tampak terkejut, tetapi dia segera mengangguk, rasa syukur terpancar di wajahnya.

Tenebrist angkat bicara, suaranya lembut tetapi tegas. "Ras dan penampilan tidak penting. Kita semua memiliki masa lalu yang kelam. Yang penting adalah siapa kita sekarang, dan apa yang kita pilih untuk lakukan."

Stark menoleh ke Tenebrist, sedikit terkejut dengan kedalaman kata-katanya. Namun, dia hanya tersenyum kecil, lalu kembali menatap api.

Angin malam bertiup pelan, membawa suara gemerisik daun dan nyanyian jangkrik dari kejauhan. Tiga sosok itu duduk dalam keheningan yang penuh makna, masing-masing merenungkan perjalanan mereka sejauh ini, dan ikatan baru yang terbentuk di antara mereka. Cahaya api unggun menari-nari di wajah mereka, menciptakan bayangan yang bergerak di tanah berkerikil. Stark menatap api itu, pikirannya berkecamuk. Kata-kata Elijah masih menggantung di udara, seperti kabut yang enggan menghilang. Stark akhirnya menarik napas dalam-dalam, mencoba menyusun pikirannya. Dia melirik Elijah yang duduk tegak, sorot matanya tajam tetapi penuh ketenangan. Tenebrist duduk memeluk lututnya sambil menatap api. Entah apa yang sedang dia pikirkan.

"Jujur saja," kata Stark, suaranya memecah keheningan. "Aku tidak tahu harus berkata apa." Elijah menoleh, alisnya terangkat sedikit. Stark menggaruk kepalanya, kebiasaan yang sering muncul saat dia merasa canggung. "Yah, maksudku… aku mengerti kalau cerita hidupmu berat. Sangat berat, bahkan. Tapi, aku rasa aku tidak bisa merasakan empati seperti yang mungkin kau harapkan."

Elijah terdiam, tetapi tidak tampak tersinggung. Dia hanya menunggu Stark melanjutkan.

"Kau tahu, aku berasal dari desa kecil, sangat terpencil. Di sana, semua orang manusia. Tidak ada elf, troll, dwarf, atau goblin. Hanya manusia. Jadi… semua ini—kau, dampak Perang Besar, dan fakta bahwa kau setengah troll—semuanya hal baru bagiku."

Stark berhenti sejenak, mencoba merangkai kata-katanya dengan lebih baik. "Guruku pernah bercerita tentang keragaman dunia di luar sana. Tentang berbagai ras, makhluk, dan keajaiban yang tak pernah bisa kubayangkan. Tentang kekejaman selama Perang Besar. Tentang Nephilim." Stark berhenti sejenak, "Tapi aku belum pernah melihatnya sendiri. Jadi, saat aku bertemu denganmu, aku hanya berpikir, 'Wow, ini sesuatu yang baru.' Bukan sesuatu yang menakutkan, atau aneh. Hanya… baru." Sambungnya.

Elijah mengamati Stark dengan seksama, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

"Jadi, saat kau bilang kau setengah troll, aku terkejut, tentu saja," lanjut Stark. "Tapi bukan karena aku takut atau jijik. Aku hanya tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Kau adalah kau, Elijah. Itu saja. Sama seperti aku bertemu dengan goblin yang kita selamatkan kemarin. Mereka baru bagiku, tapi aku tidak punya alasan untuk membenci mereka. Aku hanya merasa ini bagian dari dunia yang indah dan penuh warna."

Tenebrist, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Jadi, kau tidak merasa terganggu sama sekali?"

Stark menggeleng. "Kenapa harus terganggu? Maksudku, ya, ceritamu menyedihkan, Elijah. Tapi siapa aku untuk menghakimi? Lagipula…" Dia berhenti, wajahnya tiba-tiba menjadi serius. "Aku pernah melihat hal yang lebih aneh."

Elijah mencondongkan tubuhnya sedikit, penasaran. "Lebih aneh?"

Stark mengangguk, tetapi wajahnya tampak ragu. "Iya, tapi… ah, nanti saja kapan-kapan aku cerita."

