Chereads / Desahan Gadis Desa / Chapter 2 - Di kasih Piscok

Chapter 2 - Di kasih Piscok

Pagi itu, Safira memulai harinya dengan semangat baru. Setelah mendapatkan izin dari Ibu Dina untuk tinggal sementara di ruang belakang kafe, ia merasa sedikit lega. Meski ruangan itu hanya berukuran 3x3 meter dengan dinding yang mulai mengelupas, bagi Safira tempat itu adalah surga kecil dibandingkan rumah bibinya yang penuh tekanan.

Setelah menyelesaikan pekerjaan di kafe hari itu, Safira membereskan ruangan barunya. Ia menghamparkan tikar tipis di lantai, menata pakaian seadanya, dan menggantung foto keluarganya di tembok.

"Sekarang, aku punya tempat yang lebih tenang," gumamnya sambil tersenyum kecil. Namun, dalam hati, ia tahu bahwa tantangan di kota ini belum selesai.

Safira mulai terbiasa dengan pekerjaan di kafe. Pagi-pagi, ia membantu membersihkan meja, melayani pelanggan, dan mencatat pesanan. Ibu Dina, meski terlihat tegas, ternyata sangat baik hati. Ia sering memberi Safira makanan tambahan atau membelikan pakaian kerja sederhana.

Suatu hari, saat Safira sedang menyapu lantai, seorang pelanggan tetap kafe, seorang pria muda bernama Farhan, memperhatikannya. Farhan adalah mahasiswa semester akhir yang sering datang ke kafe untuk mengerjakan tugas.

"Safira, ya?" tanyanya sambil tersenyum.

Safira menghentikan sapuannya dan menatapnya dengan bingung. "Iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu?"

Farhan menggeleng. "Nggak ada, cuma mau bilang kamu rajin banget. Jarang ada orang yang seumur kamu kerja sekeras ini."

Safira tersenyum canggung. "Terima kasih, Mas. Saya cuma berusaha yang terbaik."

Obrolan singkat itu membuat Safira merasa sedikit dihargai, sesuatu yang jarang ia rasakan di rumah bibinya. Farhan sering mengajaknya berbicara saat kafe sedang sepi, menanyakan tentang kehidupannya, kampung halamannya, dan mimpi-mimpinya.

"Kamu masih muda, Safira. Harusnya kamu sekolah, bukan kerja kayak gini," kata Farhan suatu kali.

Safira hanya tersenyum tipis. "Kalau hidup saya semudah itu, Mas, mungkin saya sudah sekolah sekarang."

Farhan terdiam, merasa bersalah telah berkata seperti itu. Sejak saat itu, ia menjadi semakin sering memperhatikan Safira, meski gadis itu tetap menjaga jarak.

Suatu sore, Safira pulang ke rumah bibinya untuk mengambil barang-barang yang tertinggal. Ia mencoba menghindari percakapan dengan Pak Herman, tetapi nasib berkata lain. Saat ia sedang membereskan barang-barangnya di kamar belakang, Pak Herman masuk tanpa mengetuk dan pintunya langsung di tutup.

"Kamu pindah?" tanyanya dengan nada datar, tetapi ada kilatan dingin di matanya.

Safira mengangguk tanpa menatapnya. "Iya, Paman. Saya sudah dapat tempat tinggal di dekat kafe."

Pak Herman mendekat, membuat Safira semakin waspada. "Jadi kamu pikir kamu bisa kabur dari tanggung jawab di sini, ya?" katanya sambil memandang Safira dengan tajam.

"Saya tetap akan datang kesini Paman, beres-beres rumah seperti yang sudah bibi perintahkan pada saya. Saya cuma… butuh tempat yang lebih dekat dengan pekerjaan saya," jawab Safira, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdegup kencang.

Pak Herman tiba-tiba meraih lengannya dan di letakkan pada bagian depan celana Pak Herman yang menggembung, membuat Safira terkejut dan mencoba menarik diri. "Jangan lupa, kamu masih berutang budi pada keluarga ini. Kalau nggak ada kami, kamu nggak akan bisa tinggal di kota ini," ucapnya dengan nada mengancam.

