Tenebrist tersenyum samar ketika suara itu memanggilnya, namun senyum itu segera berubah menjadi keraguan. Stark dan Elijah saling bertukar pandang, kebingungan tergambar jelas di wajah mereka. Mereka mengenali suara itu—seolah pernah mendengarnya di tempat lain—tetapi belum yakin sepenuhnya. Suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, dan lebih mendesak.
"Lari! Mereka semua telah lepas kendali!"
Tenebrist tersentak, senyum tadi sirna sepenuhnya. Jantungnya berdebar kencang. Rencana yang diam-diam telah ia susun sejak kemarin tampaknya tidak berjalan semulus yang ia harapkan. Stark, dengan instingnya yang tajam, sudah merasakan ada yang tidak beres bahkan sebelum suara itu berbicara. Matanya menyipit, tangan kirinya memegang gagang katana di pinggangnya dengan erat, sementara tangan kanannya bersiap menarik sarungnya kapan saja.
Saat itu, sesuatu bergerak cepat di bayang-bayang sumur yang remang.
"Hati-hati!" seru Stark tiba-tiba, dan dalam sekejap, katana berkilauan dalam ayunan sempurna. Cahaya hijau samar terpantul di bilah pedangnya saat ia menebas sesuatu—sesuatu yang nyaris tak terlihat.
Benda itu jatuh ke tanah, berwujud kecil, dengan kulit hijau kusam yang hampir menyatu dengan lingkungan sekitar. Goblin. Dan mereka tidak sendirian.
Dari sudut-sudut gelap, goblin-goblin lain mulai muncul, mata mereka berkilat liar, penuh amarah. Kemampuan kamuflase mereka membuat mereka hampir tak terlihat, seolah muncul langsung dari udara.
Stark bergerak lebih dulu, tubuhnya melesat seperti angin. Ia menebas dengan presisi luar biasa, mengincar titik-titik lemah di tubuh goblin. Serangannya cepat, nyaris mustahil diikuti mata telanjang, setiap ayunan katana menghasilkan luka dalam yang membuat goblin terjungkal ke tanah.
Di belakangnya, Elijah berdiri kokoh seperti benteng. Tubuhnya yang besar dan armor ungu gelap memantulkan cahaya redup di dalam sumur. Ketika salah satu goblin melompat ke arahnya, ia menyambutnya dengan gada besar yang diayunkan dengan kekuatan mengerikan. Suara dentuman logam melawan tulang menggema, goblin itu terpental jauh, menabrak dinding batu.
"Jangan biarkan mereka mengelilingi kita!" teriak Elijah, suaranya dalam dan tegas.
Sementara itu, Tenebrist berada di belakang, mengamati pergerakan musuh dengan tajam. Tongkatnya tanpa ujung runcing bergerak cepat, memukul goblin yang mencoba menyerang dari sudut tak terduga. Ketika salah satu goblin melompat ke arah Elijah dari titik buta, tongkat itu menghantam keras, menghempaskan goblin ke lantai batu.
"Terima kasih!" seru Elijah sambil terus bergerak. Ia mengangkat perisainya untuk menahan hujan serangan dari beberapa goblin sekaligus. Di tengah pertempuran, ia sempat mempertimbangkan menggunakan sihir esnya, tetapi ruang sempit sumur dengan lorong panjang menyerupai terowongan membuatnya ragu. Jika ia salah perhitungan, sihir itu bisa melukai teman-temannya sendiri.
Jumlah goblin semakin banyak. Mereka bertiga tidak terluka, tetapi mulai kewalahan. Tenebrist akhirnya memutuskan untuk menggunakan sihir andalannya. Ia memejamkan mata, bibirnya melafalkan mantra pelan namun pasti. Cahaya biru lembut muncul di sekelilingnya, membentuk dua sosok yang menyerupai Stark dan Elijah, lengkap dengan senjata dan pakaian mereka.
Doppelganger itu segera bergabung dalam pertempuran, meniru gerakan dan gaya bertarung Stark dan Elijah dengan sempurna. Mereka menyerang dengan presisi dan kekuatan, menambah tekanan pada goblin-goblin yang menyerang.
Namun, menciptakan lebih dari satu doppelganger menguras tenaga Tenebrist. Tubuhnya gemetar, dan ia jatuh berlutut di lantai. Napasnya tersengal-sengal, wajahnya pucat.
"Lindungi Tenebrist!" teriak Elijah.
Elijah, Stark, dan doppelganger mereka segera bergerak membentuk formasi lingkaran, melindungi Tenebrist di tengah. Mereka memukul mundur goblin-goblin yang terus menerjang. Stark dan doppelgangernya tetap bergerak cepat—hampir seperti sekelibat bayangan yang lewat—menciptakan ruang di sekeliling formasi lingkaran mereka.
Elijah tahu mereka perlu menyelesaikan pertempuran ini dengan cepat. Ia memberi isyarat kepada doppelgangernya, yang segera mengangkat Tenebrist. Dengan satu lompatan tinggi, doppelganger itu membawa Tenebrist keluar dari jangkauan goblin.
"Stark, lompat!" perintah Elijah.
