Chereads / Soleha Si Pencuri Hati Dan Dendam Kesumat Mak Kunti / Chapter 1 - Episode 1 : Soleha Si Pencuri Hati

Soleha Si Pencuri Hati Dan Dendam Kesumat Mak Kunti

L_Berli
  • 21
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 103
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Episode 1 : Soleha Si Pencuri Hati

Lelaki bertopeng ninja berlari-lari kecil kala melintasi pos ronda tidak jauh dari musholla Hidayatullah. Dia memeluk televisi LED 14 inci bak memeluk bocil berumur 1 tahun. Pencahayaan minim di sekitar rumah panggung itu melalaikan penglihatannya. Dikiranya takkan ada seorang manusia pun, apalagi di kanan dan kiri cuma kebun pisang kepok. Junet dengan seksama memperhatikan kostum yang dikenakannya hingga tersadar kala si maling hampir berbelok ke gang Salah Sangka 1, "Astaga naga, maling Pak! Maling itu, buruan!" tepuknya histeris ke paha kiri Miing.

Miing malah berbalik, meringkuk lalu terpejam.

"Pak! Jangan bercanda dong! Itu arahnya dari rumah Soleha!"

Miing malas-malasan menjawab karena rasa kantuk yang teramat sangat, "Serius kamu?" tanyanya menoleh.

"Ya, dia barusan dari arah timur!"

"Hadeh, bilang dong dari tadi!"

Junet segera mengambil pentungan yang biasa terpajang pada pilar bambu. Dia berteriak disusul Miing dan kini ketiganya kejar-kejaran sampai tiba di anak sungai yang membelah Kampung Terong Ungu dengan Kampung Terong Bulat.

Tak disangka si maling membentangkan sebilah jembatan kayu sebagai penghubung lalu mengangkatnya kembali. "Dasar tua keladi lu, tua-tua kecil nyali!"

"Pak, ayo dong dikejar! TV-nya Soleha... Soleha Pak Ming!" sengaja Junet mendengungkan nama kembang desanya sebagai bahan bakar Miing Parmiing.

"Situ yakin itu TV punya dia? Kalau bukan?"

"Ya... Ya... Ya nggak apa-apa, yang penting itu maling kita tangkap dulu!"

"Cuma TV 14 inci, mahar saya nanti emas 1 kg buat Eha (panggilan sayang Soleha). Lagian situ yakin bener itu TV-nya dia?"

Obrolan kedua bapak paruh baya itu malah membuat si maling raib dari pandangan. Sekarang apa coba dalihnya jika ditanyai hansip juga warga lainnya? Tapi satu hal yang aneh... Kok nggak ada yang ikutan nimbrung padahal teriakan Miing dan Junet sangat keras totalitas?

Di lain tempat...

"Tua dan muda mari goyang bersama, nyanyi lagu yang gembira..."

"Yahui! Goyang teruuus!!" Rojali meliuk-liukan pinggulnya senada alunan musik orkestra.

Asoy geboy para orang tua bersama pasangan masing-masing seolah dunia milik berdua, bahkan anak mereka tidak segan memvideokan tingkah kocak itu sebagai kenangan terindah...

"Pak, denger nggak tuh?" tanya Junet menelisik.

"Musik itu?"

"Iya, kok tumben ada kondangan malam-malam gini?"

"Masa bodo ah, tuh lihat malingnya sudah hilang."

Junet menoleh lantas tepok jidat...

"Udah deh, kita balik saja. Saya sudah kehilangan tenaga nih," Miing terlihat lemas, jika harus cari cara menyeberangi anak sungai itu rasanya takkan sanggup lagi.

"Ya udah deh, semoga kita nggak diinterogasi warga nantinya."

Miing pun mengangguk setuju.

MC pernikahan naik ke atas panggung mengumumkan bahwa akad nikah bakal segera dilangsungkan. Warga berbondong-bondong meninggalkan halaman resepsi pun undangan di atas pelaminan yang tanpa kehadiran pengantinnya, yah karena memang belum sah.

