Aku berjalan tanpa arah setelah meninggalkan Mas Al di taman itu. Malam semakin larut, udara dingin menusuk kulit, tapi rasanya justru lebih hangat dibandingkan hatiku yang beku. Kata-katanya masih terngiang di telingaku, janji-janjinya yang entah kenapa terdengar begitu kosong.
Aku ingin percaya. Aku ingin berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, ia benar-benar menyesali semuanya. Tapi bagaimana aku bisa yakin? Luka yang ia buat terlalu dalam, dan aku tak tahu apakah aku mampu menambalnya lagi.
**Sebuah Pelarian dari Kenyataan**
Langkahku membawaku ke sebuah kafe kecil di pinggir kota. Aku tidak tahu kenapa kakiku justru mengarah ke sini, tapi tempat ini memberiku sedikit ketenangan. Lampu kuning temaram, suara musik jazz yang lembut, dan aroma kopi yang khas seakan memberiku ruang untuk berpikir.
Aku memesan secangkir teh hangat, lalu duduk di dekat jendela. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat bayangan lampu jalanan yang memantul di kaca. Samar-samar, aku melihat pantulan wajahku sendiri.
Aku terlihat baik-baik saja. Tidak ada air mata yang jatuh. Tapi hanya aku yang tahu, ada sesuatu di dalam diriku yang perlahan-lahan hancur.
Saat aku sedang larut dalam pikiran, suara seseorang membuyarkan lamunanku.
*"Sendirian?"*
Aku menoleh. Seorang pria berdiri di dekat meja, menatapku dengan senyum samar.
Aku mengenalnya.
Raka.
**Pertemuan Tak Terduga**
Raka duduk di kursi di depanku tanpa menunggu persetujuanku. Aku tidak keberatan, meskipun aku tidak tahu apakah aku ingin berbicara dengan siapa pun saat ini.
"Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini," katanya, suaranya terdengar tulus.
Aku hanya tersenyum kecil. "Aku juga nggak nyangka bakal ke sini."
Dia menatapku sejenak, lalu berkata, "Kamu kelihatan capek."
Aku tertawa kecil, meskipun tawaku terdengar pahit. "Mungkin karena memang sedang capek."
Raka tidak bertanya lebih jauh. Dia hanya diam, tapi tatapannya menunjukkan bahwa dia mengerti.
"Aku nggak mau sok tahu," katanya akhirnya. "Tapi kalau kamu butuh tempat buat bicara atau sekadar dengerin, aku ada."
Aku terdiam. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa aman.
**Cerita yang Belum Pernah Kuceritakan**
Aku tidak tahu kenapa, tapi malam itu aku mulai bercerita. Bukan tentang semua hal, tapi cukup untuk membuat beban di dadaku terasa sedikit lebih ringan.
Raka mendengarkan dengan sabar, tidak menyela, tidak menghakimi.
"Jadi, kamu nggak tahu harus bagaimana sekarang?" tanyanya pelan.
Aku menggeleng. "Aku tahu aku harus pergi. Tapi di saat yang sama, ada bagian dari diriku yang masih ingin bertahan."
Dia mengangguk pelan. "Itu wajar. Kita nggak bisa begitu saja menghapus seseorang yang sudah menjadi bagian dari hidup kita."
Aku menggigit bibirku. "Tapi aku takut, Raka. Aku takut kalau aku bertahan, aku hanya akan menyakiti diriku sendiri lagi."
Raka terdiam sejenak, lalu berkata, "Mungkin yang harus kamu pikirkan bukan apakah kamu masih mencintainya, tapi apakah dia masih pantas mendapatkan cintamu."
Kata-katanya membuatku terdiam.
Aku tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu. Atau mungkin, aku tahu, tapi aku belum siap mengakuinya.
**Malam yang Panjang**
Aku menghabiskan lebih banyak waktu di kafe itu daripada yang kupikirkan. Raka menemaniku, tanpa mencoba masuk terlalu dalam ke dalam lukaku, hanya ada di sana, sebagai pendengar.
Saat aku akhirnya pulang, aku merasa sedikit lebih ringan. Luka ini masih ada, tapi setidaknya, aku tahu aku tidak sendirian.
Namun, aku juga tahu bahwa ini baru permulaan.
Besok, aku harus membuat keputusan.