Stark, bersama doppelgangernya yang masih seirama, segera melompat ke udara. Pada saat yang sama, Elijah mengalirkan sihir esnya ke perisai besar di tangannya. Ia menancapkan perisai itu ke tanah dengan kekuatan penuh. Sihir es menyebar dari perisai, membekukan lantai batu dan goblin-goblin yang ada di sekitarnya dalam waktu sekejap.
Suasana hening. Goblin-goblin itu membeku dalam berbagai pose menyerang, seperti patung-patung biru kehijauan yang menyeramkan. Doppelganger mulai mencair perlahan, menjadi seperti air transparan yang mengalir di lantai. Air itu seperti perlahan masuk kembali ke dalam tubuh Tenebrist. Ia perlahan pulih dan berdiri, tetapi masih cukup sempoyongan. Nafasnya terengah.
Suara samar kembali terdengar, memanggil nama Tenebrist.
"Tenebrist…"
Suara itu penuh keakraban, namun sekaligus menimbulkan rasa tidak nyaman. Tenebrist berdiri perlahan—menggunakan tongkatnya untuk menopang tubuhnya—berusaha menatap ke arah suara itu berasal.
"Kau kah itu?" tanyanya sedikit ragu, sedikit berharap. Tenebrist memang selalu waspada dan penuh perencanaan, tetapi dia memiliki kelemahan. Ketika rencana yang dia susun gagal, dia tidak mudah untuk segera bertindak. Rencana yang diam-diam dia susun dari kemarin—memanfaatkan goblin untuk mempermudah akses masuk kota bawah tanah—sudah terbukti tidak berjalan semulus itu. Dia tidak memperhitungkan ada goblin liar yang bisa menyerang membabi buta seperti tadi. Bagaimana kalau yang ini juga tidak sesuai rencananya? Ia khawatir, berusaha sebisa mungkin untuk tetap tenang.
Dari bayangan di ujung sumur, sosok kabur mulai muncul. Stark tidak mengangkat katananya. Ia tidak merasakan hawa ataupun niat jahat sama sekali. Elijah, berjaga-jaga, memegang gada dengan erat, dan Tenebrist hanya bisa menatap dengan campuran sedikit rasa takut dan penasaran.
"Aku sudah menunggumu…" kata sosok itu, suaranya bergema, seperti berasal dari dalam sumur itu sendiri.
Sosok itu perlahan melangkah keluar dari kegelapan. Bayangannya tampak memanjang di dinding sumur yang lembap, mengikuti gerakannya dengan gerakan yang terasa tidak wajar, seperti sesuatu yang setengah terjaga dari mimpi buruk. Cahaya redup dari kristal alami yang tumbuh di dinding sumur memantulkan warna hijau kusam pada kulitnya.
Stark menahan napas. Wajahnya mengeras, tetapi matanya membelalak penuh keterkejutan. Itu adalah goblin. Namun, bukan sembarang goblin—itu adalah goblin yang sebelumnya mereka selamatkan di Syslodia.
"Elijah… itu dia, bukan?" bisik Stark, suaranya serak. Tangannya sedikit gemetar di gagang katana, bukan karena takut, melainkan kebingungan.
Elijah, yang berdiri kokoh di sampingnya, memiringkan kepalanya sedikit, matanya yang tajam menyipit di balik helm ungunya. "Tidak mungkin. Aku melihatnya… dia sudah mati. Dipenggal di depan kita."
Namun, sosok goblin itu melangkah lebih dekat. Langkahnya ringan tetapi penuh kepastian. Tatapan matanya yang besar dan bercahaya memandang langsung ke arah Tenebrist, yang berdiri diam dengan tongkat tersandar di bahunya. Wajahnya masih terlihat Lelah, tudungnya telah terbuka, memperlihatkan rambut hijau toska dengan poni sakuranya.
"Halo, Ruvak." Kata Tenebrist pelan.
Goblin itu tidak menjawab langsung. Ia berdiam diri sejenak.
"Aku masih hidup karena kau, Tenebrist. Terima kasih." Katanya, suaranya pelan tetapi menggema di dalam sumur, membuatnya terdengar lebih besar dari sosoknya. Stark dan Elijah segera berbalik menghadap Tenebrist, mereka menatapnya tak percaya dengan sedikit kekesalan. Setidaknya, Stark menyiratkan kekesalan.
Bagi Stark, ingatan Ruvak—si Goblin—yang terpenggal merupakan sesuatu yang sangat membekas. Stark sampai mimpi buruk karena itu. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana si bangsawan pemberi misi itu dengan cepat dan berdarah dingin memenggal kepala si goblin. Ia masih ingat tawaan hina orang-orang di Rusty Keg, seakan juga mentertawakan Stark yang tidak dapat bertindak.
Namun ternyata Ruvak masih hidup, kini berdiri di hadapannya. Ia senang, tetapi di saat yang sama juga kesal karena Tenebrist tidak memberitahu mereka apa-apa, bahkan setelah kejadian itu selesai. Suasana menjadi hening. Hanya suara tetesan air dari dinding sumur yang terdengar, seolah menjadi pengingat bahwa mereka masih berada di dalam tempat sempit dan lembap ini.
"Jadi… Yang waktu itu doppelganger?" Pertanyaan Elijah memecah keheningan. Tenebrist hanya mengangguk pelan, nafasnya mulai kembali normal. Stark masih berdiam diri, mencoba menguasai dirinya.