Elijah menatapnya dengan mata menyipit, tetapi tidak mendesak. "Baiklah," katanya singkat.

Tenebrist, di sisi lain, menghela napas kecil. "Kau benar-benar sederhana, Stark. Kadang aku iri."

"Sederhana? Aku?" Stark menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi bingung. "Itu pujian atau ejekan?"

"Anggap saja pujian," jawab Tenebrist tanpa mengubah ekspresi wajahnya.

Stark tersenyum sedikit kesal. "Kalau begitu, terima kasih."

Elijah mengalihkan pandangannya kembali ke api unggun. Wajahnya yang biasanya penuh ketegasan kini tampak lebih lembut. "Kau tahu, Stark, aku tidak tahu apakah aku harus merasa lega atau bingung dengan caramu melihat dunia. Tapi kurasa, dunia ini memang butuh lebih banyak orang sepertimu."

"Ah, jangan berlebihan," jawab Stark sambil mengibas tangannya, sedikit malu. "Aku hanya… ya, aku hanya ingin menikmati perjalanan ini."

Tenebrist tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. "Kau memang aneh, Stark."

"Dan kalian berdua juga aneh!" jawab Stark sambil tertawa kecil.

Suara tawa kecilnya menggema pelan di tengah malam, bercampur dengan suara dedaunan yang bergesekan dan api unggun yang berderak. Meski suasana hati mereka masih campur aduk, ada kehangatan yang mulai tumbuh di antara mereka, seperti api kecil yang perlahan menyala lebih terang.

Stark Kembali berdiam diri. Pikirannya masih berkutat pada apa yang baru saja ia katakan—tentang "pernah melihat hal yang lebih aneh." Ia memeluk lututnya, menatap api unggun yang terus berkedip-kedip, seolah menyuarakan keraguan dalam dirinya.

Ada bagian dalam dirinya yang selalu ingin berbagi tentang masa lalunya, tentang desa kecil yang menjadi tempat ia tumbuh, dan—terutama—tentang kelima gurunya. Mereka bukan sekadar guru; mereka adalah roh legendaris, penjaga elemen, yang bersemayam di lima pedang kuno di atas gunung belakang desanya. Roh-roh itu adalah pelatihnya, mentor yang menempa dirinya menjadi seperti sekarang. Namun, cerita itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibagikan.

Stark menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Desanya, Nameless, adalah tempat yang unik. Terpencil dan terisolasi dari dunia luar selama ratusan tahun, desa itu seperti terputus dari peradaban. Penduduknya tidak pernah menjelaskan kenapa, dan Stark, meskipun penuh rasa ingin tahu, belajar untuk tidak bertanya terlalu banyak.

Ia membayangkan apa yang bisa terjadi jika dunia luar mengetahui tentang lima roh itu. Mungkin mereka akan datang mencari pedang-pedang tersebut, mencoba mengambil kekuatannya. Atau lebih buruk, mereka akan menghancurkan desa kecilnya demi ambisi. Stark tidak tahu apakah ia bisa memikul beban itu.

Jadi, ia memilih untuk diam.

Ketika ia mengatakan, "Aku pernah melihat hal yang lebih aneh," itu adalah setengah dari kebenaran. Ya, ia memang pernah melihat sesuatu yang lebih aneh—roh-roh yang berbicara dan mengajarinya. Tapi ia juga tahu bahwa ada beberapa hal yang lebih baik disimpan untuk dirinya sendiri.

Angin kembali bertiup, menggoyangkan dedaunan di atas mereka. Api unggun berderak pelan, memantulkan cahaya hangat di wajah Stark yang kini tampak serius.

Elijah memandangnya dari sudut mata, tampak ingin bertanya lebih lanjut, tetapi akhirnya mengurungkan niatnya. Tenebrist, di sisi lain, hanya menatap Stark dalam diam, seolah-olah mencoba membaca pikiran pemuda itu.

Stark tersenyum tipis, meski dalam hatinya masih ada beban yang belum ia lepaskan.

"Ah," katanya akhirnya, mencoba terdengar santai, "mungkin lain kali saja aku cerita. Ada hal-hal yang... ya, mungkin lebih baik disimpan dulu."

