Bab 4: Luka yang Menganga
Malam itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Setelah Dina pulang, aku duduk sendirian di ruang tamu, memandangi jam dinding yang terus berdetak seolah mengingatkanku bahwa waktu tetap berjalan meski hatiku terasa hancur.
Pikiranku melayang pada Mas Al. Kenapa dia memilih Laras? Apa yang kurang dariku? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui, menambah luka yang sudah menganga.
Aku meraih ponsel dan membuka galeri foto. Foto-foto kami berdua tersenyum, tertawa, berlibur bersama—semuanya terasa seperti kenangan dari kehidupan yang berbeda. Kehidupan di mana aku masih menjadi satu-satunya wanita di hatinya.
Tapi sekarang, aku hanyalah salah satu dari dua pilihan.
Ponselku kembali bergetar. Nama Mas Al muncul di layar.
Apakah aku siap mendengarnya lagi?
Aku hampir menekan tombol hijau, tapi akhirnya aku biarkan saja sampai panggilan itu berhenti dengan sendirinya.
Ketika telepon berhenti, sebuah pesan masuk.
"Kita harus bicara. Besok aku tunggu di tempat biasa jam 7 malam."
Tempat biasa. Tempat di mana kami sering makan malam saat masih pacaran. Tempat yang penuh kenangan manis, sebelum semua berubah menjadi pahit seperti ini.
Aku menghela napas panjang. Apakah aku siap menghadapi kenyataan yang lebih buruk lagi?
---
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk tetap datang. Pikiranku penuh dengan kemungkinan; mungkin Mas Al akan mengakui semuanya, atau mungkin dia akan memohon maaf dan berjanji memperbaiki hubungan kami.
Aku tiba di restoran lebih awal, memilih meja di pojok yang tenang. Pelayan datang dan menanyakan pesananku, tapi aku hanya meminta segelas air putih. Tanganku masih gemetar, jantungku berdebar tak menentu.
Setengah jam kemudian, Mas Al datang. Wajahnya tampak lelah, rambutnya acak-acakan. Dia duduk di hadapanku tanpa kata, hanya menatapku dengan mata yang penuh penyesalan.
Aku membuka percakapan lebih dulu. "Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?"
Mas Al menelan ludah, tampak kesulitan mencari kata. "Rai, aku... aku minta maaf."
Aku mendengus pelan. "Minta maaf karena apa? Karena ketahuan? Atau karena menyakitiku?"
Dia terdiam.
"Rai, aku beneran nggak ada niat nyakitin kamu. Semua ini... aku nggak tahu harus mulai dari mana," katanya akhirnya.
Aku menatapnya dingin. "Mulai dari awal. Mulai dari kapan kamu mulai berpaling dariku."
Mas Al menunduk, tangannya mengepal di atas meja. "Laras... dia cuma teman kerja. Awalnya aku cuma bantu dia karena masalah pribadi. Tapi lama-lama... semuanya jadi semakin rumit."
Aku tersenyum pahit. "Rumit? Kamu tahu apa yang rumit? Menghadapi kenyataan bahwa suamiku memilih wanita lain di belakangku."
Dia menatapku dengan mata memerah. "Rai, aku cinta kamu."
"Kalau cinta, kenapa kamu tega selingkuh?" Suaraku pecah.
Dia meraih tanganku, tapi aku segera menariknya. Sentuhannya yang dulu terasa hangat, kini membuatku merasa jijik.
"Rai, aku sadar aku salah. Aku bodoh. Aku takut kehilangan kamu," katanya, suaranya bergetar.
Aku menggeleng lemah. "Kamu takut kehilangan aku setelah kamu menghancurkanku? Kamu kira semua bisa kembali seperti semula hanya dengan kata maaf?"
Air mataku mulai mengalir. Aku benci terlihat lemah, tapi aku tak bisa menahannya lagi.
Mas Al menghapus air matanya sendiri, napasnya tersengal. "Aku akan tinggalkan Laras. Aku akan perbaiki semuanya. Aku cuma butuh satu kesempatan lagi, Rai."
