Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Desahan Gadis Desa

Areshermes
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
65
Views
Synopsis
Mohon bijak dalam memilih bacaan khusus untuk usia 21+, yang belum cukup umur dilarang membacanya. Cerita seorang gadis yang terpaksa harus putus sekolah karna keterbatasan ekonomi. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya sendiri bekerja sebagai buruh cuci pakaian di tetangganya. Sedangkan adik-adiknya sendiri butuh biaya, hingga gadis itu memutuskan untuk pergi ke kota ke rumah bibinya. Dia adalah kakak dari sang ibu, ibunya memiliki tiga bersaudara dan ibunya anak ketiga. Saudara yang kedua tinggal di pulau seberang, gadis itu berharap bisa membantu meringankan beban keluarganya. Namun, siapa sangka tinggal di kota tidak semudah yang di bayangkan. Banyak rintangan yang harus dihadapi, bagaimanakah kisahnya? Yang penasaran langsung saja di baca
VIEW MORE

Chapter 1 - Asa di tengah derita

"Jangan Paman, aku mohon!"

"Kamu tenang saja Safira, Paman tidak akan menyakitimu tapi akan memberikan kamu kenikmatan."

"Aku keponakanmu Paman, aku mohon lepaskan aku!"

"Akan aku lepaskan setelah Paman berhasil membobol me mek mu yang sempit itu, jadi nikmati saja!"

Dengan sekali hentakan, Kon tol besar Pak Herman berhasil membobol me mek Safira yang masih perawan.

"Aaaaaaaaaa.... " Pak Herman langsung menutupi mulut Safira dengan tangannya.

Tak ada rasa kasihan, sang Paman tega menodai keponakannya sendiri. Safira hanya bisa pasrah karna Pamannya sangat kuat, tubuhnya yang besar membuat Safira kelelahan.

Di sebuah desa kecil yang terletak di pelosok negeri, hiduplah seorang gadis bernama Safira. Usianya baru saja menginjak 15 tahun, namun kehidupannya terasa jauh lebih berat dibanding anak seusianya. Sejak kecil, Safira sudah terbiasa hidup dalam keterbatasan. Safira sendiri orangnya cantik, berkulit putih dan berambut sepunggung bergelombang.

Ayahnya, Pak Wawan, seorang petani penggarap yang bekerja dari pagi hingga petang, meninggal dunia dua tahun lalu akibat kecelakaan kerja di ladang. Sejak saat itu, kehidupan keluarga Safira semakin sulit.

Ibu Safira, Bu Sumarni, terpaksa mengambil pekerjaan sebagai buruh cuci pakaian di rumah-rumah tetangga untuk menyambung hidup. Setiap pagi, Bu Sumarni akan menggendong keranjang penuh pakaian kotor dan berjalan menyusuri gang-gang sempit kampung. Upah yang diterimanya tak seberapa, tapi itu sudah cukup untuk membeli beras dan sedikit sayur untuk keluarga kecilnya.

Safira adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Adik pertamanya, Rani, masih duduk di kelas 5 SD, sementara adiknya yang paling kecil, Dimas, baru berusia 4 tahun. Sebagai anak tertua, Safira merasa memiliki tanggung jawab besar untuk membantu ibunya. Sepulang sekolah, ia sering membantu mencuci pakaian, memasak, atau menjaga Dimas.

Namun, setelah lulus SMP, mimpi Safira untuk melanjutkan sekolah harus kandas. Biaya sekolah yang semakin mahal menjadi tembok penghalang yang tak bisa ia lewati. Ia hanya bisa menatap iri teman-temannya yang melanjutkan ke SMA dengan seragam baru dan senyum penuh semangat.

"Bu, aku nggak apa-apa kalau nggak sekolah lagi," ucap Safira suatu malam saat mereka sedang makan bersama. "Yang penting, kita semua bisa makan setiap hari."

