Chereads / legenda dan yang terakhir / Chapter 3 - dunia yang berbeda

Chapter 3 - dunia yang berbeda

Waktu berlalu begitu cepat, dan di persimpangan jalan, Mina dan Hasniah akhirnya berpisah menuju rumah masing-masing.

"Jaga diri, Mina! Jangan terlalu larut membaca, ya," ujar Hasniah sambil melangkah ke arah rumahnya.

Mina tertawa kecil. "Iya, iya! Sampai jumpa besok!"

Setelah itu, mereka berjalan di jalur yang berbeda, semakin menjauh satu sama lain. Langit senja mulai berubah gelap, dan angin sore berembus pelan. Mina memeluk buku dongeng itu erat-erat, perasaannya campur aduk antara rasa penasaran dan sedikit ketakutan.

Saat ia sampai di rumah, langit sudah gelap sepenuhnya. Tanpa membuang waktu, Mina langsung masuk ke kamar, menyalakan lampu meja, dan membuka halaman pertama buku itu.

Namun, saat matanya mulai membaca… sesuatu terasa berbeda. Seolah-olah kisah di dalam buku itu bukan sekadar dongeng biasa, melainkan sesuatu yang lebih nyata.

Beberapa jam kemudian. "lampu taman, Pinocchio, Cinderella, ikan ajaib, dan kisah taring naga. Hmm... 6 judul sudah ku baca, wow... Ini begitu seru!, tapi lebih menegangkan si taring naga sih." Saking serunya Mina sampai lupa jam. Sudah hampir tengah malam.

Mina mengerjap kaget saat melihat jam di dinding. Jarum pendek hampir menunjuk ke angka 12. "Astaga, sudah hampir tengah malam?" gumamnya.

Dia mengusap matanya yang mulai lelah, tapi rasa penasaran masih membara. Kisah Taring Naga benar-benar menegangkan, penuh petualangan dan misteri. Namun, ada satu cerita yang belum ia baca—kisah tentang Veilora dan Cermin Ajaib.

Mina menatap halaman berikutnya. Judul cerita itu terpampang jelas di sana. Tiba-tiba, hawa di kamar terasa sedikit lebih dingin, membuat bulu kuduknya meremang.

"Apa aku harus membacanya sekarang?" bisiknya pada diri sendiri.

Tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Dengan hati-hati, Mina membalik halaman… dan mulai membaca kisah yang telah membuatnya penasaran sejak awal.

Dan tiba-tiba pemadaman listrik terjadi.

Mina tersentak kaget saat lampu di kamarnya tiba-tiba padam, meninggalkan ruangan dalam kegelapan total. Suasana yang tadinya hanya hening kini terasa mencekam.

"Apa... listrik padam?" gumamnya pelan.

Dia meraba-raba meja untuk mencari ponselnya, tapi sebelum sempat menemukannya, sesuatu yang aneh terjadi—halaman buku di depannya seakan berpendar samar dalam gelap. Tulisan-tulisan di atasnya tampak berkilauan, seolah buku itu hidup.

Jantung Mina berdegup kencang. "Apa ini...?"

Tiba-tiba, suara samar terdengar dari dalam buku, seperti bisikan halus yang mengundang. Udara di sekitarnya terasa semakin dingin, dan dalam kegelapan, Mina merasa ada sesuatu—atau seseorang—yang memperhatikannya.

Mina menelan ludah. Dia ingin menutup buku itu, tapi tangannya gemetar. Lalu, tanpa peringatan, sebuah bayangan hitam bergerak di sudut kamarnya.

Dan sebelum Mina bisa bereaksi—hal terakhir yang ia lihat adalah cermin di kamarnya yang perlahan bergetar…

"Siapa di sana?" suara Mina bergetar saat ia mencoba mencari asal bayangan itu. Dadanya berdebar kencang, dan tangannya terasa dingin.

Tidak ada jawaban. Hanya suara angin berdesir pelan dari luar jendela, meski semua terasa lebih hening dari biasanya. Namun, cermin di sudut kamarnya masih bergetar pelan, seperti ada sesuatu di baliknya yang ingin keluar.

Mina mencoba menarik napas dalam-dalam. "Ini pasti cuma imajinasiku… mungkin karena aku terlalu larut membaca," bisiknya, berusaha menenangkan diri.

Namun, saat ia melangkah mundur, sesuatu terjadi—cermin itu tiba-tiba berhenti bergetar. Hening. Tapi sebelum Mina bisa merasa lega, bayangannya di cermin… tersenyum.

Bukan senyum biasa. Senyum itu terlalu lebar, terlalu asing, dan yang paling menakutkan—bayangan itu mengulurkan tangannya, seolah ingin menarik Mina masuk ke dalamnya.