"Doppelgangermu bisa berbicara?" Elijah melanjutkan pertanyaannya, Tenebrist menggeleng. Ia lalu merenung beberapa saat, memikirkan ulang runtutan kejadian waktu itu. Mata hijau zamrudnya menatap ke bawah, sangat terlihat ia berusaha berpikir dengan tenang. "Berarti ada pertukaran si goblin yang asli dengan doppelganger saat kau dengan segera mengajak dia menunjukkan pintu masuk kota bawah tanah?" Lanjut Elijah. Tenebrist mengangguk. Elijah langsung teringat, pada saat itu memang Tenebrist kembali dalam keadaan sangat lelah. Kepalanya terlihat pusing, jalannya sedikit sempoyongan. Berarti itu karena doppelganger Ruvak adalah doppelganger kedua yang dia bikin pada hari itu, doppelganger pertama adalah tiruan Tenebrist sendiri ketika melawan makhluk seram di Cavern of Wailing Shadows. Ruvak pun, setelah kembali, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi Elijah teringat sesuatu, bukankah doppelgangernya Tenebrist akan menjadi sejenis cairan hampir transparan setiap kali musnah? Mengapa doppelganger Ruvak tidak menjadi cairan? Setidaknya, dia tidak melihat si Goblin berubah menjadi cairan. Tenebrist menatapnya dengan sedikit tersenyum, ada kebanggan yang tersirat dari senyuman itu, sebuah ekspresi yang belum pernah Tenebrist perlihatkan terang-terangan.
"Pada saat Ruvak… mati," Tenebrist mengangkat kedua tangannya, memberikan tanda kutip dengan jari, "apakah kalian terus-terusan menatap si Goblin?". Elijah berpikir sejenak, ia memegang dagunya dengan tangan kiri. Tangan kanannya selalu setia memegang gada andalan. Elijah menggeleng. Ia memang sempat fokus pada si Goblin yang sudah tak berkepala, tetapi kemudian perhatiannya tertuju pada si bangsawan, kemudian pada orang sekitar yang tertawa, kemudian kepada para penjaga yang datang mengusir. Tenebrist tersenyum puas.
"Misdirection!" Katanya, kali ini dengan senyum lebar dan mata berbinar. Elijah terkejut. Bahkan Stark yang daritadi mencoba menahan kekesalannya juga terkejut. Tenebrist sangat jarang tersenyum, apalagi senyuman yang memperlihatkan gigi. Kini tiba-tiba Tenebrist tersenyum dengan lebar, seperti anak kecil penuh semangat. Stark, yang sedari tadi diam karena mencoba mengendalikan emosinya, memperhatikan Tenebrist yang tersenyum lebar dengan singkat namun seksama. Rambut hijau toskanya, syal merahnya, mata hijaunya yang ternyata ada sedikit keemasan kalau berbinar, ekspresinya ketika tersenyum. Perasaannya campur aduk antara marah dengan mengagumi.
Tenebrist seketika menyadari bahwa barusan dia tersenyum lebar tanpa sadar. Ia segera mengendalikan dirinya, menutup kepalanya dengan tudung jubah.
"Misdirection." Ulangnya, kali ini benar-benar datar seperti Tenebrist seperti biasanya. Meskipun Elijah dan Stark dapat melihat dengan jelas bahwa ia tersipu malu. Sebenarnya masih ada yang mengganjal di pikiran Stark. Meskipun Tenebrist tidak memberitahu mereka mengenai doppelganger goblin waktu itu mungkin karena tidak sempat atau alasan lainnya, tetapi mereka kemudian menghabiskan hari bersama. Mereka berkemah, mereka mengobrol. Ada banyak waktu untuk menjelaskan, tetapi mengapa Tenebrist memendam sendirian? Ia berencana akan menanyakan hal itu dilain waktu, karena sekarang belum penting. Stark memang bukan orang yang peka dalam memahami isi pikiran orang, tetapi ia belajar untuk tidak terlalu banyak mencari tahu. Setidaknya, kalau ada waktu yang tepat, dia nanti akan mencoba bertanya kepada Tenebrist, termasuk sejak kapan Tenebrist sadar dan apakah ada alasan khusus untuk menyelamatkan Ruvak. Atau mungkin tanpa sadar, Stark hanya ingin meluapkan emosinya karena ia dan Tenebrist berbeda. Setidaknya, Stark tahu hal yang dilakukan Tenebrist sangat perlu dibicarakan, tetapi Tenebrist, di mata Stark, tampak menganggap remeh itu.
Elijah terlihat merenung, mencoba memikirkan misdirection yang dimaksud Tenebrist. "Aku paham, tetapi bukannya seharusnya ketika kita pergi, para penjaga dan yang lain menyadari bahwa Ruvak itu hanyalah… Tipuan?" Tanya Elijah. Tenebrist mengangguk, kembali menjawab tanpa suara. Elijah sedikit terkejut ketika menyadari makna dibalik ini.
"Berarti, kita sekarang bisa saja sedang diburu kan? Karena, mungkin dianggap, menipu?" Elijah mulai ragu dengan pertanyaannya sendiri. Tenebrist memiringkan kepalanya sedikit, ia bingung.