Safira memandang Pak Herman dengan mata penuh ketakutan. "Tolong, Paman. Saya cuma ingin hidup tenang, Tolong lepaskan saya!" pintanya dengan suara bergetar.

Tangan Safira di usap-usapkan pada bagian Kon tol nya yang sudah mengeras, sementara itu Pak Herman mulai meremas buah dada Safira yang membuat Safira semakin ketakutan.

Pak Herman tersenyum sinis. "Kamu pikir hidup itu gampang, hah? Kalau kamu nggak mau kerja sama aku, jangan harap hidupmu di sini bakal lancar. Kamu sudah terikat di rumah ini, kamu harus mau melakukan apa saja yang aku inginkan."

Sebelum situasi semakin buruk, Bu Ratmi masuk ke kamar. "Herman! Apa yang kamu lakukan di sini?!" teriaknya.

Pak Herman buru-buru melepaskan tangan Safira dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. "Nggak ada apa-apa. Aku cuma kasih tahu Safira supaya tetap tanggung jawab sama keluarga ini."

Safira segera mengambil barang-barangnya dan berlari keluar tanpa berkata apa-apa. Tubuhnya gemetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

Malam itu, Safira kembali ke ruangannya di kafe dengan perasaan kacau. Ia menangis sendirian, merasa lelah dengan semua masalah yang menimpanya. Namun, ia tahu bahwa ia harus tetap kuat.

Keesokan harinya, Farhan datang ke kafe seperti biasa. Melihat wajah Safira yang tampak lelah dan murung, ia menghampirinya.

"Safira, kamu kenapa? Ada masalah?" tanyanya dengan nada lembut.

Safira menggeleng, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Nggak apa-apa, Mas. Saya cuma capek."

Farhan menatapnya penuh perhatian. "Kalau kamu butuh bantuan, bilang saja. Aku tahu kita belum terlalu dekat, tapi aku bisa bantu sebisaku."

Safira terdiam sejenak, ragu untuk menceritakan apa yang terjadi. Namun, melihat ketulusan di mata Farhan, ia akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.

"Mas Farhan, kalau misalnya ada orang yang terus-terusan bikin hidup kita susah, apa yang harus kita lakukan?" tanyanya perlahan.

Farhan menatapnya dengan serius. "Kita harus lawan, Safira. Kalau nggak bisa sendirian, cari orang yang bisa bantu. Jangan biarkan orang seperti itu mengontrol hidupmu."

Kata-kata Farhan membekas di hati Safira. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang peduli padanya tanpa mengharapkan imbalan.

"Terima kasih, Mas," ucap Safira dengan suara pelan.

Farhan tersenyum. "Jangan sungkan, ya. Kalau kamu butuh bantuan, aku selalu ada."

Safira merasa sedikit lebih kuat. Ia tahu, perjuangannya masih panjang, tetapi kini ia memiliki sedikit harapan untuk melawan takdirnya.

Malam itu, Safira duduk termenung di ruangannya yang kecil di belakang kafe. Meskipun hari-harinya terasa lebih baik sejak ia tinggal di sini, bayang-bayang gelap dari rumah bibinya masih menghantui. Terutama peringatan Pak Herman yang tidak bisa ia lupakan.

Setiap kali ingat perkataan Pak Herman, tubuhnya seperti ditarik mundur. "Jangan lupakan keluarga ini, kamu harus mau melakukan apa saja yang aku inginkan." kata-kata itu terus bergema di telinganya.

Safira tahu, ia harus hati-hati. Setiap langkahnya diawasi. Namun, ia juga tidak bisa terus bersembunyi. Ia harus terus bekerja dan membayar hutang ibunya, meski segala ancaman datang dari orang yang seharusnya menjadi pelindungnya.

Pagi-pagi, Safira sudah bangun untuk mempersiapkan diri bekerja di kafe. Ia berusaha tetap tenang, meski pikirannya dipenuhi kekhawatiran akan Pak Herman yang terus menatapnya dengan cara yang tidak wajar.

