Chereads / Diary Sang Pemangsa / Chapter 2 - Suara Dari Dalam

Chapter 2 - Suara Dari Dalam

Pagi datang dengan keheningan yang menakutkan. Matahari terbit malu-malu di balik awan tebal, seakan enggan menerangi dunia. Aku terbangun dengan kepala berat dan tubuh yang terasa lemah. Tidurku semalam tidak memberikan istirahat yang layak; mimpi-mimpi buruk terus menghantuiku, bayangan rusa itu dan rasa darah yang hangat di lidahku.

Aku duduk di tepi kasur, menggenggam kepala yang terasa berdenyut. Aku tahu ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang jauh lebih besar daripada apa yang bisa kupahami. Dan yang lebih menakutkan adalah suara di kepalaku.

Ya, suara itu kembali.

Karla... kau merasa lebih baik, bukan?

Aku terlonjak, menoleh ke sekitar kamar, mencari asal suara itu. Tapi tentu saja, tidak ada siapa-siapa.

Kau tahu siapa aku. Aku bagian dari dirimu.

Aku menutup telinga dengan kedua tanganku, mencoba mengabaikan suara itu. Tapi suara itu tidak hilang, malah semakin jelas, seperti bisikan yang langsung menusuk ke pikiranku.

"Apa ini? Siapa kau?!" teriakku, panik.

Kau akan tahu, cepat atau lambat. Kau akan belajar menerima siapa dirimu sebenarnya.

Aku memukul meja kecil di samping tempat tidur, mencoba mengusir kegilaan ini. Tapi suara itu hanya tertawa pelan, dingin, dan menggema.

Setelah beberapa saat, suara itu lenyap, meninggalkan aku yang terengah-engah dengan keringat dingin mengalir di pelipis. Tanganku gemetar saat meraih ponsel di meja. Aku ingin menelepon Erik, ingin memberitahunya apa yang terjadi. Tapi bagaimana aku bisa menjelaskan ini padanya? Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa aku mendengar suara-suara di kepalaku, bahwa aku mungkin telah menjadi sesuatu yang tidak manusiawi?

Teleponku bergetar di tanganku sebelum aku sempat menelepon. Sebuah pesan masuk dari Erik.

"Aku di kota. Ketemuan nanti? Ada yang ingin kubicarakan."

Aku menatap pesan itu selama beberapa detik, merasa ragu. Apa yang ingin dia bicarakan? Apakah dia tahu sesuatu?

Aku membalas dengan singkat, "Oke. Di mana?"

Dia menyebut sebuah kafe kecil di pusat kota. Aku setuju dan mencoba bersiap-siap, meskipun tubuhku terasa berat dan pikiranku masih kacau.

---

Kafe itu adalah tempat yang sering kami kunjungi saat masih sekolah dulu. Sebuah tempat kecil dengan dekorasi kayu dan jendela besar yang menghadap jalan. Aku tiba lebih awal, memesan kopi hitam, dan duduk di sudut ruangan. Aku berusaha mengabaikan bisikan di kepalaku yang sesekali muncul, tapi itu tidak mudah.

Beberapa menit kemudian, Erik muncul di pintu, membawa ransel dan mengenakan jaket hitam favoritnya. Dia langsung melihatku dan berjalan ke arahku dengan senyum tipis.

"Kamu kelihatan lebih baik sekarang," katanya sambil duduk di depanku.

Aku tidak menjawab, hanya mengangguk. Aku tidak tahu bagaimana caranya berpura-pura normal saat pikiranku terasa seperti medan perang.

Dia mengeluarkan sebuah buku dari ranselnya dan meletakkannya di meja. "Aku menemukan ini tadi malam. Kupikir kamu akan tertarik."

Aku memandang buku itu. Sampulnya terlihat tua, dengan tulisan yang hampir pudar: "Legenda Gelap: Kisah Para Pemangsa Malam."

"Apa ini?" tanyaku, menyentuh sampul kasar itu.

"Aku menemukannya di perpustakaan lama di dekat hutan. Isinya tentang legenda makhluk-makhluk aneh di daerah ini. Aku ingat kamu suka baca cerita horor, jadi kupikir..." Dia berhenti, memandangku dengan ragu. "Kamu kelihatan tertarik."

Aku membuka buku itu dengan hati-hati. Halaman-halamannya berwarna kekuningan dan berbau lembap. Setiap halaman dipenuhi dengan tulisan tangan dan ilustrasi yang menyeramkan. Ada gambar makhluk menyerupai manusia, tetapi dengan taring panjang dan mata yang bersinar.