"Mengapa diburu? buktinya apa?" Tanya Tenebrist, "Apakah semua orang tahu kalau aku bisa doppelganger? Memangnya kalau mereka melihat mayat goblin yang menjadi air, mereka bisa langsung tahu bahwa itu doppelganger? Memangnya mayat doppelganger adalah hal umum?" Lanjutnya, menghujani banyak pertanyaan secara beruntun. Ia tidak bermaksud menjadi sarkastik, ia benar-benar ingin tahu apakah ada kesalahan pemikiran dalam kereta pikirannya. Elijah dan Stark terdiam, sedikit tersenyum dalam ke keheranan. Orang ini sebenarnya selalu memikirkan berapa langkah? Batin mereka. Mereka diam, Tenebrist pun diam sambil tetap memiringkan kepala, menunggu jawaban dari mereka.
"Ah, ayolah! Aku lelah daritadi berdiri menunggu kalian selesai berbicara." Suara Ruvak yang tiba-tiba berbicara membuat mereka sedikit tersadar, ah iya ada Ruvak. Mereka akhirnya bergegas melanjutkan perjalanan, menyusuri lorong goa itu.
Lorong goa itu terasa semakin panjang seiring mereka melangkah lebih dalam. Dinding-dinding batu di sekitarnya dingin dan basah, ditutupi lumut yang tampak bercahaya samar di bawah sinar lentera kecil yang dibawa Ruvak. Cahaya kuning redup dari lentera itu menari-nari di permukaan dinding, menciptakan bayangan yang bergerak seolah-olah goa itu hidup.
Langit-langit goa yang rendah di beberapa tempat membuat mereka harus menunduk, terutama Elijah, yang tubuhnya lebih besar dibandingkan yang lain. "Hati-hati," katanya dengan suara pelan, menundukkan kepala saat sebuah stalaktit besar tampak menggantung rendah, meneteskan air dingin yang jatuh ke lantai tanah dengan bunyi "tik-tik" yang berirama.
Lantai goa terdiri dari tanah liat basah yang kadang terasa licin di bawah sepatu mereka. Sesekali, batu-batu kecil yang longgar membuat langkah mereka goyah. Stark melangkah lebih ringan dibandingkan yang lain, instingnya membuatnya berhati-hati, sementara Tenebrist berjalan perlahan, menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengan dinding yang lembap. Tangannya sesekali menyentuh dinding untuk menjaga keseimbangan, meninggalkan bekas jejak tipis di permukaan batu.
Udara di dalam goa semakin pengap, membuat napas mereka terasa berat. Bau tanah basah bercampur dengan aroma samar belerang, memberi kesan bahwa mereka semakin mendekati sesuatu yang besar dan tak biasa. Suara gemuruh air di kejauhan mulai terdengar, seperti aliran sungai yang mengalir jauh di bawah mereka.
"Cahaya lentera itu tidak cukup terang," gumam Elijah sambil mengusap keringat di dahinya.
"Kita hampir sampai," balas Ruvak dengan suara datar. Ia menunjuk ke depan dengan lentera di tangannya. Di kejauhan, lorong itu tampak melebar, seperti mulut raksasa yang menganga.
Semakin mereka mendekat, tekstur dinding goa mulai berubah. Lumut-lumut bercahaya yang tadinya tersebar acak kini tampak membentuk pola-pola aneh, seperti jejak tangan atau simbol yang tak bisa mereka pahami. Tenebrist berhenti sejenak, menatap pola-pola itu dengan kening berkerut. "Ini bukan kebetulan," katanya pelan, suaranya hampir seperti gumaman. Mungkin bekas goblin yang juga melewati tempat ini, atau bisa saja diam-diam ada beberapa orang, atau kelompok, dari ras lain yang pernah mengunjungi kota bawah tanah.
Akhirnya, lorong itu terbuka ke sebuah ruang yang lebih luas, seperti aula bawah tanah. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah pintu besar dari kayu coklat tua, dengan bingkai batu yang diukir kasar. Ukiran itu tampak kuno, dengan gambar-gambar yang tak jelas namun terasa penuh makna. Pintu itu terlihat berat, meskipun kayunya mulai lapuk di beberapa bagian. Engselnya besar dan berkarat, memberikan kesan bahwa pintu itu jarang, jika pernah, dibuka.
Di atas pintu, tergantung sebuah lentera besar yang memancarkan cahaya temaram. Cahayanya cukup untuk memperlihatkan detail pintu dan sebagian ruang di sekitarnya, tetapi bayangan gelap masih menyelimuti sudut-sudut aula.
"Ini dia," kata Ruvak, suaranya datar tetapi ada nada berat di baliknya. Ia berhenti di depan pintu itu, menoleh ke belakang untuk memastikan ketiga temannya siap.
Tenebrist menyesuaikan syal merah di lehernya, menyibakkan rambut panjangnya yang hampir menempel di wajah karena lembap. "Kalau begitu, mari kita masuk," katanya pelan, meskipun ada sedikit keraguan di suaranya.
Stark mengangguk, melangkah ke depan dengan tangan di gagang katananya, berjaga-jaga. Elijah, meski tampak ragu, berdiri tegak di belakang mereka, memegang gada dengan erat.
