Chereads / legenda dan yang terakhir / Chapter 4 - dunia yang berbeda.2

Chapter 4 - dunia yang berbeda.2

Mina menatap Maya dengan tatapan kosong, kebingungannya semakin dalam. "Apakah ini dunia lain?" tanyanya dengan suara yang bergetar, seolah berharap ada jawaban yang bisa membebaskannya.

Maya menundukkan kepala, seolah kata-kata itu berat untuk diungkapkan. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia akhirnya mengangkat wajahnya, memandang Mina dengan tatapan penuh penyesalan.

"Ya," jawabnya pelan, "ini adalah dunia lain. Dunia yang diciptakan oleh Veilora. Dunia yang tidak bisa dimengerti oleh mereka yang berasal dari dunia nyata. Kamu tidak bisa kembali begitu saja."

Mina merasa tubuhnya mulai goyah. "Tapi... bagaimana bisa? Aku hanya membaca sebuah buku. Ini hanya sebuah cerita!"

Maya menghela napas panjang, menatap Mina dengan mata yang penuh dengan kepedihan. "Dunia ini... bukan hanya sebuah cerita. Veilora—cermin itu—membuka jalan menuju tempat ini. Tempat di mana waktu dan ruang tidak lagi berjalan seperti yang kamu kenal. Semua yang kamu baca, yang kamu dengar, itu semua memiliki kebenaran di baliknya. Cermin itu memperdaya kita, memberi kita harapan, dan kemudian menjebak kita."

Mina merasa dunia di sekitarnya berputar. Semua yang ia anggap sebagai kenyataan, semua yang ia pikir hanya imajinasi, tiba-tiba terasa begitu nyata.

"Jika ini dunia lain," kata Mina pelan, "berarti aku... terperangkap di sini selamanya?"

Maya tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan yang begitu dalam dan penuh penyesalan.

Mina menatap sekelilingnya dengan hati yang berdebar. Dunia ini tampak sangat mirip dengan dunia yang ia kenal. Namun, ada sesuatu yang terasa aneh, seperti segala sesuatu telah terbalik, seperti cermin yang memantulkan dunia dengan cara yang salah.

Maya melihat kebingungannya dan mengangguk perlahan. "Ya, dunia ini terlihat sama, bukan? Tapi sesungguhnya, ini adalah dunia yang terbalik. Segalanya di sini berfungsi dengan cara yang berbeda. Waktu berjalan dalam arah yang salah, orang-orang yang kamu kenal bisa saja ada di sini, tapi mereka berbeda. Tak ada yang bisa diprediksi di dunia ini."

Mina menelan ludah. "Jadi, jika ini dunia yang terbalik, bagaimana aku bisa keluar?"

Maya menarik napas dalam-dalam. "Mungkin tidak ada jalan keluar, Mina. Dunia ini… cermin itu adalah perangkap. Bahkan jika dunia ini tampak sama, setiap langkahmu akan membawa kamu lebih dalam ke dalam kebingungannya. Jika kamu ingin kembali, kamu harus menemukan cara untuk memperbaiki apa yang sudah rusak."

Mina merasakan perasaan yang mendalam menguasai dirinya—keputusasaan dan harapan yang bertabrakan. "Tapi bagaimana aku bisa memperbaiki sesuatu yang bahkan aku tidak mengerti?"

Maya menatapnya dengan mata yang penuh beban. "Kamu harus mencari kunci untuk membalikkan dunia ini, Mina. Hanya dengan memahami apa yang terjadi di balik cermin itu, kamu bisa mengubah nasibmu. Tetapi hati-hati, karena di dunia ini, setiap pilihan yang kamu buat bisa membawa konsekuensi yang lebih besar."

Mina menatap cermin yang ada di depannya, berpikir tentang dunia yang terbalik ini. Apakah dia benar-benar bisa menemukan jalan keluar, atau apakah dia sudah terperangkap selamanya dalam bayang-bayang dunia yang salah ini?

Mina berhenti sejenak, membenarkan pertanyaan yang muncul di benaknya. "Tunggu sebentar... apakah di sini ada waktu?" tanyanya, matanya menyapu sekeliling, mencoba memahami logika dunia terbalik ini.