Elijah mengangguk perlahan, menghormati keputusan itu. "Kapan pun kau siap, Stark. Kami akan mendengarkan."

Stark hanya mengangguk kecil, sementara api unggun terus menyala, membawa mereka kembali ke kehangatan malam itu, menemani tidur mereka.

Pagi tiba dengan kelembutan sinar matahari yang menerobos sela-sela dedaunan, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di atas tanah. Udara masih dingin, dengan embun tipis menggantung di rerumputan dan dedaunan di sekitar perkemahan mereka. Stark adalah yang pertama terbangun, dan ia meregangkan tubuhnya, membiarkan suara tulangnya yang berderak memecah keheningan pagi. Ia mengusap wajahnya, lalu berjalan ke arah sungai kecil di dekat sana, membawa tombak pendek—yang ia buat sendiri dari dahan pohon yang diruncingkan ujungnya—untuk menangkap ikan.

Di sisi lain perkemahan, Tenebrist juga sudah terjaga. Ia duduk bersila di bawah pohon besar, dengan mata terpejam, seolah sedang bermeditasi. Syal merahnya masih senantiasa menemani. Begitu ia mendengar suara langkah Stark yang menjauh, ia membuka matanya dan berdiri perlahan. Rambut panjang toskanya, yang kini dikepang rapi, bergoyang lembut ketika ia berjalan menuju semak-semak untuk memetik buah-buahan. Jemarinya yang ramping dengan cekatan memilih buah yang matang, sesekali mencium aromanya untuk memastikan rasanya manis.

Elijah menjadi yang terakhir bangun. Tubuh besarnya terhampar di atas tanah, seperti batu besar yang mustahil digerakkan. Ketika ia akhirnya membuka mata, ia langsung duduk tegak dan mengusap wajahnya dengan tangan berbulu. Dengan sedikit geraman malas, ia bangkit, mengambil persiainya, dan berjalan ke arah hutan untuk mencari kayu bakar. Pagi itu dipenuhi dengan kesibukan sunyi.

Stark kembali dari sungai dengan tiga ekor ikan yang mengkilap di bawah sinar matahari pagi. Ia duduk di dekat perapian yang hampir padam, lalu mulai menguliti ikan-ikan itu dengan pisau kecil yang selama ini tersimpan di kantung celananya. Tenebrist kembali dengan keranjang kecil berisi buah-buahan berwarna cerah—merah, oranye, dan kuning, masing-masing beraroma segar. Ia meletakkannya di samping Stark dan mulai membantu menyalakan kembali api unggun.

Elijah datang terakhir, membawa tumpukan kayu besar di bahunya. Ia meletakkannya dengan suara berdebum yang membuat Stark hampir menjatuhkan pisaunya. "Kau benar-benar seperti gunung yang bergerak," komentar Stark sambil tertawa kecil.

"Eh sebentar," Stark memiringkan kepalanya, "Kayu ini, besar sekali. Bagaimana memotongnya, kau bahan tidak ada kapak." Sambungnya. Elijah menunjuk perisainya yang terpasang di punggung. Stark masih tidak mengerti.

"Aku tebang pakai perisai, bagian sudutnya lumayan lancip. Jadi aku tancapkan dengan kuat ke pohon, berkali-kali. Lalu ketika sudah tertancap cukup dalam, aku pukul pohon itu sekuat tenaga." Jelas Elijah, seolah apa yang dia lakukan adalah hal biasa. Stark bahkan tidak tahu harus merespon seperti apa, dia sudah seperti algojo mengerikan, batin Stark.

Elijah memasukkan beberapa kayu ke dalam api yang mulai menyala, lalu duduk bersila. "Sarapan siap?" tanyanya, matanya melirik ikan-ikan di tangan Stark.

"Sebentar lagi," jawab Stark sambil terus memotong-motong ikan itu menjadi beberapa bagian.

