Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

The Heptagon - Perang di Dalam Bayangan

Aljumah_R
49
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 49 chs / week.
--
NOT RATINGS
25
Views
Synopsis
The Heptagon – War in the Shadows Dunia ini dikendalikan bukan oleh mereka yang tampak berkuasa, tetapi oleh mereka yang bergerak dalam bayangan. The Heptagon adalah organisasi rahasia yang memastikan keseimbangan dunia tetap terjaga, tanpa diketahui oleh siapa pun. Thomas dan timnya—Alex, Diego, dan Flynn—adalah bagian dari angkatan “The Revenants”, generasi terbaru yang dilatih selama lima tahun dalam akademi brutal The Heptagon. Setelah melewati ujian hidup dan mati, mereka kini bukan lagi siswa. Mereka adalah senjata yang siap digunakan untuk perang yang tidak pernah diketahui dunia. Setelah kelulusan, mereka diberikan cuti satu minggu untuk kembali ke negara masing-masing—tetapi pulang tidak lagi berarti sama. Dunia lama mereka telah berubah, dan mereka sendiri bukan lagi bagian dari itu. Saat masa cuti berakhir, mereka dipanggil ke markas pusat The Heptagon, sebuah pulau buatan di Samudra Pasifik yang tidak ada dalam peta dunia. Di sana, mereka diberikan misi pertama mereka—melacak organisasi musuh terbesar Heptagon, The Black Dawn, yang sedang merencanakan sesuatu yang bisa mengguncang dunia. Mereka tidak lagi berlatih. Mereka tidak bisa mundur. Kini, perang di dalam bayangan telah dimulai. Dunia tidak akan pernah mengenal mereka. Tetapi tanpa mereka, dunia ini tidak akan bertahan.
VIEW MORE

Chapter 1 - Kehidupan di pelabuhan - Part 01

Ditahun 2000, Langit London pagi itu kelabu, seperti biasa. Kabut tipis menyelimuti pelabuhan, menciptakan suasana suram yang seolah-olah mencuri harapan dari setiap sudut kota. Bagi Thomas, kabut itu justru menjadi teman setia. Ia tahu, di balik kabut, ada peluang peluang untuk bertahan hidup dan menghidupi kedua adiknya, Jack dan Murphy.

Thomas, si sulung berusia 18 tahun, sudah bangun sebelum matahari terbit. Suara debur ombak dan riuh rendah aktivitas pelabuhan menjadi alarm alami yang membangunkannya setiap pagi. Ia duduk di atas lantai kayu yang reyot di dalam reruntuhan rumah tua yang mereka tinggali. Rumah itu jika bisa disebut rumah hanyalah tumpukan kayu lapuk dan batu bata yang hampir roboh. Tapi, inilah satu-satunya tempat yang bisa mereka sebut "rumah".

Di sudut ruangan, Jack dan Murphy masih tertidur pulas. Jack, yang berusia 10 tahun, memiliki tubuh kurus dan wajah pucat akibat kurang gizi. Sedangkan Murphy, adik kecilnya yang baru berusia 7 tahun, terbungkus selimut usang yang sudah penuh tambalan, menunjukkan betapa mereka hidup dalam keterbatasan. Thomas memandang mereka dengan perasaan campur aduk. Tanggung jawab besar terletak di pundaknya, namun kasih sayang untuk adik-adiknya memberikan kekuatan untuk terus berjuang.

Thomas tahu, untuk bertahan hidup di kota yang keras ini, ia harus cerdik dan pintar. Dia meraih jaketnya yang sudah compang-camping, memeriksa saku untuk memastikan pisau kecilnya tetap aman di dalamnya. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia harus mencari uang. Tapi Thomas bukan anak biasa. Di balik usianya yang masih remaja, tersembunyi jiwa pengusaha cerdas yang selalu mencari peluang di tengah kesulitan.

Setelah memastikan adiknya masih tidur nyenyak, Thomas menyelinap keluar dari reruntuhan rumah. Kabut pagi belum menghilang, memberikan perlindungan dari pandangan mata yang tidak diinginkan. Ia melangkah cepat menuju pasar gelap dekat pelabuhan, tempat di mana kebutuhan sehari-hari bisa dipenuhi dengan harga yang layak atau setidaknya cukup untuk membeli sesuatu yang bisa dijual kembali.

Pasar gelap itu ramai dengan pedagang yang menjual berbagai barang, mulai dari makanan kadaluarsa hingga barang-barang curian. Thomas tahu, di sini, uang bukanlah satu-satunya alat tukar. Kecerdikan dan kemampuan bernegosiasi adalah kunci untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan. Ia melangkah di antara kerumunan, memperhatikan setiap gerak-gerik orang di sekitarnya.

