Aku duduk di tepi tempat tidur dengan tanda terima hotel itu masih tergenggam di tanganku. Kertas kecil, tetapi bobotnya terasa seperti batu yang menindih dadaku. Tanggalnya jelas, dua hari lalu—hari di mana Mas Al bilang ada perjalanan bisnis ke Bandung. Aku bahkan masih ingat bagaimana aku dengan penuh kepercayaan membantunya menyiapkan pakaian, memastikan dia membawa charger ponselnya, dan memberinya ciuman selamat jalan di depan rumah.
Ternyata dia tidak pernah pergi ke Bandung.
Jadi, siapa yang bersamanya di hotel itu? Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku menatap pintu kamar kami yang sedikit terbuka. Dari celahnya, aku bisa melihat bayangan Mas Al di ruang tamu, duduk di sofa dengan ponsel di tangannya. Sesekali dia tersenyum kecil, seolah membaca sesuatu yang menyenangkan.
Dulu, aku adalah orang yang membuatnya tersenyum seperti itu.
Dadaku terasa sesak. Aku ingin marah, ingin menerjangnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuiku. Tapi aku juga takut. Takut mendengar kebenaran yang mungkin akan menghancurkan segalanya.
Aku menutup mataku sejenak, menarik napas dalam-dalam. Aku harus tetap tenang. Aku tidak bisa gegabah. Jika aku menuduhnya tanpa bukti lebih lanjut, dia bisa saja memutarbalikkan keadaan. Aku butuh lebih banyak jawaban.
Dan untuk itu, aku harus bermain lebih cerdas.
Rahasia dalam Ponsel
Malam itu, aku pura-pura tertidur lebih awal. Aku membelakangi Mas Al di ranjang, membiarkan tubuhku diam seperti batu. Kudengar dia masih sibuk dengan ponselnya. Suara notifikasi terus berbunyi, dan setiap kali itu terjadi, dia mengetik dengan cepat, seolah tak ingin aku melihat apa yang sedang ia lakukan.
Aku menahan napas, menunggu.
Sekitar satu jam kemudian, aku mendengar deru napasnya yang teratur. Aku tahu dia sudah tertidur. Perlahan, aku berbalik dan menatap wajahnya. Cahaya dari lampu tidur membentuk bayangan samar di wajahnya. Begitu damai, seolah tidak ada beban di pikirannya.
Bagaimana mungkin seseorang bisa tidur dengan tenang setelah berbohong?
Jantungku berdegup kencang saat aku mengulurkan tangan ke ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Aku tahu ini salah. Aku tahu aku melanggar privasinya. Tapi aku butuh jawaban. Aku butuh sesuatu yang bisa membuktikan apakah aku hanya berprasangka buruk, atau jika ada sesuatu yang lebih dalam dari ini.
Dengan hati-hati, aku mengambil ponselnya dan menekan tombol daya.
Terkunci.
Aku menggigit bibir. Aku tahu kode sandinya dulu. Tanggal ulang tahunku. Tapi beberapa waktu lalu, dia mengubahnya. Dia bilang itu karena alasan keamanan. Aku percaya padanya saat itu. Sekarang aku merasa bodoh.
Aku menekan beberapa kombinasi angka yang mungkin. Ulang tahun Mas Al, tanggal pernikahan kami, angka keberuntungannya—tapi semuanya salah. Aku hampir menyerah sampai aku mencoba kombinasi yang tak terduga: ulang tahun ibunya.
Ponsel itu terbuka.
Tanganku gemetar saat aku masuk ke dalam aplikasi pesan. Ada satu nama yang langsung menarik perhatianku: Laras.
Aku tidak mengenal Laras. Namanya tidak pernah disebut dalam obrolan kami.
Dengan hati-hati, aku membuka percakapan mereka. Semakin aku membaca, semakin perih rasanya dadaku.
"Aku kangen."
"Hari ini menyenangkan banget, terima kasih udah nemenin aku."
"Kamu baik banget, Mas… aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu."
Tanganku mencengkeram ponsel lebih erat.
Jadi, inikah alasannya? Inikah wanita yang membuatnya tersenyum di sofa tadi?
Air mataku menggenang di sudut mata. Aku ingin berteriak. Ingin membangunkannya dan menampar wajahnya. Tapi aku menelan semua emosiku.
Aku harus tahu lebih banyak.
Aku menggulir ke atas, membaca lebih banyak pesan. Percakapan mereka tidak hanya berisi kata-kata manis, tetapi juga pertemuan mereka. Mereka sudah sering bertemu, lebih sering daripada yang aku bayangkan.
Dan yang paling menyakitkan?
Pesan terakhir yang dikirim Laras: "Aku nggak sabar ketemu lagi di hotel besok."
