Chereads / Gadis SMA dan Om Binaraga Perkasa / Chapter 1 - Kepergian Ayah

Gadis SMA dan Om Binaraga Perkasa

Areshermes
  • 7
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 181
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Kepergian Ayah

"Ahh aduhhh mmmmhh..."

"Gimana enak sayang?"

"Enak banget mhhhh... Gede banget aaaahhh.."

"Akan aku buat kamu keenakan setiap malam, me mek kamu sempit banget sayang bikin nagih.."

Alisa adalah gadis remaja berusia 16 tahun yang hidup dalam keluarga sederhana di sebuah kota kecil. Ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Tinggi badannya hanya 150 cm, dengan tubuh yang kurus dan wajah yang selalu tampak ceria. Meski sering menjadi bahan ejekan di sekolah karena tubuhnya yang kecil, Alisa tetap mempertahankan senyum di wajahnya. Baginya, keluarganya adalah sumber kebahagiaan yang tidak tergantikan.

Ayah Alisa, Pak Hadi, adalah seorang guru seni rupa yang sangat menginspirasi. Ia bukan hanya ayah yang penyayang, tetapi juga sahabat terbaik bagi Alisa. "Alisa, lihat ini! Bagaimana menurutmu? Gunungnya sudah cukup tinggi atau perlu ditambah awan di atasnya?" tanya Pak Hadi sambil menunjukkan lukisan yang sedang ia kerjakan di halaman belakang rumah.

Alisa yang saat itu berusia 12 tahun tertawa kecil. "Ayah, gunungnya bagus, tapi awannya terlalu banyak. Nanti malah kayak gunungnya hilang ketutupan awan!" jawabnya sambil menunjuk bagian atas lukisan.

Pak Hadi tertawa lebar. "Kamu memang kritikus seni paling hebat di rumah ini! Kalau begitu, bantu Ayah dong, warnai awannya biar lebih tipis," katanya sambil menyerahkan kuas kepada Alisa.

Mereka menghabiskan sore itu bersama, melukis sambil berbicara tentang mimpi-mimpi Alisa. "Aku ingin jadi pelukis terkenal, Ayah. Nanti aku mau bikin pameran besar, dan semua orang bakal lihat lukisan aku," kata Alisa penuh semangat.

Pak Hadi mengangguk sambil mengusap kepala putrinya. "Ayah percaya kamu bisa, Nak. Kamu cuma perlu percaya pada diri sendiri. Tidak ada yang tidak mungkin."

Kehidupan Alisa saat itu begitu hangat. Ibunya, Bu Wina, adalah wanita yang penuh kasih sayang, meski sering sibuk mengurus rumah dan memasak. Adik-adiknya, Dito yang berusia 10 tahun dan Raka yang masih 8 tahun, selalu ribut di rumah tapi juga menjadi sumber tawa.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ketika Alisa menginjak usia 14 tahun, takdir yang kejam merenggut kebahagiaan keluarganya.

Hari itu adalah hari Minggu, dan keluarga mereka merencanakan piknik kecil di taman kota. Alisa sudah mempersiapkan semua bekal bersama ibunya sejak pagi. Pak Hadi, seperti biasa, tampak ceria membantu memasukkan barang-barang ke dalam mobil.

Namun, sebelum mereka berangkat, tiba-tiba Pak Hadi memegangi dadanya sambil terjatuh di depan pintu rumah. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. "Wina... dadaku... sesak..." suaranya bergetar, membuat semua orang panik.

"Pak Hadi! Apa yang terjadi?!" Bu Wina berteriak sambil memegang suaminya yang tergeletak. Alisa dan adik-adiknya berdiri kaku, tidak tahu harus berbuat apa.

Dengan tergesa-gesa, Bu Wina meminta tetangganya untuk membantu membawa Pak Hadi ke rumah sakit. Selama perjalanan, Alisa duduk di kursi belakang sambil menggenggam tangan ayahnya yang dingin. "Ayah, bertahan ya. Ayah nggak boleh pergi. Ayah janji mau lihat aku bikin pameran nanti, kan?" kata Alisa sambil menahan air matanya.