Perlahan, Mina mundur sedikit demi sedikit, napasnya memburu. Matanya tak lepas dari bayangan di cermin yang kini bergerak sendiri, terpisah dari gerakannya.

"T-tidak mungkin…," bisiknya, tenggorokannya terasa kering.

Bayangan di dalam cermin semakin jelas, matanya gelap pekat dengan senyum yang semakin melebar. Tangan yang tadi terulur kini seolah menekan permukaan cermin dari dalam, membuat riak aneh seperti air yang bergetar.

Mina ingin lari, ingin menutup matanya dan berpura-pura ini hanyalah mimpi. Tapi tubuhnya terasa kaku, seakan ada sesuatu yang menahannya tetap berdiri di tempat.

Lalu, tanpa peringatan—cermin itu retak.

"CRACK!" Suara pecahan terdengar memenuhi kamar. Dari celah retakan, samar-samar terdengar bisikan yang mengerikan.

"Mina… sudah waktunya kau masuk…"

Jantung Mina hampir melompat dari dadanya. Dia harus lari. Sekarang juga!

Dan alhasil sakin takut nya, Mina terbangun di meja belajar nya. Ketakutan itu ternyata mimpi

Mina terbangun dengan napas tersengal, keringat dingin membasahi dahinya. Matanya langsung menyapu seluruh ruangan—lampu kamarnya masih menyala, buku dongeng itu masih terbuka di mejanya, dan cermin di sudut kamar tetap utuh, tanpa retakan.

Dia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. "Jadi… itu hanya mimpi?" gumamnya pelan.

Jantungnya masih berdebar kencang. Semua terasa begitu nyata—bayangan di cermin, bisikan mengerikan, bahkan suara retakan kaca yang nyaris menyeretnya masuk. Mina menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah imajinasi yang terbawa karena terlalu larut membaca cerita misteri.

Dia melirik jam di dinding—sudah lewat tengah malam. Dengan tubuh yang masih gemetar, Mina menutup buku dongeng itu perlahan. "Sepertinya aku harus tidur… sebelum aku benar-benar mulai melihat hal-hal aneh lagi."

Namun, saat ia beranjak menuju tempat tidur, sesuatu menarik perhatiannya.

Cermin di sudut kamar… tampak sedikit berembun, seolah seseorang baru saja menyentuhnya dari dalam.

Dengan hati-hati, Mina melangkah mendekati cermin. Tangannya gemetar saat ia mengangkat jemarinya dan mengusap bekas embun yang menempel di permukaan kaca.

Saat embun itu perlahan menghilang, Mina terkejut. Ada sesuatu yang aneh—bayangannya di dalam cermin tidak bergerak seperti seharusnya.

Dia berkedip, mencoba memastikan bahwa matanya tidak salah lihat. Tapi tidak—bayangan dirinya di cermin tetap diam, meskipun ia sudah mundur selangkah.

Jantungnya berdegup kencang. "Apa yang terjadi…?" bisiknya.

Tiba-tiba, bayangan di dalam cermin tersenyum. Senyum lebar yang sama seperti dalam mimpinya. Dan sebelum Mina bisa bereaksi, tangan bayangan itu terangkat… dan mengetuk kaca dari dalam.

Tok. Tok. Tok.

Suara ketukan kecil tapi jelas terdengar di kamar yang sunyi.

Mina membeku. Ini bukan lagi mimpi.

Mina menelan ludah, jantungnya masih berdegup kencang. Dengan suara bergetar, dia bergumam pelan, "Kurasa… aku sulit lagi tertidur malam ini."

Bayangannya di dalam cermin masih tersenyum, seakan sedang menunggu sesuatu. Ruangan terasa lebih dingin dari sebelumnya, dan Mina bisa merasakan bulu kuduknya meremang.

Dia mundur perlahan, mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya permainan cahaya atau imajinasinya yang masih terbawa mimpi tadi. Tapi suara ketukan dari dalam cermin itu… terlalu nyata.

Mina menggeleng cepat, mencoba mengabaikan rasa takutnya. "Aku pasti hanya kelelahan… ini pasti hanya halusinasi," katanya pada diri sendiri.

Namun, saat ia berbalik menuju tempat tidur, sesuatu membuatnya kembali terpaku di tempat.

Di cermin itu, bayangannya masih berdiri di sana—meskipun Mina sudah berbalik.

Dan kemudian, tanpa peringatan, bayangan itu melambaikan tangan padanya.

Mina membeku di tempatnya. Suara itu terdengar jelas, meski tidak ada siapa pun di kamar selain dirinya.