Hatiku terasa perih mendengar permohonannya. Semua terasa seperti permainan, dan aku tidak tahu apakah aku masih ingin terlibat di dalamnya.
"Aku... butuh waktu," kataku akhirnya, suaraku nyaris berbisik. "Aku nggak tahu apakah aku bisa melanjutkan semua ini."
Mas Al mengangguk pelan, menerima kenyataan bahwa dia tak lagi memegang kendali.
Kami duduk dalam keheningan. Restoran yang biasanya terasa hangat kini terasa dingin dan asing. Setiap sudut ruangan ini menyimpan kenangan, tapi kenangan itu kini terasa hambar.
Ketika akhirnya aku berdiri untuk pergi, Mas Al tidak menahanku. Dia hanya menatapku dengan mata yang penuh penyesalan, berharap aku akan memberikan jawaban yang dia inginkan.
Tapi kali ini, aku yang memegang kendali atas diriku sendiri.
Aku melangkah keluar restoran, merasakan angin malam yang menusuk kulit. Langit mulai mendung, seperti menggambarkan perasaanku yang kelabu.
Apakah cinta bisa bertahan setelah pengkhianatan?
Aku belum tahu jawabannya. Tapi yang jelas, malam ini aku pulang sendirian—dan mungkin, itu lebih baik daripada pulang dengan seseorang yang tak lagi bisa dipercaya.
Aku berjalan pelan di trotoar, membiarkan angin malam menggigit kulitku. Langkahku berat, pikiranku masih dipenuhi suara Mas Al yang memohon kesempatan kedua.
Kesempatan kedua?
Berapa banyak orang yang sudah jatuh dalam jebakan ini? Berapa banyak wanita yang memaafkan pasangannya hanya untuk disakiti lagi di lain waktu? Aku tidak ingin menjadi salah satunya.
Tapi di sisi lain, hatiku masih berdebar saat melihatnya. Rasa cinta itu belum hilang, hanya tertutup oleh luka yang belum sembuh.
Aku menatap layar ponsel. Sejak keluar dari restoran, Mas Al tidak lagi menghubungiku. Aku tidak tahu apakah itu hal yang baik atau buruk.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. Sampai kapan aku akan terus dihantui perasaan ini? Sampai kapan aku membiarkan pikiranku dipenuhi oleh seseorang yang sudah mengkhianatiku?
Langkahku terhenti di depan sebuah taman kecil di dekat apartemenku. Aku duduk di bangku kayu, memeluk tubuhku sendiri, merasa sendirian di tengah keramaian kota.
Aku harus memutuskan sesuatu.
Tapi apa?
---
Keesokan paginya, aku terbangun dengan kepala berat. Semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak, terus memikirkan Mas Al, Laras, dan semua kebohongan yang selama ini kusebut sebagai "rumah tangga."
Saat aku sedang menatap kosong ke langit-langit kamar, ponselku kembali bergetar. Kali ini bukan Mas Al.
Dina.
Aku langsung mengangkatnya. "Halo?"
"Rai, aku di depan apartemenmu. Aku bawakan sarapan. Buka pintunya."
Aku tersenyum tipis. Dina memang selalu tahu kapan aku membutuhkan seseorang. Aku bangkit dan membuka pintu, membiarkannya masuk dengan dua kantong makanan di tangannya.
Dia meletakkan makanan di meja, lalu duduk di sofa dan menatapku tajam. "Jadi, gimana?"
Aku tahu maksudnya.
Aku menghela napas dan duduk di sampingnya. "Aku masih belum tahu, Din."
Dina mengangkat alis. "Masih mikirin buat kasih dia kesempatan?"
Aku menggigit bibir. "Aku nggak tahu, Din. Aku masih cinta dia, tapi aku juga nggak bisa lupa apa yang dia lakukan."
Dina menatapku dalam-dalam, lalu berkata pelan, "Cinta itu nggak cukup kalau nggak ada kepercayaan, Rai."
Aku menatap tanganku sendiri, merenungi kata-katanya.
"Kalau kamu terus bertahan hanya karena cinta, tapi setiap hari kamu dihantui rasa curiga dan sakit hati, kamu pikir itu hubungan yang sehat?" lanjutnya.