Mendengar itu, mata Bu Sumarni berkaca-kaca. Ia tahu betapa besar keinginan Safira untuk terus belajar, tapi kenyataan hidup tak memberi mereka pilihan. "Maafkan Ibu, Nak. Kalau saja Ayahmu masih ada, mungkin semua ini nggak akan terjadi..."

Safira tersenyum, meski hatinya terasa berat. Ia tak ingin ibunya terus menyalahkan diri sendiri. "Aku akan cari kerja, Bu. Aku nggak mau Ibu capek sendirian. Adik-adik juga butuh biaya sekolah."

Keputusan itu membuat hati Bu Sumarni semakin teriris. Namun, ia tahu Safira adalah anak yang tangguh, dan ia tak bisa melarangnya.

Beberapa minggu berlalu, Safira mencoba mencari pekerjaan di desa, namun hasilnya nihil. Desa mereka terlalu kecil, dan lapangan pekerjaan sangat terbatas. Hingga suatu hari, Bu Sumarni mendapat kabar dari kakaknya, Bu Ratmi, yang tinggal di kota.

"Kalau Safira mau, suruh saja ke rumahku. Di sini banyak kerjaan. Dia bisa bantu-bantu di rumahku dulu sambil cari kerja yang lebih baik," kata Bu Ratmi saat menelepon.

Bu Ratmi adalah kakak pertama dari Bu Sumarni. Bu Ratmi dan keluarganya jarang sekali pulang kampung, sejak orangtua mereka meninggal. Bu Ratmi orangnya dingin, jutek dan sama sekali tidak ramah. Mungkin dulu Bu Sumarni sangat di manja oleh orangtuanya, yang membuat dia iri karna orangtuanya lebih perhatian pada dia.

Ia sudah lama tinggal di kota bersama suaminya, Pak Herman, dan tiga anak mereka. Pak Herman sendiri berperawakan tingginya sedang dengan tubuh yang berisi, memiliki jenggot dan kumis. Ia sendiri orangnya sama seperti istrinya, kurang ramah dan bersahabat. Meski hubungan mereka tidak terlalu dekat, Bu Sumarni percaya bahwa kakaknya bisa membantu Safira memulai hidup yang lebih baik.

"Apa kamu yakin mau pergi ke kota, Nak?" tanya Bu Sumarni sambil menatap Safira yang sedang menyuapi Dimas.

Safira mengangguk. "Aku yakin, Bu. Mungkin di sana aku bisa dapat kerja dan kirim uang untuk Ibu sama adik-adik."

Hari keberangkatan pun tiba. Dengan membawa satu tas kecil berisi pakaian seadanya dan beberapa bungkus nasi yang dibuat ibunya, Safira melangkah menuju terminal bus. Rani memeluk kakaknya sambil menangis.

"Kak, jangan lama-lama di sana. Aku pasti kangen," kata Rani dengan suara tersedu.

Safira mengelus kepala adiknya. "Aku janji bakal sering telepon. Kamu harus rajin belajar, ya. Jangan bikin Ibu repot."

Ketika bus mulai melaju meninggalkan desa, Safira menatap keluar jendela, melihat rumahnya yang semakin mengecil di kejauhan. Ada harapan besar di hatinya, tapi juga rasa khawatir akan apa yang menantinya di kota. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk bertahan, apapun yang terjadi.

Safira tiba di kota besar dengan hati penuh campuran perasaan—antara antusiasme dan kekhawatiran. Kota itu jauh lebih ramai dan sibuk dibandingkan dengan desanya yang tenang. Gedung-gedung tinggi menjulang, jalanan dipadati kendaraan, dan hiruk-pikuk orang-orang yang berlalu lalang membuatnya merasa kecil.

Ketika tiba di terminal, Safira melihat seorang wanita yang dikenalnya—Bibinya, Bu Ratmi—berdiri di depan pintu masuk dengan wajah yang sulit ditebak. Bibinya menyambut Safira dengan pelukan singkat. "Kamu sudah besar sekarang," ucapnya tanpa senyum yang tulus. "Ayo ikut, rumahku nggak terlalu jauh dari sini."