"Mina… kemarilah…"

Bayangannya di dalam cermin tersenyum lebih lebar, matanya gelap dan kosong. Tangannya terulur, seolah mengundangnya untuk mendekat.

"T-tidak…," Mina berbisik, menggelengkan kepala. Tubuhnya gemetar hebat.

Tapi entah kenapa, kakinya terasa berat, seakan ada sesuatu yang menariknya perlahan ke arah cermin. Nafasnya memburu, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.

"Ini… tidak nyata… Aku pasti masih bermimpi!" Mina mencubit lengannya sendiri dengan kuat, berharap bisa terbangun—tapi rasa sakit yang nyata justru membuatnya semakin panik.

Cermin itu tiba-tiba bergetar pelan, dan dari dalamnya, samar-samar muncul bayangan lain. Sesosok gadis… dengan wajah yang mirip dirinya.

Tapi ada yang salah.

Kulit gadis itu pucat, matanya hitam legam, dan bibirnya masih melengkung dalam senyum yang tidak wajar.

Mina ingin berteriak, ingin lari—tapi tubuhnya tak bisa digerakkan.

Bayangan itu mengulurkan tangan lebih jauh, lalu berbisik, "Sekarang giliranmu menggantikanku…"

Dan sebelum Mina sempat bereaksi, sebuah tangan dingin mencengkeram pergelangan tangannya… dan menariknya ke dalam kegelapan cermin.

Mina merasa tubuhnya terhisap ke dalam cermin, seolah ada kekuatan tak terlihat yang menariknya dengan cepat. Sebelum ia sempat berteriak atau melawan, ia terjatuh ke tanah yang keras dan dingin.

Matanya terpejam sejenak, mencoba mengatur napas yang tercekat. Ketika ia membuka mata, ia mendapati dirinya berada di sebuah tempat yang gelap dan asing. Langit di atasnya gelap pekat, tanpa bintang, dan tanah di bawahnya terasa dingin dan kasar.

"Di mana ini?" bisiknya dengan suara gemetar.

Di sekitar, tidak ada suara, hanya kesunyian yang mencekam. Mina bangkit perlahan, menatap sekelilingnya. Di kejauhan, ia bisa melihat sebuah cahaya redup, seperti api kecil yang berkedip-kedip, memanggilnya dengan cara yang misterius.

Tanpa berpikir panjang, ia melangkah menuju cahaya itu. Namun, setiap langkah yang diambil, rasanya semakin berat—seolah dunia ini bukan dunia miliknya.

Setiap sudut tempat itu terasa asing, gelap, dan menakutkan. Tiba-tiba, ia mendengar bisikan yang familiar, suara yang sama dengan yang tadi memanggilnya dari dalam cermin.

"Mina... akhirnya kamu datang..."

Mina menoleh dengan cepat, namun tidak ada sosok yang tampak. Hanya kegelapan yang semakin pekat.

Hatinya berdebar kencang. Ia tahu, sesuatu—atau seseorang—sedang menunggunya.

Mina berdiri tegak di tengah kegelapan, jantungnya berdegup kencang. Dia menatap sekelilingnya dengan mata penuh ketakutan, mencari asal suara yang terus mengelilinginya.

"M-mohon… tolong keluarkan aku!" suara Mina bergetar, memohon dengan segenap hatinya. "Aku tidak tahu bagaimana bisa sampai di sini, tolong bawa aku kembali!"

Namun, suara itu hanya tertawa pelan, mengisi udara sekitar dengan getaran yang menakutkan.

"Kamu sudah terperangkap di sini, Mina... tidak ada jalan kembali."

Mina merasakan tubuhnya kaku. Setiap kata itu seperti belenggu yang mengikatnya lebih erat, seolah-olah tak ada harapan untuk keluar. Tapi dia tidak bisa menyerah.

"Jangan bilang begitu! Aku… aku bisa kembali! Tolong, tolong keluarkan aku!" teriaknya, kali ini dengan suara yang lebih keras, penuh putus asa.

Tiba-tiba, di depan Mina, muncul sosok bayangan gelap. Perlahan-lahan, bayangan itu semakin jelas, menggambarkan sosok seorang wanita yang mengenakan gaun hitam panjang, dengan mata yang kosong dan senyum yang menakutkan.

Mina mundur sedikit, takut, tapi bayangan itu hanya melangkah mendekat dengan pelan. "Kenapa kamu ingin kembali?" suara itu bergema. "Di sini, di dunia ini, kamu bisa bebas... bebas dari segala yang kamu tinggalkan."

Mina menggigit bibirnya, menahan air mata. "Tidak! Aku ingin pulang! Aku ingin keluargaku, teman-temanku! Aku tidak ingin terperangkap di sini!"