Aku terdiam.
Dina meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Dengar, aku tahu ini sulit. Tapi kamu harus pilih, Rai. Apakah kamu mau memperbaiki hubungan yang sudah retak, atau kamu mau menyelamatkan dirimu sendiri sebelum semakin hancur?"
Aku menutup mata, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh lagi.
Aku tahu Dina benar. Tapi apakah aku punya keberanian untuk membuat keputusan itu?
Dina masih duduk di sampingku, menggenggam tanganku erat. Seolah-olah dia ingin memastikan aku tidak goyah, tidak kembali jatuh dalam lingkaran yang sama.
Aku menghela napas panjang. "Aku nggak tahu, Din. Kalau aku pergi, aku takut menyesal. Tapi kalau aku bertahan, aku takut disakiti lagi."
Dina menatapku lekat. "Kamu cuma takut sendirian, Rai."
Aku terdiam. Apakah itu benar? Apakah aku bertahan hanya karena aku tidak ingin kehilangan seseorang yang sudah menemaniku bertahun-tahun?
Dina melanjutkan, "Kamu harus sadar satu hal—kamu bukan perempuan lemah. Kamu bukan seseorang yang pantas diperlakukan seperti ini."
Aku menatap Dina, mencari jawaban dalam tatapannya. Tapi yang aku temukan hanyalah kejujuran yang menyakitkan.
"Aku cuma..." suaraku bergetar, "Aku cuma pengen semuanya kembali seperti dulu."
Dina tersenyum sedih. "Kadang, yang sudah rusak nggak bisa diperbaiki, Rai. Kamu harus siap menerima kenyataan itu."
---
Sehari setelah pertemuan dengan Mas Al di restoran, aku berusaha menjalani hariku seperti biasa. Berusaha menenggelamkan diri dalam pekerjaan, dalam aktivitas sehari-hari. Tapi bayangannya masih menghantuiku.
Setiap kali ponselku bergetar, aku berharap itu dia. Dan saat itu benar-benar dia, aku justru merasa takut untuk membuka pesannya.
Mas Al: "Aku tahu kamu butuh waktu. Aku akan menunggu."
Aku menggigit bibir. Menunggu untuk apa? Untuk aku kembali dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Atau untuk aku memaafkannya dan membiarkan semuanya berjalan seperti sebelumnya?
Pikiranku terus berputar hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi keluar. Aku butuh udara segar.
Langkahku membawaku ke kafe kecil di sudut jalan. Tempat ini dulu sering aku kunjungi saat masih pacaran dengan Mas Al, sebelum semuanya menjadi serumit ini. Aku memilih duduk di pojok, menikmati kopi yang baru saja ku pesan.
Saat aku sedang larut dalam pikiranku sendiri, seseorang datang dan duduk di kursi di depanku.
Aku mendongak.
Dan di hadapanku, duduk seseorang yang tidak pernah aku duga akan bertemu di saat seperti ini.
Laras.
---
Aku langsung merasa dadaku sesak. Aku ingin pergi, tapi tubuhku terasa kaku.
Laras menatapku dengan ekspresi canggung, seolah dia sendiri tidak yakin kenapa dia ada di sini.
"Aku nggak nyangka kita bakal ketemu di sini," katanya pelan.
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya, menunggu apa yang ingin dia katakan.
Dia menggigit bibirnya, lalu akhirnya berkata, "Aku nggak mau kamu salah paham, Rai."
Aku mengerutkan kening. "Salah paham?"
Laras mengangguk. "Aku tahu aku salah. Aku tahu aku nggak seharusnya dekat dengan Mas Al. Tapi semua ini... nggak seperti yang kamu pikirkan."
Aku tertawa sinis. "Oh ya? Lalu seperti apa?"
Laras menunduk, terlihat ragu-ragu. "Aku... aku juga nggak sengaja jatuh cinta."
Aku mencengkeram cangkir kopi di depanku, berusaha menahan gejolak emosiku.
"Kamu nggak sengaja?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar.