Safira hanya mengangguk sambil mengikuti langkah bibinya. Rumah Bu Ratmi berada di sebuah gang sempit di balik deretan toko-toko besar. Meski lebih baik daripada rumah-rumah di kampung, rumah itu terasa suram. Safira disambut oleh Pak Herman, seorang pria berwajah keras yang tampak tidak terlalu peduli dengan kehadirannya. Ketiga anak mereka, yang semuanya laki-laki, hanya menatap Safira sekilas sebelum kembali sibuk dengan ponsel dan laptop mereka.

"Kamu bisa tidur di kamar kecil di belakang dapur," kata Bu Ratmi dingin. "Di sini, kamu harus bantu-bantu kerja rumah dulu. Nanti kalau ada pekerjaan lain, kita carikan."

"Iya Bi terima kasih banyak sebelumnya,"

Malam itu, Safira duduk di tempat tidurnya—sebuah kasur tipis yang diletakkan di lantai. Ia menatap langit-langit kamar yang penuh dengan noda lembap. Perasaan rindu akan rumah tiba-tiba menghantamnya keras. Ia mengeluarkan sebuah foto keluarganya yang diselipkan dalam dompet kecilnya, lalu memeluknya erat.

Hari-hari berikutnya, Safira mulai menjalani rutinitas barunya. Ia membantu mencuci, memasak, dan membersihkan rumah bibinya. Bu Ratmi selalu memastikan bahwa Safira bekerja tanpa cela. Jika ada sedikit saja kesalahan, bibinya akan memarahinya dengan nada tinggi.

"Apa kamu nggak diajari kerja di rumah? Ini kok piring masih kotor begini?!" seru Bu Ratmi suatu pagi sambil mengangkat sebuah piring yang baru saja dicuci Safira.

Safira hanya bisa menunduk dan meminta maaf. Air matanya kadang ingin tumpah, tapi ia menahannya. Ia tak ingin bibinya melihat kelemahannya.

Pak Herman, yang biasanya hanya diam, mulai sering memperhatikan Safira dengan cara yang membuatnya tidak nyaman. Suatu malam, ketika Bu Ratmi pergi ke pasar, Pak Herman mendekatinya di dapur. "Kamu kerja yang rajin, ya. Jangan sampai bikin masalah di sini," katanya sambil menatapnya tajam. Namun, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Safira bergidik.

Ketidaknyamanan itu semakin bertambah saat anak-anak Bu Ratmi mulai ikut-ikutan memperlakukannya dengan tidak pantas. Anak sulung mereka, Aditya, sering melemparkan komentar-komentar yang membuat Safira risih.

"Kamu cantik juga, ya, kalau nggak kerja pakai daster lusuh begitu," katanya suatu kali sambil terkekeh.

Anak kedua, Rizky, lebih sering menyentuh Safira dengan alasan bercanda. Suatu hari, ketika Safira sedang menyapu ruang tamu, Rizky pura-pura ingin lewat tapi dengan sengaja menyenggol tubuhnya. Safira mundur ketakutan, tapi Rizky hanya tertawa seolah tidak terjadi apa-apa.

Adik bungsu mereka, Aldi, meski usianya masih SMA, tidak kalah membuat Safira tertekan. Ia sering mengancam akan melaporkan Safira ke bibinya jika ia tidak menuruti permintaannya.

"Kalau kamu nggak mau pinjamkan aku uang yang dikasih Ibu, aku bilangin ke Mama kalau kamu nyolong di rumah ini," ancamnya suatu hari.

Safira merasa dunianya mulai runtuh. Ia ingin melawan, tapi takut kehilangan tempat tinggal. Ia ingin lari, tapi teringat wajah ibunya dan adik-adiknya di kampung yang menanti kiriman uang darinya. Setiap malam, Safira menangis dalam diam.

