Chereads / Detektif dan Tuan Putri / Chapter 2 - Setitik Masa Lalu

Chapter 2 - Setitik Masa Lalu

3 tahun sebelum kejadian.

Teh safron dengan sedikit campuran gula yang diekstrak dari buah anggur adalah minuman favorit Dr. Kessler, apalagi jika dibuat oleh anaknya. Dr. Kessler yang sedang menghabiskan sore hari di teras rumahnya pun jadi memikirkan kabar putrinya. Ia merasa rindu pada Saras yang tengah menempuh pendidikannya. Sesekali, Dr. Kessler terpikirkan bahwa putrinya sudah cukup umur untuk memiliki suami. Meskipun sudah terlihat dewasa dan mandiri, sebetulnya Saras masih cukup kekanak-kanakan dan sangat rentan kesepian. Apalagi, semenjak kematian ibunya. Saras cenderung menghabiskan waktunya seorang diri dengan wajah tertekan. Untunglah hari ini Saras akan tiba di rumah untuk liburan. Jadi, Dr. Kessler bisa dengan cepat mengutarakan niatnya pada Saras.

Tak lama berselang, sebuah mobil sedan berhenti di depan gerbang rumah. Pintu otomatis gerbang terbuka, mobil segera melaju ke tempat parkir di pekarangan rumah. Saras pun turun dari mobil dengan memamerkan senyum sumringah kepada Dr. Kessler. Tentu senyumnya itu disambut hangat oleh Dr. Kessler yang memang sudah sangat merindukan anaknya tersebut. Mereka berdua segera berpelukan.

"Ayah apa kabar?" ucap Saras sambil melepaskan pelukannya.

"Ayah baik, kamu?" Sahut Dr. Kessler, mengelus kepala Saras.

"Aku juga baik," Jawab Saras.

"Kalau begitu, ayo kita masuk dulu," Saras mengangguk.

Segera atmosfer rumah yang telah lama ia tinggalkan menyapa. Begitu banyak kenangan yang dilalui Saras di dalam rumah ini. Baik dengan ibunya, maupun dengan ayahnya. Saras langsung mengingat ruang keluarga yang ia gunakan untuk menunggangi ibunya yang ia suruh menjadi kuda. Ia juga langsung mengingat meja makan tempat ia menyemburkan nasi ke wajah ayahnya. Betapa nostalgianya. Perasaan rindu berkecambuk dalam diri Saras, apalagi kepada ibunya yang telah tiada. Tak terasa air mata menetes ke pipinya. Dr. Kessler yang tahu putrinya mengusap air mata segera menuntun Saras duduk di ruang keluarga untuk menenangkannya.

"Ada apa, putriku? Ada yang mau kamu ceritakan pada ayah? Apa hari-hari yang kamu lewati di sana sangat berat?" Tanya Dr. Kessler.

Menggeleng sambil tetap mengusap wajahnya yang dibanjiri air mata.

"Aku rindu ibu," ucapnya sesegukan.

Dr. Kessler kembali mengusap kepala Saras. "Ayah juga sangat merindukan ibumu, putriku. Namun, mau bagaimana lagi, itu semua tidak bisa dihindari. Kita sudah berusaha semaksimal mungkin agar dia tetap bersama kita." Saras mengangguk.

"Andai ibu ada, dia pasti sering menjengukku ke luar negri agar aku tidak kesepian," tutur Saras lirih.

"Betul, dia juga pasti akan sangat bangga padamu. Sekarang, biarkan ibu beristirahat dengan tenang, ya? Besok kita kunjungi makam ibu untuk meredakan rindumu." Saras mengangguk paham.

"Bagus. Kalau begitu, ada yang mau ayah bicarakan kepadamu," ungkap Dr. Kessler.

Saras menyeka sisa air matanya, menatap Dr. Kessler serius. "Aku dengarkan,"

"Sebentar lagi, studimu akan selesai. Ayah juga merasa kamu sudah cukup umur untuk memiliki seorang suami."

"Deg!!" Bergidiklah bulu kuduk Saras. Topik yang paling tidak mau ia bicarakan dengan ayahnya, justru malah dibahas terlebih dahulu oleh ayahnya sendiri.

"Ayah ingin kamu menikah. Ayah memiliki calon untukmu, dia orang yang sangat baik dan cerdas. Ia juga bekerja sebagai asisten pribadi ayah sejak satu tahun yang lalu, namanya ethan. Ayah percaya dia bisa merawat dan menjagamu. Kamu tahu sendiri, kan? Ayah sudah tua, ayah juga jarang di rumah dan tidak bisa selalu menemanimu. Ayah tidak mau kamu selalu kesepian, dan ayah juga sangat ingin memiliki seorang cucu. Dengan memiliki suami, setidaknya ada seseorang yang bisa mengisi kesepianmu, ada yang memperhatikanmu, ada yang menemanimu berbicara, kalian bisa bertukar kasih, sehingga hari-hari yang kamu jalani bisa lebih berwarna," tutur Dr. Kessler lugas.