Laras mengangguk. "Aku nggak bermaksud menghancurkan hubungan kalian. Aku benar-benar nggak mau jadi orang ketiga. Tapi Mas Al... dia yang datang padaku lebih dulu."
Dadaku semakin sesak. Aku ingin marah, ingin berteriak. Tapi di sisi lain, aku juga ingin tahu semuanya.
"Apa maksudmu dia yang datang lebih dulu?" tanyaku tajam.
Laras menggigit bibir, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Dia sering cerita tentang kalian. Tentang bagaimana dia merasa ada yang hilang dalam pernikahan kalian. Aku tahu itu bukan alasan, tapi... aku jadi terbawa perasaan."
Aku merasa tubuhku mulai gemetar. Jadi selama ini, Mas Al bukan hanya mengkhianatiku secara fisik, tapi juga secara emosional?
Laras menatapku penuh penyesalan. "Aku nggak minta kamu memaafkan aku. Aku cuma ingin kamu tahu yang sebenarnya."
Aku menatap Laras lama. Lalu, dengan suara pelan, aku berkata,
"Aku nggak peduli apa alasan kalian. Yang aku tahu, kalian berdua sama-sama sudah menghancurkan sesuatu yang aku pertahankan selama ini."
Laras tidak menjawab. Dia hanya menunduk, terlihat menyesal.
Aku menghabiskan kopi di cangkirku, lalu berdiri.
Sebelum pergi, aku menatap Laras sekali lagi dan berkata,
"Aku nggak tahu siapa yang lebih menyedihkan. Aku yang bertahan dengan seseorang yang mengkhianati aku, atau kamu yang harus puas dengan sisa-sisa cintanya."
Laras terdiam, dan aku pergi tanpa menoleh lagi.
Malam itu, aku duduk sendirian di kamar. Aku merasa lelah, marah, sedih, dan kecewa.
Tapi untuk pertama kalinya, aku sadar satu hal.
Aku tidak bisa terus menunggu seseorang yang tidak pernah benar-benar memilihku.
Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Aku duduk di tepi ranjang, menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan dari Mas Al.
"Aku tahu kamu butuh waktu. Aku akan menunggu."
Kata-kata itu berulang kali kubaca, tapi tak sekalipun aku membalasnya.
Masih terngiang di kepalaku pertemuanku dengan Laras tadi siang. Bagaimana dia mengatakan bahwa semua ini terjadi bukan karena niatnya, tapi karena Mas Al yang lebih dulu datang padanya.
Sakit hati yang kupendam selama ini seakan bertambah parah. Jadi selama ini, bukan hanya soal perselingkuhan fisik, tapi juga emosional. Mas Al bukan hanya membagi tubuhnya dengan orang lain, tapi juga pikirannya, hatinya, bahkan keluh kesahnya.
Lalu, apa yang tersisa untukku?
Aku menggenggam ponsel erat, lalu meletakkannya kembali di meja.
Aku butuh udara segar.
Tanpa berpikir panjang, aku mengambil jaket dan keluar dari apartemen. Kota masih ramai meski sudah malam. Lampu-lampu jalan berpendar, suara kendaraan berbaur dengan langkah-langkah orang-orang yang masih sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Aku berjalan tanpa tujuan, hanya membiarkan kakiku membawaku ke mana saja. Sampai akhirnya aku sampai di sebuah taman kecil—taman yang sama tempat aku merenung beberapa malam lalu.
Aku duduk di bangku kayu, menghembuskan napas panjang.
Saat itulah aku menyadari ada seseorang yang berdiri di dekat sana, menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.
Mas Al.
---
"Aku tahu kamu akan ke sini." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan.
Aku tidak langsung menjawab. Aku hanya menatapnya, mencoba memahami ekspresi di wajahnya.
Dia terlihat lebih lelah dari terakhir kali aku bertemu dengannya. Matanya sedikit sayu, rambutnya berantakan.
Aku menghela napas. "Kenapa kamu di sini?"
Mas Al berjalan mendekat, tapi aku tidak bergerak. "Aku cuma mau bicara, Rai."
Aku menatapnya tajam. "Kita sudah bicara, Mas."
