Chereads / Diary Sang Pemangsa / Chapter 3 - Bayangan yang mengikuti

Chapter 3 - Bayangan yang mengikuti

Aku tidak bisa berhenti memikirkan pria itu. Tatapan matanya yang emas, senyumnya yang dingin, dan cara dia berbicara seolah-olah dia mengenalku lebih baik daripada aku mengenal diriku sendiri. Kata-katanya terus terngiang di kepalaku, berulang-ulang, menciptakan rasa takut sekaligus rasa penasaran yang tidak bisa kujelaskan.

Setelah kembali dari hutan, aku merasa tubuhku lebih berat dari sebelumnya. Kepalaku terus berdenyut, dan dorongan aneh itu... lapar itu... semakin sulit untuk diabaikan. Aku mencoba makan makanan biasa—roti, sup, bahkan daging panggang—tapi tidak ada yang memuaskan.

Dan yang paling membuatku takut adalah saat aku menatap cermin malam itu. Wajahku terlihat seperti biasa, tapi mataku... dalam kegelapan, aku melihat kilatan emas samar. Itu hanya terjadi beberapa detik, tapi cukup untuk membuatku tertegun.

"Apa aku benar-benar berubah?" pikirku.

Aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus menemukan jawaban.

---

Keesokan harinya, aku pergi ke perpustakaan tua di pinggiran kota, tempat Erik menemukan buku itu. Bangunan itu terlihat usang, dengan cat yang mengelupas dan jendela berdebu. Di dalam, aroma buku tua memenuhi udara. Suasana sunyi, hanya terdengar suara langkah kakiku di lantai kayu yang berderit.

Aku mendekati meja resepsionis, tempat seorang wanita tua dengan kacamata tebal duduk sambil membaca.

"Permisi," kataku pelan.

Dia menatapku di atas kacamatanya. "Ada yang bisa kubantu?"

"Aku sedang mencari informasi tentang... legenda lokal. Khususnya tentang makhluk yang disebut 'pemangsa malam.'"

Mata wanita itu menyipit, dan dia menatapku dengan ekspresi aneh. "Pemangsa malam? Kau tahu, legenda itu tidak untuk orang sembarangan. Mengapa kau ingin tahu?"

Aku berusaha terdengar santai. "Hanya penasaran. Aku membaca sedikit tentangnya di sebuah buku."

Dia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berdiri perlahan. "Ikut aku," katanya, lalu mulai berjalan ke arah lorong yang gelap.

Aku mengikutinya dengan ragu, jantungku berdegup kencang. Kami melewati rak-rak buku yang berdebu, sampai akhirnya dia berhenti di depan sebuah pintu kayu kecil.

"Semua yang kau cari ada di sini," katanya sambil membuka pintu.

Di dalam, aku menemukan sebuah ruangan kecil yang penuh dengan buku dan dokumen tua. Wanita itu menunjuk ke salah satu rak di sudut. "Rak itu khusus untuk legenda gelap. Tapi hati-hati, nak. Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui."

Aku mengangguk pelan, lalu mulai mencari. Tanganku menyentuh buku-buku dengan sampul kulit yang sudah tua, judul-judulnya sebagian besar hampir pudar. Setelah beberapa menit, aku menemukan satu buku yang menarik perhatianku: "Silsilah Pemangsa: Sejarah dan Asal-Usul."

Aku membawa buku itu ke meja kecil di ruangan itu dan mulai membaca.

---

Buku itu berbicara tentang asal-usul para pemangsa. Menurut legenda, mereka adalah manusia biasa yang diberkahi atau dikutuk oleh kekuatan kuno. Mereka diberi kekuatan luar biasa, tetapi kekuatan itu datang dengan harga: rasa lapar yang tidak pernah bisa dipuaskan kecuali dengan darah makhluk hidup.

Namun, ada sesuatu yang lebih mengerikan. Salah satu bab berbicara tentang "Pemangsa Utama," makhluk pertama yang menerima kutukan ini. Mereka adalah pemimpin para pemangsa, dan kekuatan mereka jauh lebih besar daripada yang lain. Mereka memiliki kemampuan untuk "membangunkan" pemangsa baru dan mengendalikan mereka.

Aku menggigil membaca bagian itu. Pria yang kutemui di hutan—apakah dia salah satu dari Pemangsa Utama? Apakah dia yang membangunkanku?

