Hari ini adalah hari dimana ke-enam bersahabat Nala, Harsa, Juna, Jendra, Cakra, dan Jingga berkunjung ke sebuah pulau. Setelah merencanakan perjalanan ini selama beberapa hari mereka memutuskan pergi kesana saat hari libur tiba, walau sebelumnya harus berdebat dengan Cakra yang ingin langsung pergi hari itu juga.
Pulau yang ternyata bernama pulau Melati itu terletak tidak jauh dari garis pantai. Hanya perlu menyeberang dengan kapal sederhana milik warga sekitar untuk sampai di sana. Pulau itu juga ternyata hanyalah pulau yang sangat kecil, hanya ada satu desa di sana.
Sesampainya di pulau itu, mereka disambut oleh pemandangan yang sangat indah. Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi di sepanjang garis pantai, pasir putih pun membentang luas, serta air laut yang sangat jernih terlihat. Namun, suasana pulau itu terlihat sepi, mungkin karena pulau itu memang jarang penduduknya.
Juna dan Jendra sibuk mengabadikan momen di sana, mereka memaksa ikut dengan dalih ingin liburan. Sementara Nala, Harsa, dan Cakra terlihat berjalan mengikuti Jingga dengan raut wajah yang serius.
Tak butuh waktu lama semuanya sampai di kediaman nenek Jingga untuk beristirahat sebentar. Yang paling muda mengetuk pintu rumah sederhana itu.
"Nenek." Sapa Jingga menyapa sang nenek yang membukakan pintu dan memeluknya.
"Ya ampun, cucu nenek datang."
"Hehe, iya nek. Ini Jingga juga bawa teman-teman Jingga." Ucapnya dan memperkenalkan sahabat-sahabatnya.
Nenek pun tersenyum senang karena memang Jingga jarang sekali membawa teman-temannya berkunjung, hanya pernah sekali dahulu. Nenek mempersilahkan mereka masuk sesudah bersalaman, ah suasana rumahnya pasti akan sangat ramai mengingat nenek hanya tinggal seorang diri disana.
Saat mereka masuk suasana hangat langsung menyelimuti mereka. Nenek Jingga mempersilahkan mereka duduk sebelum membawakan air minum untuk masing-masing dari mereka.
"Terimakasih, Nek." Ucap mereka bersamaan.
Setelah melepas dahaga, Nala, Harsa, dan Cakra yang memang memiliki tujuan datang ke pulau ini bertanya dengan penasaran pada Nenek Jingga, "Nek, di pulau ini ada pohon besar yang bunganya berwarna merah nggak?" Tanya Nala.
Nenek Jingga mengerutkan keningnya, "Pohon? Nenek belum pernah mendengar tentang pohon seperti itu disini, Nak. Mungkin ada mungkin juga tidak, Nenek tidak tau." Jawab Nenek Jingga.
Harsa dan Cakra saling pandang, lalu menatap Nenek Jingga kembali, "Beneran, Nek? Coba diingat lagi Nek, soalnya kami harus menemukan pohon itu." Ucap Harsa.
"Nenek benar-benar tidak tau, nak. Coba kamu tanya ke warga yang lain mungkin saja mereka lebih tau."
---
Dengan semangat yang membara, Nala, Harsa, dan Cakra diikuti Jingga, Juna, dan Jendra pun bergegas keluar rumah untuk mencari informasi lebih lanjut. Mereka menyusuri jalan setapak, menanyakan pada setiap orang yang mereka temui tentang pohon itu. Namun, sayangnya, tidak ada satupun orang yang tahu tentang keberadaan pohon tersebut.
"Pak, bapak benar-benar nggak tau, pak? Mungkin bapak lupa." Ucap Harsa yang tengah berbincang dengan seorang lelaki paruh baya.
"Bapak nggak tau, dek." Ucap bapak
"Pak, pohonnya itu pohon yang sangat besar dan bunganya warna merah. Pasti mencolok banget, bapak benar nggak tau? Saya mohon, coba diingat lagi, pak!"
"Maaf dek, bapak benar nggak tau apa-apa" Jawab bapak itu dan meninggalkan Harsa.
Harsa pasrah lalu menghampiri teman-temannya yang menunggu tak jauh dari dirinya. Matanya menatap Nala dan Cakra yang menggelengkan kepala, menandakan merekapun tak mendapatkan informasi apapun.
"Sebenarnya kalian cari apa, kak?" Tanya Jingga penasaran.