Dadaku berdebar saat membaca salah satu paragraf:

"Pemangsa malam tidak lahir seperti manusia biasa. Mereka dipilih oleh takdir, dirasuki oleh kekuatan gelap yang memberikan mereka kecepatan, kekuatan, dan rasa lapar yang tidak tertahankan. Namun, kekuatan ini datang dengan harga: kehilangan kemanusiaan mereka sedikit demi sedikit, sampai akhirnya mereka hanya menjadi binatang buas yang haus darah."

Aku menutup buku itu dengan cepat, tangan gemetar.

"Karla, kamu kenapa?" Erik bertanya, matanya penuh perhatian.

"Tidak... tidak apa-apa," kataku, berusaha terdengar biasa saja. "Aku cuma... aku tidak suka cerita seperti ini."

Dia mengangguk, meskipun wajahnya menunjukkan keraguan. "Kalau begitu, lupakan saja. Aku cuma ingin berbagi sesuatu yang menarik."

Aku memaksakan senyum. "Terima kasih, Erik."

Namun, pikiranku terus bergulat dengan apa yang baru saja kubaca. Deskripsi dalam buku itu terlalu mirip dengan apa yang terjadi padaku. Apakah ini kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini?

Setelah Erik pergi, aku membawa buku itu pulang bersamaku. Aku menghabiskan malam membaca setiap halaman, mencoba menemukan jawaban atas apa yang sedang terjadi padaku.

Dan di sanalah aku menemukannya. Sebuah catatan kecil di bagian akhir buku, ditulis dengan huruf kapital:

"Pemangsa tidak berjalan sendirian. Mereka selalu diawasi."

Hatiku berdebar kencang. Diawasi? Oleh siapa?

Saat aku menutup buku itu, suara di kepalaku kembali, lebih kuat dari sebelumnya.

Kau mulai mengerti sekarang, bukan? Kau adalah salah satu dari kami.

Aku menggigit bibirku, menahan rasa takut yang mulai membanjiri.

Dan segera, Karla... kau akan tahu bahwa ini hanya awal.

Malam datang lebih cepat dari yang kubayangkan. Langit memerah, lalu gelap seolah-olah matahari memutuskan untuk menyerah lebih awal hari ini. Rumahku terasa dingin meskipun semua jendela sudah kututup rapat. Di sudut kamar, buku tua yang dibawa Erik tadi tergeletak, seakan-akan memanggilku untuk membacanya lagi.

Aku duduk di meja kecil, menyalakan lampu baca, dan membuka buku itu. Tanganku bergetar saat membalik halaman, mencoba mencari lebih banyak jawaban. Paragraf demi paragraf berbicara tentang makhluk-makhluk gelap yang menguasai malam, para "pemangsa" yang menyerang dalam bayang-bayang.

Salah satu bagian menarik perhatianku:

"Pemangsa malam tidak memilih korban secara sembarangan. Mereka terhubung oleh insting yang hanya bisa dirasakan oleh jiwa mereka yang telah dirasuki kegelapan. Ketika darah pertama mereka diminum, naluri ini semakin kuat, menarik mereka pada lingkaran takdir yang tak terelakkan."

Aku menarik napas panjang, mencoba mencerna kata-kata itu. Apakah ini yang terjadi padaku? Apakah rusa itu... korban pertamaku?

Aku merasa muak memikirkannya. Tanganku mengepal, lalu tiba-tiba aku mendengar suara itu lagi.

Karla...

Aku membeku.

Kau bisa menolak sebanyak yang kau mau, tapi pada akhirnya, kau tidak bisa lari dari siapa dirimu sekarang.

Suara itu bukan hanya di kepalaku. Kali ini, aku merasa itu datang dari suatu tempat di dalam rumah. Napasku tertahan, dan aku memandang ke sekeliling, mencoba mencari sumber suara.

"Kau... siapa sebenarnya?" tanyaku dengan suara gemetar.

Tidak ada jawaban.

Hening.

Tapi kemudian, aku mendengar sesuatu. Langkah kaki. Halus, hampir seperti bisikan, tetapi jelas. Langkah itu terdengar dari ruang tamu. Aku berdiri dengan ragu, tubuhku tegang, dan perlahan melangkah keluar dari kamar.

Di ruang tamu, hanya ada gelap. Aku menghidupkan lampu, tetapi tidak ada apa-apa di sana. Tidak ada siapa-siapa. Tapi perasaan itu tetap ada. Perasaan bahwa aku tidak sendirian.

"Kau hanya lelah, Karla. Kau hanya terlalu banyak berpikir," gumamku, mencoba menenangkan diri.

Namun, saat aku berbalik untuk kembali ke kamar, aku mendengar suara lagi. Kali ini, bukan langkah kaki. Itu adalah suara bisikan, rendah dan dalam, seperti suara angin yang berhembus melalui celah pintu.