Maya mengangguk perlahan, tapi ada sedikit keraguan di wajahnya. "Waktu ada di sini, tapi tidak seperti yang kamu kenal. Di dunia ini, waktu tidak berjalan lurus. Beberapa tempat bisa terasa seperti waktu berhenti, sementara di tempat lain, waktu bisa berjalan lebih cepat atau lebih lambat dari dunia aslimu."

Mina merasa bingung, otaknya mencoba memproses apa yang baru saja dikatakan Maya. "Jadi, waktu tidak pasti?"

"Betul," jawab Maya dengan suara pelan. "Di dunia ini, waktu bisa melengkung, terdistorsi. Terkadang, kamu bisa merasa seperti sudah berjam-jam berada di sini, padahal hanya beberapa menit yang berlalu. Di sisi lain, beberapa hari bisa terasa seperti sekejap mata."

Mina merasakan seolah-olah pijakannya di dunia ini semakin goyah. "Kalau begitu, bagaimana aku bisa tahu berapa lama aku sudah terjebak di sini?"

Maya menggelengkan kepala, wajahnya semakin gelap. "Itulah yang paling menakutkan. Kamu tidak akan tahu. Kamu bisa saja terjebak dalam lingkaran waktu tanpa menyadarinya."

Mina merasakan ketakutan mulai merayap kembali, seolah dunia ini benar-benar terbalik dan segala yang ia kenal tidak lagi berlaku di sini.

Tiba-tiba, sebuah suara bergemuruh yang dalam terdengar dari luar, memecah keheningan yang menyelubungi mereka. Gemuruh itu semakin mendekat, getaran kuat terasa di tanah di bawah kaki Mina. Dunia sekitar seakan bergetar, dan langit yang tadinya gelap mulai dipenuhi dengan cahaya yang berkilauan, seperti petir yang berputar-putar di kejauhan.

Mina melompat sedikit kaget, lalu memandang Maya. "Apa itu?" suaranya penuh kekhawatiran.

Maya menatap ke arah suara itu dengan ekspresi yang sulit dibaca, tampaknya sudah familiar dengan apa yang sedang terjadi. "Itu... adalah tanda. Sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi. Suara itu datang dari pusat dunia ini, tempat di mana semua kekuatan terpusat. Ini adalah peringatan bahwa sesuatu akan berubah."

Mina merasa cemas. "Apakah itu berbahaya?"

"Untuk kita, bisa jadi," jawab Maya, suaranya penuh ketegangan. "Jika suara itu terdengar, itu berarti ada perubahan besar yang akan terjadi, atau mungkin sudah terjadi. Dan perubahan ini bisa menjadi awal dari akhir."

Mina menelan ludah. "Tapi apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana kita bisa menghadapi itu?"

Maya menatapnya, mata penuh keteguhan. "Kita harus mencari tahu apa yang menyebabkan gemuruh itu. Hanya dengan menghadapi pusat kekuatan dunia ini, kita bisa memecahkan apa yang terjadi. Tapi hati-hati, Mina. Perjalanan itu akan penuh bahaya."

Dengan suara gemuruh yang semakin keras, Mina tahu bahwa waktu untuk berpikir telah habis. Mereka harus bergerak sekarang, atau dunia ini akan semakin terbalik.

Maya menundukkan kepalanya, matanya tampak penuh penyesalan yang dalam. Suara gemuruh di luar semakin keras, seolah-olah dunia itu sendiri sedang mengguncang. Dia menggigit bibirnya, merasa beban yang begitu berat menimpa dirinya.

"Aku... aku seharusnya tidak membawamu ke sini, Mina," katanya pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. "Kau tidak seharusnya terjebak dalam kekacauan ini."

Mina menatap Maya dengan kebingungannya. "Apa maksudmu? Kenapa kamu berkata begitu? Aku memilih untuk datang, bukan? Aku yang ingin tahu lebih banyak tentang cermin itu," jawabnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Maya mengangkat wajahnya, namun ada kesedihan yang begitu dalam di matanya. "Tapi itu salah, Mina. Aku tahu betul bagaimana rasanya terjebak di sini. Aku... aku sudah lama terjebak dalam dunia ini. Veilora... cermin itu, bukan hanya pintu ke dunia lain. Dia... dia mengikat jiwa kita. Aku tidak tahu siapa yang akan terjebak selamanya, tapi aku... aku membawa kamu ke sini dengan harapan bisa mengubah nasibku sendiri."

