Hari-hari berlalu, dan Alisa semakin mengenal Pak Reno. Meski butuh waktu untuk benar-benar menerima kehadiran ayah tirinya, perlahan Alisa mulai membuka hati. Ia menyadari bahwa Pak Reno adalah pria yang tulus dan penuh perhatian. Ia tidak pernah memaksakan diri untuk menggantikan posisi ayah kandung Alisa, melainkan mencoba menjadi sosok yang dapat diandalkan di keluarga mereka.
Suatu sore, saat sedang mencari buku catatan di ruang kerja Pak Reno, Alisa menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Di atas rak kayu kecil, ada beberapa medali perak dan perunggu yang berkilauan. Di sampingnya, terselip sebuah bingkai foto. Dengan rasa penasaran, Alisa mengambil foto itu.
Di foto tersebut, terlihat Pak Reno berdiri di atas panggung, mengenakan celana pendek hitam sambil memamerkan otot-otot tubuhnya yang kekar. Ia terlihat berpose di depan penonton, wajahnya penuh percaya diri.
"Ini apa, ya?" gumam Alisa sambil menatap foto itu.
Tiba-tiba, suara Pak Reno terdengar dari belakang. "Itu waktu saya ikut kompetisi binaraga, tahun lalu."
Alisa terkejut dan buru-buru meletakkan foto itu kembali ke rak. "Oh, maaf, Pak. Saya nggak sengaja lihat," katanya, merasa sedikit bersalah karena sudah mengutak-atik barang orang lain.
Pak Reno tersenyum. "Nggak apa-apa. Kamu penasaran, kan? Jadi, iya, selain kerja sebagai satpam, saya juga binaragawan amatir. Masih pemula sih, belum sehebat atlet profesional."
Alisa menatap pria itu dengan mata penuh kekaguman. "Binaragawan? Serius, Pak? Saya nggak pernah tahu."
"Saya nggak terlalu sering cerita soal itu, karena ini cuma hobi. Tapi, saya suka olahraga sejak dulu. Menurut saya, menjaga tubuh itu penting. Bukan cuma untuk penampilan, tapi juga buat kesehatan," jelas Pak Reno.
Kata-kata itu terus terngiang di kepala Alisa. Saat malam tiba, ia merenung di kamarnya sambil memandangi dirinya sendiri di cermin. Tubuhnya yang kecil dan kurus sering menjadi bahan ejekan teman-temannya di sekolah, terutama Dina dan gengnya. Alisa mulai merasa lelah selalu menjadi sasaran mereka.
"Kenapa aku nggak bisa berubah?" gumamnya pelan.
Alisa teringat pada Pak Reno dan bagaimana ia berbicara tentang menjaga tubuh. Ia tahu dirinya tidak bisa terus-terusan mengabaikan ejekan itu. Jika ia ingin merasa lebih percaya diri, mungkin sudah saatnya ia melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.
Keesokan harinya, saat sedang sarapan bersama, Alisa memberanikan diri untuk berbicara dengan Pak Reno.
"Pak Reno, saya boleh tanya sesuatu?" katanya, sambil memegang sendok nasinya.
"Tentu, tanya apa?" jawab Pak Reno, menatapnya dengan perhatian.
"Kalau... kalau saya mau mengubah tubuh saya supaya nggak terlalu kurus, gimana caranya?" tanyanya ragu.
Pak Reno terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Kamu serius mau mencoba, Alisa?"
Alisa mengangguk pelan. "Iya. Saya capek diejek terus sama teman-teman saya. Saya pengen jadi lebih percaya diri."
Pak Reno mengangguk. "Itu keputusan yang bagus. Tapi, ingat, ini bukan soal membalas ejekan mereka. Ini untuk dirimu sendiri, supaya kamu lebih sehat dan merasa nyaman dengan tubuhmu."
Alisa tersenyum kecil. "Jadi, saya harus mulai dari mana?"
"Pertama, kita ubah pola makanmu. Kamu harus makan makanan bergizi dan teratur. Saya akan bantu bikin jadwal makan untuk kamu. Kedua, kalau kamu mau, saya bisa ajarin latihan dasar di rumah dulu sebelum kamu ke gym," kata Pak Reno.
Mata Alisa berbinar. "Serius, Pak? Bapak mau bantu saya?"
"Tentu saja. Kamu bagian dari keluarga saya sekarang, Alisa. Apa pun yang bisa saya lakukan untuk membantu, saya pasti akan lakukan," jawabnya tulus.
Hari-hari berikutnya, Alisa mulai belajar tentang pola makan sehat dari Pak Reno. Ia diajarkan untuk menambahkan protein, karbohidrat, dan sayuran ke dalam makanannya, serta menghindari makanan yang terlalu banyak gula atau lemak jenuh.