---
Baik, saya akan melanjutkan pengembangan Bab 5 dengan lebih mendalam sesuai dengan alur sebelumnya dan semua aturan yang telah Anda tetapkan.
---
**Malam yang Menghantui**
Pulang ke rumah tidak memberikan ketenangan yang kuharapkan. Setiap sudut ruangan ini masih dipenuhi kenangan bersama Mas Al. Sofa tempat kami biasa duduk berdua, dapur tempat dia pernah memasakkan mie instan saat aku sakit, hingga kamar tidur yang kini terasa begitu dingin dan sepi.
Aku melepaskan jaket dan meletakkannya di kursi. Aku tahu aku harus tidur, tapi pikiranku terus berputar. Suara Mas Al masih bergema di kepalaku—penyesalannya, janjinya, dan semua kata-kata yang terdengar indah namun terasa hampa.
Aku mengambil ponsel dan membuka pesan terakhir darinya.
_"Aku tahu aku salah. Aku nggak akan pernah bisa memperbaiki semuanya dalam satu malam, tapi aku mohon, kasih aku kesempatan."_
Jemariku gemetar di atas layar. Aku ingin membalas, tapi aku tidak tahu harus menulis apa.
**Keraguan yang Menghantui**
Aku memejamkan mata, mencoba mengusir semua pikiran ini. Tapi dalam keheningan, justru semua terasa lebih jelas.
Aku mencintainya. Itu kenyataan yang tidak bisa kuingkari. Tapi aku juga mencintai diriku sendiri—atau setidaknya, aku sedang mencoba untuk mencintai diriku lagi.
Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa lebih gelap dari biasanya. Jika aku bertahan, apakah itu karena aku benar-benar ingin, atau hanya karena aku takut sendirian?
Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunanku.
Aku mengernyit. Sudah hampir tengah malam, siapa yang datang selarut ini?
Dengan langkah hati-hati, aku berjalan ke pintu dan mengintip dari lubang intip.
Deg.
Aku menahan napas.
Mas Al.
**Konfrontasi di Ambang Pintu**
Aku ragu sejenak sebelum akhirnya membuka pintu. Dia berdiri di depan rumah dengan wajah lelah dan mata yang tampak sedikit sembab.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku dengan suara serak.
Dia menghela napas panjang. "Aku cuma mau lihat kamu, Raina. Aku nggak bisa tidur kalau nggak tahu kamu baik-baik saja."
Aku tertawa kecil, meskipun tidak ada kebahagiaan dalam tawa itu. "Lucu, ya. Kamu khawatir sekarang, setelah semua yang kamu lakukan?"
Dia terdiam, lalu menatapku dengan mata yang penuh rasa bersalah. "Aku tahu aku nggak pantas ada di sini. Tapi tolong, aku nggak minta banyak... Aku cuma pengen kamu tahu kalau aku beneran nyesel."
Aku menggigit bibir, mencoba mengendalikan emosi yang mulai membuncah. "Penyesalan nggak bisa menghapus apa yang sudah terjadi, Mas."
"Aku tahu..." suaranya nyaris berbisik. "Aku nggak berharap kamu memaafkan aku sekarang. Aku cuma... Aku cuma nggak mau kamu pergi tanpa aku bisa memperbaiki semuanya."
Aku menarik napas dalam. "Dan kalau aku tetap pergi?"
Dia menatapku, dan untuk pertama kalinya, aku melihat ketakutan yang nyata di matanya.
"Aku akan tetap berusaha. Aku nggak akan nyerah, Raina."
**Pilihan yang Harus Dibuat**
Aku menutup mata, mencoba menenangkan detak jantungku yang semakin tak beraturan.
Aku ingin percaya padanya, tapi bisakah aku benar-benar mengambil risiko itu lagi?
Aku mendengar suara langkah kaki menjauh. Saat membuka mata, Mas Al sudah berjalan pergi. Dia tidak memaksaku untuk menjawab malam ini, dan entah kenapa, itu membuat dadaku terasa semakin sesak.
Aku berdiri di ambang pintu, menatap punggungnya yang semakin menjauh, dan dalam hati, aku bertanya pada diriku sendiri—
Apakah aku masih ingin berjuang untuk cinta ini? Atau aku sudah terlalu lelah untuk bertahan?