Setelah semuanya siap, mereka duduk melingkar di sekitar api unggun. Aroma ikan panggang bercampur dengan manisnya buah-buahan yang segar. Percakapan ringan mengisi waktu makan mereka, tetapi ada keheningan yang menggantung di antara mereka—seperti bayangan dari apa yang mereka alami kemarin di Rusty Keg.

"Jadi," kata Tenebrist akhirnya, memecah keheningan. Suaranya lembut tetapi tegas. "Kita akan pergi ke kota bawah tanah di Syslodia, kan?" Dia langsung berasumsi bahwa mereka semua sepemikiran.

Elijah mengangguk sambil mengunyah perlahan. "Ya. Kita perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi di bawah sana."

Stark, yang sedari tadi hanya mendengarkan, akhirnya angkat bicara. "Aku masih tidak bisa melupakan kejadian kemarin. Goblin itu… dipenggal seperti tidak ada artinya. Dan orang-orang di sana malah tertawa." Ia menggenggam erat tangannya, matanya menatap api unggun dengan penuh emosi. Tenebrist diam-diam tersenyum dan menghela nafas lega. Syukurlah dua orang ini ternyata memang sepemikiran.

"Elijah," lanjutnya, menatap makhluk besar itu. "Goblin juga punya Fatum dari Nephilim, kan? Kenapa mereka tidak melawan?"

Elijah mendesah pelan, menatap Stark dengan tatapan yang penuh kebijaksanaan. "Itu yang ingin kita cari tahu, Stark. Tidak ada ras yang sepenuhnya lemah. Tapi ada alasan kenapa mereka seperti ini."

Tenebrist melanjutkan, suaranya penuh kehati-hatian. "Dan ini bukan hanya soal goblin dan manusia. Bisa saja ras lain juga terlibat. Kita perlu jawaban, dan mungkin mereka yang tinggal di bawah tanah punya cerita yang berbeda." Ia memperjelas bahwa, berdasarkan catatan sejarah, kota bawah tanah itu punya istilah lain yang sangat mencerminkan keadaannya; kota dimana tidak ada cahaya matahari. Artinya, mereka harus bersiap dengan keadaan di sana yang bisa jadi udaranya saja sudah sangat tidak sehat. Yang lain mendengarkan seksama sebelum akhirnya mengangguk.

Setelah sarapan selesai, mereka segera berkemas. Stark memastikan katananya siap, menyarungkannya, dan berdiri. Baju birunya dan celana hitam flexibelnya mulai terlihat kotor karena tidur di tanah. Tenebrist, yang telah memakai jubah hitam dengan garis keemasan, memeriksa peta kecil yang mereka miliki. Tongkat tanpa ujung runcingnya tersandar di bahunya. Elijah mengenakan kembali armor ungunya yang besar, setiap potongan logamnya berbunyi gemerincing saat ia memasangnya. Ia kemudian memastikan gada dan perisainya siap, lalu memasang armor di kepalanya sebagai sentuhan terakhir.

"Baik," kata Tenebrist akhirnya, melipat peta dan memasukkannya ke dalam tasnya. "Kita menuju sekitar Syslodia. Harapannya kita dapat memasuki kota bawah tanah tanpa perlu memasuki kota." Ia tahu bahwa pasti akan ada konflik apabila mereka kembali ke kota itu lagi terang-terangan.

Mereka meninggalkan perkemahan. Matahari mulai naik ke atas cakrawala, sinarnya yang keemasan menembus kanopi hutan, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak mengikuti langkah mereka. Suara gemerisik daun yang diinjak, disertai dengan suara burung-burung yang berkicau dari kejauhan, menjadi musik alami yang mengiringi perjalanan mereka.

Setelah beberapa jam berjalan melewati pepohonan yang menjulang tinggi, mereka akhirnya tiba di ujung hutan. Jalan setapak mulai terlihat jelas, membelah padang rumput luas yang dipenuhi bunga liar berwarna-warni. Di depan mereka, jalan bercabang menjadi dua: ke kiri adalah jalur menuju Syslodia, dan ke kanan adalah jalan menuju Forest of Gloom, hutan yang terkenal dengan aura kelamnya. Stark berhenti sejenak, menatap tanda penunjuk arah yang terbuat dari kayu tua.