Saras mengigiti jarinya. "Bolehkah aku memikirkannya terlebih dahulu, ayah?" Raut Dr. Kessler berubah, ada sedikit rona kekecewaan di dalamnya.

"Ayah harap kamu tidak terlalu lama memikirkannya. Agar ketika studimu selesai, kamu bisa langsung menikah."

#####

Perawakan Dr. Evelyn yang cukup tinggi untuk seorang wanita menarik perhatian para penumpang. Suasana di dalam pesawat yang berangkat menuju kota Tokyo cukup ramai malam ini. Dr. Evelyn melihat kanan dan kiri sambil menyeret kopernya, mencari nomor yang sesuai dengan angka yang ada di tiketnya.

"Ah, ini!" Tunjuk Dr. Evelyn pada kursi sebelah kiri di dekat jendela.

Ia yang ingin masuk ke tempat duduknya harus dihalangi oleh wanita gemuk yang tengah kesusahan memasukkan kopernya pada gudang penumpang. Wanita itu cukup pendek hingga ia harus berjinjit sebisa mungkin. Orang tua yang ia lihat duduk di sebelah wanita itu pun tampak tak acuh dengan memakaikan kacamata hitamnya, tak ingin tahu menahu.

"Permisi, boleh saya bantu?" Wanita itu menoleh. Wajahnya nampak seperti wajah orang asia dengan kulit kuning langsat. Ia tersenyum senang ke arah Evelyn.

"Terima kasih," ucapnya sambil menurunkan kopernya. Kemudian, ia mengulurkan tangan, hendak berjabat. Tentu saja disambut oleh Evelyn.

"Vera," ucapnya mengenalkan diri.

"Evelyn," sambut Evelyn.

Ia pun segera membantu Vera menaruh kopernya. Setelah itu, mereka berdua duduk bersebelahan. Evelyn tidak merasa keberatan, hitung-hitung ada teman berbincang selama perjalanan.

"Ibu Evelyn mau ke Tokyo juga?" tanya Vera basa-basi.

"Evelyn saja, ibu sepertinya lebih tua dari saya. Iya, saya ada beberapa urusan di Tokyo," Jawab Evelyn lugas.

"Eh, begitu ya. Kalau begitu panggil saya Vera saja, biar akrab. Kalau saya sih, ke Tokyo buat liburan, penat di sini, habis terlibat kasus," ungkap Vera.

"Oh, ya? Terlibat kasus apa?" Evelyn tertarik.

"Penusukan, nona Evelyn. Suami saya ditusuk oleh orang tidak dikenal. Saya heran betul, setahu saya suami tidak pernah mencari perkara dengan siapapun. Mungkin namanya orang jahat, ya? Benar-benar aneh, tanda pengenal dan semua identitasnya saja palsu. Mengerikan sekali, bukan?"

Evelyn semakin tertarik dengan topik ini. "Lalu, bagaimana dengan pelakunya? Apa sudah tertangkap?"

"Untungnya sudah, nona Evelyn. Beruntung sekali aku punya kenalan yang bisa diandalkan. Dia detektif yang hebat sekali, kasus seperti ini rasanya hanya seperti menangani pertengkaran pasangan saja." Vera tertawa gurih.

"Oh, ya? Siapa dia?" tanya Evelyn lagi.

Vera membuka tas dan mengambil ponselnya. Ia menggeser-geser layar ponsel tersebut, mencari sebuah foto.

"Ini dia," Vera menunjukkan foto detektif tersebut.

"Namanya Aidan, Aidan Reeve. Meski masih muda, dia sangat cerdas dalam menangani kasus. Sudah seperti orang yang punya pengalaman lama dalam bidang kejahatan, padahal dia baru terjun beberapa tahun belakangan," Evelyn mengamati baik-baik pria tampan yang ada di foto itu. Meski postur tubuhnya mirip dengan orang Eropa, tapi wajahnya justru seperti orang asia. Mungkin ia blasteran? Postur dan tingginya mungkin sedikit lebih tinggi dari Evelyn. Pria yang menarik, pikir Evelyn.

"Siapa tahu, nona mengalami sebuah kasus yang berbau kriminal, nona bisa meminta bantuan dia untuk menyelesaikan kasusnya," sambung Vera.

"Terima kasih informasinya, nona Vera. Semoga tidak pernah tiba waktunya aku meminta bantuan dia, ya," Evelyn tersenyum ramah.

"Ini, kartu namaku. Ada alamat restoranku juga di dalamnya. Saya harap kapan-kapan nona bisa mampir ke restoran saya," Evelyn mengambil kartu nama tersebut. Perhatiannya langsung terfokuskan pada pada nama panjang Vera.

"Monroe." Nama yang tidak asing bagi Evelyn. Ia merasa pernah tahu nama belakang ini entah kapan dan di mana.

"Terima kasih, nona Vera. Nanti saya akan mampir jika ada waktu."