Ruvak mengulurkan tangan ke pintu, memutar gagang karatan dengan sedikit usaha. Bunyi derak keras terdengar, bergema di seluruh ruang itu. Pintu kayu tua itu terbuka dengan perlahan, mengeluarkan suara derit panjang yang memekakkan telinga, seperti protes dari engsel-engsel berkarat yang sudah terlalu lama tidak digerakkan. Cahaya temaram dari lentera Ruvak merembes masuk terlebih dahulu, sebelum akhirnya ruangan di balik pintu mulai tampak.
Di hadapan mereka terbentang pemandangan kota bawah tanah Syslodia—sebuah tempat yang seolah membeku dalam penderitaan dan waktu. Atmosfernya langsung terasa menekan, udara pengap yang berat menyelimuti mereka. Tidak ada cahaya alami di sini; hanya lampu-lampu kecil yang menggantung di sepanjang jalan setapak dan tiang-tiang kayu, memberikan penerangan remang-remang dengan cahaya kuning yang hampir redup.
Langit-langit kota berupa kubah batu besar yang melengkung, penuh dengan retakan yang menyerupai jaring laba-laba. Dari beberapa retakan, air menetes perlahan, menciptakan genangan kecil di lantai tanah yang sudah lembap. Dinding-dinding batu yang mengelilingi kota tampak kasar, seperti tidak pernah benar-benar dirapikan, dengan lumut bercahaya hijau pucat yang tumbuh liar di beberapa sudutnya.
Jalan-jalan kota sempit dan bercabang ke berbagai arah, seperti labirin yang tidak teratur. Di kedua sisi jalan, berdiri rumah-rumah kayu yang terlihat bobrok dan nyaris runtuh. Atap-atapnya melengkung, beberapa bolong, dan sebagian besar tertutup debu tebal. Banyak rumah yang tidak lagi berpenghuni, dengan pintu-pintu terbuka dan jendela-jendela tanpa kaca yang menatap kosong ke arah mereka.
Di kejauhan, sebuah sumur tua kering berdiri di tengah-tengah ruang terbuka yang lebih luas. Ember kayunya tergeletak di samping, sudah rapuh dan penuh retakan, seperti tidak pernah digunakan selama bertahun-tahun. Di sekeliling sumur itu, ada beberapa goblin yang tampak duduk di tanah, mengenakan pakaian lusuh. Mata mereka kosong, pandangan mereka seolah tidak lagi peduli dengan dunia di sekitar mereka.
Tenebrist melangkah masuk terlebih dahulu, jubah hitamnya menyapu tanah yang basah. Ia menarik tudungnya sedikit lebih dalam, menutupi ekspresi wajahnya. Matanya yang hijau dengan kilatan emas sesekali berusaha menangkap setiap detail di sekitarnya.
"Ini... lebih buruk dari yang kubayangkan," gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.
Elijah melangkah menyusul, menyesuaikan diri dengan ruang sempit di jalan setapak. Sepatu armornya menimbulkan suara gemeretak setiap kali menyentuh lantai berbatu. Ia memperhatikan rumah-rumah di sekitar, dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. "Mereka tinggal di sini?" tanyanya, suaranya berat dengan nada yang sulit dijelaskan—campuran antara rasa kasihan dan rasa bersalah.
Ruvak menoleh, ekspresinya tetap dingin. "Ini rumah mereka sekarang," jawabnya singkat.
Stark berjalan paling belakang, matanya bergerak cepat, memeriksa setiap sudut dengan penuh kewaspadaan. Tangan kanannya tetap di gagang katananya, sementara tangan kirinya menyeka keringat di pelipisnya. Ia berhenti sejenak, menatap sebuah rumah yang pintunya hanya tergantung di satu engsel. "Kau yakin ini aman?" tanyanya dengan nada rendah.
Ruvak tidak menjawab langsung, hanya mengangguk kecil sambil terus melangkah.
Mereka bertiga mengikuti Ruvak, menyusuri jalan-jalan sempit itu. Bau lembap bercampur aroma kayu lapuk semakin kuat. Sesekali, mereka mendengar suara-suara samar—langkah kaki kecil yang berlari di kejauhan, suara pintu berderit, atau gumaman pelan yang sulit dipahami.
Ketika mereka melangkah lebih jauh, kota itu terasa semakin gelap dan menyesakkan. Lampu-lampu gantung semakin jarang, menyisakan bayangan yang bergerak aneh di dinding batu. Di ujung salah satu jalan, terlihat sebuah bangunan yang sedikit lebih besar, dengan papan kayu yang tergantung di atas pintunya. Tulisan di papan itu sudah hampir pudar, tetapi masih bisa terbaca: "Pusat Distrik."
"Ke sana?" tanya Elijah, menunjuk bangunan itu.
Ruvak berhenti sejenak, menatap mereka bertiga. "Kita perlu bicara dengan pemimpin goblin," katanya. "Dia ada di dalam."
Tenebrist menarik napas panjang, melirik bangunan besar itu dengan ekspresi datar. "Baiklah," katanya, melangkah lebih dulu menuju pintu Pusat Distrik yang terlihat sama bobroknya dengan pintu rumah lain. Itupun kalau memang masih layak disebut rumah.