"Jadi, ke kiri untuk petualangan bawah tanah," gumam Stark sambil tersenyum kecil. "Dan ke kanan… haha, tidak terima kasih." Masih tersimpan ingatan tidak enak di benaknya.

Tenebrist meliriknya sekilas, lalu mengangguk. "Ke kiri," katanya singkat, memastikan keputusan mereka.

Saat mereka melanjutkan perjalanan, suasana mulai berubah. Jalan setapak itu lebih sering dilewati, terbukti dari jejak-jejak roda gerobak yang tertinggal di tanah. Beberapa kelompok makhluk mulai terlihat di sepanjang jalan, masing-masing sibuk dengan aktivitas mereka.

Di sisi kanan jalan, ada seorang elf muda dengan rambut panjang keperakan yang melayang dengan bantuan sihir angin. Tubuhnya tampak ringan, seperti bulu yang tertiup angin, dan ia bergerak dengan kecepatan yang elegan, hampir tanpa suara. Matanya yang tajam menatap ke depan, seolah-olah tidak peduli dengan dunia di sekitarnya.

Elijah memperlambat langkahnya, tubuh besarnya tampak sedikit menegang. Mata hijau zamrudnya melirik elf itu dengan waspada, meskipun ia tidak mengatakan apa-apa. Tetapi Stark, yang menyadari perubahan sikapnya, mendekat dan menepuk pundak Elijah dengan lembut. "Tenang saja," katanya dengan nada ceria, mencoba mengusir kecanggungan. "Kau terlihat seperti gunung yang mencoba menyelinap di tengah padang rumput. Santai, tidak ada yang akan memperhatikan."

Elijah menghela napas, lalu mengangguk kecil. "Mudah bagimu untuk berkata begitu," gumamnya.

Tidak jauh dari mereka, terlihat sekelompok wildbeast, makhluk besar dengan tubuh setengah manusia dan setengah hewan buas. Mereka duduk berkumpul bersama sekelompok manusia. Salah satu dari mereka baru saja memadamkan api unggun dengan sihir air, menghasilkan uap tipis yang melayang ke udara. Mereka berbicara dalam bahasa mereka sendiri, suara mereka rendah dan bergemuruh, tetapi terlihat damai. Salah satu wildbeast itu melirik ke arah mereka bertiga, tetapi tidak menunjukkan minat lebih jauh, lalu kembali ke kelompoknya. Stark sebenarnya sedikit iri, andaikan salah satu dari mereka mempunya kemampuan unik membuat api, perkemahan mereka pasti menjadi jauh lebih mudah. Tapi yah, Fatum memberikan kemampuan yang beragam untuk masing-masing individu.

Seketika ia berpikir sejenak. Kemampuannya Tenebrist adalah menciptakan doppelganger, kemampuannya Elijah adalah sihir es yang ia gunakan untuk membekukan sosok misterius di Goa, kemampuannya dia... apa? Ia memang pandai dalam menggunakan katananya, dan ia juga mempunyai kesadaran akan niat jahat yang sangat tinggi. Tetapi itu hasil dari latihannya selama ini. Ia baru sadar bahwa ia belum pernah menggunakan kemampuan dari Fatumnya. Tunggu, memangnya dia punya Fatum? Fatum itu bentuknya seperti apa? Tanpa sadar ia mulai jatuh dalam pikirannya sendiri.

Tenebrist, yang selalu menjadi yang paling proaktif dalam mencari informasi, berhenti dan berjalan mendekati kelompok wildbeast tersebut. Ia menjaga sikapnya tetap tenang, meskipun matanya menunjukkan sedikit kehati-hatian. "Permisi," katanya, suaranya jelas tetapi tidak mengintimidasi.

Salah satu wildbeast, dengan tanduk melengkung dan mata kuning terang, menoleh ke arahnya. "Apa yang kau inginkan, manusia?" tanyanya dengan suara berat, penuh kecurigaan.

"Kami sedang mencari jalan menuju kota bawah tanah Syslodia," jawab Tenebrist. "Bisakah Anda memberitahu kami bagaimana cara masuk ke sana?"

