Malam itu, suasana di kafe sudah sepi. Safira menyelesaikan pekerjaannya lebih awal karena tubuhnya terasa lelah setelah seharian bekerja keras. Setelah berpamitan kepada Ibu Dina, ia berjalan pulang ke tempat tinggalnya yang hanya berjarak beberapa gang dari kafe.
Hawa malam yang dingin menusuk kulitnya, membuat Safira mempercepat langkah. Ia tidak menyadari bahwa di belakangnya, seseorang tengah mengikutinya dalam bayang-bayang kegelapan. Pak Herman, dengan langkah perlahan namun pasti, terus membuntutinya.
Safira tiba di ruangannya yang kecil di belakang kafe. Ia menutup pintu dengan kunci seadanya, kemudian menghela napas lega. Ia merasa aman di tempat itu, meski rasa cemas masih menyelimuti hatinya. Setelah berganti pakaian, ia merebahkan diri di tikar tipis yang menjadi alas tidurnya.
Namun, di luar sana, Pak Herman berdiri diam di depan pintu. Ia mengamati suasana sekitar, memastikan tidak ada orang lain yang melihatnya. Dengan perlahan, ia membuka pintu yang ternyata tidak terkunci dengan sempurna.
Safira, yang sedang merenung sambil memejamkan mata, terkejut saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Ia menoleh dan mendapati sosok Pak Herman berdiri di pintu dengan senyum dingin di wajahnya.
"Paman Herman? Apa yang Anda lakukan di sini?" tanyanya dengan nada gemetar.
Pak Herman melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan tenang. "Kamu pikir kamu bisa sembunyi dari aku, Safira? Aku bilang, kamu nggak akan bisa lari," ucapnya dengan nada yang mengancam.
Safira bangkit dari tempat tidurnya, mundur perlahan hingga punggungnya menabrak dinding. "Tolong, Paman. Keluar dari sini. Saya nggak mau ada masalah."
Namun, Pak Herman tidak peduli. Ia mendekat dengan langkah perlahan, sementara Safira berusaha mencari cara untuk melarikan diri.
"Masalahnya, Safira, kamu terlalu keras kepala. Kamu pikir kamu bisa hidup sendiri di kota ini? Aku hanya mau memastikan kamu tetap di bawah kendaliku," kata Pak Herman dengan suara rendah.
Safira semakin ketakutan, Pak Herman semakin mendekatkan tubuhnya hingga mereka saling berdempetan.
Safira mencoba berteriak, tetapi Pak Herman segera menutup mulutnya dengan tangan. "Diam, atau aku akan membuat semuanya lebih buruk untukmu," ancamnya.
Dalam ruang sempit itu, Safira merasa terperangkap. Ia tidak punya tempat untuk melarikan diri, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk melawan kekuatan Pak Herman yang jauh lebih besar.
"Kemarin kamu sudah menikmati Kon tol Paman di mobil, sekarang aku akan memberikan yang lebih enak dari kemarin." Tubuhnya yang besar, membuat Safira tidak bisa berbuat apa-apa.
"Jangan Paman... Aku mohon lepaskan aku!"
Pak Herman membuka resleting celananya memperlihatkan persembunyian Kon tol besarnya dan kemudian dengan bangga dia perlihatkan pada Safira. Hanya beberapa menit saja, Pak Herman sudah membuat Safira tidak berbusana. Pak Herman begitu bahagia, melihat buah dada Safira yang kini berada di hadapannya. Tanpa menunggu lama, tangannya yang besar dan kasar segera meremasnya. Safira terus menangis ketika dia di baringkan di kasur, sementara itu Pak Herman sendiri mulai melucuti semua pakaiannya.
"Aku mohon Paman, lepaskan aku!"
"Sudah lama aku menantikan ini, kamu sangat cantik Safira. Aku sudah lama suka padamu, malam ini kamu akan merasakan kenikmatan surgawi."
Pak Herman segera mengambil ancang-ancang, dia duduk di hadapan Safira yang berbaring pasrah. Safira berusaha menutupi area sensitifnya, tapi Pak Herman membuka kedua kakinya secara paksa. Hingga terlihat me mek nya yang masih garis, di tumbuhi bulu yang tidak terlalu rimbun, membuat Pak Herman semakin bergairah. Dia mulai mengelus-elus Kon tol nya yang sudah sangat keras seperti baja, kemudian memberikan ludah dan dia oleskan pada Kon tol nya.
Kon tol hitam kecoklatan itu dia arahkan untuk memasuki me mek Safira yang masih sangat sempit, sangat jauh ukurannya di bandingkan dengan Kon tol nya yang besar. Ukurannya tidak sesuai, Kon tol besar harus memasuki me mek yang sangat sempit dan masih perawan. Pak Herman langsung menekannya sangat kuat dan langsung dia terobos, tanpa pemanasan dulu, yang membuat Safira tersentak dan kesakitan.