Pintu kayu besar yang bertuliskan "Pusat Distrik" itu berderit saat didorong oleh Ruvak. Suara engsel tua terdengar nyaring, menggema di lorong yang hening. Saat mereka masuk, udara di dalam terasa lebih pengap, seperti tidak ada sirkulasi sama sekali. Cahaya di dalam ruangan itu lebih suram dibandingkan di luar, hanya diterangi beberapa lampu minyak yang tergantung rendah di dinding.
Ruangan itu luas, tetapi hampir kosong dan terasa hampa. Di tengahnya terdapat meja kayu panjang dengan kursi-kursi yang tidak seragam, sebagian bahkan terlihat seperti hanya disatukan dari potongan-potongan kayu yang ditemukan di sekitar. Dinding-dinding batu di sekeliling ruangan dipenuhi ukiran kasar, mungkin dibuat oleh goblin sebagai pengingat masa lalu atau sekadar pelarian dari kehidupan mereka yang keras. Di sudut ruangan, ada beberapa goblin yang berdiri dalam diam, memandang dengan tatapan yang sulit dibaca.
Tenebrist, Elijah, dan Stark berdiri diam di ambang pintu untuk beberapa saat, membiarkan mata mereka menyesuaikan diri dengan kegelapan. Mereka bisa merasakan suasana yang tidak nyaman—tegang, namun tidak bermusuhan. Seperti sedang berada di tengah ruang sidang yang penuh penghakiman.
"Ini tempat tinggal pemimpin mereka?" gumam Elijah pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
"Lebih mirip ruang tahanan," tambah Stark, dengan nada sarkastis, meskipun matanya tetap awas memindai setiap sudut. Tenebrist segera menoleh ke Stark, memberi isarat agar tidak sembarangan berbicara. Dia tidak ingin ada perkataan tidak disengaja yang menyinggung.
Ruvak menoleh, menatap Stark dengan tajam. "Hati-hati dengan kata-katamu," bisiknya tegas. "Mereka sudah tahu tentang kalian."
Mendengar itu, Tenebrist menegakkan tubuhnya, berusaha tenang sebisa mungkin. Sejujurnya dia sangat gugup dan tertekan dalam keadaan seperti ini. Jubah hitamnya melambai sedikit saat ia melangkah lebih dekat ke tengah ruangan. "Apa mereka akan menyambut kita dengan damai?" tanyanya tanpa memandang Ruvak, matanya terfokus pada sosok-sosok yang berdiri di sisi lain ruangan.
Ruvak mengangguk perlahan. "Aku sudah menjelaskan semuanya. Tentang bagaimana kalian menyelamatkanku. Tentang pengalihan yang kau buat dengan doppelganger-mu. Oh, dan tentang kamu yang meminta aku menjadi pemandu di sini sebagai imbalan." Suaranya terdengar mantap, tetapi ada nada halus di dalamnya, seperti dia sendiri tidak sepenuhnya yakin. "Mereka tahu niat kalian baik. Pemimpin mereka sudah menunggu." Elijah dan Stark sebenarnya sedikit terkejut ketika mengetahui bahwa Tenebrist sudah berencana untuk memasuki tempat ini bahkan sebelum kejadian pembunuhan Ruvak. Tetapi sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas itu.
Mereka berjalan perlahan ke arah meja di tengah ruangan. Di ujung meja, seorang goblin yang tampak lebih tua dari yang lain duduk di kursi besar, tubuhnya membungkuk sedikit, tetapi auranya tetap memancarkan otoritas. Kulitnya yang hijau tua penuh dengan keriput, matanya kecil tetapi tajam, memandang mereka seperti sedang menilai setiap gerak-gerik. Ia mengenakan mantel coklat tua yang sudah lusuh, tetapi ada lambang kecil berbentuk lingkaran di dadanya, terbuat dari logam yang tampak berharga.
Suasana menjadi lebih tegang saat goblin tua itu berdiri perlahan, menopang tubuhnya dengan tongkat kayu yang panjang. Para goblin lain di sekitar langsung menghentikan aktivitas mereka, memandang dengan penuh perhatian.
"Kalian datang," suara goblin tua itu terdengar berat dan serak, seperti batu yang saling bergesekan. "Kami sudah mendengar tentang apa yang kalian lakukan."
Tenebrist berdiri tegak, memandang lurus ke arah goblin tua itu. "Kami hanya melakukan apa yang perlu dilakukan," jawabnya singkat, nadanya netral tetapi penuh wibawa.
Goblin tua itu menyipitkan matanya, memperhatikan Tenebrist dengan intensitas yang membuat udara di ruangan terasa semakin berat. "Itu mungkin benar," katanya, "tetapi kalian juga telah menciptakan kekacauan yang tidak kecil."
Tenebrist tidak bereaksi, hanya diam mendengarkan. Elijah dan Stark saling melirik, merasa bahwa situasi ini tidak sesederhana yang mereka kira.
"Apa yang kau maksud dengan kekacauan?" tanya Elijah, suaranya dalam tetapi terkendali.
Goblin tua itu tidak langsung menjawab, melainkan melirik Ruvak. "Kau sudah banyak bicara, Ruvak. Tapi aku ingin mendengar dari mereka sendiri."