Wildbeast itu mengerutkan alisnya, bertukar pandang dengan manusia di dalam kelompoknya, lalu si manusia menatap Tenebrist dengan tajam. "Kota bawah tanah? Apa urusanmu dengan tempat tanpa matahari seperti itu? Tidak banyak manusia yang mau—atau sudi—ke sana."

Tenebrist terdiam sejenak, menyadari bahwa pertanyaannya tadi bisa dianggap mencurigakan. Dalam sekejap, pikirannya berpacu, mencari jawaban yang tepat. Tetapi sebelum ia bisa menjawab, Elijah sudah berjalan mendekat, langkahnya berat dan mantap. Kehadiran Elijah yang besar dan mengenakan armor ungu tebal langsung membuat wildbeast itu sedikit mundur, tampak terintimidasi.

"Ada benda tidak legal yang perlu kami cari," kata Elijah dengan suara dalam dan tegas. "Itu sudah cukup menjelaskan, bukan?"

Wildbeast itu terdiam sejenak, lalu melirik ke arah kelompoknya sebelum kembali menatap mereka. "Benda tidak legal, ya?" gumamnya. "Kalau begitu, kau tidak bisa masuk lewat gerbang utama. Ada jalan lain, tapi jarang digunakan. Dekat kota, ada sumur dengan tanda 'Tempat Pembuangan Limbah'. Itu jalanmu."

Tenebrist mengangguk kecil. "Terima kasih," katanya singkat, lalu kembali ke kelompoknya bersama Elijah. Mereka melanjutkan perjalanan. Stark pecah dari lamunannya dan memutuskan untuk mencari jawaban atas pertanyaan batinnya di lain waktu. Mereka meninggalkan wildbeast itu di belakang.

Mereka berjalan dalam diam, suasana semakin hening ketika jalan setapak itu membawa mereka ke sebuah area yang tampak jarang dilalui. Vegetasi mulai jarang, dan tanah menjadi lebih berbatu. Akhirnya, di tengah dataran yang tandus dan sedikit berbukit, mereka menemukan sumur yang dimaksud.

Sumur itu tidak seperti yang mereka bayangkan. Dinding luarnya terbuat dari batu kasar yang mulai ditumbuhi lumut hijau gelap. Di atasnya, sebuah papan kayu tua bertuliskan "Tempat Pembuangan Limbah" tergantung miring, tulisan itu sudah hampir pudar, tetapi masih cukup jelas untuk dibaca. Bau samar yang tidak menyenangkan menguar dari dalam, meskipun tidak cukup kuat untuk membuat mereka mual.

Tenebrist melangkah lebih dekat, tongkatnya yang tanpa ujung runcing menyentuh bibir sumur, menciptakan bunyi ketukan pelan. Ia menatap ke dalam, tetapi kegelapan yang pekat menyelimuti bagian dalam sumur itu. "Tidak ada tali," gumamnya.

Stark menyisir rambut silver kebiruannya dengan jari, tampak berpikir. "Kurasa aku bisa turun tanpa masalah. Dindingnya cukup kasar untuk dijadikan pegangan." Ia melirik Elijah. "Kau juga bisa, kan?"

Elijah hanya mengangguk, gada besar di tangannya bersandar di bahunya yang lebar. Wajahnya yang keras dan penuh bekas luka tetap tenang. "Aku lebih khawatir tentang dia," katanya sambil melirik Tenebrist.

Tenebrist menghela napas panjang. Ia menyentuh syal merah yang menjuntai di lehernya, matanya yang hijau terang dengan pantulan emas tampak ragu. "Aku tahu aku pasti akan terluka kalau mencoba turun sendiri," katanya dengan jujur.

Stark tertawa kecil. "Kurasa ini giliran Elijah menjadi pahlawan."

Elijah mendesah pelan, lalu berjongkok sedikit. "Naiklah. Duduk di pundakku," katanya singkat.

Tenebrist mengerutkan dahi, tetapi akhirnya menurut. Dengan sedikit kesulitan, ia memanjat tubuh besar Elijah, duduk di bahunya dengan hati-hati seperti seekor burung yang hinggap di cabang pohon. Jubah hitamnya yang elegan dengan garis emas berkibar sebentar, dan syalnya melambai pelan di udara.

