Dua tahun setelah kepergian ayahnya, kehidupan Alisa perlahan mulai menemukan ritmenya kembali, meskipun kenangan tentang ayahnya masih melekat erat di hati mereka. Bu Wina, yang selama ini menjadi pilar keluarga, tampak mulai menemukan alasan untuk tersenyum lagi. Namun, suatu hari, Alisa merasakan perubahan yang tidak biasa di rumah. Ibunya terlihat sering menerima telepon dengan suara lembut dan terkadang tersenyum kecil setelah menutupnya.
"Ada apa sih, Bu? Kok Ibu sering banget senyum-senyum sendiri belakangan ini?" tanya Alisa suatu malam, sambil duduk di meja makan.
Bu Wina terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab. "Alisa, Ibu mau cerita sesuatu," katanya, dengan nada hati-hati.
Alisa mengerutkan kening. "Cerita apa, Bu?"
"Jadi, Ibu... akhir-akhir ini, Ibu dekat dengan seseorang. Namanya Pak Reno. Dia teman lama keluarga kita. Kamu mungkin ingat, waktu kamu kecil, dia pernah sering main ke rumah," ujar Bu Wina sambil tersenyum kecil.
Alisa tertegun. Ia mencoba mengingat-ingat sosok yang dimaksud ibunya, tetapi hanya samar-samar terlintas di pikirannya. "Jadi... maksud Ibu, Ibu dekat... dalam arti?"
"Iya, Nak. Ibu sedang menjalin hubungan dengan Pak Reno. Kami sudah saling mengenal cukup lama, dan Ibu merasa nyaman dengannya. Tapi yang paling penting, dia juga sangat peduli dengan kamu dan adik-adikmu," jelas Bu Wina.
Alisa terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Dalam pikirannya, tidak ada yang bisa menggantikan ayahnya, dan gagasan bahwa ada pria lain yang akan masuk ke dalam hidup mereka terasa asing dan sulit diterima.
Beberapa minggu kemudian, Bu Wina mengajak Alisa dan adik-adiknya untuk bertemu dengan Pak Reno di sebuah restoran kecil. Alisa, yang masih merasa ragu, hanya ikut demi menghormati ibunya.
Saat mereka sampai, seorang pria tinggi dengan tubuh kekar dan wajah bersahabat menyambut mereka. Pak Reno berusia sekitar 30 tahun, jauh lebih muda dari almarhum ayah Alisa. Ia mengenakan kemeja putih yang rapi dan tersenyum hangat saat melihat mereka.
"Alisa, Dito, Raka, halo. Saya Reno," sapanya dengan suara tenang.
Alisa hanya mengangguk kecil. Ia memperhatikan pria itu dengan hati-hati. Pak Reno tampak berbeda dari yang ia bayangkan. Tidak ada kesan sombong atau memaksa. Ia terlihat tulus, terutama ketika berbicara dengan Dito dan Raka.
Selama makan malam, Pak Reno mencoba mencairkan suasana. Ia bercerita tentang pekerjaannya sebagai petugas keamanan di sekolah Alisa.
"Jadi, Pak Reno itu sebenarnya sering lihat Alisa di sekolah," kata Pak Reno sambil tersenyum.
Alisa mengangkat alisnya. "Oh, iya? Kok saya nggak pernah sadar?"
"Karena kamu terlalu fokus belajar. Saya lihat kamu sering baca buku di taman belakang sekolah," ujarnya.
Alisa tersenyum tipis. Ia tidak tahu harus merespons apa, tetapi ada sesuatu dalam nada suara Pak Reno yang terasa hangat dan tidak menghakimi.
Dito dan Raka tampak lebih cepat akrab. Mereka bahkan tertawa mendengar cerita lucu Pak Reno tentang pengalamannya bekerja sebagai petugas keamanan. Namun, Alisa masih merasa ada jarak di antara mereka.
Hari-hari berlalu, dan Pak Reno semakin sering datang ke rumah mereka. Ia membantu Bu Wina mengurus pekerjaan rumah yang berat, seperti memperbaiki genteng yang bocor atau mengganti lampu yang rusak. Di luar itu, ia juga mencoba mendekatkan diri kepada Alisa.
"Alisa, kamu mau saya ajarin main bola? Dito dan Raka udah sering main sama saya di lapangan," tanya Pak Reno suatu sore.