"Aaaaaaaaaa..... " Jerit Safira, tapi mulutnya langsung di tutupi oleh Pak Herman
"Enak banget sayang, mulai malam ini kau telah menjadi milikku seutuhnya. Kon tol besar paman berhasil membobol me mek mu yang masih perawan itu, rasanya seperti mimpi bisa menikmati me mek perawan yang sangat nikmat."
Safira hanya bisa pasrah, air matanya terus mengalir. Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi ketika Pak Herman mulai memaju mundurkan pinggulnya dengan cepat, sementara itu Pak Herman merasa senang melihat penderitaan Safira. Malam itu menjadi malam terburuk dalam hidupnya, malam yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi.
Tangis Safira pecah, tetapi tidak ada suara yang keluar. Ia hanya bisa pasrah, berdoa dalam hati agar semuanya segera berakhir. Namun, Pak Herman tidak berhenti. Ia mengabaikan tangisan dan permohonan Safira, seolah tidak memiliki hati. Setelah cukup lama, keringat sudah membasahi tubuh Pak Herman, yang terus menggoyangkan pinggulnya tanpa henti. Gerakannya semakin cepat pertanda bahwa cairan kenikmatannya akan segera keluar, Kon tol nya langsung di cabut ketika cairan putih kental nya itu keluar beberapa kali tembakan sampai mengenai buah dada dan wajah Safira.
Terlihat darah segar mengalir dari dalam me mek Safira, yang kini sudah menganga dan sudah jebol. Kon tol besar Pak Herman yang membuat me mek Safira dower dan kehilangan kesuciannya. Sementara itu Kon tol Pak Herman masih tetap keras dan tegang, Kon tol nya penuh dengan darah perawan Safira. Pak Herman mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, dia sangat puas telah menikmati gadis kecil keponakannya sendiri.
Setelah semuanya selesai, Pak Herman bangkit dan menatap Safira yang terduduk lemas di sudut ruangan. "Ingat ini baik-baik, Safira. Jangan coba-coba lari darku lagi. Kalau kamu melapor atau bilang ke siapa pun, aku pastikan hidupmu akan lebih hancur," ucapnya dengan nada dingin sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.
Pak Herman membersihkan diri di kamar mandi, setelah itu dia kembali berpakaian. Pak Herman langsung pergi begitu saja meninggalkan Safira yang masih terbaring tak berdaya di lantai.
Safira hanya bisa menangis, tubuhnya gemetar, dan hatinya hancur berkeping-keping. Ia merasa dunia telah runtuh di hadapannya. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain memeluk lututnya sendiri dan menangis hingga pagi.
Pagi harinya, Safira tidak pergi ke kafe. Tubuhnya terasa lemas, dia menderita sakit terutama di daerah sensitifnya yang sudah di obrak-abrik oleh Kon tol besar Pak Herman. Tubuhnya panas badannya menggigil dia langsung demam, sementara pikirannya dipenuhi rasa takut dan trauma. Ia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup setelah kejadian malam itu.
Namun, ia sadar bahwa ia tidak bisa terus berdiam diri. Ia harus melawan, meski hanya dengan sedikit kekuatan yang tersisa. Dalam pikirannya, terlintas wajah Farhan, satu-satunya orang yang ia percaya di kota ini.
Dengan langkah gontai, Safira akhirnya keluar dari tempat tinggalnya dan berjalan menuju kafe. Sesampainya di sana, Farhan langsung menyadari ada yang tidak beres dengan Safira.
"Safira? Kamu kenapa? Kamu kelihatan sangat lelah," tanya Farhan dengan nada khawatir.
Safira tidak bisa menjawab. Air matanya mulai mengalir tanpa henti, membuat Farhan semakin bingung. Ia menarik Safira ke salah satu meja di pojok kafe, jauh dari pandangan pelanggan lain.
"Safira, tolong ceritakan. Apa yang terjadi? Aku akan membantumu," ucap Farhan lembut.
Safira menggeleng, merasa terlalu takut untuk menceritakan kebenaran. Namun, Farhan tidak menyerah. "Kamu nggak sendirian, Safira. Apa pun yang terjadi, aku di sini untuk kamu."
Mendengar itu, Safira akhirnya tidak bisa lagi menahan diri. Dengan suara yang terbata-bata, ia menceritakan semua yang terjadi malam sebelumnya, mulai dari ancaman Pak Herman hingga kejadian mengerikan di ruangannya.
Farhan mendengarkan dengan serius, matanya memancarkan kemarahan dan kesedihan. Setelah Safira selesai bercerita, Farhan mengepalkan tangannya dengan erat. "Kamu nggak bisa terus begini, Safira. Kita harus melaporkan dia ke polisi."
"Tapi, aku takut, Mas. Dia bilang dia akan menghancurkan hidupku kalau aku melapor," jawab Safira dengan suara bergetar.