Mina merasa seakan dunia berputar di sekitarnya. Maya merasa bersalah, tetapi dia sendiri tidak bisa sepenuhnya mengerti mengapa cermin itu membawa mereka ke sini. Mereka berada di dunia yang terbalik, dan sekarang mereka harus mencari cara untuk keluar.

"Jangan salahkan dirimu, Maya," kata Mina, mencoba memberinya sedikit penghiburan. "Aku juga memilih untuk datang ke sini. Mungkin kita harus bersama-sama mencari jalan keluar."

Maya terdiam sejenak, menatap Mina dengan tatapan penuh harapan dan rasa bersalah yang tak terungkapkan. "Tapi jika kita gagal, Mina... aku takut kita tidak akan pernah bisa keluar dari sini. Aku takut... kita akan terjebak di dunia ini selamanya."

Mina memegang tangan Maya dengan tegas, mencoba memberi sedikit keberanian. "Kita akan berusaha, Maya. Kita akan melawan, bersama-sama."

Namun, di luar, suara gemuruh itu semakin mendekat, membawa ketegangan yang semakin menggila, seolah-olah dunia ini menunggu untuk mengungkapkan rahasianya yang lebih dalam.

Mina dan Maya berlari dengan cepat, kaki mereka terasa berat, tapi mereka tidak bisa berhenti. Suara gemuruh semakin mendekat, membuat tanah di bawah mereka bergetar. Mereka tahu bahwa apa pun yang terjadi, mereka harus sampai ke pusat dunia ini, tempat yang konon bisa memberikan jawaban.

Akhirnya, mereka sampai di sebuah jurang yang luas, pemandangan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Di hadapan mereka, pemandangan yang menakjubkan dan sekaligus menakutkan terbentang luas. Puluhan naga, dengan sisik berkilau dan taring yang tajam, sedang bertarung di langit gelap. Sinar api mereka menyembur keluar, menghantam tanah dan langit dengan kekuatan dahsyat. Suara raungan naga terdengar menggelegar, menggema ke seluruh dunia yang terbalik ini.

Mina terhenti di tempatnya, matanya terbuka lebar. "Apa... apa yang terjadi di sini?" katanya dengan suara terbata-bata.

Maya menatapnya dengan ekspresi penuh kecemasan. "Ini... ini adalah pusat kekuatan dunia ini. Di sini, naga-naga itu berperang. Mereka adalah penjaga cermin. Mereka melindungi dunia ini dan kekuatannya, dan mereka tidak akan membiarkan siapapun—termasuk kita—menyentuhnya."

Mina merasa seolah-olah tubuhnya membeku. Puluhan naga saling bertarung di atas mereka, mengeluarkan api dan suara dentingan yang mengerikan. Mereka tidak hanya bertarung, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam yang terlihat—seperti ada pertempuran untuk menguasai dunia ini, dunia yang terbalik.

"Jadi, jika kita ingin keluar... kita harus melewati ini?" tanya Mina, suaranya penuh keputusasaan.

Maya mengangguk, matanya memandang pertempuran itu dengan kekhawatiran yang mendalam. "Kita harus mencari cara untuk menghentikan pertempuran ini. Jika kita tidak, cermin itu akan tetap mengikat dunia ini—dan kita akan terjebak selamanya."

Mina merasakan berat di dadanya. Mereka telah sampai sejauh ini, namun perjalanan mereka masih sangat panjang. Mereka harus menemukan cara untuk menghentikan pertempuran naga, atau dunia ini akan semakin hancur, membawa mereka bersama dengan kehancurannya.

Mina menundukkan kepalanya, mencoba untuk fokus di tengah kekacauan pertempuran naga di atas mereka. Matanya tertuju pada sosok yang bergerak di antara puing-puing dan asap, seseorang yang tampaknya tak terpengaruh oleh kekacauan itu.

"Hei, lihat itu!" Mina berbisik, menunjuk dengan jari gemetar. "Ada seseorang di bawah sana... siapa itu?"

Maya mengikuti arah pandang Mina, dan matanya menyipit. "Itu... mungkin seseorang yang tahu cara untuk menghentikan semuanya. Atau bisa jadi... mereka juga terperangkap di sini."

