Awal mula cerita dari seorang siswi SMP bernama Mina. Mina adalah seorang gadis remaja hobi membaca buku apapun itu tapi yang paling dia sukai adalah buku dongeng.
Hampir setiap hari dia selalu membaca buku dongeng nya yang di tinggalkan oleh almarhum ibunya, yaitu dongeng tentang Maya, soal penasarannya tentang Maya dan cermin veilora yang bersinar, dan kehilangan Maya di cermin tersebut.
Di waktu malam, Mina bermimpi buruk bercampur aduk dengan apa yang di lihat nya sampai terbangun dan sulit lagi tertidur.
"Mimpi lagi." Ucapnya dengan nada gemetar.
Menjelang paginya Mina pun sibuk memulai aktivitas nya untuk ke sekolah. "Astaga, kantong mata ku tak terlihat kan? Huu... ngantuk banget, tapi aku harus pergi." Mina pun menepuk kedua pipi nya supaya terbangun dan semangat.
"Semangat!!! Untuk diriku!!!"
Di perjalanan terdengar suara menyahut. "hai mina, tumben pagi ini kau terlihat ngantuk, kenapa?" Teman Mina menyahutinya dari kejauhan
"Ah, semalam aku begadang mengerjakan tugas," jawab Mina sambil menguap lebar. Matanya masih terasa berat, dan kantung matanya terlihat jelas, dia berbohong untuk tidak membuat temannya khawatir.
Temannya mendekat, menatapnya dengan cemas. "Kau harus lebih banyak istirahat. Kalau terlalu sering begadang, nanti kesehatanmu terganggu."
Mina tersenyum lemah. "Iya, aku tahu. Tapi tugasnya begitu banyak, aku tidak punya pilihan."
Temannya menghela napas, lalu menepuk bahunya pelan. "Jangan lupa jaga kesehatan juga, ya. Kalau butuh bantuan, bilang saja."
Mina mengangguk pelan. Dalam hati, dia berjanji akan mencoba lebih baik mengatur waktunya agar tidak terus-menerus kelelahan seperti ini.
Temannya memberitahukan soal buku dongeng ke mina yang dia beli baru ini. " Mina, aku habis beli sesuatu buku loh, mau tahu buku apa?."
Mina yang masih mengantuk perlahan menoleh ke temannya. "Hmm? Buku apa?" tanyanya dengan suara malas.
Temannya tersenyum antusias, lalu mengeluarkan sebuah buku berwarna cerah dari dalam tasnya. "Ini buku dongeng! Aku baru saja membelinya kemarin. Isinya banyak cerita menarik, ada tentang putri yang berpetualang, binatang yang bisa berbicara, bahkan legenda dari berbagai negara!"
Mina mengerjap beberapa kali, rasa kantuknya sedikit berkurang. "Wah, kelihatannya seru. Boleh aku lihat?"
"Tentu!" Temannya menyerahkan buku itu dengan semangat. Mina membuka halaman pertama dan mulai membaca, perlahan senyum muncul di wajahnya. "Sepertinya ini lebih menarik daripada tugas-tugasku," gumamnya, membuat temannya tertawa kecil.
"Apa kau suka? Jika kau mau ingin membacanya lebih lama lagi akan ku beri pinjam sampai kau puas."
Mina tersenyum mendengar tawaran itu. "Benarkah? Wah, terima kasih! Aku pasti akan membacanya sampai habis."
Temannya mengangguk. "Tentu saja! Aku tahu kau suka membaca, jadi tak masalah. Tapi janji ya, jangan sampai bukunya rusak."
Mina tertawa kecil sambil memeluk buku itu. "Tenang saja, aku akan menjaganya dengan baik. Lagipula, aku penasaran dengan cerita-ceritanya."
"Bagus! Kalau kau sudah selesai, beri tahu aku dongeng mana yang paling kau suka," kata temannya dengan antusias.
"Siap!" jawab Mina semangat. Dalam hati, dia merasa beruntung memiliki teman baik yang selalu berbagi hal-hal menyenangkan dengannya.
"soal dongeng yang aku sering baca itu tentang cerita Maya, aku penasaran dengan veilora cermin itu dan menghilang nya Maya." Tanya mina
Temannya tersenyum misterius, lalu menatap Mina dengan mata berbinar. "Jadi kau penasaran juga? Cerita ini memang membuat orang ingin tahu lebih banyak," katanya sambil menunjuk buku dongeng yang ia bawa.