Lalu, aku menemukan catatan tambahan yang ditulis dengan tinta merah di margin halaman:

"Jika kau sudah menjadi salah satu dari mereka, tidak ada jalan keluar. Namun, kau masih bisa memilih: menjadi pemangsa atau menjadi mangsa. Hati-hati pada siapa kau percaya."

Aku menutup buku itu dengan tangan gemetar. Aku merasa seperti terjebak dalam permainan yang tidak kumengerti aturannya.

Saat aku bersiap untuk pergi, aku mendengar suara langkah kaki di lorong luar ruangan. Awalnya pelan, tapi kemudian semakin dekat. Aku berdiri, memandang pintu dengan waspada.

"Karla..."

Itu adalah suara pria dari hutan.

Aku berlari keluar, meninggalkan buku itu di meja. Tapi saat aku sampai di lorong, lorong itu kosong. Tidak ada siapa pun di sana.

---

Setelah keluar dari perpustakaan, aku merasa seperti diawasi. Aku memutuskan untuk berjalan cepat menuju halte bus, berharap bisa segera kembali ke rumah. Tapi perasaan itu tidak hilang.

Di sepanjang jalan, aku merasa ada bayangan yang mengikutiku. Setiap kali aku menoleh, tidak ada siapa-siapa. Tapi aku tahu dia ada di sana.

Saat aku sampai di rumah, aku segera mengunci pintu dan menutup semua tirai. Aku duduk di lantai ruang tamu, mencoba menenangkan diri. Tapi kemudian, suara itu muncul lagi.

Kau membaca terlalu banyak, Karla. Itu tidak akan membantumu.

Aku memejamkan mata, mencoba mengabaikannya.

Semakin kau melawan, semakin kuat aku menjadi. Kau tahu itu, bukan?

"Diam!" aku berteriak.

Tapi suara itu hanya tertawa.

Dan malam itu, aku merasakan sesuatu yang baru. Tubuhku mulai berubah lagi. Kali ini, aku tidak bisa menghentikannya.

Kulitku terasa panas, dan seluruh tubuhku terasa seolah-olah terbakar dari dalam. Aku jatuh ke lantai, menggenggam kepala, dan berteriak. Gigi taringku memanjang, mataku terasa terbakar, dan aku tahu... aku kehilangan kendali.

Ketika aku membuka mata, aku sudah berada di luar rumah. Aku tidak tahu bagaimana aku sampai di sana, tapi aku bisa merasakan darah berdesir di tubuhku. Aku mendengar suara detak jantung—bukan milikku, tapi milik sesuatu yang lain.

Dan aku tahu, malam itu, aku akan berburu lagi.

Malam itu udara terasa lebih tajam, seolah-olah dunia tahu apa yang akan terjadi. Aku berdiri di tengah jalan setapak, tubuhku bergerak sendiri tanpa kendali. Mataku memandang ke sekeliling, dan setiap bayangan tampak lebih hidup, lebih nyata, seolah-olah mereka adalah bagian dari diriku.

Suara di kepalaku semakin jelas.

Kau merasakannya, bukan? Detak jantung itu, darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Dengarkan, Karla. Biarkan dirimu menyatu dengan apa yang kau inginkan.

Aku mencoba melawan. Aku memegang kepalaku, mencengkeram rambutku, berharap bisa mengusir suara itu. "Aku bukan monster. Aku bukan seperti... mereka," gumamku dengan suara yang hampir tak terdengar.

Tapi tubuhku tidak peduli. Kakiku melangkah ke arah bayangan di balik pepohonan, dan setiap langkah terasa seperti tarikan magnet yang semakin sulit kutolak.

---

Aku menemukan diriku di tengah hutan lagi. Suara-suara malam terdengar lebih jelas dari biasanya: desiran angin, gesekan dedaunan, dan... detak jantung. Aku bisa mendengarnya, entah bagaimana. Suara itu begitu nyata, begitu menggoda.

Di depan sana, aku melihat seekor kelinci kecil. Tubuhnya gemetar, matanya lebar dengan ketakutan, tapi ia tetap berdiri diam di tempat. Aku bisa merasakan adrenalin mengalir di tubuhku, dorongan itu begitu kuat hingga sulit diabaikan.

Karla... jangan takut. Ini adalah dirimu yang sebenarnya. Ini adalah siapa kau seharusnya.

Aku merasakan taringku memanjang, dan saat itu aku tahu aku kehilangan kendali. Aku melompat ke arah kelinci itu, dengan gerakan cepat yang tidak pernah kukira tubuhku mampu melakukannya. Dalam hitungan detik, aku sudah memegang tubuh mungilnya di tanganku.