Bayangan itu berhenti, lalu tersenyum. "Kau masih belum mengerti, Mina. Kamu sudah menjadi bagian dari dunia ini. Tidak ada jalan keluar."

Dengan gemetar, Mina berteriak, "Aku tidak percaya itu! Aku akan mencari jalan keluar!"

Mina masih berusaha melangkah mundur, jantungnya hampir meledak karena ketakutan. Suara ketukan dari dalam tubuhnya seakan terus memanggil, menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar pelarian.

Tapi saat sosok wanita itu semakin mendekat, ada sesuatu yang terasa familiar—sebuah aura yang terasa menyesakkan, namun tidak sepenuhnya asing. Mata wanita itu, yang kosong dan gelap, akhirnya bertemu dengan mata Mina.

Tiba-tiba, wanita itu berhenti, dan senyumnya menghilang. "Kamu... kenapa?" katanya pelan, seperti berbisik.

Mina menatapnya bingung, tak mengerti. "K-kau siapa?"

Wanita itu menggeleng pelan, matanya penuh dengan kesedihan yang dalam. "Aku... Maya," katanya dengan suara hampir tidak terdengar.

Mina terbelalak. "M-Maya?!"

Wanita itu mengangguk perlahan, tetapi ada kesedihan yang terpancar dari wajahnya. "Aku... sudah lama terperangkap di sini. Terperangkap dalam cermin yang kau lihat. Dan kini, kamu pun sudah menjadi bagianku."

Mina merasa tubuhnya goyah, otaknya tidak bisa memproses semua ini. "Tidak, ini tidak bisa… Ini tidak mungkin!"

Maya—atau wanita yang mengaku sebagai Maya—mendekat, dan untuk pertama kalinya, mata Mina bisa melihat kesedihan yang mendalam di dalam mata wanita itu. "Kau tidak bisa keluar, Mina. Kami semua terperangkap di sini, dan cermin itu… cermin itu akan selalu menarik lebih banyak orang. Seperti yang terjadi padamu."

Mina mundur sedikit, panik. "T-tidak! Aku tidak akan terjebak seperti kamu!"

Maya mengulurkan tangannya, matanya tampak putus asa. "Tapi itu sudah terlambat, Mina. Semua yang masuk ke sini, tidak pernah kembali."

Mina menatap Maya dengan tatapan penuh kebingungan, mencoba mencari petunjuk di wajah wanita itu. "T-tapi... ini berbeda dengan apa yang ku baca. Bukankah Veilora—cermin itu—adalah temanmu? Kenapa kamu bisa terjebak di sini?"

Maya terdiam sesaat, matanya kosong seperti sedang merenung jauh. Kemudian, dengan suara pelan, ia mulai bercerita, "Veilora... dia memang sahabatku. Cermin itu, yang konon memiliki kekuatan untuk membawa orang ke dunia lain, adalah pintu yang kami temukan bersama. Tetapi aku salah… kami semua salah."

Mina mendekat sedikit, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Kamu salah? Apa maksudmu?"

Maya menatap Mina dengan tatapan yang penuh penyesalan. "Veilora... cermin itu bukan hanya sebuah alat, Mina. Dia... memiliki kehendak sendiri. Cermin itu tidak hanya membawa kita ke dunia ini, tetapi juga mengubah kita. Memperangkap jiwa kita di dalamnya, untuk selamanya."

Mina terkejut, hampir tidak percaya dengan kata-kata Maya. "Tapi… aku pikir itu hanya sebuah dongeng! Hanya cerita fantasi!"

Maya mengangguk pelan, menundukkan kepala, dan suaranya semakin lirih. "Itulah yang aku pikirkan dulu. Tapi sekarang aku tahu… semuanya adalah kenyataan. Veilora bukan hanya sebuah cermin. Dia adalah pengikat jiwa, dan siapa pun yang menghadapinya dengan keinginan yang terlalu kuat akan terjebak selamanya di sini."

Mina merasa tercekik, tidak tahu harus berkata apa. "Tapi... aku tidak ingin terjebak di sini! Aku harus keluar!"

Maya mengangkat kepala, matanya kini penuh dengan keputusasaan. "Kamu harus berhati-hati, Mina. Cermin itu... tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Jika kamu ingin keluar, kamu harus membuat pilihan—pilihan yang sulit."

Mina merasa seakan dunia ini semakin sempit. "Pilihan apa? Apa yang harus aku lakukan?"

Maya hanya menggelengkan kepala, wajahnya penuh kesedihan. "Aku tidak tahu. Aku sudah terlalu lama terperangkap di sini untuk tahu jawabannya."

:Continued: