Chereads / Gods Reincarnation: Eternal Cultivator / Chapter 48 - Bab 47: Kepergian Lin Xia

Chapter 48 - Bab 47: Kepergian Lin Xia

Shen Wei terus menyerang Xian Yue tanpa henti.

Setiap tebasan pedangnya menghancurkan racun spiritual yang dikeluarkan Dewi itu.

Xian Yue yang sebelumnya tersenyum penuh kepercayaan diri, kini mulai ketakutan.

"Ini... tidak mungkin!" teriaknya sambil mundur beberapa langkah.

Shen Wei tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri.

Dengan satu gerakan cepat, ia mengayunkan pedangnya, menciptakan gelombang energi emas yang langsung menerjang tubuh Xian Yue.

"AARRGGH!!"

Dewi Kegelapan itu berteriak kesakitan saat energi surgawi itu mulai menghancurkan jiwanya.

Wajahnya berubah menjadi ketakutan yang luar biasa.

"Tidak… Aku tidak bisa kalah! Aku adalah Dewi Kegelapan!"

Namun, Shen Wei mengangkat pedangnya sekali lagi.

"Ini adalah akhir darimu, Xian Yue!"

Dalam sekejap, pedang itu bersinar lebih terang daripada sebelumnya.

Dengan tebasan terakhir, Xian Yue berteriak kesakitan sebelum jiwanya benar-benar hancur.

Seketika, tubuhnya menghilang menjadi butiran cahaya hitam yang lenyap diterpa angin.

Pasukan kegelapan yang tersisa langsung melebur dan lenyap.

Shen Wei menghela napas berat.

Namun, kemenangannya terasa hampa.

Ia segera berbalik dan berlari ke arah muridnya yang tergeletak di tanah.

Lin Xia masih terbaring diam dalam pelukannya.

Tubuhnya sudah tak bernyawa.

Shen Wei merasa putus asa.

Shen Wei menggenggam tangan Lin Xia yang mulai dingin.

"Maafkan aku... Maafkan aku karena tidak bisa menjadi guru yang baik."

Matanya berkaca-kaca, tetapi ia berusaha menahan air matanya.

Mei Er berlutut di sampingnya.

Dengan suara gemetar, ia mencoba menenangkan Shen Wei.

"Itu tidak benar, Senior... Kamu lebih dari sekadar guru bagi kami."

Yu Lan juga berbicara, "Senior, kami tahu betapa berharganya Lin Xia bagi kita semua... tapi mungkin ini memang sudah takdirnya."

Chen Guang mengepalkan tinjunya.

"Kita harus kuat, Senior. Lin Xia pasti ingin melihat kita tetap bertahan."

Shen Wei terdiam.

Namun, rasa bersalah dalam hatinya masih membebaninya.

Shen Wei menatap tubuh Lin Xia yang terbujur kaku di tanah. Cahaya lembut dari formasi spiritual yang mengelilinginya masih berpendar, seakan berusaha menjaga kehangatan yang kini telah sirna. Mei Er, Yu Lan, dan Chen Guang berdiri di belakangnya, mata mereka merah dan penuh kesedihan.

"Senior... tidak bisakah kita melakukan sesuatu?" suara Mei Er bergetar.

Shen Wei menggeleng pelan.

"Meskipun aku telah mencapai tingkat Kultivasi Keilahian Absolut, aku tetap tidak bisa melawan takdir."

Tangannya mengepal, menyadari bahwa meskipun ia telah mengalahkan Dewi Kegelapan, harga yang harus dibayar terlalu besar.

"Lin Xia adalah muridku... aku seharusnya melindunginya..."

Yu Lan mengusap air matanya dan berusaha menenangkan Shen Wei.

"Senior, ini bukan salahmu. Lin Xia tahu bahwa menjadi seorang kultivator berarti harus siap menghadapi kematian kapan saja."

Chen Guang mengangguk. "Dia tidak menyesali keputusannya untuk bertarung di sisimu."