Mata Thomas tertuju pada seorang pedagang roti yang sedang sibuk melayani pelanggan. Bau roti yang terbakar dan aroma busuk dari sampah terdekat menciptakan kontras yang aneh namun khas dari pasar gelap ini. Dengan cepat, Thomas memperhatikan saat pedagang tersebut sibuk menghitung uangnya. Ini adalah momen yang tepat. Dengan kecepatan tangan yang hampir tidak terlihat, ia mengambil dua potong roti dari tumpukan dan menyembunyikannya di balik jaketnya. Roti itu bukan hanya makanan; itu adalah harapan untuk keluarga kecilnya.

Namun, Thomas tidak berhenti di situ. Ia tahu, roti saja tidak cukup. Ia membutuhkan uang tunai untuk membeli barang-barang yang lebih berharga atau bahkan menyimpan uang untuk masa depan. Mata Thomas kemudian tertuju pada seorang gadis muda yang berdiri di dekat kios ikan. Gadis itu tampak bingung, mungkin baru pertama kali ke pasar. Thomas melihat ini sebagai peluang.

Dengan senyum manis di wajahnya, Thomas mendekati gadis itu. "Permisi, nona", katanya dengan suara lembut namun penuh percaya diri. "Kamu terlihat butuh bantuan. Apa kamu mencari sesuatu?"

Gadis itu menoleh, matanya yang besar dan polos menatap Thomas dengan rasa penasaran. "Aku... aku mencari ikan segar untuk ibuku," jawabnya dengan ragu-ragu.

Thomas tersenyum lagi, menunjukkan sisi lain dari dirinya yang bisa memikat orang. "Ah, kamu datang ke tempat yang tepat. Tapi hati-hati, banyak pedagang nakal di sini. Aku bisa membantumu memilih yang terbaik."

Gadis itu mengangguk, merasa lega dengan tawaran bantuan Thomas. Dengan cepat, Thomas membimbingnya menuju kios ikan yang dia kenal. Ia tahu, si pedagang akan memberinya sedikit uang jika dia berhasil membawa pelanggan. Setelah gadis itu membeli ikan, Thomas mendapat beberapa koin dari si pedagang. Tidak hanya itu, rasa terima kasih dari gadis itu memberikan kepuasan tersendiri bagi Thomas. Hari ini, dia sudah mendapatkan roti dan uang tunai dua hal yang sangat berharga.

Saat matahari mulai tenggelam, Thomas memutuskan untuk pulang. Namun, perjalanan pulang tidak selalu aman. Kota ini penuh dengan bahaya, mulai dari pencuri hingga pihak berwenang yang sering melakukan razia. Thomas harus selalu waspada dan siap menghadapi segala kemungkinan. Namun, kelelahan mulai menggerogoti tubuhnya. Ia melewati area pelabuhan yang lebih sepi, tempat di mana kapal-kapal besar sedang bongkar muat barang. Di sinilah, menurut Thomas, peluang emas menantinya.

Dengan mata tajam, ia memperhatikan gerak-gerik para pekerja. Mereka sibuk mengangkat karung berisi kopi, tanpa menyadari kehadiran Thomas. Dengan gerakan cepat dan hati-hati, Thomas menyelinap ke belakang tumpukan karung dan mengambil sekantong kecil kopi. Kopi ini bisa dijual dengan harga mahal di pasar gelap, memberikan keuntungan yang signifikan bagi Thomas dan adiknya.

Namun, Thomas tidak berhenti di situ. Di dekat kapal, ia melihat sekotak kecil yang tergeletak di tanah. Kotak itu terlihat mewah, mungkin berisi perhiasan atau barang berharga lainnya. Dengan kecerdikan yang luar biasa, Thomas mengambil kotak itu dan menyembunyikannya di balik jaketnya. Ia tahu, mengambil barang dari kapal yang sedang bongkar muat adalah risiko besar, tapi kesempatan seperti ini tidak datang setiap hari.

Dengan napas yang terkendali, Thomas melangkah pergi dari pelabuhan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun, hatinya berdetak kencang, menyadari bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi. Kecerdasannya membuatnya bisa menghindari deteksi, tetapi di dunia ini, tidak ada yang benar-benar aman.

Saat matahari mulai tenggelam, langit London berubah menjadi lebih gelap. Thomas memutuskan untuk melewati sebuah rumah kecil di dekat pelabuhan. Dari jendela yang terbuka, ia mendengar suara air dan nyanyian lembut yang berasal dari dalam. Rasa penasaran menguasai dirinya. Dengan hati-hati, ia mendekati jendela itu dan mengintip ke dalam.

------------> Bersambung