Pak Hadi hanya tersenyum lemah. "Ayah... selalu bangga sama kamu, Alisa..." Itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan Pak Hadi sebelum matanya terpejam.

Di rumah sakit, dokter menyatakan bahwa Pak Hadi telah meninggal dunia akibat serangan jantung. Dunia Alisa seakan runtuh. Ia tak percaya bahwa pria yang selama ini menjadi pilar kekuatannya telah pergi.

Pemakaman Pak Hadi dipenuhi oleh kerabat dan teman-temannya. Alisa berdiri di depan makam ayahnya dengan sketsa yang mereka buat bersama. Tangannya gemetar saat ia meletakkan sketsa itu di atas pusara. "Ayah, aku janji... aku nggak akan pernah berhenti menggambar. Aku akan bikin Ayah bangga, walaupun Ayah nggak ada di sini lagi." Air matanya mengalir deras.

Sepeninggal ayahnya, rumah mereka berubah. Suasana yang dulu penuh tawa kini menjadi sunyi. Bu Wina berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegar demi anak-anaknya, tetapi Alisa tahu bahwa ibunya juga merasa kehilangan yang mendalam.

"Alisa, tolong kamu jaga adik-adikmu, ya. Ibu harus kerja lebih keras sekarang," kata Bu Wina suatu malam. Ia baru saja pulang dari toko emas tempatnya bekerja. Wajahnya tampak lelah, tetapi senyumnya tetap berusaha menenangkan anak-anaknya.

"Iya, Bu. Aku janji bakal bantu Ibu," jawab Alisa sambil menahan tangis. Ia tahu bahwa sekarang tanggung jawabnya sebagai anak sulung menjadi semakin besar.

Malam-malam Alisa sering dihabiskan dengan melihat lukisan-lukisan ayahnya yang masih tersimpan rapi di kamar. Ia memeluk salah satu lukisan favoritnya, sebuah potret keluarga yang ayahnya buat beberapa tahun lalu. "Ayah, aku kangen... Kenapa Ayah pergi begitu cepat?" gumamnya pelan.

Rasa kehilangan itu terus membekas di hati Alisa. Meski begitu, ia bertekad untuk tetap menjalani hidup dengan penuh semangat, seperti yang selalu diajarkan oleh ayahnya.

Kehidupan Alisa berubah drastis setelah kepergian ayahnya. Rumah yang dulu selalu dipenuhi suara tawa kini sering terasa sunyi. Ibu Alisa, Bu Wina, harus bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ia mulai bekerja lebih lama di toko emas hingga malam. Sementara itu, Alisa mengambil peran sebagai "ibu kedua" untuk adik-adiknya, Dito dan Raka.

Setiap pagi, Alisa akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan dan bekal sekolah mereka. Walau tubuhnya kecil, ia berusaha mengerjakan semuanya tanpa mengeluh. "Dito, jangan lupa masukkan buku IPA ke tas. Kamu ada ulangan, kan?" tegurnya sambil memakaikan seragam Raka.

"Iya, Kak. Aku nggak lupa kok," jawab Dito dengan malas. Sementara itu, Raka yang masih setengah mengantuk merengek minta dibuatkan susu.

Alisa tersenyum kecil. "Tunggu sebentar, ya. Kakak bikinin," katanya sambil mengaduk susu hangat di dapur. Meski melelahkan, Alisa merasa ini adalah caranya untuk menjaga keluarganya tetap utuh.

Namun, di sekolah, Alisa menghadapi tantangan lain. Teman-temannya sering mengejek tubuhnya yang kecil dan kurus. "Lihat tuh, Alisa. Kamu makan nggak sih di rumah? Jangan-jangan cuma minum angin!" ujar Dina, salah satu teman sekelasnya, sambil tertawa bersama teman-temannya.

Alisa hanya tersenyum tipis, mencoba mengabaikan ejekan itu. Ia tidak ingin menunjukkan bahwa kata-kata mereka menyakitinya. Tapi jauh di dalam hatinya, Alisa merasa terluka. Ia sering bertanya-tanya, mengapa orang-orang begitu mudah menilai seseorang hanya dari penampilan.