Hingga suatu malam, batas kesabarannya diuji. Ketika ia sedang membersihkan ruang tengah, Aditya mendekatinya dengan tatapan yang tidak bersahabat. Ia menarik tangan Safira dengan paksa dan membawanya ke sudut ruangan. "Jangan ribut, atau aku bikin hidupmu tambah susah," bisiknya dengan nada mengancam.

Safira berontak sekuat tenaga dan berhasil melarikan diri ke kamarnya. Ia mengunci pintu dan menangis sepanjang malam. Dalam hatinya, ia berdoa meminta kekuatan untuk bertahan. Ia tahu, ia harus menemukan jalan keluar dari neraka ini.

Malam itu, Safira duduk di lantai kamarnya yang dingin, masih terisak. Tangannya gemetar memegang sebuah foto keluarganya yang sudah mulai usang. Ia membayangkan wajah ibunya, Rani, dan Dimas. Pikirannya berkecamuk. Ia ingin pulang ke kampung, tetapi teringat kenyataan pahit bahwa mereka sangat membutuhkan uang. Ia tak boleh menyerah, meski hatinya terasa hancur.

Ketukan keras di pintu membuyarkan lamunannya.

"Safira! Cepat keluar! Kamu belum cuci piring makan malam tadi!" teriak Bu Ratmi dari luar.

Safira buru-buru menghapus air matanya dan membuka pintu. "Iya, Bi. Maaf, saya lupa," ucapnya pelan sambil menunduk.

Bu Ratmi memelototinya. "Kamu ini gimana sih? Jangan bikin rumah ini berantakan! Kalau nggak becus kerja, jangan harap aku mau bantu kamu cari kerja di luar sana!" katanya dengan nada tajam sebelum berbalik ke kamarnya.

Safira menunduk, menahan rasa sakit di hatinya. Setelah Bu Ratmi masuk ke kamarnya, ia kembali mengerjakan pekerjaan rumah hingga larut malam.

Hari itu, Safira memutuskan untuk berbicara dengan bibinya. Ia tahu, jika terus bertahan di rumah ini tanpa usaha mencari pekerjaan lain, hidupnya akan semakin sulit. Ketika Bu Ratmi sedang duduk di ruang tamu menonton televisi, Safira memberanikan diri untuk mendekat.

"Bibi, saya mau ngomong sebentar," kata Safira dengan nada ragu.

"Apa lagi? Cepat, aku nggak punya banyak waktu," jawab Bu Ratmi tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi.

"Saya mau coba cari pekerjaan lain, Bi. Mungkin di luar sana ada yang bisa saya kerjakan. Saya tetap bantu di rumah, tapi saya juga mau cari penghasilan sendiri," ujar Safira dengan hati-hati.

Bu Ratmi menoleh, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. "Kamu pikir cari kerja di kota ini gampang? Apalagi dengan pendidikanmu yang cuma sampai SMP?" tanyanya sinis.

"Saya akan coba, Bi. Saya nggak mau terus-terusan jadi beban di sini," jawab Safira dengan suara pelan tapi tegas.

Bu Ratmi menghela napas panjang. "Terserah kamu. Tapi ingat, kamu tetap harus selesaikan pekerjaan rumah sebelum pergi. Jangan sampai urusan di sini terbengkalai."

"Terima kasih, Bi," jawab Safira sambil sedikit membungkukkan badan.

Namun, ia tidak tahu bahwa pembicaraan itu didengar oleh Pak Herman yang berdiri di dekat pintu. Pria itu menatap Safira dengan senyum licik, seolah sedang menyusun rencana di kepalanya.

Hari pertama mencari pekerjaan, Safira melangkah keluar rumah dengan penuh semangat, meski masih dihantui rasa takut akan apa yang akan terjadi. Ia membawa selembar surat lamaran sederhana yang ditulisnya sendiri.

Safira menyusuri jalanan kota, masuk dari satu toko ke toko lainnya, berharap ada yang menerima tenaganya. Namun, jawaban yang diterimanya hampir selalu sama.