Setelah selesai menata meja dan menyiapkan minuman untuk pelanggan, Safira melirik ke arah pintu kaca kafe. Tanpa disadari, ia melihat seseorang yang tampak seperti Pak Herman sedang berdiri di ujung jalan, mengamati kafe dari jauh. Hatinya berdebar. Apa dia mengikutinya?

Safira berusaha berpura-pura tidak peduli dan melanjutkan pekerjaannya, meski perasaan tidak nyaman terus mengganggunya. Ia tahu, Pak Herman tak akan berhenti mengincarnya begitu saja.

Beberapa hari kemudian, Safira merasa semakin waspada. Ia sering merasakan ada yang mengawasinya, terutama saat ia berangkat kerja pagi-pagi. Kadang, ia melihat seorang pria yang mengenakan topi dan masker duduk di bangku taman dekat kafe, atau mengendarai sepeda motor berkeliling tanpa tujuan jelas.

Ia mulai curiga, apakah itu Pak Herman yang diam-diam mengikuti setiap langkahnya. Hati Safira mulai diliputi rasa cemas, takut sesuatu yang buruk akan terjadi.

Namun, ia berusaha menepis ketakutannya. "Jangan biarkan dia mengendalikan hidupku," bisiknya pada dirinya sendiri.

Sore itu, saat kafe sedang sepi, Safira memberanikan diri bertanya pada Ibu Dina. "Bu, apakah ada orang yang sering lewat depan kafe? Kadang saya merasa seperti sedang diawasi."

Ibu Dina menatapnya dengan tatapan tajam. "Ada, Safira. Kadang, ada orang yang cuma nongkrong di depan kafe. Tapi, nggak usah terlalu dipikirkan. Kalau kamu merasa terganggu, bilang saja."

Safira hanya mengangguk. "Terima kasih, Bu."

Namun, perasaan takut di hatinya semakin kuat. Ia mulai merasa terperangkap. Jika Pak Herman memang mengikuti langkahnya, berarti ia tidak bisa tinggal tenang di kota ini.

Hari itu, Safira pulang lebih larut dari biasanya karena harus menyelesaikan beberapa tugas tambahan di kafe. Langit sudah gelap ketika ia keluar dan berjalan menuju tempat tinggalnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah mobil parkir di dekat gang menuju kafe, mobil yang sangat familiar. Mobil itu adalah milik Pak Herman.

Dengan jantung berdebar, Safira mempercepat langkahnya. Namun, sebelum ia sempat bersembunyi, Pak Herman keluar dari mobil dan menghampirinya.

"Ke mana saja kamu? Sudah malam begini masih kerja?" kata Pak Herman dengan nada yang tidak biasa.

Safira terkejut, dan mencoba tetap tenang. "Saya selesai kerja, Paman. Mau pulang."

Pak Herman tersenyum dingin. "Jangan berbohong, kamu pikir saya nggak tahu apa yang kamu lakukan? Kamu nggak bisa lari dari saya. Kamu masih berutang pada kami."

Safira merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Ia berusaha menghindar. "Paman, saya sudah bekerja keras. Saya nggak bisa terus di sini."

Namun, Pak Herman memegang lengan Safira dengan keras, membuatnya terhenti. "Kamu kira bisa pergi begitu saja? Kamu pikir kamu bisa sembunyi di tempat lain dan aku nggak akan menemukannya?" suara Pak Herman semakin keras, matanya memancarkan niat jahat.

"Apa maksud Paman?" tanya Safira, suaranya mulai gemetar.

Pak Herman mendekatkan wajahnya. "Maksud saya, kamu harus tetap di sini. Kamu akan bekerja untuk saya secara pribadi, kamu harus menuruti semua perintahku. Kalau nggak, kamu tahu apa yang akan terjadi."

Safira menarik tangannya dengan cepat. "Tolong jangan paksa saya. Saya sudah cukup menderita."

Namun, Pak Herman hanya tersenyum sinis. "Jangan terlalu banyak bicara, Safira. Kamu nggak punya pilihan."

Tiba-tiba Safira di tarik lalu di masukkan ke dalam mobilnya, Safira berusaha ingin keluar tapi Pak Herman memegang tangannya dengan kencang.