Sosok itu tampak seperti seorang pria muda, mengenakan jubah gelap yang berkibar tertiup angin. Ia bergerak dengan cepat, seolah-olah sudah terbiasa berjalan di tengah pertempuran naga yang mengerikan ini. Meskipun naga-naga itu berkelahi begitu dekat, sosok itu tampaknya tidak terpengaruh, bahkan tidak terlihat takut sedikit pun.

"Maya, apakah kita harus mendekatkan diri padanya?" tanya Mina, suaranya penuh harap. "Mungkin dia tahu bagaimana cara keluar dari sini."

Maya menatap sosok itu dengan hati-hati. "Aku tidak tahu siapa dia, Mina. Tapi sepertinya dia memang tahu sesuatu tentang tempat ini. Kalau kita bisa menemui dia tanpa terlibat dalam pertempuran naga, mungkin dia bisa membantu kita."

Tanpa banyak berpikir, Mina mengangguk dan mulai bergerak dengan cepat ke arah sosok itu, berlari menghindari serpihan puing yang jatuh dari langit akibat pertempuran naga. Maya mengikuti di belakangnya, meskipun ragu-ragu.

Mereka bergerak lebih dekat, dan semakin dekat mereka, semakin jelas bahwa sosok itu memang tahu jalan. Tiba-tiba, sosok itu berhenti dan menoleh, seolah sudah menunggu kedatangan mereka.

"Jangan takut," katanya dengan suara tenang dan dalam, meski situasi di sekitar mereka begitu kacau. "Aku tahu kenapa kalian di sini."

Mina dan Maya terhenti, terkejut, dan saling pandang. Siapa dia? Dan apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini?

Tanpa berpikir panjang, Maya meraih tangan Mina dan menariknya menuruni tebing curam. Mereka meluncur dengan cepat, batu-batu kecil berjatuhan di sekitar mereka, tetapi Maya tetap menggenggam Mina erat-erat.

"Maya! Apa kau yakin ini ide yang bagus?!" teriak Mina panik, mencoba menjaga keseimbangannya.

"Kita tidak punya pilihan lain! Jika dia tahu sesuatu, kita harus menemui dia secepatnya!" jawab Maya dengan suara keras, berusaha mengalahkan suara gemuruh pertempuran naga di atas mereka.

Setiap langkah terasa berbahaya, tetapi akhirnya mereka berhasil mencapai dasar tebing. Debu dan asap memenuhi udara, membuat mereka sedikit terbatuk. Sosok berjubah gelap yang tadi mereka lihat masih berdiri di sana, kini menatap mereka dengan sorot mata tajam seolah sudah menunggu sejak lama.

"Kalian cukup berani datang ke sini," katanya dengan nada tenang. "Tidak banyak yang berani mendekati pertempuran ini, apalagi dari dunia lain."

Mina mencoba mengatur napasnya, lalu menatap pria itu penuh rasa ingin tahu. "Siapa kau? Bagaimana kau tahu kami dari dunia lain?"

Pria itu tersenyum tipis, tetapi matanya tetap serius. "Karena aku juga dulu sepertimu. Terjebak di sini… mencari jalan keluar."

Maya menegang mendengar kata-kata itu. "Jadi, kau tahu bagaimana cara keluar dari dunia ini?"

Pria itu menghela napas dan menatap ke arah pertempuran naga yang masih berlangsung di langit. "Keluar dari sini bukanlah hal yang mudah. Dunia ini bukan hanya terbalik, tapi juga memiliki aturan sendiri. Jika kalian ingin kembali, kalian harus menghadapi inti dari dunia ini—Veilora, sang cermin itu sendiri."

Mina dan Maya saling pandang, perasaan mereka campur aduk antara harapan dan ketakutan. Apakah mereka benar-benar siap menghadapi sesuatu yang telah menjebak mereka di dunia ini?

Tanpa berpikir panjang, Maya meraih tangan Mina dan menariknya menuruni tebing curam. Mereka meluncur dengan cepat, batu-batu kecil berjatuhan di sekitar mereka, tetapi Maya tetap menggenggam Mina erat-erat.

"Maya! Apa kau yakin ini ide yang bagus?!" teriak Mina panik, mencoba menjaga keseimbangannya.