Dia menggeleng. "Belum. Kamu cuma dengar apa yang kamu ingin dengar, bukan yang sebenarnya."
Aku mengernyit. "Yang sebenarnya?"
Dia duduk di bangku sebelahku, tapi tetap menjaga jarak. "Aku nggak akan membela diri. Aku salah, aku tahu itu. Tapi aku mau kamu tahu semuanya dari aku, bukan dari orang lain."
Aku menatapnya dalam diam.
"Sejak kapan?" tanyaku akhirnya.
Dia menatapku sebentar, lalu menunduk. "Jujur? Aku juga nggak sadar kapan semuanya mulai berubah."
Aku tertawa pendek, tapi tanpa kebahagiaan sedikitpun. "Kamu nggak sadar? Jadi kamu jatuh cinta ke orang lain tanpa sadar?"
Mas Al mengusap wajahnya, tampak frustrasi. "Bukan begitu, Rai. Aku tahu aku sudah keterlaluan. Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku cuma..." Dia terdiam sejenak, seakan mencari kata yang tepat.
"Aku merasa ada jarak di antara kita sejak lama. Aku merasa aku kehilangan kamu, meskipun kamu selalu ada di sampingku."
Aku mengernyit. "Jarak?"
Dia mengangguk. "Kita sering bersama, tapi rasanya seperti dua orang asing. Kamu sibuk dengan duniamu, aku sibuk dengan duniaku. Aku nggak bermaksud mencari orang lain, tapi tiba-tiba Laras ada di sana, mendengarkan aku, memahami aku."
Aku menggeleng. "Jadi ini salahku? Karena aku terlalu sibuk? Itu alasanmu berselingkuh?"
Matanya melebar. "Bukan! Aku nggak bilang ini salahmu! Aku hanya... aku hanya ingin kamu tahu kenapa aku bisa sejauh ini."
Aku menggigit bibir. "Dan kenapa kamu nggak datang ke aku? Kenapa kamu nggak bicara padaku, Mas? Kalau kamu merasa kehilangan aku, kenapa kamu nggak berusaha mendapatkan aku kembali? Kenapa malah mencari pelarian?"
Mas Al terdiam.
Aku bisa melihat dia berusaha mencari jawaban, tapi tidak ada yang bisa dia katakan.
Karena aku benar.
Jika dia benar-benar merasa kehilangan aku, dia seharusnya datang padaku, bukan mencari seseorang di luar sana untuk mengisi kekosongannya.
Aku menarik napas panjang. "Aku capek, Mas."
Dia menatapku dengan mata penuh harap. "Tapi aku masih ingin kita coba lagi, Rai. Aku tahu aku salah, tapi aku siap berubah. Aku nggak mau kehilangan kamu."
Aku memejamkan mata. Kata-kata itu... aku sudah mendengarnya sebelumnya. Dari banyak pria lain yang juga mengkhianati pasangannya.
Tapi apakah penyesalan selalu berarti perubahan?
Aku membuka mata dan menatap Mas Al dalam-dalam.
"Apa yang kamu takutkan, Mas?" tanyaku pelan.
Dia mengerutkan kening. "Maksudmu?"
"Apa kamu takut kehilangan aku, atau takut kehilangan kenyamanan yang aku berikan?"
Dia terdiam.
Aku menatapnya lebih tajam. "Apa kamu mencintaiku, atau kamu hanya nggak siap menghadapi konsekuensi dari kesalahanmu?"
Mas Al menggenggam tanganku, tapi aku tidak membalas genggamannya.
"Aku mencintaimu, Rai," katanya, suaranya bergetar.
Aku tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak sampai ke mataku.
"Cinta saja nggak cukup, Mas."
Aku melepaskan genggamannya dan berdiri.
Dia menatapku dengan panik. "Kamu mau ke mana?"
Aku menatapnya untuk terakhir kalinya sebelum menjawab,
"Aku mau menyelamatkan diriku sendiri."
Lalu aku melangkah pergi, meninggalkannya di taman itu, bersama semua kepingan yang sudah tidak bisa lagi aku perbaiki.