Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Eveline 1887

Agistra_Queen
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
107
Views
Synopsis
Eveline De Greef, gadis berdarah Indonesia-Belanda, harus menghadapi pengkhianatan oleh orang terdekatnya setelah pindah ke Semarang. Di tengah pergulatan dengan identitas ganda sebagai Indo-Belanda, Eveline terjebak dalam konflik rumit keluarga, persahabatan yang penuh rahasia, dan kisah cinta yang membingungkan. Akankah ia mampu bertahan dan menemukan jalan keluar dari labirin pengkhianatan dan dilema batinnya?
VIEW MORE

Chapter 1 - prolog

Tak tik tuk tik tak tik tuk...

Suara roda kayu yang bergesekan dengan jalanan berbatu terdengar nyaring, bergema di sepanjang jalan yang sepi.

Kereta kuda itu berjalan pelan, dengan suara berderak-derak yang mengikuti irama langkah kuda-kuda yang kokoh.

" Ibu, kita akan pindah ke sini? "

Suara Eveline terdengar ragu saat ia menatap jalanan Semarang yang sibuk. Kota itu berbeda—lebih hidup, lebih berwarna—dengan gedung-gedung tinggi dan pasar yang selalu ramai. Tapi di balik hiruk-pikuk itu, ada sebuah dunia yang sangat asing baginya. Meski darah Belanda mengalir dalam tubuhnya, ia tahu bahwa di sini, di tanah yang penuh sejarah ini, ia tak akan pernah sepenuhnya diterima.

Ny.Sarinah, yang tenang, hanya mengangguk sambil menatap bangunan-bangunan megah yang membentang di hadapan mereka.

"Iya, Nak. Ini akan menjadi rumah baru kita. Tempat kita mulai hidup baru."

Namun, hidup baru itu ternyata tak semudah yang dibayangkan. Di setiap sudut kota ini, ada bisikan-bisikan yang mengingatkan Eveline bahwa statusnya sebagai seorang Irlander—orang Belanda yang memiliki darah pribumi—akan selalu membuatnya menjadi sosok yang berbeda. Ia bukan sepenuhnya milik salah satu dunia, melainkan terkoyak di antara dua dunia yang tidak pernah bisa sepenuhnya menerima keberadaannya.

Kota Semarang baru saja membuka pintunya, dan bagi Eveline, perjalanan yang penuh tantangan, pengkhianatan, dan mungkin cinta, baru saja dimulai.

---

" Eveline, apa kau akan suka tinggal di sini ?"

" Entahlah kak aku tak tahu."

" Kenapa kau jawab singkat begitu ?

Biasannya kau paling antusias bila diajak bepergian. Tumben sekali kau masam begitu. Wajahmu jadi mirip ikan Buntal saat cemberut."

"Ibu...dengar itu. Kakak bilang aku mirip ikan buntal." sambil memukuli lengan Hansen berkali - kali.

" Hans... Hentikan. Kau selalu saja menggoda adikmu. Duduklah yang tenang atau nanti keretanya akan bergoyang .Eve, jangan khawatir. Orang - orang disini baik dan ramah. Kau akan cepat berbaur dengan mereka."

Tapi entah mengapa, Eveline merasa kurang senang. Bukan karena ia pindah kemari dan takut untuk beradaptasi, perasaan itu muncul tiba - tiba. Mungkin saja ia hannya lelah setelah perjalanan yang cukup jauh. Sedari tadi ia hanya menatap keluar jendela dan tidak tertarik dengan hal apapun.

Kereta kuda mereka berhenti dengan pelan di depan sebuah rumah besar yang elegan, berdiri megah di tengah kebun yang luas. Rumah itu memiliki arsitektur Belanda yang kental, dengan jendela-jendela tinggi dan atap miring, mencerminkan kemewahan yang tak bisa disembunyikan. Para bangsawan Belanda dan orang - orang pribumi telah bersiap untuk menyambut kedatangan mereka.

Hansen turun lebih dulu, membuka pintu kereta dan menarik tangan Eveline dengan riang. "Ayo, Eve, lihat! Tempat ini sangat besar. Kau akan betah di sini!"

Eveline hanya mengangguk lemah, menatap rumah itu dengan perasaan yang campur aduk. Tentu, ini adalah rumah yang jauh lebih besar daripada rumah mereka sebelumnya, tetapi entah kenapa ia tidak merasa senang. Semua yang ada di sekelilingnya tampak begitu asing. Namun ia harus segera menyembunyikannya dan bersikap seolah semuanya baik - baik saja.

" Selamat datang Nyonya De Graaf. Saya Baron Lant, sahabat Hendrik De Graaf datang untuk menyambut Anda." kata pria itu sambil membungkukkan badan.

" Senang bertemu dengan Anda Tuan Baron Lant. Anda terlalu berlebihan menyapa kami seperti ini."