"Kita tidak punya pilihan lain! Jika dia tahu sesuatu, kita harus menemui dia secepatnya!" jawab Maya dengan suara keras, berusaha mengalahkan suara gemuruh pertempuran naga di atas mereka.

Setiap langkah terasa berbahaya, tetapi akhirnya mereka berhasil mencapai dasar tebing. Debu dan asap memenuhi udara, membuat mereka sedikit terbatuk. Sosok berjubah gelap yang tadi mereka lihat masih berdiri di sana, kini menatap mereka dengan sorot mata tajam seolah sudah menunggu sejak lama.

"Kalian cukup berani datang ke sini," katanya dengan nada tenang. "Tidak banyak yang berani mendekati pertempuran ini, apalagi dari dunia lain."

Mina mencoba mengatur napasnya, lalu menatap pria itu penuh rasa ingin tahu. "Siapa kau? Bagaimana kau tahu kami dari dunia lain?"

Pria itu tersenyum tipis, tetapi matanya tetap serius. "Karena aku juga dulu sepertimu. Terjebak di sini… mencari jalan keluar."

Maya menegang mendengar kata-kata itu. "Jadi, kau tahu bagaimana cara keluar dari dunia ini?"

Pria itu menghela napas dan menatap ke arah pertempuran naga yang masih berlangsung di langit. "Keluar dari sini bukanlah hal yang mudah. Dunia ini bukan hanya terbalik, tapi juga memiliki aturan sendiri. Jika kalian ingin kembali, kalian harus menghadapi inti dari dunia ini—Veilora, sang cermin itu sendiri."

Mina dan Maya saling pandang, perasaan mereka campur aduk antara harapan dan ketakutan. Apakah mereka benar-benar siap menghadapi sesuatu yang telah menjebak mereka di dunia ini?

Pria itu menatap Mina dan Maya dengan tajam sebelum akhirnya berkata, "Baiklah, nanti aku akan menjelaskan semuanya. Tapi sekarang, kita harus bergegas pergi dari kekacauan ini."

Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan mulai berjalan cepat melewati reruntuhan dan puing-puing yang berjatuhan akibat pertempuran naga di atas mereka. Maya dan Mina saling pandang sejenak, sebelum akhirnya mengikuti pria itu dengan langkah terburu-buru.

Mina masih merasa kebingungan. "Ke mana kita akan pergi?" tanyanya sambil terus berlari.

"Ada tempat yang aman di ujung lembah ini," jawab pria itu tanpa menoleh. "Di sana, kita bisa berbicara tanpa gangguan."

Maya menoleh ke belakang, melihat puluhan naga masih bertarung dengan ganas di langit. Kilatan api dan cahaya yang menyilaukan terus meledak di sekitar mereka. Jika mereka tetap di sini lebih lama, mereka bisa saja terseret dalam pertempuran itu.

Setelah beberapa saat berlari, akhirnya mereka tiba di sebuah gua yang tersembunyi di antara bebatuan besar. Pria itu masuk lebih dulu, lalu memberi isyarat agar Mina dan Maya mengikutinya.

"Masuklah," katanya dengan nada serius. "Di sini kita aman untuk sementara."

Mina dan Maya melangkah masuk, mencoba mengatur napas mereka yang tersengal. Begitu mereka berada di dalam, pria itu menyalakan obor kecil, membuat bayangan mereka menari di dinding gua yang dingin.

"Baiklah," katanya sambil menatap mereka berdua. "Sekarang aku akan menjelaskan semuanya. Kalian berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini."

Mina dan Maya menelan ludah, bersiap mendengar kebenaran yang selama ini tersembunyi di balik dunia yang terbalik ini.

"Baiklah, sebelum itu, aku ingin memperkenalkan diri," pria itu berkata sambil menatap Mina dan Maya dengan serius. "Namaku Arya. Aku sudah cukup lama di dunia ini."

Mina menelan ludah. "Jadi… bukan hanya Maya yang terjebak di sini?"

Arya mengangguk perlahan. "Aku bahkan tidak tahu sudah berapa lama aku di sini. Waktu tidak berjalan seperti yang kalian kenal di dunia nyata. Aku sudah melihat banyak hal di sini, termasuk pertempuran naga yang kalian lihat tadi. Itu bukan pertempuran biasa—itu adalah pertanda bahwa dunia ini semakin tidak stabil."

