Setelah hari yang panjang dengan latihan yang melelahkan, Shen Wei duduk di tepi danau kecil di belakang Sekte Naga Putih. Airnya begitu jernih hingga ia bisa melihat bayangannya sendiri di permukaannya. Namun, bayangan itu tak menunjukkan wajah yang penuh kemenangan, melainkan kelelahan dan beban yang terus menghantui hatinya.
Ia menghela napas panjang, mengangkat kepalanya ke langit yang mulai gelap.
Di kejauhan, ia bisa mendengar murid-muridnya berbicara satu sama lain, mencoba menghibur diri mereka setelah kehilangan Lin Xia. Mei Er dan Yu Lan tampak lebih dekat, mungkin karena mereka berdua sama-sama merasa kehilangan yang mendalam.
Namun, meskipun suasana di sekte mulai pulih, Shen Wei tahu bahwa ancaman belum benar-benar berakhir.
Saat malam semakin larut, Mei Er datang menghampiri Shen Wei.
Ia membawa teh hangat di tangannya dan menaruhnya di samping seniornya tanpa mengatakan apa pun.
Shen Wei menoleh dan tersenyum kecil. "Terima kasih, Mei Er."
Mei Er duduk di sampingnya, menggenggam cangkirnya dengan kedua tangan. Matanya yang biasanya ceria kini terlihat lebih serius.
"Senior..." Mei Er membuka suara setelah beberapa saat hening.
Shen Wei menatapnya, menunggu kelanjutan perkataannya.
"Apa kau masih menyalahkan dirimu sendiri?"
Shen Wei tak langsung menjawab. Ia hanya menatap air danau di depannya, wajahnya penuh keraguan.
"Aku tidak bisa begitu saja melupakan apa yang terjadi, Mei Er. Aku bertanggung jawab atas kalian semua."
Mei Er menghela napas pelan. "Tapi senior… kamu bukan dewa. Kamu tidak bisa mengendalikan segalanya."
Shen Wei tersenyum pahit. "Tapi aku bisa mencoba."
Mei Er terdiam. Ia tahu, Shen Wei bukan hanya sekadar guru bagi mereka—dia adalah seseorang yang akan melakukan segalanya untuk melindungi murid-muridnya, bahkan jika itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.
"Aku hanya ingin kau tahu bahwa kami semua ada di sini untukmu, senior," ucap Mei Er akhirnya.
Shen Wei menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, matanya tampak lebih tenang.
"Terima kasih, Mei Er."
Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Shen Wei telah berdiri di tengah lapangan latihan.
Murid-muridnya datang satu per satu, wajah mereka masih menunjukkan sisa kelelahan dari latihan kemarin.
"Mulai hari ini, kita akan memasuki tahap latihan yang lebih sulit," Shen Wei mengumumkan.
Yu Lan, yang biasanya tenang, mengangkat alisnya. "Senior, apakah kita akan berlatih teknik bertarung lagi?"
Shen Wei menggeleng. "Tidak hanya itu. Kali ini kita juga akan melatih strategi dan kerja sama tim."
Mei Er tampak berpikir sejenak. "Senior... apakah ini untuk persiapan menghadapi ancaman lain?"
Shen Wei menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ragu untuk mengatakan sesuatu.
Namun, akhirnya ia berbicara, "Ada seseorang yang harus kita hadapi… seseorang yang lebih kuat dari musuh-musuh kita sebelumnya."
Murid-muridnya saling bertukar pandang.
Chen Guang mengepalkan tangannya. "Siapa pun itu, kami akan bertarung bersamamu, senior!"
Shen Wei tersenyum tipis. "Aku tahu kalian semua ingin bertarung, tapi kalian juga harus tahu batas kalian. Aku tidak akan membiarkan siapa pun terluka lagi."
Mei Er melangkah maju. "Tapi senior, jika kita tidak berlatih keras, bagaimana kita bisa melindungi diri kita sendiri?"
Shen Wei terdiam sejenak, lalu akhirnya mengangguk.
"Baiklah. Kalau begitu, mari kita mulai."
Latihan kali ini lebih berat dari sebelumnya.
Mereka tidak hanya berlatih teknik individu, tetapi juga bagaimana bertarung dalam formasi, membaca pergerakan lawan, dan menggunakan kekuatan mereka secara efisien.
Mei Er dan Yu Lan bekerja sama dalam teknik serangan kombinasi.
Chen Guang mempelajari cara melindungi rekan satu timnya dengan pertahanan yang lebih kuat.
Shen Wei sendiri mengawasi mereka dengan cermat, memberikan koreksi di setiap gerakan yang kurang sempurna.
Hari itu berlalu dengan cepat, dan saat matahari mulai terbenam, murid-muridnya sudah terbaring di tanah, kelelahan.
Mei Er duduk di atas batu besar, mengatur napasnya. "Senior… ini pertama kalinya aku merasa sekuat ini."
Shen Wei tersenyum kecil. "Kalian semua sudah berkembang pesat. Tapi ini baru permulaan."
Chen Guang mengeluh. "Baru permulaan? Senior, aku bahkan hampir tidak bisa menggerakkan tanganku lagi!"
Shen Wei tertawa ringan. "Kalau begitu, besok aku akan melatih kalian lebih keras lagi."
Chen Guang langsung menunduk pasrah. "Aku menyesal berbicara tadi."
Mereka semua tertawa, meskipun kelelahan masih terasa di tubuh mereka.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ada kehangatan di antara mereka—sebuah kehangatan yang mengingatkan mereka bahwa mereka masih memiliki satu sama lain.
Saat malam tiba, Shen Wei berdiri sendirian di puncak tebing, menatap langit.
Ia merasakan ada sesuatu yang aneh—sebuah energi yang tidak dikenal mulai mendekati wilayah sekte.
Tiba-tiba, seekor burung gagak hitam terbang ke arahnya dan mendarat di atas batu di dekatnya.
Matanya merah menyala, dan dari paruhnya, jatuh sebuah gulungan kecil.
Shen Wei mengambilnya dengan hati-hati dan membukanya.
Saat ia membaca isinya, wajahnya langsung berubah serius.
"Jadi... kau akhirnya bergerak juga."
Ia meremas gulungan itu hingga hancur menjadi abu.
Dari kejauhan, Mei Er memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu.
Namun sebelum ia sempat mendekat, Shen Wei sudah menghilang dalam sekejap, meninggalkan angin yang berhembus kencang di tempatnya.
(Bersambung ke Bab 50...)