Alisa menggeleng sambil tersenyum kecil. "Nggak, Pak. Saya nggak terlalu suka olahraga."
Pak Reno tertawa kecil. "Nggak apa-apa. Kalau kamu butuh bantuan apa pun, jangan sungkan bilang ya."
Meski masih ada rasa canggung, Alisa mulai melihat sisi lain dari Pak Reno. Ia tidak pernah memaksa atau mencoba mengambil peran sebagai ayah baru. Sebaliknya, ia mendekati Alisa dengan penuh kesabaran.
Suatu hari, saat Alisa sedang belajar di kamar, ia mendengar suara ketukan pelan di pintunya. "Alisa, boleh masuk?" suara itu milik Pak Reno.
"Masuk aja," jawab Alisa tanpa menoleh.
Pak Reno masuk dengan sebuah bingkisan kecil di tangannya. "Saya dengar kamu suka menggambar. Ini ada buku sketsa baru. Saya pikir kamu mungkin butuh," katanya sambil meletakkan bingkisan itu di meja Alisa.
Alisa menoleh dan melihat buku sketsa itu. Ia terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. "Makasih, Pak," katanya dengan suara pelan.
Pak Reno tersenyum. "Sama-sama. Kamu anak yang luar biasa, Alisa. Ayah kamu pasti bangga banget sama kamu."
Kata-kata itu membuat hati Alisa bergetar. Ia merasa seolah-olah Pak Reno benar-benar menghormati kenangan tentang ayahnya. Untuk pertama kalinya, Alisa mulai berpikir bahwa mungkin, hanya mungkin, kehadiran Pak Reno di hidup mereka bukanlah hal yang buruk.
Pernikahan Bu Wina dan Pak Reno berlangsung sederhana, hanya dihadiri keluarga dekat. Alisa tetap merasa canggung di hari itu, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah yang penting bagi ibunya.
Setelah pernikahan, mereka semua tinggal serumah. Kehadiran Pak Reno membawa banyak perubahan kecil di rumah. Ada lebih banyak tawa, terutama dari Dito dan Raka yang sangat menyukai sosok ayah tiri mereka. Alisa masih butuh waktu untuk benar-benar menerima, tetapi ia mulai membuka hatinya sedikit demi sedikit.
Suatu malam, saat makan malam, Pak Reno berkata, "Alisa, Dito, Raka... Saya mungkin nggak akan pernah bisa menggantikan ayah kalian, tapi saya janji akan melakukan yang terbaik untuk menjaga kalian dan ibu kalian."
Kata-kata itu membuat semua orang terdiam. Alisa menatap Pak Reno sejenak, lalu mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia merasa bahwa mungkin kehadiran Pak Reno adalah jawaban dari doa ibunya selama ini.
Setelah beberapa bulan tinggal bersama Pak Reno, perlahan-lahan Alisa mulai terbiasa dengan kehidupan baru mereka. Kehadiran Pak Reno, meskipun awalnya terasa aneh, membawa warna baru dalam keluarga kecil mereka. Ia adalah sosok yang sabar, perhatian, dan sangat peduli pada Dito dan Raka, yang kini memanggilnya "Ayah Reno" dengan penuh antusias.
Namun, hubungan antara Alisa dan Pak Reno masih terasa kaku. Tidak ada kebencian, hanya rasa canggung yang belum bisa hilang. Alisa masih sering membandingkan Pak Reno dengan almarhum ayahnya dalam diam.
Di sekolah, kehidupan Alisa juga tidak banyak berubah. Ia masih menjadi gadis cerdas yang selalu meraih peringkat pertama, tetapi tetap menjadi sasaran ejekan dari Dina dan gengnya.
"Eh, Alisa, aku denger sekarang kamu punya 'ayah baru'? Kok Ibu kamu buru-buru banget sih cari pengganti?" kata Dina suatu hari di kelas, dengan nada mengejek.
Alisa menahan napas, berusaha untuk tidak terpancing. Ia menggenggam buku di tangannya erat-erat dan memilih untuk tidak menjawab.
"Ya ampun, Dina, udah deh, nggak usah usilin Alisa terus," kata Rina, yang duduk di sebelah Alisa.
"Loh, aku kan cuma tanya. Lagian, siapa tahu Alisa lagi mau cerita soal keluarga barunya," kata Dina sambil tertawa kecil.