Ini agak lain memang, harusnya akad digelar dulu baru resepsinya, namun karena pernikahan si bunga desa maka acaranya pun diadakan lain dari pada yang lain.

Rohaya berjalan diapit Bu Fulanah dan Bu Ningsih. Dia begitu ayu tanpa makeup berlebihan. Gaunnya pun indah nan syari...

"Masya Allah...." bisik Akmal tiada berkedip.

"Siap, Mal?" tanya Haji Furoda (nama baru Haji Saepul gara-gara berangkat haji furoda tahun lalu).

"U-udah Pak Aji...."

"Santai, Bro.. Ingat saja abis ini, ok?"

Cepat-cepat Akmal mengangguk supaya nggak ada sambungan kalimat nyeleneh nih aki-aki kepo.

"Akmal Tarmiji Bin Masnawi, aku nikahkan engkau dengan Rohayatun Binti almarhum Burhanuddin dengan maskawin seperangkat alat dapur dibayar tunai!"

"Blablabla... Blablabla...." jawab Akmal mantap (sengaja penulis nggak nyebutin teksnya).

Keesokan paginya:

"Eha.. Tega nian engkau khianati abang sedemikian rupa. Apa salah abang sampai kau khianati seperti ini? TV sudah dibelikan, biarpun dirampok maling amatiran, rice cooker sudah abang kreditkan, biarpun ujungnya kau yang bayar sisanya. Kurangnya di mana sih Eha? Kurang ganteng? Tidak mungkin, kurang kaya? Setara juga kan sama pengusaha furnitur dadakan itu? Kurang kece? Nggak mungkin, nanti kalau abang cat hitam rambut ini pasti lebih muda 10 tahun dari sekarang, yah walau tidak boleh sebetulnya...."

Aki tua itu tak tahu semua barang pemberiannya telah dibayar konten Soleha pada Mumun tiap kali dia memberikannya.

Buk! Krek... Buk!

"Suara apa itu?" tanyanya tersentak. Ia menoleh jauh ke belakang...

"Itu yang itu juga, Ron!"

"Buruan, Ron!"

"Hei kalian! Tidak kapok kamu ya!!" tunjuk Miing menggunakan sandal jepitnya berlarian mendekat.

Penampakan sembrawutnya menimbulkan keheranan Roni, Idgam, dan Rosita....

"Babe, sakit?" tanya Roni tidak sadar. Di kantongnya sudah terisi dua buah mangga separuh matang.

"Istirahat, Be.... Kalau ada masalah konsultasikan ke ahlinya supaya Babe cepat sembuh," timpal Rosita (anak Mpok Fulanah).

Miing garuk-garuk jidat, amarahnya perlahan sirna, pada akhirnya keempat manusia beda generasi itu duduk berbaris di bawah pohon mangga depan kontrakan Parmiing.

Miing mulai bercerita diselingi isakan tanpa air mata. Rosita pun mengusap punggung tuanya beberapa kali, sedangkan Roni membantu memijat lengan kanannya sepenuh tenaga, "Sadar deh, Be... Lagian hilang satu ya tidak bakal tergantikan sama yang lain.. "

"Kok kamu ngomong gitu sama Babe? Katakan yang baik-baik, Tong. Kamu harus tahu jika semua perkataan adalah doa yang pasti diijabah Allah Ta'ala..."

"Di desa kita, Kak Rohaya nggak punya kembaran, kan? Harga diri harus dipertahankan dong sebagai pejuang cinta, Be!" sungut Idgam sok tahu (meniru abangnya yang pernah galau tingkat menengah, tapi kini sudah ada gantinya).

"Iya, nggak banget deh!" Rosita mengangkat bahu dua kali.

Miing mulai memikirkan segalanya. Alhasil, kala makan siang, ia pun berkumpul bareng istri dan cucu-cucunya walau ada rasa sungkan.

Mereka masih juga nyengir kuda, bisik-bisik, senggol telapak kaki satu sama lain mengejek nasib yang sengaja dibuat-buat apes sang kakek.

"Anak-anak... Yang bener makannya dong," tegur Bu Mumun.

"Ntar kalau gue udah kagak ada, baru kalian tahu rasa..." celetuk Miing sambil mengunyah nasi dan semur jengkol terkhusus cuma untuknya.

"Siapa sih yang harapin Babe kagak ada? Bukannya Babe yang kepengen out dari hidup aye dan keluarga?"

Miing tak bisa mengelak, sedikit rasa kesal, sedikit rasa sesal, dan sedikit rasa malu di hatinya.

"Yang penting kagak langgar syariat...."

"Itu dulu dan kalau bisa adil!"

Bentakan Mumun menciutkan nyali Miing. Dia lagi-lagi kalah telak tiap kali dalil itu dilontarkan...

"Masakan Nyai paling enak!" Duloh mengacungkan jempol.

"Siapa dulu dong..." sambut Caca berdecak mengunyah nasi sayur lodehnya.

Miing tahu ini ajar-ajaran ibu-bapak mereka, sengaja cuma untuk menyudutkannya (hanya pikiran netting pun dalih pembenaran diri).

Mumun sejujurnya takut sang suami bisa jengah, untuk itu ia bakal menasihati semua anggota keluarga kala Miing sudah berangkat ke toko kelontong warisan kakek moyangnya besok pagi.

7.30, Tobugo Babe Miing:

"Jika ada yang bilang aku buaya, jangan kau dekat, janganlah kau percaya! Meski ada seribu gadis, namun engkaulah satu-satunya!"

Miing melupakan sesak di dadanya dengan bernyanyi sambil membenahi dagangan yang tergantung di ambang pintu kios itu. Cuma ini pelarian yang tepat ketimbang duduk menunggu pelanggan yang masih stay di rumah masing-masing.

"Jika nanti ku buka pintu hati, ku buktikan aku setia menemani... Oh Tuhan, tolong yakinkan aku pada dirinya! Dia-dia-diaaa yang membuatku terpesona....." Rojali maju-mundur ngedance ala Michael Jackson kala tiba sambil menenteng cerigen minyak gas.

Miing bertolak pinggang, menimang ucapan yang pantas buat membalas lelaki berkumis lebat itu, "Beli apa pagi-pagi gini, Jal?"

"Ngebon minyak gas 1 liter, Be, sekalian mie rebus 3 bungkus dan air mineral 1 botol."

"Astagfirullahalazim...."

"Kurang banyak, Be? Ya udah, tam..."

"Ok-ok, cukup ya, udah cukup untuk minggu ini buat lu."

"Satu lagi, Be. Kalau boleh paket data yang 10 giga. Ane harus posting banyak-banyak biar cepat laku tuh lukisan di kosan."

Lagi-lagi Babe Miing mengalah demi rasa kemanusiaan, dikirimnya kuota sesuai pesanan itu lewat HP Androidnya dalam hitungan detik, "Dah masuk, buruan lu cek deh..."

"Ok, Be. Thank you so much!"

"Kagak ngerti gue bahasa bule! Tunggu ntar gue ambil pesanan lu."

Serah terima kasbon pun dilakukan. Lambaian selengean plus kata "Cau!" dilontarkan Rojali sebagai rasa terima kasih.

.........

Di pukul 12 lebih sedikit, matahari telah berada di pusat ketinggian. Panasnya menyengat hingga keringat bercucuran bak air terjun berskala mini.

"Jamu-jamu! Jamunya Mbak Rose, bapak-bapak!"

Nyengir kuda kumpulan bapak-bapak yang dihampiri Mbak Rose. Pertigaan gang sempit itu sudah biasa dipakai mangkal tukang ojek, terkhusus masyarakat kampung Terong Ungu.

Kini cuaca terik seolah menghilang tertutupi pesona Mbak Rose, apalagi warna ngejreng kebaya hitam motif mawar merahnya sangat-sangat menyegarkan mata yang mulai terasa mengantuk.

"Jamu kuat, Rose."

"Gue jamu pelangsing."

"Sekalian paketnya Bang Tukul, biar efeknya cepat sesuai harapan." Sambil menuangkan jamu dari botol ke dalam gelas mini, Mbak Rose menawarkannya.

"Tapi dompet gua kagak bisa diandalkan, Rose..."

"Ya dikumpulin pelan-pelan terus beli deh jamunya, betul kan bapak-bapak?"

"Betul!"

Minum jamu Rose memang berefek sangat besar, usai ditenggak sekali minum, seluruh badan bugar kembali.

"Makasih ya, Rose. Besok datang lagi ya?"

"Siap, Bapak Susan. Tapi jangan lupa bayarannya..."

Si bapak-bapak serempak mengeluarkan uang nominal 5 ribuan dari dompet lecek masing-masing.

Mbak Rose melanjutkan perjalanan ke pengkolan arah rumah baru Soleha. Dari kejauhan nampak Akmal baca koran di kursi bambu estetiknya di teras rumah dengan 2 pohon mangga mengapit yang menjulang tinggi.

Rose sebisa mungkin menyembunyikan rasa dalam hatinya meskipun sulit. Ia mengatur napas, gerak tubuh, dan suara sebelum berkata-kata menjajakkan jamu gendongnya,

"Jamu-jamu bapak-bapak! Jamunya bikin sehat-bikin tubuh jadi semangat!"

Akmal menoleh.

"Bang Akmal, jamu beras kencurnya masih ada."

Rose tidak memberi pilihan lain bagi Akmal. Ia mendekat lantas serta-merta menurunkan bakulnya tanpa bisa dicegat.

Akmal segera menengok ke dalam memastikan istrinya tidak mengetahui kedatangan Marlin Munrose, "Segelas saja, Rose...."

"Ya, saya tahu. Nggak usah diperingatkan juga masih ingat, Bang..."

"Astagfirullah..... " batin Akmal.

"Bang?" tegur Soleha.

Deg!

"Neng Soleha juga mau?" sindir Rose nyelekit.

"Nggak, aye masih kuat-masih segar, kagak mungkin loyo masih tengah hari gini."

Rohaya mengibaskan serbet di tangan kanannya ke pundak Akmal, "Lunch-nya sudah siap. Masuk yuk, Beb."

Mulut Rose seketika miring ke kiri mendengar panggilan itu. Ia merasa gadis desa semacam Soleha tak pantas pakai-pakai bahasa gaul apalagi lulusannya cuma tamatan SMA.

"Makasih, Ros..."

"Ih!" cubit Soleha gemas pada lengan suaminya.

"Ok, Bang Akmal.... Saya pamit. Assalamualaikum..... "

"Wa'alaikum salam!" timpal Soleha ketus.

Di tiap pelataran rumah warga pasti ada sekelompok ibu-ibu bergosip ria. Nggak jarang pula tiap yang lewat jadi bahan empuk, tiada terkecuali Mbak Ros.

"Mbak Rose!" seru Gibahar melambaikan tangan.

"Apes!" batin Mbak Rose. "Mau jamu Mbak?"

"No Mbak Yu. Aye udah minum susu uht full cream barusan tapiii, situ dari rumah penganten baru? Si Roh Alus pasti nggak beli kan? Dia gimana sikapnya sama Mbak? Ketus? Ato pura-pura bloon kayak biasanya?"

Senyum Rose perlahan memudar, "Biasa aja dia. Tapi yah tadi lumayan ketus. Namanya aja Bang Akmal kan calon saya dulu!"

Gibahar tiba-tiba mengangkat tangan kirinya seraya diputar-putar. Dia sengaja supaya Mbak Rose menyadari gelang emas baru kreditannya, padahal itu juga cuma kw 2, "Udah jam segini, Mbak, saya buru-buru takutnya rawon Si Mbah abis duluan."

"Dipersilahkan Mbak Gib!"

Keduanya komat-kamit nyumpahin satu-sama lain kala saling membelakangi. Gibahar nyumpahin bakul Mbak Rose melorot trus jatuh berhamburan, Mbak Rose nyumpahin Gibahar nyungsep ke parit biar encok 1 bulan.

Ustad Syam mengintruksikan para jamaah merapihkan dan merapatkan syaf. Takbir terucap merdu dan keheningan seketika menyeruak

Bersambung