Suasana di Sekte Naga Putih terasa begitu sunyi. Meskipun malam telah tiba, tak satu pun murid yang bisa memejamkan mata. Mereka masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Lin Xia telah tiada.
Di tengah aula utama, Shen Wei berdiri di depan peti batu yang dihiasi dengan formasi pelindung, yang akan menjaga tubuh Lin Xia tetap utuh selamanya. Cahaya biru samar menyelimuti peti itu, memberikan ketenangan yang mendalam.
Mei Er berdiri di belakangnya, menggigit bibirnya untuk menahan air mata yang ingin jatuh.
Shen Wei perlahan-lahan meletakkan seikat bunga putih di atas peti itu. Tangannya bergetar, namun ia menolak membiarkan emosinya menguasai dirinya.
"Lin Xia... maafkan aku."
Kata-kata itu nyaris tak terdengar, namun Mei Er, Yu Lan, dan Chen Guang yang berada di dekatnya bisa merasakan kesedihan mendalam dalam suara senior mereka.
Mei Er tak tahan lagi. Ia maju selangkah, menggenggam lengan Shen Wei dengan erat.
"Senior, Lin Xia tidak akan mau melihatmu seperti ini..." suaranya bergetar, matanya merah karena menahan tangis.
Shen Wei menghela napas panjang.
"Aku tahu..." ucapnya pelan. "Tapi sebagai gurunya, aku seharusnya bisa melindunginya."
Yu Lan, yang biasanya pendiam, akhirnya berbicara.
"Senior, aku juga ingin melindunginya... kita semua ingin. Tapi kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi."
Chen Guang mengepalkan tangannya. "Kita harus menjadi lebih kuat, agar hal seperti ini tidak terjadi lagi."
Shen Wei menatap murid-muridnya satu per satu. Mereka semua masih muda, tetapi mereka telah mengalami kehilangan yang begitu besar.
Ia tidak bisa membiarkan hal ini terulang kembali.
Malam itu, setelah semua murid kembali ke kamar masing-masing, Shen Wei tetap berdiri di depan peti Lin Xia.
Ia duduk bersila, menutup matanya dan mulai bermeditasi.
Namun, pikirannya tak bisa tenang. Setiap kali ia mencoba berkonsentrasi, kenangan tentang Lin Xia terus muncul.
Senyumnya, semangatnya, tekadnya untuk menjadi murid yang kuat...
Shen Wei membuka matanya, menatap langit malam yang penuh bintang.
"Lin Xia... aku berjanji, aku tidak akan membiarkan pengorbanianmu sia-sia."
Ia lalu berdiri dan melangkah keluar dari aula utama, menuju tebing di belakang sekte.
Angin malam berhembus lembut, membawa suara dedaunan yang berdesir.
Dari kejauhan, Mei Er diam-diam mengikutinya.
"Senior..." suaranya lembut.
Shen Wei menoleh, sedikit terkejut.
"Mei Er, kenapa kau belum tidur?" tanyanya.
Mei Er menggigit bibirnya sebelum menjawab, "Aku hanya... aku tidak ingin kau sendirian malam ini."
Shen Wei tersenyum tipis, lalu menatap bulan yang bersinar terang.
"Terima kasih, Mei Er."
Mereka berdua berdiri dalam diam, menikmati ketenangan yang jarang mereka dapatkan.
Mei Er melirik ke arah Shen Wei, hatinya terasa berat. Ia tahu, seniornya menyalahkan dirinya sendiri.
Dengan ragu, ia berkata, "Senior... aku ingin lebih kuat."
Shen Wei menatapnya, sedikit terkejut.
"Aku tidak ingin lagi merasa tidak berdaya saat seseorang yang aku sayangi dalam bahaya."
Shen Wei menghela napas. Ia bisa melihat tekad di mata Mei Er.
"Baiklah," akhirnya ia berkata. "Aku akan melatihmu lebih keras mulai besok."
Mei Er mengangguk mantap.
"Terima kasih, senior."
Keesokan paginya, sebelum matahari sepenuhnya terbit, Shen Wei sudah berdiri di tengah lapangan latihan.
Murid-muridnya berkumpul di depannya, masih membawa sisa-sisa kesedihan, namun tekad mereka lebih kuat dari sebelumnya.
"Mulai hari ini, kita akan berlatih lebih keras. Aku tidak ingin kehilangan siapa pun lagi."
Semua murid mengangguk dengan serius.
Latihan dimulai.
Shen Wei melatih mereka dalam berbagai teknik, termasuk pertahanan terhadap racun spiritual, teknik pergerakan cepat, dan serangan kombinasi.
Mei Er berlatih lebih keras dari biasanya.
Yu Lan mengasah teknik pedangnya.
Chen Guang melatih teknik pertahanan dan formasi perisai.
Waktu berlalu dengan cepat, dan sebelum mereka menyadarinya, matahari sudah hampir terbenam.
Shen Wei mengamati murid-muridnya. Meskipun mereka lelah, mereka tetap bersemangat.
Ia tersenyum.
"Kalian semua telah berkembang pesat hari ini. Istirahatlah, kita akan melanjutkan latihan besok."
Murid-muridnya mengangguk dan mulai meninggalkan lapangan.
Namun, saat Shen Wei hendak pergi, Mei Er tiba-tiba berbicara.
"Senior..."
Shen Wei menoleh. "Ada apa?"
Mei Er menggenggam kedua tangannya, tampak sedikit gugup.
"Aku hanya ingin berterima kasih... karena telah mengajariku dan membimbingku."
Shen Wei tersenyum. "Itu tugasku sebagai guru kalian."
Mei Er menunduk sedikit. "Tapi bagiku, kau lebih dari sekadar guru..."
Shen Wei sedikit terkejut, namun sebelum ia sempat menjawab, Mei Er sudah berlari meninggalkannya.
Ia hanya bisa tersenyum kecil, lalu menatap langit.
"Lin Xia, aku akan menjaga mereka. Aku berjanji."
Dan malam itu, angin berhembus lembut, membawa ketenangan ke dalam hati mereka semua.
(Bersambung ke Bab 49...)