"Jangan bergerak terlalu banyak," gumam Elijah sambil menyesuaikan posisi perisainya agar tidak mengganggu.

"Aku bukan anak kecil," balas Tenebrist, kendati ia tetap memegang erat armor Elijah untuk keseimbangan. Seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ayahnya pergi.

Stark, yang sudah bersiap di tepi sumur, memandang mereka berdua dengan senyum lebar. "Kalian berdua terlihat… menarik," katanya sambil terkekeh.

"Turun sana," balas Elijah datar, tidak menggubris lelucon itu.

Mereka mulai turun satu per satu. Stark meluncur lebih dulu, tubuhnya yang ramping bergerak dengan lincah. Ia menempelkan kaki kirinya ke dinding kiri sumur dan kaki kanannya ke dinding kanan, menggunakan gesekan untuk mengontrol kecepatannya. Napasnya teratur, dan matanya fokus pada kegelapan di bawah.

Elijah mengikuti di belakang, menurunkan tubuh besar dan beratnya dengan perlahan. Dengan satu tangan memegang dinding untuk menjaga keseimbangan, tangan lainnya tetap menggenggam gada besar yang ia bawa. Tenebrist, yang duduk di pundaknya, mencoba untuk tidak bergerak terlalu banyak, meskipun wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan.

Kegelapan di dalam sumur semakin pekat. Hanya suara gesekan kaki mereka di dinding batu yang terdengar, bergema samar di ruang sempit itu. Udara di bawah semakin lembap dan dingin, bau tanah dan sesuatu yang tidak menyenangkan semakin terasa.

"Berapa dalam ini sebenarnya?" gumam Stark, suaranya sedikit bergetar karena gema. Namun matanya tiba-tiba terkejut. Bukan karena apa yang dia lihat, tetapi karena apa yang dia rasakan. Ada sesuatu yang menanti mereka. Tetapi sudah terlalu lambat untuk kembali. Meskipun belum terlambat juga tidak bisa.

"Terlalu dalam," jawab Elijah pendek, belum menyadari hawa tidak enak yang dirasakan Stark.

Ketika mereka mencapai dasar, Stark langsung sigap menghunuskan katananya. Suara samar terdengar dari mana-mana, seperti bisikan yang bergema, tetapi terlalu pelan untuk dimengerti. Tenebrist merasakan bulu kuduknya meremang, dan ia menggenggam tongkatnya dengan erat.

"Ada yang tidak beres," katanya pelan.

Elijah mengangguk kecil, matanya yang kuning menyipit, mencoba menembus kegelapan. Stark berhenti di tempat, matanya juga menajam. Ia sangat fokus dengan kuda-kudanya. Sesekali dengan cepat melihat ke kiri dan ke kanan.

Bisikan itu semakin jelas, meskipun kata-katanya masih sulit dipahami. Itu bukan hanya satu suara, tetapi seperti banyak suara yang bergabung menjadi satu, berbicara dalam nada rendah dan mengancam. Sebuah cahaya hijau redup tiba-tiba menyala dari dinding-dinding sumur, membentuk pola-pola aneh seperti rune kuno yang tidak mereka kenali. Cahaya itu bergerak perlahan, seolah hidup, merayap di sepanjang dinding menuju dasar tempat mereka berdiri.

"Ini… bukan sumur biasa," gumam Tenebrist, matanya membelalak melihat rune itu.

Tepat saat itu, suara berat dan dalam menggema dari kegelapan di depan mereka, membuat jantung mereka berhenti sejenak.

"Siapa yang berani menginjakkan kaki di wilayah kami?"

Suara itu tidak berasal dari satu arah, melainkan mengelilingi mereka, membuat suasana semakin mencekam. Mereka bertiga saling melirik, mereka melupakan satu hal—mereka belum mempelajari cara bertarung masing-masing dengan baik.

"Tenebrist!" Tiba-tiba namanya terpanggil, entah oleh siapa. Tenebrist tersenyum.