Suara hatiku menjerit, memohon untuk berhenti, tapi suara lain—suara di kepalaku—tertawa puas. Dan sebelum aku menyadarinya, darah hangat mengalir di mulutku.

---

Aku terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhku gemetar, dan rasa besi yang masih tertinggal di lidahku. Matahari mulai terbit di cakrawala, menyinari tubuhku yang penuh dengan noda darah. Aku memandang tanganku, dan bayangan malam itu menghantui pikiranku.

"Apa yang telah aku lakukan?" bisikku, merasa mual.

Aku bangkit dengan lemah, tubuhku terasa berat seolah-olah dihantam batu besar. Aku berjalan perlahan menuju rumah, merasa lebih asing dengan diriku sendiri.

Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, aku duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang tidak kusentuh. Pikiranku dipenuhi rasa bersalah dan kebingungan. Tapi lebih dari itu, ada rasa takut yang tidak bisa kuabaikan.

Aku tahu ini bukan akhir. Perasaan lapar itu masih ada, menunggu untuk kembali.

---

Hari itu aku menghindari Erik. Aku tidak bisa bertemu dengannya, tidak dengan keadaanku seperti ini. Aku mematikan ponselku, menutup tirai rumah, dan mencoba mencari cara untuk mengalihkan pikiranku.

Aku membuka buku yang kubawa dari perpustakaan dan membaca lebih banyak tentang "Pemangsa Utama." Salah satu bab menyebutkan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memanipulasi pemangsa lain, menjadikan mereka bagian dari kawanan mereka.

"Mereka mengendalikan dengan suara. Suara yang hanya bisa didengar oleh pemangsa yang telah terbangun."

Aku teringat suara itu. Suara yang terus berbicara di kepalaku. Apakah itu milik pria di hutan? Atau milik sesuatu yang lebih besar darinya?

Sebuah bagian lain dalam buku itu berbicara tentang cara melawan pengaruh Pemangsa Utama:

"Satu-satunya cara untuk memutuskan hubungan dengan Pemangsa Utama adalah dengan menghadapi mereka secara langsung. Tapi itu tidak tanpa risiko. Banyak yang mencoba, dan hanya sedikit yang kembali hidup."

Dadaku terasa sesak. Apakah ini satu-satunya jalan? Menghadapi pria itu?

---

Malam harinya, aku duduk di tepi ranjang, memikirkan apa yang harus kulakukan. Aku tahu tidak bisa terus hidup seperti ini, menjadi budak dari sesuatu yang tidak kumengerti.

Dan seolah-olah mendengar pikiranku, suara itu muncul lagi.

Kau tidak bisa melawan, Karla. Semakin kau mencoba, semakin lemah kau akan menjadi. Terimalah. Ini adalah takdirmu.

Aku memejamkan mata, mencoba mengabaikannya. Tapi kali ini, aku berbicara kembali.

"Kalau ini memang takdirku, kenapa aku merasa begitu takut? Kenapa aku merasa begitu muak dengan diriku sendiri?"

Suara itu tertawa, dingin dan menggema.

Itu karena kau masih berusaha menjadi manusia. Tapi, Karla... kau bukan manusia lagi. Semakin cepat kau menerimanya, semakin cepat penderitaanmu berakhir.

Aku mengepalkan tangan, kemarahan membara di dadaku. "Kalau begitu, aku akan membuktikan bahwa kau salah. Aku akan mencari tahu apa yang terjadi padaku, dan aku akan menemukan cara untuk menghentikan ini."

Suara itu terdiam, lalu berkata dengan nada yang lebih serius.

Kau bisa mencoba, Karla. Tapi ingat, waktu tidak berpihak padamu.

Dan kemudian, keheningan.

---

Aku tidak tidur malam itu. Sebagai gantinya, aku mulai menyusun rencana. Aku harus kembali ke hutan, kembali ke tempat di mana semuanya dimulai. Jika pria itu tahu sesuatu, aku harus memaksanya untuk menjelaskan.

Tapi aku tahu, ini bukan pertemuan biasa. Jika aku akan menghadapi dia, aku harus siap menghadapi konsekuensinya.

Aku menatap bayangan diriku di cermin, dan untuk pertama kalinya, aku tidak yakin apakah aku melihat seorang manusia atau makhluk yang telah kehilangan kemanusiaannya.

Dan malam itu, aku bersumpah pada diriku sendiri: aku akan menemukan jawabannya, apa pun yang terjadi.