Maya mengepalkan tangannya. "Jadi… kau tahu bagaimana cara keluar dari sini?"

Arya terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Aku punya teori. Tapi sebelum kita membahas itu, kalian harus tahu apa sebenarnya dunia ini. Dunia ini bukan sekadar cermin dari dunia nyata. Ini adalah dunia yang diciptakan oleh Veilora, sang cermin yang kalian kenal."

Mina mengerutkan kening. "Veilora… cermin itu hidup?"

Arya mengangguk. "Bukan hanya hidup. Dia adalah penjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia ini. Tapi sesuatu telah berubah… itulah sebabnya dunia ini menjadi kacau, dan kita semua terjebak di dalamnya."

Mina dan Maya saling berpandangan. Jika Veilora adalah kunci dari semua ini, berarti mereka harus menemukan cara untuk berhadapan dengannya. Tapi bagaimana caranya? Dan apa yang sebenarnya terjadi pada dunia ini?

Arya menatap mereka dengan serius. "Jika kalian benar-benar ingin keluar, kita harus menemukan inti kekuatan Veilora. Tapi itu bukan tugas yang mudah. Kalian siap menghadapi kebenaran?"

Mina merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Apa pun yang akan mereka temui selanjutnya, ia tahu tidak ada jalan untuk kembali.

"Tapi, apa yang terjadi dengan para naga tersebut, kenapa mereka saling melawan?". Ucap mina

Arya menatap Mina sejenak sebelum menjawab, suaranya tenang tetapi penuh ketegangan. "Pertanyaan yang bagus," katanya. "Para naga itu bukan hanya makhluk biasa di dunia ini. Mereka adalah penjaga keseimbangan Veilora. Biasanya, mereka tidak akan saling bertarung… kecuali sesuatu telah mengganggu keseimbangan dunia ini."

Mina mengernyit. "Mengganggu keseimbangan? Apa maksudmu?"

Maya yang sejak tadi mendengarkan dengan cermat akhirnya ikut berbicara, suaranya pelan namun penuh keyakinan. "Itu berarti ada sesuatu yang memecah harmoni dunia ini… sesuatu yang membuat para naga kehilangan kendali."

Arya mengangguk. "Tepat. Veilora adalah pusat dari dunia ini. Jika keseimbangannya terganggu, maka seluruh dunia akan ikut terpengaruh. Naga-naga itu kini saling melawan bukan karena keinginan mereka sendiri, tetapi karena kekuatan Veilora yang mulai melemah… atau mungkin, ada yang berusaha merebut kekuatannya."

Mina merasakan hawa dingin menjalar di tubuhnya. "Jadi… ada seseorang yang mencoba mengambil alih kekuatan Veilora?"

Arya menatapnya dalam-dalam. "Bukan seseorang. Tapi sesuatu. Dan jika kita tidak menghentikannya, dunia ini akan runtuh… dan kita akan ikut hancur bersamanya."

Keheningan memenuhi gua, hanya suara napas mereka yang terdengar. Maya mengepalkan tangannya erat, seakan mencoba menahan rasa takut dan kekhawatiran.

"Kalau begitu, kita harus bertindak sekarang," kata Maya tegas. "Kita harus mencari Veilora dan menghentikan semua ini sebelum terlambat!"

Arya tersenyum tipis, tetapi di matanya masih ada kekhawatiran. "Aku harap kalian benar-benar siap. Karena perjalanan ini tidak akan mudah… dan mungkin, tidak ada jalan kembali."

Mina menelan ludah, tetapi kemudian mengangguk. "Kami tidak punya pilihan lain. Ayo, kita temukan Veilora."

Di luar, suara pertempuran naga masih menggema, seolah dunia ini sendiri sedang menjerit meminta pertolongan.

"tidak usah secepat itu, kita harus beristirahat. Kalian tidak mau menjadi santapan makhluk hitam di sini kan?". Ucap Arya, lanjutnya. " Makhluk hitam itu sebenarnya mempunyai tujuan, dan tujuannya itu ada pada rajanya. Yaitu cruel, yah sesuai namanya."