Kau tahu aku ada di sini. Kau tahu aku adalah bagian darimu.

Aku memejamkan mata, mencoba mengusir suara itu. Tapi kemudian, aku merasa sesuatu. Sebuah kehadiran.

Aku membuka mata perlahan, dan di cermin besar yang tergantung di dinding ruang tamu, aku melihatnya.

Bayanganku—tetapi bukan aku.

Sosok itu tampak seperti diriku, tapi dengan mata emas menyala dan senyum yang terlalu lebar untuk ukuran manusia. Tubuhku membeku, dan aku tidak bisa bergerak.

"Siapa... kau?" tanyaku dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Bayangan itu tersenyum lebih lebar, memperlihatkan gigi taring yang tajam.

"Aku adalah kau. Dan kau adalah aku. Kita adalah satu, Karla."

Aku melangkah mundur, tubuhku gemetar. "Tidak... ini tidak mungkin. Aku tidak—"

"Tidak mungkin apa? Menjadi pemangsa? Kau sudah melakukannya, Karla. Kau tidak bisa mengingkarinya lagi. Kau merasakannya, bukan? Kekuatannya, kekuatan yang mengalir dalam darahmu."

Aku menggelengkan kepala, mencoba menolak kata-katanya. "Aku tidak mau! Aku tidak mau ini!"

Bayangan itu tertawa, tawa yang menggema di seluruh ruangan.

"Kau tidak punya pilihan, Karla. Semakin kau melawan, semakin kuat aku menjadi. Semakin lapar kau akan darah."

Dan begitu saja, bayangan itu menghilang. Aku terjatuh di lantai, napasku terengah-engah. Tanganku memegang dada, mencoba menenangkan detak jantungku yang berpacu.

Apa yang sedang terjadi padaku?

---

Malam itu, aku tidak tidur. Aku duduk di sudut kamar, menatap jendela yang gelap. Suara itu tidak muncul lagi, tetapi aku tahu itu hanya masalah waktu sebelum dia kembali.

Saat fajar tiba, aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang apa yang sedang terjadi padaku, tentang apa yang telah aku menjadi.

Aku memutuskan untuk kembali ke tempat di mana semua ini dimulai: hutan.

---

Pagi itu dingin, tetapi aku tidak peduli. Aku memakai jaket tebal dan sepatu bot, lalu berjalan menuju hutan. Langkahku ragu-ragu, tetapi aku tahu aku harus melakukannya.

Saat aku masuk lebih dalam ke hutan, suasananya berubah. Udara terasa lebih berat, dan suara burung yang biasanya riuh kini menghilang. Setiap langkahku terasa seperti sebuah undangan bagi sesuatu untuk muncul.

Aku sampai di tempat di mana rusa itu mati. Tapi tubuhnya tidak ada di sana. Hanya ada bekas darah di tanah yang sudah mengering.

Aku berlutut di tempat itu, mencoba merasakan sesuatu. Tapi yang kudapatkan hanyalah keheningan yang menakutkan.

Tiba-tiba, sebuah suara muncul dari balik pohon-pohon.

"Kau kembali."

Aku berdiri dengan cepat, mataku mencari-cari sumber suara. Seorang pria muncul dari bayang-bayang, tinggi dan kurus, dengan mata yang sama—emas menyala.

"Siapa kau?" tanyaku, mencoba terdengar tegar meskipun tubuhku gemetar.

Dia tersenyum, sama seperti bayanganku di cermin tadi malam. "Aku adalah salah satu darimu. Dan aku di sini untuk memastikan kau menemukan jalanmu."

Aku mundur selangkah. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Aku tidak ingin ini. Aku tidak ingin menjadi seperti... seperti kau!"

Dia tertawa kecil, melangkah lebih dekat. "Itu yang selalu mereka katakan di awal. Tapi pada akhirnya, kita semua menerima siapa kita sebenarnya. Kau tidak berbeda, Karla."

"Kau tidak tahu siapa aku," jawabku, mencoba menahan rasa takut.

"Tidak, aku tahu segalanya tentangmu. Kau adalah pemangsa, sama seperti aku. Dan kau tidak bisa melawan takdirmu."

Aku merasakan darahku mendidih, tapi bukan karena kemarahan. Itu adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih primal. Aku merasakan dorongan aneh untuk menyerang pria itu, tetapi aku menahan diri.

Dia tersenyum lagi, seolah-olah tahu apa yang sedang kupikirkan. "Aku akan menunggumu, Karla. Ketika waktunya tiba, kau akan mencariku sendiri. Kita akan bertemu lagi."

Dan sebelum aku sempat menjawab, dia menghilang ke dalam bayang-bayang, meninggalkan aku sendirian di tengah hutan yang sunyi.