Semua mata kini tertuju pada mereka bertiga. Ruangan itu menjadi hening, hanya terdengar suara tetesan air dari dinding. Tenebrist mengambil napas dalam-dalam, lalu melangkah maju.
"Jika ada yang ingin kau ketahui, tanyakan saja," katanya, menatap langsung ke mata goblin tua itu. "Kami tidak datang untuk membuat masalah. Kami hanya ingin jawaban."
Goblin tua itu tersenyum tipis, senyum yang sulit ditebak apakah itu kehangatan atau sinisme. "Jawaban," katanya pelan, lalu mengangguk. "Baiklah. Anggap saja sebagai imbalan karena telah menolong salah satu penduduk kami."
Ruangan itu tetap hening, meskipun ada banyak hal yang membara di pikiran mereka bertiga. Tenebrist, berdiri paling depan, merasakan beratnya suasana. Dia mengangkat pandangannya, menatap pemimpin goblin yang masih berdiri tegak di ujung meja.
Ada terlalu banyak yang ingin ia tanyakan, terlalu banyak misteri yang menyelimuti ras ini. Bagaimana bisa mereka, yang konon pernah menjadi salah satu ras paling ditakuti di masa lalu, jatuh ke keadaan seperti ini? Rumah-rumah bobrok, kehidupan yang terperangkap di bawah tanah tanpa cahaya, dan udara yang seolah membawa aroma penderitaan mereka.
Lalu ada pertanyaan tentang perbudakan. Berdasarkan cerita Ruvak, perbudakkan untuk ras goblin telah menjadi rahasia umum. Mengapa mereka tidak memberontak? Bukankah mereka memiliki kemampuan? Fatum dari Nephilim seharusnya memberi mereka kekuatan. Apa yang sebenarnya terjadi?
Dan ada hal lain, sesuatu yang lebih mendesak karena terkait dengan apa yang mereka alami baru-baru ini. Tentang goblin yang kehilangan kendali, berubah menjadi makhluk liar seperti yang mereka hadapi di sumur itu. Apakah semua goblin bisa menjadi seperti itu? Jika ya, mengapa? Apa yang membuat mereka berubah?
Tenebrist tanpa sadar mengepalkan tangan. Ini semua terasa seperti teka-teki besar yang tidak memiliki petunjuk. Tetapi, ada satu pertanyaan lain yang terus menghantui pikirannya—Nephilim.
Di mana Nephilim? Mengapa ia tidak turun tangan? Bukankah ia adalah pencipta perdamaian, pemersatu berbagai ras? Mengapa goblin, yang juga diberkahi Fatum, dibiarkan jatuh dalam keadaan seperti ini? Namun, Tenebrist tahu, pertanyaan itu terlalu besar. Ia ragu pemimpin goblin ini memiliki jawabannya. Lagipula, mereka baru saja tiba, dan suasana di ruangan ini masih tegang. Mengajukan semua pertanyaan itu sekaligus hanya akan membuat percakapan ini semakin sulit.
Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang mulai menguasainya. Satu hal yang ia pelajari selama bertahun-tahun—bertanya terlalu banyak dalam satu waktu hanya akan mengaburkan jawaban yang dicari.
"Fokus pada satu hal dulu," pikirnya, memantapkan hati. Informasi tentang Nephilim bisa ditanyakan nanti, ketika waktunya lebih tepat. Untuk sekarang, ada pertanyaan lain yang lebih mendesak.
Elijah dan Stark berdiri di belakangnya, berdiam diri menatap Tenebrist yang tak bersuara selama beberapa detik. Tenebrist bisa merasakan bahwa mereka sebenarnya juga memiliki pertanyaan yang sama banyaknya, tetapi ia tahu mereka akan membiarkan dirinya mengambil kendali dalam situasi ini. Ia menghela napas, menyadari bahwa percakapan ini mungkin akan membuka lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Tetapi satu hal yang pasti—mereka harus memulai dari suatu titik.
Tenebrist hendak membuka mulut untuk memulai, tetapi pemimpin goblin mengangkat tangannya perlahan, memberi isyarat untuk menunda pembicaraan. "Tunggu," katanya dengan suara serak yang dipenuhi otoritas. "Ada satu orang lagi yang harus hadir. Dia biasanya datang pada waktu seperti ini. Kebetulan, dia mungkin punya pertanyaan yang sama seperti kalian."
Tenebrist melirik Elijah dan Stark, yang sama-sama terdiam, menunggu arahan darinya. Stark, dengan tangan terlipat di dadanya, tampak gelisah tetapi tetap diam. Elijah hanya mengangguk kecil, menunjukkan bahwa ia setuju untuk menunggu.
"Siapa orang itu?" tanya Tenebrist akhirnya, dengan nada yang datar tetapi penuh rasa ingin tahu.
"Seorang wanita elf," jawab pemimpin goblin, matanya menyipit, seperti mengenang sesuatu. "Dia sering membantu kami, meskipun tidak secara terang-terangan. Membawa makanan segar, obat-obatan, atau sekadar informasi. Dia berbeda... Tidak seperti kebanyakan ras kalian." Ada sedikit penekanan pada kata "ras kalian," meskipun nadanya tidak sepenuhnya menyalahkan.
