Chereads / Diary Sang Pemangsa / Chapter 1 - Malam Pertama

Diary Sang Pemangsa

Arga_Riandana
  • 14
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 237
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Malam Pertama

Hujan turun dengan deras malam itu, memukul jendela kamar kecilku dengan irama yang tak teratur. Aku menatap layar laptop, mencoba menyelesaikan tugas kuliahku yang menumpuk, tetapi pikiranku terus melayang. Ada sesuatu yang aneh sejak pagi tadi—perasaan tidak nyaman yang tak bisa kujelaskan. Seperti ada yang mengawasiku, meskipun aku sendirian di rumah.

Rumahku berada di pinggiran kota kecil yang dikelilingi hutan. Aku selalu mencintai suasana damai di sini, jauh dari hiruk-pikuk kota. Tapi malam ini, kesunyian itu terasa menyesakkan, seolah-olah dunia telah mempersiapkan sesuatu yang buruk untukku.

Pukul sebelas malam, aku menyerah pada tugas yang tidak kunjung selesai. Rasa kantuk dan kelelahan mulai mengambil alih tubuhku. Aku memutuskan untuk tidur lebih awal, berharap besok aku bisa lebih produktif. Namun, begitu aku mematikan lampu dan merebahkan diri di kasur, rasa gelisah itu kembali.

Aku terbangun tiba-tiba di tengah malam. Napasku tersengal, dadaku berdebar kencang, dan tubuhku terasa kaku. Aku tidak ingat mimpi apa yang barusan kualami, tetapi bayang-bayang gelap masih menghantui pikiranku.

Lalu, aku mendengar suara.

Bukan suara hujan, bukan pula suara angin. Itu seperti suara bisikan, lembut tapi jelas, memanggil namaku.

"Karla..."

Aku menoleh ke jendela, tapi hanya ada gelap dan bayangan pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Jantungku berdegup lebih kencang. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya imajinasiku. Tapi suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.

"Karla... datanglah."

Seolah-olah tubuhku bergerak dengan kehendak sendiri, aku bangkit dari tempat tidur. Kaki-kakiku membawaku keluar kamar, menuruni tangga menuju pintu depan. Aku tidak tahu kenapa aku mengikuti suara itu, tapi ada sesuatu yang menarikku, sesuatu yang tidak bisa kutolak.

Aku membuka pintu dan melangkah keluar ke tengah malam yang dingin. Hujan sudah berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang kuat. Bulan purnama bersinar terang di langit, menerangi jalan setapak yang menuju ke hutan.

Aku berjalan tanpa berpikir, seperti orang yang sedang bermimpi. Aku tidak merasa takut, hanya ada dorongan aneh yang memaksaku terus melangkah. Udara semakin dingin saat aku masuk lebih dalam ke hutan, tetapi tubuhku tidak menggigil.

Setelah beberapa menit berjalan, aku sampai di sebuah area terbuka. Cahaya bulan membuat tempat itu terlihat seperti panggung alami. Di tengah-tengahnya, aku melihat seekor rusa.

Rusa itu berdiri diam, memandangku dengan mata yang besar dan tenang. Tidak ada rasa takut dalam sorot matanya, seolah-olah ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Aku berdiri mematung, tidak mengerti apa yang sedang kulakukan di sini.

Lalu, sesuatu terjadi.

Rasa lapar yang luar biasa menyerangku, seperti gelombang yang menghantam tubuhku. Tapi ini bukan rasa lapar biasa. Ini adalah rasa lapar yang mendalam, yang membuat setiap serat ototku bergetar. Aku merasa seolah-olah tubuhku berubah—gigi taringku memanjang, kuku-kuku di tanganku menjadi tajam.

Aku menyerang rusa itu tanpa berpikir. Gerakanku cepat dan beringas, seperti binatang buas. Dalam hitungan detik, tubuh rusa itu tergeletak di tanah, tidak bergerak lagi. Darah segar mengalir dari lukanya, memenuhi udara dengan bau logam yang tajam.

Aku berlutut di samping tubuhnya, mataku terpaku pada darah yang mengalir. Sebuah dorongan primal mengambil alih diriku. Aku merasakan darah itu menyentuh bibirku, dan tanpa sadar aku meminumnya.