Setiap sore, setelah Pak Reno pulang kerja, mereka berlatih bersama di halaman belakang. Pak Reno mengajarkan latihan dasar seperti squat, push-up, dan plank. Alisa, yang awalnya merasa canggung, mulai menikmati prosesnya.
"Pelan-pelan aja, Alisa. Nggak usah buru-buru. Yang penting, kamu konsisten," kata Pak Reno saat Alisa tampak kelelahan setelah mencoba push-up.
"Iya, Pak. Saya nggak nyangka ternyata latihan itu capek banget," kata Alisa sambil tersenyum lemah.
Pak Reno tertawa. "Semua orang juga mulai dari nol, kok. Saya dulu juga nggak langsung punya otot sebesar ini. Butuh waktu bertahun-tahun."
Di sekolah, perubahan kecil pada Alisa mulai terlihat. Ia mulai membawa bekal makanan sehat buatan ibunya, dan beberapa teman mulai memerhatikan kebiasaannya.
"Eh, Alisa, lagi diet, ya?" tanya Rina suatu hari saat jam istirahat.
"Bukan diet, sih. Cuma lagi coba makan sehat aja," jawab Alisa sambil tersenyum.
Rina mengangguk. "Bagus tuh. Aku juga pengen coba makan sehat kayak kamu."
Alisa merasa sedikit lebih percaya diri. Meski perubahan pada tubuhnya belum terlalu terlihat, ia tahu bahwa ia sedang melakukan sesuatu yang baik untuk dirinya sendiri.
Suatu malam, saat sedang membaca di kamarnya, Alisa merenung tentang semua yang telah berubah dalam hidupnya. Kehadiran Pak Reno, yang awalnya terasa asing, kini menjadi sesuatu yang membuatnya merasa didukung. Meski ayah kandungnya tidak tergantikan, Alisa mulai menerima bahwa memiliki sosok seperti Pak Reno di hidupnya adalah sebuah anugerah.
Tiba-tiba Alisa ingin pergi ke dapur, dia merasa haus. Saat melewati kamar Ibunya Alisa mendengar suara aneh, "uhhh.. uhhh mmmhh.."
Alisa kaget melihat Ibunya sedang bercinta dengan Pak Reno, mungkin lupa menutup pintunya. Mata Alisa fokus melihat tubuh Pak Reno yang kekar berotot, terlihat otot-ototnya begitu tajam. Selain itu untuk yang pertama kalinya dia melihat pria dewasa seutuhnya tanpa sehelai benangpun. Yang semakin membuat Alisa terkejut, dia melihat sesuatu benda yang cukup besar, keras dan panjang berwarna hitam kecoklatan. Terlihat Pak Reno sangat bersemangat, mungkin wajar karna pak Reno masih muda. Pak Reno terlihat sedang menggoyangkan pinggulnya sangat cepat, badannya basah oleh keringat. Alisa cepat-cepat pergi ke dapur hingga setelah minum dia langsung kembali ke kamarnya dan langsung tidur.
Malam itu, Alisa masih berbaring di tempat tidurnya, mencoba mengalihkan pikiran dari apa yang baru saja dilihatnya. Pemandangan di depan kamar ibunya tadi membuat perasaannya campur aduk—antara malu, terkejut, dan sedikit bingung. Ia tidak pernah membayangkan akan menyaksikan sesuatu seperti itu. Tapi pikiran Alisa terus memikirkan benda besar dan panjang itu, Alisa baru pertama kali melihat alat kelamin pria dewasa dan ukurannya sangat besar.
"Pak Reno memang masih muda," gumamnya dalam hati, "dan wajar kalau mereka begitu. Mereka suami-istri, kan?"
Meski mencoba meyakinkan dirinya sendiri, rasa canggung yang muncul membuatnya semakin sulit untuk melihat Pak Reno seperti biasanya. Ia menghela napas panjang dan memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Setelah beberapa saat, Alisa akhirnya berhasil memejamkan mata dan tertidur.
Keesokan harinya, Alisa bangun dengan semangat baru. Ia memutuskan untuk melanjutkan rencana yang sudah ada di pikirannya sejak beberapa hari terakhir: mulai pergi ke gym.
Setelah sarapan, ia memberanikan diri berbicara dengan Pak Reno.
"Pak Reno, saya udah pikir-pikir lagi soal latihan di rumah," kata Alisa pelan.
Pak Reno, yang sedang mengikat sepatu untuk bersiap pergi bekerja, menoleh. "Kenapa, Alisa? Kamu merasa kurang nyaman?"