Aku menutup mulutku, menahan isakan yang hampir pecah.
Besok? Mereka akan bertemu lagi?
Jadi, ini belum berakhir.
Aku menghapus jejakku, meletakkan kembali ponsel Mas Al di tempatnya, lalu berbaring dengan punggung menghadapnya.
Aku harus melihat ini dengan mata kepalaku sendiri.
Misi yang Berbahaya
Keesokan harinya, aku pura-pura menjalani hari seperti biasa. Aku memasak sarapan, menyambut Mas Al dengan senyum seperti biasanya. Aku melihatnya menatapku sebentar, mungkin ada sedikit rasa bersalah di matanya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
Saat dia bersiap-siap untuk pergi, aku memperhatikan setiap gerak-geriknya. Dia memakai parfum lebih banyak dari biasanya. Pakaiannya lebih rapi, lebih wangi.
Aku menelan kepahitan di tenggorokan.
"Aku ada meeting penting hari ini, mungkin pulangnya agak malam," katanya sambil mengambil kunci mobilnya.
Aku tersenyum kecil, menahan semua yang ingin kuteriakkan padanya.
"Jangan lupa makan, ya," kataku lembut.
Dia tersenyum. "Iya, kamu juga."
Lalu dia pergi.
Begitu mobilnya menghilang di ujung jalan, aku segera mengambil tasku, kunci mobil, dan mulai mengikutinya.
Aku tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Rasanya aneh, mendebarkan, dan menakutkan. Aku tidak tahu apa yang akan kutemukan, tapi aku harus tahu kebenarannya.
Aku mengikuti Mas Al sampai ke sebuah hotel di pusat kota. Jantungku berdebar kencang saat aku melihatnya turun dari mobil dan masuk ke dalam lobi. Beberapa menit kemudian, seorang wanita muda dengan rambut panjang bergelombang muncul dari taksi dan masuk ke dalam hotel yang sama.
Laras.
Aku memegang kemudi erat-erat. Nafasku tercekat. Ada dorongan untuk keluar dari mobil, berlari ke dalam, dan menghadapi mereka berdua.
Tapi aku tahu, ini belum saatnya.
Aku harus merencanakan ini dengan lebih matang.
Aku menyalakan ponselku, membuka kamera, dan mengambil beberapa foto dari kejauhan. Bukti. Aku butuh bukti.
Aku tidak akan membiarkan Mas Al mengelak lagi.
Dan kali ini, aku yang akan menentukan bagaimana akhir dari kisah ini.
Aku masih duduk di dalam mobil, jari-jariku mencengkeram kemudi dengan erat. Napasku berat, berusaha menenangkan diri meski dalam hati aku tahu, tidak ada yang bisa menenangkan perasaan seperti ini.
Dari dalam lobi hotel, aku bisa melihat Mas Al berdiri di depan meja resepsionis, berbicara dengan petugas hotel. Tidak butuh waktu lama, wanita itu—Laras—menyusulnya. Mereka tidak berpegangan tangan, tidak melakukan sesuatu yang mencolok. Tapi cukup hanya dengan melihat mereka berdiri bersebelahan, aku bisa merasakan betapa aku hanyalah bayangan yang tidak pernah ada dalam dunianya lagi.
Aku menundukkan kepala, menggigit bibir kuat-kuat. Aku tidak boleh menangis. Tidak di sini.
Aku harus tetap kuat.
Laras mengikuti Mas Al menuju lift, dan dalam hitungan detik, mereka menghilang di balik pintu yang tertutup rapat.
Aku menarik napas dalam, mencoba mengatur pikiranku. Aku bisa saja keluar dari mobil sekarang, masuk ke dalam, membuat skandal, atau bahkan menampar Mas Al di depan semua orang. Tapi apa hasilnya?
Tidak. Aku tidak bisa bertindak emosional. Aku butuh cara yang lebih cerdas untuk menghadapi ini.
Aku melihat ponselku, menelusuri daftar kontak, lalu berhenti pada satu nama. Dina.
Dina adalah sahabatku sejak kuliah, seseorang yang selalu bisa diandalkan. Aku tahu dia mungkin akan menasihatiku untuk bersabar, untuk membicarakannya baik-baik dengan Mas Al. Tapi aku tidak ingin berbicara baik-baik.
Aku ingin kebenaran yang tidak bisa disangkal.
Aku mengetik pesan cepat:
"Din, aku butuh bantuan. Kamu bisa datang ke Hotel Grand Imperial sekarang?"
Tidak butuh waktu lama sebelum Dina membalas.
"Aku OTW. Ada apa?"
Aku tidak langsung membalas. Aku tahu ini bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dina harus melihatnya sendiri.
—
Sekitar dua puluh menit kemudian, Dina tiba. Dia mengetuk kaca mobilku, wajahnya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit khawatir. Aku membuka pintu, membiarkannya masuk, lalu menyerahkan ponselku.
"Lihat ini," bisikku, menunjukkan foto yang tadi sempat aku ambil dari kejauhan.
Dina membelalak, tangannya menutupi mulutnya. "Astaga, Raisa… ini Mas Al?"
Aku mengangguk pelan, tidak bisa berkata-kata. Dina menghela napas panjang, matanya penuh simpati.
"Rai… kamu yakin mau menghadapi ini sekarang?"
Aku menoleh ke arah hotel, melihat bayangan lift yang tadi membawa mereka ke atas. Aku menggigit bibir, lalu mengangguk.
"Ya. Aku sudah terlalu lama diam, Din."
Dina menggenggam tanganku erat, seolah memberiku kekuatan.
"Oke, kalau begitu kita masuk."
—
Kami berdua melangkah masuk ke dalam lobi hotel. Rasanya seperti berjalan menuju medan perang, dan jantungku berdetak begitu kencang hingga aku bisa mendengarnya sendiri.
Aku mendekati meja resepsionis, berusaha tetap tenang.
"Permisi, saya ingin tahu nomor kamar yang tadi dipesan oleh seorang pria bernama Al."
Resepsionis itu menatapku curiga. "Maaf, kami tidak bisa memberikan informasi tamu tanpa izin mereka."
Aku meremas tanganku, berusaha berpikir cepat.
"Maaf, tapi saya istrinya," kataku dengan suara lirih. "Tolong… saya hanya ingin memastikan sesuatu."
Wanita itu tampak ragu, tetapi akhirnya dia melihat ke layar komputernya.
"Dia di kamar 1203," katanya pelan.
Aku mengangguk, berbisik terima kasih, lalu bergegas menuju lift bersama Dina.
Di dalam lift, aku menggenggam ponselku erat-erat. Jari-jariku dingin, dan aku bisa merasakan keringat dingin mulai mengalir di tengkukku.
Dina menatapku. "Rai, apa pun yang terjadi nanti, aku di sini, ya?"
Aku menelan ludah, lalu mengangguk. "Aku tahu, Din."
Saat pintu lift terbuka di lantai 12, aku tahu tidak ada jalan untuk mundur lagi.
—
Langkahku terasa berat saat aku berjalan di koridor hotel yang sepi. Setiap nomor kamar yang kulewati terasa seperti alarm di kepalaku.
1201… 1202…
1203.
Aku berhenti di depan pintu itu, merasakan detak jantungku semakin kencang. Aku bisa mendengar suara samar dari dalam. Tawa kecil. Suara laki-laki yang sangat kukenal—Mas Al.
Tanganku terkepal. Aku mengangkat tangan, mengetuk pintu sekali. Dua kali.
Hening.
Kemudian, suara langkah kaki mendekat. Pintu terbuka.
Dan di sana, berdiri Laras.
Mata kami bertemu, dan dalam sekejap, wajahnya berubah. Seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.
Aku bisa melihat refleksi diriku di matanya—seorang istri yang baru saja menghadapi pengkhianatan yang nyata.
Aku tersenyum tipis. Bukan senyum kebahagiaan, tapi senyum getir penuh luka.
"Hai," kataku pelan.
Laras tampak gelagapan, tetapi sebelum dia bisa mengatakan apa pun, suara lain terdengar dari dalam kamar.
"Siapa itu, Sayang?"
Dan detik berikutnya, Mas Al muncul di belakangnya.
Dunia terasa berhenti berputar.
Matanya membelalak saat melihatku. Wajahnya langsung kehilangan warna. Dia tampak seperti seseorang yang baru saja melihat hantu.
Tapi aku bukan hantu.
Aku adalah kenyataan yang tidak bisa lagi dia hindari.
—
Aku menatapnya dalam-dalam, membiarkan kesunyian berbicara lebih keras daripada kata-kata.
Aku bisa melihat kepanikan di wajahnya. Bisa melihat otaknya bekerja mencari alasan, mencari cara untuk keluar dari situasi ini.
Tapi tidak ada yang bisa dia katakan. Tidak ada kata-kata yang bisa memperbaiki penghianatan ini.
"Aku ingin bicara," kataku akhirnya, suara gemetar tapi tegas.
Mas Al menelan ludah, lalu mengangguk pelan. "Oke. Kita bicara."
Aku menghela napas panjang, menatapnya dengan mata yang penuh dengan pertanyaan dan luka.
Hari ini, semuanya akan berubah.
Aku hanya tidak tahu apakah ini awal dari perbaikan—atau kehancuran yang sebenarnya.