"Tolong lepaskan saya Paman, aku mohon!" Safira mulai ketakutan, air matanya mulai mengalir.

"Kamu akan aku ajari menikmati hidup, kamu pasti suka kon tol kan?" Pak Herman tersenyum puas, kemudian meletakkan tangan Safira di atas gundukan Kon tol nya yang masih tertutupi celana.

"Jangan Paman aku mohon! Tolong lepaskan aku, biarkan aku pergi!"

"Kamu bisa pergi tapi setelah menikmati Kon tol Paman, setelah nyoba pasti kamu ketagihan."

Safira tidak bisa berbuat apa-apa, matanya melotot saat melihat Kon tol yang hitam kecoklatan yang cukup besar dan panjang.

"Gimana besar kan? Ayo sayang terus kocok-kocok pakai tanganmu itu! Pakai kedua tanganmu dan kocok lebih keras,"

Tangan Safira di tuntut untuk mengocok Kon tol nya yang sudah sangat keras. Saking besarnya, tangan Safira tidak bisa memegang oleh satu tangannya butuh kedua tangannya untuk memegang kon tol raksasa itu. Sementara itu Pak Herman mulai membuka pakaian Safira, hingga buah dadanya yang cukup besar terekspos yang membuat Pak Herman meneteskan air liurnya.

"Gadis kampung memang montok-montok, walaupun kamu masih 15 tahun tapi kamu sudah memiliki buah dada yang cukup besar. Kamu sempurna Safira, mulai sekarang kamu jadi pemuas ku dan akan aku puaskan dengan Kon tol ku."

Pak Herman terus meremas buah dadanya, sementara itu Safira terus mengocok Kon tol Pamannya. Sampai akhirnya Kon tol itu mulai berdenyut-denyut dan memuntahkan lahar putih ke dalam tangan Safira.

"Aahhh... Enak banget sayang, tangan kamu memang nikmat apalagi yang lain. Sekarang cukup segini dulu, nanti akan aku berikan kenikmatan yang lebih enak."

Safira tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa pasrah dan menangis. Jika melawan, maka tak segan-segan Pamannya akan berbuat sesuatu yang mungkin akan membuatnya celaka. Malam itu, untuk yang pertama kalinya Safira menikmati Kon tol. Setelah susu kental meleleh dari Kon tol nya, Safira bisa pergi.

Malam itu, Safira tidur dengan perasaan yang penuh ketakutan. Ia tidak tahu bagaimana lagi harus menghadapi Pak Herman yang semakin berani dan terus mengancamnya. Dalam kesunyian, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang selama ini ia hindari—menghubungi Farhan.

Keesokan harinya, Safira menemui Farhan di kafe. Ia merasa cemas, tetapi juga tahu bahwa tidak ada lagi pilihan.

"Mas Farhan, saya butuh bantuan," ucap Safira pelan, berusaha mengendalikan suaranya yang hampir pecah.

Farhan menatapnya dengan perhatian. "Ada apa, Safira?"

Safira menghela napas dalam-dalam, lalu menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dan Pak Herman. Ia menceritakan tentang pengawasan Pak Herman, ancamannya, dan ketakutannya yang semakin besar.

"Aku nggak bisa terus begini, Mas. Pak Herman mengawasi saya, dan saya nggak tahu harus bagaimana lagi," ucap Safira dengan suara yang hampir tak terdengar.

Farhan menatapnya serius. "Kamu nggak sendirian, Safira. Aku akan bantu kamu. Kita cari cara supaya kamu bisa aman."

"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Safira dengan penuh harap.

Farhan memegang bahunya dengan lembut. "Kamu harus tetap bekerja di sini. Jangan biarkan dia menang. Tapi, kalau dia benar-benar terus mengancam, aku akan bantu cari cara untuk kamu keluar dari sini."

Safira menatap Farhan dengan penuh rasa terima kasih. Ia merasa sedikit lega, meski tahu ancaman Pak Herman tidak akan berhenti begitu saja.

Namun, untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan. Ia tidak akan menyerah begitu saja.