"Aku sering membaca ulang cerita tentang Maya dan Veilora," lanjutnya. "Dikatakan bahwa Veilora adalah seorang penyihir yang menciptakan cermin ajaib, cermin yang bukan hanya memantulkan bayangan, tetapi juga bisa menjadi pintu menuju dunia lain. Maya, seorang gadis yang penuh rasa ingin tahu, menemukan cermin itu di ruang bawah tanah rumah tuanya. Awalnya, dia hanya melihat bayangan dirinya sendiri, tapi semakin lama dia menatapnya, semakin banyak hal aneh yang muncul."
Mina menelan ludah. "Seperti apa hal anehnya?"
"Bayangannya mulai bergerak sendiri, tersenyum saat Maya tidak tersenyum, dan bahkan berbisik hal-hal yang tak dimengertinya. Lalu, suatu malam, saat Maya kembali menatap cermin itu… bayangan di dalamnya mengulurkan tangan dan menariknya masuk."
Mina merinding. "Jadi Maya menghilang begitu saja?"
Temannya mengangguk. "Ya. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi. Keluarganya mencarinya ke mana-mana, tapi satu-satunya petunjuk yang tersisa hanyalah cermin itu—dan di dalamnya, samar-samar, ada sosok yang menyerupai Maya… tapi dengan mata yang berbeda."
Mina terdiam, jantungnya berdebar. "Lalu… apakah ada yang pernah mencoba masuk ke dalam cermin itu untuk menyelamatkan Maya?"
"Konon, ada," jawab temannya pelan. "Tapi tak ada satu pun dari mereka yang pernah kembali."
"apa kau serius?." Mina pun bertanya dengan penuh penasaran.
Temannya menatap Mina dengan ekspresi serius, lalu mengangguk pelan. "Tentu saja aku serius. Cerita ini sudah diceritakan turun-temurun, dan beberapa orang percaya kalau cermin itu benar-benar ada di suatu tempat."
Mina menggigit bibirnya, rasa penasaran bercampur sedikit ketakutan. "Jadi… kau pikir Maya masih ada di dalam cermin itu?"
Temannya mengangkat bahu. "Tak ada yang tahu pasti. Tapi ada rumor yang mengatakan bahwa pada malam tertentu, jika kau berdiri di depan cermin lama dan menatap cukup lama… kau mungkin bisa melihat Maya di dalamnya, menatap balik ke arahmu."
Mina merinding. "Kau hanya ingin menakut-nakutiku, kan?"
Temannya tersenyum tipis. "Mungkin. Atau mungkin… aku hanya memberitahumu kebenaran."
Mina menelan ludah, tiba-tiba merasa tak ingin menatap cermin di kamarnya malam ini.
"apa kau takut?." Ucap temannya yang tersenyum tipis.
Mina mendengus pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "T-tidak, tentu saja tidak!" katanya, meski suaranya sedikit bergetar.
Temannya terkekeh, masih dengan senyum misteriusnya. "Benarkah? Wajahmu berkata sebaliknya."
Mina mengalihkan pandangannya, berusaha terlihat santai. "Aku hanya penasaran. Lagipula, itu kan cuma dongeng. Tidak mungkin cermin seperti itu benar-benar ada."
Temannya menatapnya dengan tatapan tajam. "Begitu? Tapi bagaimana jika aku mengatakan… aku pernah melihat cermin itu?"
Mina langsung menoleh cepat. "Apa?! Kau bercanda, kan?"
Temannya hanya tersenyum, lalu berbisik, "Kalau kau benar-benar penasaran… maukah kau melihatnya sendiri?"
Mina pun mengalihkan pembicaraan. "Sudahlah, ayo!! Nanti telat ke sekolah". Berlari meninggalkan temannya.
Temannya hanya tertawa kecil melihat Mina yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan dan berlari mendahuluinya. "Hei, kau takut, ya?" godanya sambil mengejar Mina.
"Aku tidak takut! Aku hanya tidak mau terlambat!" seru Mina tanpa menoleh.
Angin pagi menyapu wajah mereka saat mereka berlari menuju sekolah. Namun, di benak Mina, cerita tentang cermin Veilora masih terngiang. Meskipun dia berpura-pura tidak peduli, rasa penasarannya tetap ada.
Sesampainya di gerbang sekolah, temannya menepuk bahu Mina. "Kalau kau berubah pikiran dan ingin tahu lebih banyak tentang cermin itu… beri tahu aku," katanya dengan senyum penuh arti.
Mina hanya mendengus, lalu berjalan masuk ke kelas. Namun, jauh di dalam hatinya, ada perasaan aneh yang tidak bisa ia abaikan—seakan-akan, cerita itu bukan sekadar dongeng.