**Malam itu, aku tidak menemukan jawabannya.**
---
**Kenangan yang Masih Menyiksa**
Malam semakin larut, tapi aku tetap terjaga. Mataku terus memandangi layar ponsel, membaca ulang pesan-pesan lama yang pernah dikirim Mas Al. Kata-kata manis, janji-janji setia, dan panggilan sayang yang dulu membuatku merasa begitu dicintai—semuanya kini hanya terasa seperti kebohongan yang membekas dalam luka.
Jemariku gemetar saat tanpa sadar aku membuka galeri foto. Ada banyak gambar kami di sana, tertawa, berpegangan tangan, menikmati waktu bersama seolah-olah dunia hanya milik kami berdua. Aku menghela napas dalam, menahan dorongan untuk menghapus semuanya.
Aku ingin melupakan. Aku ingin melepaskan. Tapi kenapa rasanya begitu sulit?
**Sebuah Panggilan Tak Terduga**
Ponselku bergetar, membuyarkan lamunanku. Sebuah panggilan masuk, dan nama yang tertera di layar membuat dadaku sedikit menghangat.
Raka.
Aku ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.
*"Kamu belum tidur?"* suaranya terdengar lembut di ujung telepon.
Aku menggeleng, meskipun dia tidak bisa melihatnya. "Belum bisa."
Ada jeda sebentar sebelum dia bertanya, *"Mau aku temani bicara?"*
Aku menutup mata, merasa sedikit lega bahwa setidaknya masih ada seseorang yang peduli. "Boleh."
Dan di situlah malam yang panjang itu berlalu, dengan aku mendengarkan suaranya yang tenang di ujung telepon, membicarakan hal-hal sederhana, seolah berusaha mengalihkan pikiranku dari luka yang masih menganga.
**Pertemuan yang Membuka Luka Lama**
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk keluar rumah. Aku butuh udara segar, atau mungkin hanya butuh alasan untuk tidak terus-menerus terjebak dalam pikiranku sendiri.
Aku pergi ke sebuah taman kecil di dekat rumah, tempat di mana aku bisa duduk diam tanpa merasa terbebani oleh kenangan di dalam rumah.
Aku baru saja akan menikmati ketenangan ketika suara seseorang menghentikan langkahku.
"Raina."
Jantungku berdegup lebih kencang. Aku menoleh, dan di sana, berdiri Mas Al dengan wajah yang masih menyiratkan penyesalan mendalam.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku, mencoba terdengar tegar.
Dia menatapku, matanya dipenuhi ketidakpastian. "Aku nggak sengaja lihat kamu masuk ke sini. Aku cuma..." Dia menghela napas. "Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku nggak mau nyerah, tapi aku juga nggak mau memaksamu."
Aku menggigit bibir. "Lalu, apa yang kamu harapkan, Mas?"
Dia terdiam. Angin berhembus pelan, membuat suasana semakin mencekam.
"Aku ingin kita memperbaiki semuanya," katanya akhirnya. "Aku ingin kamu tahu kalau aku benar-benar menyesal."
Aku ingin tertawa, tapi yang keluar dari bibirku hanya helaan napas panjang.
"Kamu pikir semudah itu?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar.
"Aku tahu ini sulit," jawabnya lirih. "Aku tahu aku sudah menyakitimu lebih dari yang bisa kubayangkan. Tapi aku bersedia melakukan apa pun untuk membuktikan kalau aku masih pantas berada di sisimu."
Aku menatapnya lama, mencoba mencari kejujuran dalam kata-katanya. Aku ingin percaya. Aku ingin berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, dia benar-benar berubah.
Tapi bisakah aku mengambil risiko itu lagi?
**Jawaban yang Masih Menggantung**
Aku menghela napas dan mengalihkan pandangan. "Aku nggak tahu, Mas. Aku nggak tahu apakah aku masih bisa percaya."
Dia menunduk, menggenggam tangannya sendiri dengan gelisah. "Aku nggak akan memaksa, Raina. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku akan tetap di sini, berusaha."
Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku masih dipenuhi keraguan.
Aku berbalik, berjalan menjauh, meninggalkannya berdiri sendirian di tengah taman.
Aku tahu dia menatap punggungku, menunggu jawaban yang mungkin tak akan pernah ia dapatkan.
Tapi untuk saat ini, aku masih belum siap memberikan keputusan.
Dan mungkin, aku juga belum siap untuk melepaskan semuanya.
---