Alisa merasa wajahnya memanas. Ia menunduk, pura-pura sibuk membaca buku. Dalam hatinya, ia merasa sakit hati. Ejekan tentang keluarganya adalah sesuatu yang paling sulit ia terima.
Saat pulang sekolah, Alisa menemukan Pak Reno sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku. Ia terkejut melihat pria itu membaca buku filsafat—hal yang tidak pernah ia bayangkan dari seorang petugas keamanan.
"Kamu udah pulang?" sapa Pak Reno sambil menutup bukunya.
"Iya," jawab Alisa pelan, sambil meletakkan tasnya di sofa.
Pak Reno memerhatikannya sejenak. "Kamu kelihatan nggak semangat. Ada yang mau diceritain?" tanyanya lembut.
Alisa menggeleng. "Nggak ada apa-apa."
Pak Reno tersenyum kecil. "Kalau kamu nggak mau cerita sekarang, nggak apa-apa. Tapi kalau nanti kamu butuh seseorang untuk dengar, saya selalu ada, ya."
Perkataan itu membuat hati Alisa sedikit luluh. Selama ini, ia selalu merasa harus menyimpan semua beban sendirian. Mendengar seseorang menawarkan telinga untuk mendengarkan membuatnya merasa sedikit lebih ringan.
Di malam hari, setelah makan malam, Pak Reno mengajak Dito dan Raka bermain kartu di ruang keluarga. Alisa, yang duduk di sofa sambil membaca, hanya mengamati dari jauh.
"Alisa, sini gabung sama kita. Main kartu aja sebentar," ajak Pak Reno sambil melambaikan tangan.
Alisa menggeleng. "Nggak, Pak. Aku lagi baca."
"Nanti bukunya bisa dilanjutkan lagi. Sekarang kita main dulu, yuk," bujuk Pak Reno dengan senyum.
Dito dan Raka ikut bersorak, "Ayo, Kak Alisa! Seru banget mainnya!"
Akhirnya, dengan sedikit enggan, Alisa bergabung. Awalnya ia hanya bermain karena merasa tidak enak menolak, tetapi lama-lama ia mulai menikmati kebersamaan itu.
Tawa mereka memenuhi ruangan, terutama saat Raka dengan polosnya membuat kesalahan lucu dalam permainan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Alisa merasakan kehangatan keluarga yang utuh.
Suatu hari, di akhir pekan, Pak Reno mengajak mereka semua ke taman kota untuk piknik kecil. Ia menyiapkan bekal sederhana, sementara Bu Wina membantu memasukkan makanan ke dalam keranjang.
Di taman, Dito dan Raka bermain bola, sementara Alisa duduk di bangku sambil memerhatikan mereka. Pak Reno menghampirinya sambil membawa dua gelas jus.
"Kamu nggak mau gabung sama adik-adikmu?" tanyanya, menyerahkan segelas jus pada Alisa.
Alisa menggeleng. "Aku nggak terlalu suka main bola."
Pak Reno tertawa kecil. "Iya, saya lihat. Tapi kamu suka baca, ya? Saya lihat koleksi bukumu banyak banget."
"Iya. Dari kecil aku memang suka baca. Papa yang ngajarin," jawab Alisa, tiba-tiba teringat ayahnya.
Pak Reno tersenyum. "Ayah kamu pasti orang yang hebat. Saya nggak akan pernah bisa menggantikan dia, Alisa. Tapi saya janji akan selalu berusaha menjaga kalian sebaik yang saya bisa."
Alisa menoleh dan melihat ketulusan di mata Pak Reno. Kata-kata itu menyentuh hatinya. Ia tahu, meskipun Pak Reno bukan ayah kandungnya, pria itu benar-benar peduli pada mereka.
Malam itu, sebelum tidur, Alisa membuka buku sketsa yang diberikan oleh Pak Reno beberapa waktu lalu. Ia mulai menggambar sesuatu—sebuah potret sederhana dari keluarga mereka yang baru. Meskipun hatinya masih belajar menerima, Alisa tahu bahwa kehadiran Pak Reno membawa kebahagiaan bagi ibunya dan adik-adiknya. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa keluarga mereka perlahan kembali utuh.
Perjalanan untuk menerima sepenuhnya memang tidak mudah, tetapi Alisa tahu ia sedang melangkah ke arah yang benar.