Namun, Shen Wei tetap tidak bisa menerima kenyataan ini begitu saja.

"Aku akan memanggil Dewa Kehidupan."

Mata semua orang melebar mendengar kata-kata itu.

"Dewa Kehidupan...?" Mei Er terkejut.

Shen Wei menutup matanya, menarik napas dalam, dan mulai merapal mantra pemanggilan.

Seketika, langit di atas Sekte Naga Putih berubah warna. Cahaya keemasan menyelimuti area tersebut, dan angin mulai berputar dengan lembut.

Dalam sekejap, sesosok pria berjubah putih bersinar muncul di udara.

Matanya penuh kebijaksanaan, dan auranya begitu tenang, membawa kedamaian bagi siapa saja yang melihatnya.

"Kau telah memanggilku, Shen Wei?"

Shen Wei menatapnya dengan harapan.

"Dewa Kehidupan, aku ingin meminta satu hal. Tolong tempatkan jiwa muridku, Lin Xia, di tempat yang damai."

Dewa Kehidupan tersenyum tipis.

"Jadi kau tidak meminta untuk menghidupkannya kembali?"

Shen Wei mengepalkan tangannya. "Aku tahu batasan dunia ini. Sekuat apa pun aku, aku tidak bisa menentang takdir."

Dewa Kehidupan mengangguk pelan.

"Kau telah memahami hukum alam, Shen Wei. Aku akan membawanya ke Alam Roh, tempat di mana arwah-arwah yang berharga beristirahat dengan damai."

Shen Wei menundukkan kepalanya. "Terima kasih."

Dewa Kehidupan melangkah ke arah tubuh Lin Xia yang lemah di tanah dan mengangkat tangannya. Cahaya putih mulai menyelimuti tubuh Lin Xia, dan perlahan, sebuah bayangan transparan muncul di atasnya.

Itu adalah jiwa Lin Xia.

Ia membuka matanya, melihat sekeliling, dan menyadari bahwa ia telah menjadi roh.

Mei Er tidak bisa menahan air matanya lagi. "Lin Xia..."

Lin Xia tersenyum lembut.

"Mei Er, Yu Lan, Chen Guang... senior... aku sangat beruntung bisa menjadi murid kalian."

Shen Wei menatapnya dalam diam, berusaha menahan emosinya.

Lin Xia melangkah ke arah Mei Er dan menggenggam tangannya, meskipun Mei Er tidak bisa benar-benar merasakan sentuhan itu.

"Jangan bersedih, Mei Er. Aku bahagia bisa bertarung bersama kalian."

Yu Lan dan Chen Guang menundukkan kepala, tidak sanggup berkata-kata.

Lin Xia kemudian berbalik ke arah Shen Wei.

"Senior... jangan menyalahkan dirimu sendiri. Aku bangga menjadi muridmu."

Shen Wei mengangguk, suaranya serak. "Aku akan selalu mengingatmu."

Dewa Kehidupan lalu membuka portal bercahaya di udara.

"Saatnya pergi, Lin Xia."

Lin Xia menghela napas pelan, lalu menatap teman-temannya sekali lagi.

"Sampai jumpa... di kehidupan selanjutnya."

Dengan langkah ringan, ia memasuki portal itu, dan dalam sekejap cahayanya menghilang.

Mei Er jatuh berlutut, menangis. Yu Lan menggenggam dadanya, merasakan kehilangan yang begitu dalam.

Shen Wei berdiri tegak, menatap langit, lalu menutup matanya.

"Aku berjanji... Aku akan melindungi mereka yang masih ada."

Dewa Kehidupan tersenyum tipis, lalu menghilang seperti embun pagi.

Malam itu, bintang-bintang bersinar lebih terang dari sebelumnya.

Shen Wei menatap murid-muridnya yang tersisa.

"Kita akan terus maju. Untuk Lin Xia, untuk masa depan kita."

Mei Er, Yu Lan, dan Chen Guang mengangguk.

Mereka tahu, perjalanan mereka masih panjang.

(Bersambung ke Bab 48...)