Alisa mengangguk pelan. "Bukan nggak nyaman sih, Pak. Cuma saya rasa latihan di gym bakal lebih efektif. Alatnya juga pasti lebih lengkap."
Pak Reno tersenyum. "Kalau itu maumu, nggak apa-apa. Tapi kamu harus hati-hati ya, di gym biasanya ramai. Kalau ada apa-apa, kamu langsung bilang ke saya."
"Iya, Pak. Terima kasih," jawab Alisa dengan senyum kecil.
Hari pertama Alisa di gym dimulai beberapa hari kemudian. Ia memilih gym kecil di dekat rumah, yang dikenal dengan suasana ramah dan fasilitas yang cukup lengkap. Setelah mendaftar, Alisa diperkenalkan dengan beberapa pelatih di sana, tetapi ia memutuskan untuk menggunakan jasa seorang trainer khusus agar latihannya lebih terarah.
"Alisa, ini Pak Adi. Dia salah satu pelatih kami yang sudah berpengalaman," kata resepsionis gym, memperkenalkan seorang pria berusia 42 tahun dengan tubuh kekar berotot sangat besar seperti Hulk.
Pak Adi tersenyum ramah. "Halo, Alisa. Saya yang akan membantu kamu mencapai targetmu. Kita mulai pelan-pelan aja, ya."
Alisa merasa sedikit gugup, tetapi ia menyukai aura profesional Pak Adi. Meski usianya jauh lebih tua, pria itu tampak sangat berpengalaman dan perhatian terhadap kliennya.
Setelah sesi pengenalan alat-alat di gym, Pak Adi memberikan Alisa jadwal latihan sederhana. "Kamu masih pemula, jadi jangan terlalu memaksakan diri. Kita fokus dulu ke latihan dasar untuk menguatkan otot-otot inti."
Alisa mengikuti semua arahan Pak Adi dengan penuh semangat, meski tubuhnya terasa kaku dan lelah setelah sesi pertama.
"Kamu hebat, Alisa. Untuk pemula, kamu cukup kuat. Terus pertahankan ya," kata Pak Adi sambil memberikan handuk kecil untuknya.
"Terima kasih, Pak," jawab Alisa sambil tersenyum malu.
Saat pulang ke rumah, tubuhnya terasa pegal di mana-mana, tetapi ia merasa puas. Ini adalah langkah awal yang baik untuk mengubah dirinya.
Malamnya, Alisa menceritakan pengalaman pertamanya di gym kepada ibunya.
"Bu, tadi di gym aku diajarin banyak hal sama pelatihnya. Seru banget!" katanya dengan antusias.
Bu Wina tersenyum lembut. "Bagus, Nak. Ibu senang kamu punya semangat untuk berubah. Tapi jangan lupa, semuanya harus dilakukan pelan-pelan, ya. Jangan sampai kamu sakit karena terlalu memaksakan diri."
"Iya, Bu. Aku tahu," jawab Alisa.
Pak Reno, yang duduk di meja makan sambil membaca koran, ikut menimpali. "Alisa, kalau kamu butuh apa-apa untuk latihan, jangan ragu bilang ke saya, ya. Saya dukung penuh."
Alisa menoleh, sedikit canggung setelah kejadian tadi malam, tetapi ia mencoba menyembunyikan rasa itu. "Iya, Pak. Terima kasih."
Hari-hari berikutnya, Alisa semakin rajin ke gym. Ia merasa lebih percaya diri setiap kali melihat perkembangan kecil pada tubuhnya. Meskipun perjalanan ini baru dimulai, Alisa merasa ia berada di jalur yang tepat.
Di sekolah, perubahan pada Alisa mulai terlihat oleh teman-temannya. Meski tubuhnya belum banyak berubah, sikap percaya dirinya yang meningkat membuatnya terlihat berbeda.
"Eh, Alisa, sekarang kamu kelihatan lebih segar, ya," kata Rina suatu hari saat mereka sedang berjalan ke kantin.
"Beneran? Makasih, Rin," jawab Alisa sambil tersenyum.
Ejekan dari Dina dan gengnya masih sesekali terdengar, tetapi Alisa tidak lagi terlalu memikirkannya. Ia tahu bahwa ia sedang berusaha untuk dirinya sendiri, bukan untuk membuktikan apa pun kepada orang lain.
Sementara itu, hubungan Alisa dengan Pak Reno juga perlahan membaik. Meskipun rasa canggung itu masih ada, Alisa mulai melihat Pak Reno sebagai sosok yang benar-benar peduli pada keluarganya. Dalam diam, ia merasa bersyukur memiliki seorang ayah tiri seperti Pak Reno.