Rasa itu... tidak bisa dijelaskan. Hangat, manis, dan memuaskan. Rasa lapar yang tadi menyiksaku perlahan menghilang, digantikan oleh sensasi kekuatan yang mengalir melalui tubuhku.

Tapi kemudian, kenyataan menghantamku seperti petir.

Aku melihat tangan-tanganku yang berlumuran darah. Aku melihat tubuh rusa yang tak bernyawa di depanku. Aku melihat bayangan diriku di genangan darah di tanah. Dan aku merasa ingin muntah.

"Apa yang telah kulakukan?" bisikku, suaraku hampir tak terdengar.

Aku mundur perlahan, menjauh dari tubuh rusa itu. Air mataku mulai mengalir, tetapi aku tidak tahu apakah itu karena rasa bersalah atau karena ketakutan. Aku tidak tahu apa yang baru saja terjadi, tetapi satu hal yang pasti: aku bukan lagi manusia biasa.

Aku berlari kembali ke rumah, meninggalkan mayat rusa itu di belakangku. Napasku tersengal-sengal saat aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Aku berdiri di depan cermin, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Mataku... tidak lagi berwarna cokelat. Mereka berwarna keemasan, dengan kilauan yang aneh. Gigi taringku lebih panjang dari biasanya, dan kuku-kukuku masih terlihat tajam.

Aku mencoba menenangkan diriku, tetapi rasa takut itu terlalu besar. Aku duduk di sudut kamar, memeluk lututku, dan menangis dalam diam.

Malam itu, aku tidak tidur lagi.

Aku menghabiskan waktu dengan menulis di diary kecilku, mencoba memahami perasaan dan pikiranku. Tapi setiap kali aku mencoba menjelaskan apa yang terjadi, kata-kataku terasa kosong.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tapi aku takut. Aku takut pada diriku sendiri."

Matahari mulai terbit, dan aku masih duduk di sudut kamar. Sinar keemasan menerobos tirai tipis di jendelaku, tapi kehangatan pagi itu sama sekali tidak menenangkan. Kepalaku penuh dengan pertanyaan. Apa yang baru saja terjadi? Apakah aku bermimpi? Namun rasa darah yang masih melekat di lidahku membantah semua itu. Ini nyata.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Dengan tangan yang gemetar, aku berdiri dan berjalan menuju cermin. Mataku kini kembali normal, berwarna cokelat seperti biasa. Gigi taringku yang tadi memanjang juga sudah kembali seperti semula. Aku tampak seperti Karla yang biasa, tapi aku tahu sesuatu telah berubah dalam diriku.

Aku mengguyur wajahku dengan air dingin di wastafel kamar mandi, berharap itu bisa membantuku berpikir lebih jernih. Tapi setiap kali aku menutup mata, bayangan rusa itu muncul di kepalaku. Rasa darah hangat di bibirku masih terasa nyata.

Ketukan di pintu depan mengejutkanku dari lamunanku.

"Karla? Kamu di rumah?" suara itu adalah suara Erik, sahabatku sejak kecil.

Aku buru-buru menghapus air di wajahku dan keluar dari kamar mandi. Langkahku masih lemas saat berjalan menuju pintu. Aku membuka pintu, dan di sana berdiri Erik dengan ransel di punggungnya, mengenakan jaket tebal untuk melawan dinginnya pagi.

"Kamu baik-baik saja? Kamu kelihatan pucat," katanya sambil memandangku dengan cemas.

Aku mengangguk pelan, berusaha tersenyum. "Aku tidak apa-apa, cuma kurang tidur."

Erik tidak terlihat yakin, tapi dia tidak memaksakan pertanyaannya. Dia meletakkan ranselnya di lantai dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Sebuah termos.

"Ini kopi, aku tahu kamu pasti begadang lagi semalam," katanya, menyerahkan termos itu padaku.

Aku mengambilnya dengan tangan yang masih gemetar. Erik memiringkan kepalanya, memperhatikan tanganku.

"Kamu gemetaran. Kamu yakin baik-baik saja, Karla?"

"Ya," jawabku cepat. "Aku cuma... sedikit kedinginan."