Meskipun sering diejek, Alisa adalah siswa yang sangat pintar. Ia selalu menduduki peringkat pertama di kelas sejak SD. Guru-guru sering memuji kecerdasannya, tetapi hal itu justru membuat beberapa teman sekelasnya semakin iri.

"Pintar sih pintar, tapi kecil banget. Kayaknya kalau ada angin kencang, dia bakal terbang deh," sindir Dina lagi suatu hari saat Alisa dipanggil ke depan kelas untuk menerima penghargaan.

Sepulang sekolah, Alisa duduk sendirian di bangku taman belakang sekolah, tempat favoritnya untuk meluapkan perasaan. Ia memandang langit biru sambil menggambar di buku sketsanya. Biasanya, menggambar bisa membuatnya merasa lebih baik. Tapi hari itu, air mata menetes tanpa ia sadari.

"Ayah, kenapa semuanya jadi berat banget? Aku kangen Ayah..." gumamnya pelan.

Saat itu, seorang guru seni bernama Bu Siska mendekatinya. Bu Siska adalah teman dekat almarhum ayahnya dan sangat menyayangi Alisa. "Alisa, kamu nggak apa-apa? Ibu lihat kamu murung hari ini," tanyanya lembut.

Alisa mencoba menyembunyikan air matanya. "Nggak apa-apa, Bu. Saya cuma capek," jawabnya pelan.

Bu Siska duduk di sampingnya dan melihat gambar yang sedang ia buat. "Kamu masih suka menggambar ya? Gambar ini bagus sekali. Ayahmu pasti bangga kalau melihat kamu terus melukis."

Mendengar itu, Alisa tidak bisa menahan tangisnya lagi. Ia menceritakan semuanya kepada Bu Siska, tentang ejekan teman-temannya, rasa rindunya kepada ayahnya, dan beban yang ia rasakan sebagai anak sulung.

"Alisa, ibu tahu ini nggak mudah. Kehilangan orang yang kita sayangi memang sangat berat. Tapi kamu adalah gadis yang kuat. Ayahmu meninggalkan banyak kenangan indah untuk kamu, dan dia pasti ingin kamu terus maju," ujar Bu Siska sambil memegang bahu Alisa.

Percakapan itu memberi Alisa sedikit kekuatan. Ia mulai menyadari bahwa hidupnya tidak berhenti meski ayahnya sudah tiada. Ia harus terus melangkah, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keluarganya.

Di rumah, Alisa sering menyibukkan dirinya dengan membantu pekerjaan rumah tangga. Ia juga mengajari adik-adiknya mengerjakan PR. Namun, di sela-sela kesibukan itu, ia selalu menyempatkan waktu untuk menggambar. Lukisan-lukisan ayahnya yang masih tergantung di dinding ruang tamu menjadi sumber inspirasinya.

Pada suatu malam, saat semua orang sudah tidur, Alisa membuka kotak kenangan ayahnya. Di dalamnya terdapat buku sketsa, beberapa foto keluarga, dan surat-surat kecil yang ayahnya tulis untuknya. Salah satu surat itu berisi kata-kata yang membuat hatinya tersentuh:

"Alisa, ingatlah, kamu adalah cahaya kecil Ayah. Tidak peduli seberapa berat dunia ini, kamu harus tetap bersinar. Ayah akan selalu mendukungmu, di mana pun Ayah berada."

Alisa memeluk surat itu erat-erat. Ia merasa seperti mendapat kekuatan baru. "Ayah, aku nggak akan menyerah. Aku akan buat Ayah bangga," bisiknya dengan mata berkaca-kaca.

Hari-hari Alisa di sekolah dan di rumah tetap penuh tantangan. Namun, ia mulai belajar untuk menghadapi semuanya dengan lebih tegar. Ia tahu bahwa kepergian ayahnya bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan panjang yang harus ia jalani dengan penuh keberanian.