Tenebrist tidak merespon, tetapi ia mencatat informasi itu dalam pikirannya. Wanita elf ini, siapa pun dia, tampaknya memiliki peran penting bagi para goblin. Jika benar, kehadirannya bisa membawa perspektif yang berbeda, atau mungkin bahkan informasi baru yang mereka butuhkan. Elijah berusaha menyimpan kerisauannya. Tenang, kau pakai armor, batinnya.
"Dia biasanya datang sebentar lagi," tambah pemimpin goblin. "Jadi lebih baik kita tunggu."
Akhirnya, mereka memutuskan untuk duduk. Ruangan itu sunyi kecuali suara napas dan sesekali derit kursi kayu yang mereka duduki. Ruvak berdiri di dekat pintu, tampak seperti penjaga yang setia, meskipun sesekali ia mencuri pandang ke arah Tenebrist dan yang lainnya, mungkin bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.
Elijah bersandar di kursinya, memainkan gagang gadanya yang selalu ia bawa. Stark, di sisi lain, duduk dengan sikap siaga, jarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang sudah kusam. Sejujurnya ia merasa sedikit bosan dan gelisah, ia tidak terlalu suka dengan keadaan diam tenang tanpa berbuat suatu hal. Mungkin karena tempat ini mendukung suasana tidak nyaman. Tenebrist tetap tenang, kedua tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap kosong ke arah ruangan, tenggelam dalam pikirannya.
Waktu berlalu. Hampir sejam, ketika akhirnya suara langkah kaki terdengar dari luar pintu. Pintu besar itu berderit terbuka perlahan, memperlihatkan seorang wanita elf yang masuk dengan anggun.
Pakaiannya kaos sederhana tetapi rapi, terdiri dari atasan putih tak berlengan dengan tambahan aksen kuning lembut di lengan yang tidak terhubung ke kaos putih. Celana hitam selutut yang praktis. Rambutnya kuning cerah, tergerai panjang hingga ke punggungnya, dan kuping tajamnya khas elf mencuat dari sela-sela rambut. Di tangannya, ia memegang sebuah buku tebal, sampulnya sudah tua tetapi terlihat terawat dengan baik, seolah menjadi benda berharga yang ia jaga dengan penuh perhatian.
Tatapan dari mata biru wanita itu menyapu ruangan, menilai suasana dan orang-orang di dalamnya. Ketika matanya bertemu dengan pemimpin goblin, ia mengangguk kecil sebagai salam. Kemudian, ia melihat ke arah Tenebrist, Elijah, dan Stark, dengan ekspresi penasaran tetapi tidak menghakimi.
"Jadi, ini tamu-tamu istimewa yang kau maksud kemarin, Ruvak?" tanyanya dengan suara lembut, namun tegas. Ruvak mengangguk.
Pemimpin goblin, dengan suaranya yang rendah tetapi jelas, menambahkan, "Mereka datang untuk mencari jawaban. Sama seperti kau, Lyra."
Wanita elf itu—bernama Lyra—melangkah lebih dekat, menarik kursi, dan duduk di meja yang sama. Buku tebalnya ia letakkan di atas meja, tetapi tangannya tetap memegang sampulnya, seolah siap membukanya kapan saja.
"Kalau begitu," katanya, suaranya tenang tetapi penuh rasa ingin tahu, "mari kita mulai."
Lyra menatap mereka bertiga, seolah mencoba menilai siapa di antara mereka yang akan berbicara lebih dulu. Tenebrist menegakkan tubuhnya, hendak mengajukan pertanyaan yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Namun sebelum ia sempat mengeluarkan sepatah kata, wanita elf yang bagi dia asing itu tiba-tiba membuka bukunya, memperlihatkan halaman yang dipenuhi tulisan tangan dan diagram yang tampak kuno.
"Kalau kau di sini untuk mencari jawaban," katanya, suaranya berubah sedikit lebih serius, "maka kau harus tahu sesuatu yang mungkin belum pernah kau dengar sebelumnya."
Ia membalikkan buku itu, memperlihatkan sebuah simbol aneh yang terukir di salah satu halaman. Simbol itu tampak seperti kombinasi dari tanda-tanda kuno, membentuk lingkaran yang berlapis dengan pola yang tidak dikenali. Namun, yang membuat Tenebrist dan teman-temannya terkejut adalah cahaya redup yang perlahan muncul dari simbol tersebut, seperti bereaksi terhadap kehadiran mereka semua yang ada di ruangan. Ruangan itu menjadi sunyi, dan hanya cahaya dari simbol di halaman itu yang memantul di wajah mereka, seperti menghidupkan kembali sesuatu yang seharusnya tetap terkubur dalam gelap. Cahaya itu seperti memanggil bagian tertentu dari tubuh masing-masing orang di sana—bagian itu ikut mengeluarkan Cahaya.
Fatum yang mereka miliki, yang terletak di bagian tubuh berbeda tiap orangnya, beresonansi satu persatu. Tenebrist seperti terkejut. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya merenguh kesakitan. Ia segera berlari keluar meninggalkan ruangan itu, meninggalkan tongkatnya yang perlahan terjatuh.
Di luar, tersandar di dinding Pusat Distrik, Tenebrist memegang kepalanya. Napasnya terengah, wajahnya sedikit pucat.
Hampir saja, batinnya.