Mina dan Maya saling pandang, mencoba mencerna kata-kata Arya.

"M-Makhluk hitam?" tanya Mina dengan suara sedikit gemetar.

Arya menghela napas dan duduk di salah satu batu dalam gua. "Ya, makhluk-makhluk yang berkeliaran di dunia ini saat malam tiba. Mereka muncul dari bayangan, bergerak tanpa suara, dan berburu siapa pun yang mereka temui. Itulah kenapa kita harus beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Jika kita kelelahan dan bertemu mereka, kita tidak akan punya kesempatan untuk melawan."

Maya menyilangkan tangannya. "Jadi, makhluk itu bukan sekadar monster biasa? Apa hubungannya dengan Cruel?"

Arya menatapnya dengan ekspresi serius. "Makhluk-makhluk itu adalah pengikutnya. Mereka tidak berpikir sendiri, hanya bergerak atas perintah rajanya, Cruel. Dia adalah kegelapan yang perlahan mengambil alih dunia ini. Aku tidak tahu dari mana dia berasal, tapi satu hal yang pasti—dia menginginkan kekuatan Veilora."

Mina menelan ludah. "Jadi… jika Cruel mendapatkan kekuatan Veilora, dunia ini akan benar-benar hancur?"

Arya mengangguk. "Bukan hanya hancur. Dunia ini akan menjadi miliknya. Dan jika itu terjadi, mungkin tidak hanya dunia ini yang terpengaruh… tapi juga dunia kalian."

Maya mengepalkan tangannya erat. "Jadi kita tidak hanya harus menemukan Veilora, tapi juga harus menghentikan Cruel?"

"Benar," jawab Arya. "Tapi pertama-tama, kita butuh kekuatan dan strategi. Untuk itu, kita harus beristirahat."

Mina masih merasa gelisah, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka sudah melewati begitu banyak hal hari ini. Beristirahat sejenak mungkin memang keputusan terbaik.

Namun, jauh di dalam gua, terdengar suara samar, seperti bisikan dari bayangan. Seolah kegelapan di dunia ini mulai bergerak, menyadari kehadiran mereka.

Arya menatap Mina dan Maya dengan serius, matanya tajam seolah mencoba mengusir rasa takut yang mulai tumbuh dalam diri mereka. "Abaikan saja suara itu, jangan terlalu banyak mendengarnya," katanya dengan suara dalam yang penuh ketegasan.

Mina menoleh, mencoba mendengar lebih jelas suara samar yang terdengar dari bayangan gua. Seperti bisikan yang tidak bisa dipahami, berkelit di antara dinding gua yang gelap. "Tapi… suara itu terdengar begitu nyata…"

Arya mengangkat tangan, memberi isyarat untuk tenang. "Itulah yang mereka lakukan. Makhluk-makhluk hitam itu mencoba menembus pikiranmu, membuatmu terperangkap dalam ketakutan. Mereka memanfaatkan setiap rasa takut yang ada, mengalir ke dalam pikiran kalian. Jika kalian mendengarkan, mereka bisa memanipulasi kalian."

Maya mengerutkan dahi. "Jadi, kalau kita biarkan suara itu mempengaruhi kita, kita bisa jadi sasaran mereka?"

"Persis," jawab Arya dengan tenang. "Mereka hanya makhluk kegelapan, tapi mereka sangat licik. Tidak hanya dalam bentuk fisik, mereka juga menyerang dengan cara lain—dengan ketakutan, dengan ilusi. Jadi jangan biarkan diri kalian terjebak dalam permainan mereka."

Mina menarik napas panjang, mencoba mengusir ketegangan yang ada. "Baiklah. Kami akan mencoba tidak mendengarkan."

Arya mengangguk puas. "Itulah yang terbaik. Sekarang istirahatlah. Kita akan melanjutkan perjalanan begitu malam ini mereda. Kekuatan kalian sangat penting untuk menghadapi Cruel dan para makhluk hitam itu."

Maya duduk di dekat Arya, sementara Mina memilih tempat yang agak jauh dari bayangan gelap di gua, meskipun suara bisikan itu masih terdengar samar-samar. Mereka berdua berusaha menenangkan diri, berusaha tidur meskipun hati mereka penuh dengan kekhawatiran akan apa yang akan datang.