" Ho..ho..ho... Tidak Nyonya, suami anda adalah teman baik saya, dan karena beliau juga daerah ini menjadi makmur dan berkembang. Kami berhak melakukan sambutan untuk Anda, jika perlu pun kami akan melakukan pesta yang besar."

"Oh.. Anda benar- benar berlebihan Tuan." Nyonya Sarinah tersipu.

" Panggil saya Baron Lant, Nyonya." orang itu merendahkan suarannya. "Oh iya, kapan Hendrik akan tiba ke mari ?"

" Dia sedang ada urusan di Yogyakarta katanya dua - tiga hari ini akan tiba."

" Baiklah. Nyonya perkenalkan ini Robert, Azure, Fellicia, dan Sam. Mereka adalah perwakilan bangsawan yang bisa hadir hari ini. Yang lain sedang sibuk,mungkin akan menyapa anda lain kali."

" Senang bertemu kalian, Saya Sarinah De Greef. Mohon bantuannya selama di sini." katanya ramah.

" Selama anda di sini, anda akan dibantu Marni untuk keperluan sehari- hari. Dia sangat rajin Nyonya, jadi anda tidak kesulitan. Baiklah , kami pamit dulu, selamat beristirahat." rombongan mereka pun bubar.

" Terimakasih sudah datang kemari. Ayo anak- anak, kita masuk."sambil membimbing keduanya masuk ke dalam kediaman baru mereka.

Ruangan itu luas dengan langit-langit tinggi, dihiasi lampu gantung kristal yang berkilauan. Beberapa perabotan dari Eropa tampak berpadu dengan sentuhan lokal, menciptakan suasana yang hangat namun tetap berwibawa.

"Marni!" panggil Nyonya Sarinah.

Seorang perempuan pribumi dengan kebaya sederhana segera datang, membungkuk hormat. "Iya, Nyonya. Saya Marni. Mulai hari ini, saya akan membantu Nyonya dan keluarga di rumah ini."

Eveline mengamati Marni dengan saksama. Wanita itu tampak ramah dan sopan, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak—seperti seseorang yang menyimpan banyak cerita.

"Nyonya dan Noni pasti lelah setelah perjalanan jauh. Kamar sudah saya siapkan," lanjut Marni, tersenyum lembut.

"Terima kasih, Marni," jawab Nyonya Sarinah.

Sementara itu, Hansen melirik sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. "Rumah ini lebih besar dari yang kubayangkan. Aku suka," katanya santai.

Eveline menghela napas pelan. Ia ingin merasakan hal yang sama seperti kakaknya—semangat dan kagum akan tempat baru ini. Namun, perasaan tidak nyaman itu masih menghantuinya.

Mereka berjalan menyusuri lorong menuju kamar masing-masing. Ketika Eveline membuka pintu kamarnya, ia mendapati sebuah jendela besar yang menghadap langsung ke kebun belakang. Angin sore berembus lembut, membawa suara samar-samar dari kejauhan—suara yang entah kenapa membuat bulu kuduknya meremang.

Ia menutup jendela perlahan, lalu duduk di tepi ranjang. "Mungkin aku hanya lelah," gumamnya.

Namun jauh di lubuk hatinya, Eveline tahu… perasaan itu bukan sekadar kelelahan. Sesuatu yang tak terlihat tengah menunggu. Dan cepat atau lambat, ia akan mengetahuinya.

Malam pertama di rumah baru terasa begitu sunyi. Angin yang berembus lembut membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi. Eveline masih terjaga, menatap langit-langit kamar yang tinggi. Pikirannya melayang ke banyak hal—kehidupan baru di Semarang, orang-orang yang akan ia temui, dan entah kenapa… perasaan gelisah yang belum juga sirna.

Tiba-tiba, suara samar terdengar dari luar jendela. Suara langkah kaki yang ringan, nyaris tak terdengar jika ia tidak benar-benar memperhatikan. Jantungnya berdegup lebih kencang. Ia bangkit perlahan, lalu berjalan menuju jendela, mengintip ke kebun belakang.

Gelap.

"Tak mungkin ada orang di kebun malam- malam begini. Apa para pekerja masih menyiram bunga jam segini? Mungkin saatnya aku untuk tidur." gumamnya dalam hati.

Ia pun kembali ke pelukan selimutnya.

Baru beberapa menit ia memejamkan mata, langkah kecil itu seperti semakin jelas terdengar. Gadis berusia 16 tahun itu tak takut dengan apapun. Ia hanya...terkejut. Lagi- lagi ia memeriksa dari jendela kamarnya, bahkan nekat untuk membukanya hingga semakin jelas siapa yang ada di sana. Sosok itu semakin mendekati Eveline yang hendak berteriak namun ia berhasil menutup mulutnya.

" Sssst... Jangan bersuara, aku akan segera pergi dari sini."