Dia menatapku untuk beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. "Oke. Kalau ada apa-apa, kamu bisa bilang ke aku, oke?"

Aku hanya mengangguk lagi, tidak tahu harus berkata apa.

Erik kemudian duduk di sofa ruang tamu, sementara aku pergi ke dapur untuk menuangkan kopi dari termos ke dalam cangkir. Tangan dan pikiranku masih kacau. Aku harus bertingkah normal di depan Erik, tetapi rasa takut itu terus menghantui.

Saat aku kembali ke ruang tamu, Erik sedang memandangi jendela dengan alis yang berkerut.

"Aneh," katanya tanpa menoleh ke arahku.

"Apa?" tanyaku, mencoba terdengar biasa saja.

"Di hutan tadi malam... aku dengar ada suara aneh. Seperti suara binatang yang sedang... yah, seperti sedang bertarung atau sesuatu. Kamu dengar sesuatu?"

Jantungku hampir berhenti. Aku menelan ludah dan mencoba menjawab dengan tenang. "Aku tidak tahu. Mungkin cuma hewan liar."

Erik menoleh padaku, matanya memancarkan rasa ingin tahu. "Kamu tidak takut tinggal sendirian di dekat hutan ini? Kadang aku merasa tempat ini agak... menyeramkan."

Aku tersenyum tipis, meskipun dalam hati aku ingin berteriak. "Aku sudah terbiasa. Lagipula, di siang hari tempat ini indah, kan?"

Dia mengangguk, tetapi rasa ingin tahunya belum hilang. "Kalau kamu butuh teman menginap, kabari aku, ya. Aku nggak keberatan."

Aku hanya tersenyum lagi, tidak tahu harus mengatakan apa.

Setelah Erik pergi, aku mengunci pintu dan menarik napas panjang. Seluruh tubuhku terasa lelah, seolah-olah aku telah melewati perang besar. Aku kembali ke kamar, menatap diary yang tergeletak di meja. Aku membuka halaman kosong dan mulai menulis, mencoba mencurahkan pikiranku.

"Malam tadi adalah malam terburuk dalam hidupku. Aku merasa seperti orang lain—seperti sesuatu yang bukan manusia. Aku takut, tapi aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Bagaimana kalau ini terjadi lagi? Bagaimana kalau aku tidak bisa mengendalikan diriku? Aku tidak tahu berapa lama aku bisa menyembunyikan ini dari orang-orang di sekitarku. Aku bahkan tidak tahu siapa diriku sekarang."

Saat aku selesai menulis, sebuah pikiran melintas di kepalaku. Aku harus mencari tahu apa yang sedang terjadi padaku. Aku tidak bisa hanya duduk di sini dan berharap semuanya kembali normal.

Aku membuka laptopku dan mulai mencari informasi tentang hal-hal aneh yang mungkin berkaitan dengan pengalamanku. Sebagian besar artikel yang kutemukan berbicara tentang legenda dan mitos—manusia serigala, vampir, makhluk mitologis lainnya. Tidak ada yang terasa relevan, tetapi aku terus membaca, berharap menemukan sesuatu yang masuk akal.

Namun, semakin banyak aku membaca, semakin aku merasa tenggelam dalam ketakutan. Bagaimana jika aku benar-benar menjadi makhluk seperti itu? Bagaimana jika malam itu hanya awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang tidak bisa kukendalikan?

Jam menunjukkan pukul tiga sore ketika aku akhirnya menyerah. Aku memutuskan untuk keluar dan berjalan-jalan di sekitar rumah, berharap udara segar bisa mengalihkan pikiranku.

Langit mendung, dan angin dingin bertiup pelan. Aku berjalan menuju hutan, tetapi kali ini aku berhenti di tepiannya. Aku tidak berani masuk lebih dalam, tidak setelah apa yang terjadi tadi malam.

Aku berdiri di sana, memandang ke dalam kegelapan hutan. Rasanya seperti hutan itu memanggilku, sama seperti tadi malam. Aku merasakan dorongan aneh untuk melangkah masuk, tetapi aku memaksa diriku untuk mundur.

Tidak. Aku tidak bisa melakukannya lagi.

Aku kembali ke rumah dengan langkah berat. Sesuatu yang besar telah berubah dalam hidupku, dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.