"Maaf, kami butuh orang yang sudah punya pengalaman kerja."

"Pendidikan minimal SMA, Mbak."

"Maaf, saat ini kami tidak butuh karyawan."

Langkah Safira mulai terasa berat. Matahari semakin terik, keringat bercucuran di dahinya. Ketika ia hampir menyerah, sebuah kafe kecil menarik perhatiannya. Di depan kafe itu, ada papan bertuliskan: Membutuhkan pelayan, pengalaman tidak diutamakan.

Safira merasa ada harapan. Ia masuk ke dalam kafe dan mendekati seorang wanita yang tampak sebagai pemilik tempat itu.

"Selamat siang, Bu. Saya lihat ada lowongan di sini. Apa masih bisa melamar?" tanya Safira dengan nada sopan.

Wanita itu menatapnya dari balik meja kasir. "Kamu bisa kerja kapan?" tanyanya singkat.

"Saya bisa mulai kapan saja, Bu."

"Baiklah. Kamu bisa kerja di sini mulai besok. Tapi gajinya kecil, ya, cuma cukup buat makan dan ongkos. Kalau kamu setuju, aku kasih kesempatan," jawabnya.

Mata Safira berbinar. "Saya setuju, Bu! Terima kasih banyak!"

Wanita itu mengangguk. "Namamu siapa?"

"Safira, Bu."

"Baik, Safira. Besok pagi jam delapan kamu sudah harus di sini. Jangan terlambat."

Safira mengangguk penuh semangat. Ia merasa beban di pundaknya sedikit berkurang.

Malam itu, ketika Safira sedang membereskan piring di dapur, ia dikejutkan oleh suara langkah kaki yang mendekat. Ketika ia menoleh, ia melihat Pak Herman berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang membuat darahnya berdesir.

"Kamu kelihatannya capek ya, kerja terus dari pagi sampai malam," katanya dengan nada yang aneh.

Safira mencoba menghindar. "Saya sudah selesai kerja, Paman. Mau istirahat dulu."

Namun, sebelum ia sempat pergi, Pak Herman melangkah lebih dekat. "Kamu ini terlalu cantik untuk kerja kasar, tahu nggak? Kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja ke Paman."

Safira mundur perlahan, tubuhnya gemetar. "Maaf, Paman, saya benar-benar mau istirahat. Permisi."

Ia berlari ke kamarnya dan mengunci pintu. Nafasnya tersengal-sengal, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu, ini bukan pertama kalinya Pak Herman bersikap seperti itu, tapi kali ini ia merasa ancaman itu semakin nyata.

Safira menyadari bahwa ia harus segera keluar dari rumah itu. Keesokan harinya, setelah selesai bekerja di kafe, ia memutuskan untuk berbicara dengan pemilik kafe, seorang wanita bernama Ibu Dina.

"Ibu, maaf, apa saya boleh tanya sesuatu?" kata Safira dengan suara pelan.

"Tentu, ada apa, Safira?" jawab Ibu Dina sambil tersenyum.

"Kalau saya mau cari tempat tinggal sementara di sekitar sini, apa Ibu tahu kos-kosan yang murah?"

Ibu Dina memandang Safira dengan penuh perhatian. "Kenapa? Kamu ada masalah di rumah?"

Safira ragu sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya, Bu. Saya butuh tempat tinggal yang lebih aman."

Ibu Dina menatapnya lama, lalu menghela napas. "Kamu bisa tinggal di ruangan belakang kafe untuk sementara waktu. Nggak besar, tapi cukup nyaman. Nanti gajimu dipotong sedikit untuk sewa, ya."

Safira menatap Ibu Dina dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Bu. Terima kasih banyak."

Hari itu, Safira merasa seperti melihat secercah cahaya di tengah gelapnya hidupnya. Namun, ia tahu bahwa ini baru awal dari perjuangannya.