Farhan menatap Safira dengan penuh keteguhan. "Dengar, Safira. Kalau kita diam, dia akan terus melakukan hal ini. Bukan hanya ke kamu, tapi mungkin ke orang lain juga. Kita harus melawan."
Safira hanya bisa diam, memikirkan kata-kata Farhan. Meski ia masih diliputi ketakutan, dalam hatinya mulai muncul keberanian untuk melawan. Ia tahu, ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan mimpi buruk ini.
Safira merasa sedikit lega setelah menceritakan semuanya kepada Farhan. Ia berharap, dengan dukungan Farhan, mereka bisa menemukan jalan keluar dari ancaman Pak Herman. Namun, ia tidak menyadari bahwa ancaman itu lebih besar dari yang ia bayangkan.
Sementara Safira mencoba melanjutkan hidupnya di tengah luka yang mendalam, Pak Herman tidak tinggal diam. Ia tahu Safira sudah mulai melibatkan orang lain. Ia diam-diam terus mengawasi Safira, dan kali ini, ia mengalihkan perhatiannya ke Farhan.
Pada suatu malam, ketika Farhan pulang dari kafe, ia dikejutkan oleh sosok Pak Herman yang tiba-tiba muncul dari bayangan.
"Mas Farhan, ya?" suara Pak Herman terdengar tenang namun mengintimidasi.
Farhan mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Iya, saya Farhan. Maaf, Bapak siapa?"
Pak Herman mendekat dengan senyum dingin di wajahnya. "Nggak perlu tahu saya siapa. Yang jelas, saya tahu kamu dekat dengan Safira."
Farhan merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Ia mencoba tetap tenang. "Apa maksud Bapak? Saya cuma teman kerja Safira."
Pak Herman menepuk pundaknya dengan keras, membuat Farhan sedikit terkejut. "Dengar baik-baik. Jangan ikut campur urusan Safira. Dia tanggung jawab saya, dan kalau kamu macam-macam…" Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Farhan. "Aku pastikan hidupmu berakhir buruk."
Farhan mencoba membela diri. "Bapak nggak bisa mengancam saya seperti itu. Safira butuh bantuan."
Namun, Pak Herman hanya tertawa kecil. "Safira? Dia nggak butuh bantuan kamu. Dia cuma perlu tahu tempatnya. Dan kamu… kalau nggak mau sesuatu yang buruk terjadi, lebih baik jauhi dia. Mengerti?"
Farhan hanya diam, tetapi hatinya dipenuhi ketakutan. Pak Herman tampak sangat serius, dan Farhan tahu orang seperti itu tidak main-main dengan ancamannya.
Keesokan harinya, Safira datang ke kafe dengan harapan bisa bertemu Farhan untuk membahas langkah berikutnya. Namun, Farhan tidak ada di sana. Ia bertanya pada Ibu Dina, tetapi Ibu Dina juga tidak tahu keberadaan Farhan.
"Hari ini dia nggak masuk, Safira. Dia nggak bilang apa-apa," kata Ibu Dina sambil melanjutkan pekerjaannya.
Safira mencoba menghubungi Farhan lewat telepon, tetapi tidak ada jawaban. Pesan yang ia kirim pun tidak dibalas.
Hari-hari berlalu, dan Farhan tetap tidak muncul. Safira semakin cemas. Apa yang terjadi pada Farhan? Apakah Pak Herman melakukan sesuatu padanya? Pikiran-pikiran itu terus menghantui Safira.
Merasa putus asa dan bingung, Safira akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Ia butuh waktu untuk berpikir, dan yang paling penting, ia ingin bertemu ibunya. Namun, keputusan ini tidak mudah.
Sebelum pergi, Safira menemui Ibu Dina untuk meminta izin.
"Ibu, saya mau izin pulang ke kampung beberapa hari. Ada urusan keluarga," katanya dengan suara pelan.
Ibu Dina menatapnya dengan perhatian. "Kamu kenapa, Safira? Akhir-akhir ini kamu kelihatan nggak tenang. Kalau ada masalah, ceritakan saja ke Ibu."
Safira tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Bu. Saya cuma kangen keluarga."
Ibu Dina mengangguk. "Baiklah. Tapi, kalau ada apa-apa, kamu harus cerita, ya. Jangan dipendam sendiri."
Safira mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum pergi.
Malam sebelum keberangkatannya, Safira tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan ancaman Pak Herman. Bagaimana jika ia mencoba mencelakai ibunya? Atau adik-adiknya?
Namun, ia tahu ia harus pergi. Ia butuh kekuatan dari keluarganya untuk melanjutkan perjuangannya. Meski untuk sementara ini, ia memutuskan untuk tidak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kepada ibunya.
"Aku harus kuat," bisiknya kepada dirinya sendiri.
Keesokan paginya, Safira berangkat menuju kampung halamannya dengan hati yang masih penuh ketakutan. Namun, di balik rasa takut itu, ia menyimpan harapan kecil—harapan bahwa ia bisa menemukan jalan keluar dari semua ini.