Sebenarnya bukan hanya Jingga tetapi Juna dan Jendra pun penasaran. Mereka datang ke pulau ini setelah Cakra, Harsa, dan Nala memaksa untuk Jingga mengantarkan mereka tanpa tau apa tujuannya, lalu saat di sini mereka malah mencari sebuah pohon? Yang benar saja, tidak masuk akal.
Nala, Harsa, dan Cakra memilih tak menjawab pertanyaan Jingga, dan malah mengajak untuk mencari informasi pohon itu lagi.
Waktu pun berlalu dan tak ada hasil apapun yang didapatkan. Nala, Harsa, dan Cakra berkumpul sembari menunggu kedatangan tiga sahabat mereka yang ikut mencari karena permintaan Cakra.
"Gue nggak dapat informasi apapun." Ucap Nala menghela nafas panjang, merasa lelah. Harsa dan Cakra pun memberitahukan hal yang serupa dengan Nala membuat mood mereka semua bertambah turun.
"Guys, jangan nyerah dong. Kita tetap harus semangat." Ujar Harsa, "Dari kemarin kita juga nggak dapat petunjuk apapun, tapi kita nggak nyerah dan akhirnya dapat kan? Kita ada disini juga karena kita yang nggak putus asa." Ucap Harsa, berusaha menyemangati teman-teman sekaligus dirinya sendiri.
Setelah kedatangan Juna, Jendra, dan Jingga yang tak membawa hasil apapun mereka memutuskan kembali ke kediaman nenek Jingga, mengingat hari juga mulai gelap.
Mereka kembali ke rumah Nenek Jingga dengan wajah yang lesu. Nenek yang penasaran pun menanyakan apa yang terjadi, "Kok pada lesu banget, nak?"
Mereka lalu menceritakan hasil pencarian mereka yang tak mendapatkan hasil apapun.
Nenek Jingga menarik nafas panjang merasa kasihan, "Sebenarnya ada sebuah cerita mengenai pohon besar yang ada di tengah hutan." Ucap Nenek mengalihkan atensi semua orang.
"Dahulu, di desa ini sempat ada sebuah peristiwa yang cukup mengerikan. Mungkin sudah lebih dari lima puluh tahun, waktu itu nenek masih sangat kecil."
"Peristiwa apa, nek?" Tanya Nala penasaran.
"Dulu, di desa ini ada banyak warga yang menghilang tanpa jejak. Keluarga mereka sudah melaporkan ke polisi dan pencarian besar-besaran pun di lakukan. Waktu itu mungkin lebih dari satu bulan pencarian tetapi tak mendapat hasil apapun, bahkan di tengah-tengah waktu pencarian itu laporan warga yang hilang terus bertambah. Hingga suatu hari ada laporan yang memberitahukan ada seorang warga yang sedang mencari kayu bakar di hutan tak sengaja melihat banyak mayat warga yang hilang tergeletak di dekat pohon besar yang sedang berbunga itu, bunganya juga berwarna merah. Suasananya sangat ricuh dan banyak warga lain yang melihat proses evakuasi."
"Lalu, pelakunya gimana, nek? Apa itu kasus pembunuhan?"
"Entahlah, nenek tidak tau. Sampai saat ini pelakunya belum pernah di temukan. Dan, nenek juga tidak tau apakah itu kasus pembunuhan atau bukan, karena saat mayat-mayat itu ditemukan tak ditemukan luka apapun baik di luar atau di dalam tubuh mereka, membuat Polisi jadi tidak bisa mengetahui penyebab kematiannya." Jelas nenek panjang lebar.
"Semenjak itu warga sepakat untuk tidak membicarakan apapun mengenai pohon itu dan menganggap hutan itu berbahaya. Peristiwa kelam yang terjadi benar-benar membuat trauma yang dalam."
Cerita dari Nenek Jingga membuat semuanya terdiam, bahkan raut terkejut terlihat jelas di wajah Nala.
"Lebih baik kita nggak mencari lebih jauh lagi." Ucap Juna tiba-tiba, Jendra dan Jingga pun mengangguk menyetujui.
"Benar, Nak. Karena itu, nenek tidak ingin kalian pergi ke tempat itu karena memang sangat berbahaya."
Namun, rasa penasaran Nala, Harsa, dan Cakra sudah terlanjur membuncah. Mereka tetap bertekad untuk mencari pohon itu meski harus menghadapi segala risiko. Karena, bagaimanapun hanya ini petunjuk yang mereka dapatkan agar bisa kembali ke dunia mereka.
"Kami akan tetap pergi, Nek. Ada sesuatu yang harus kami cari tau." ucap Nala dengan yakin.
Jendra membelalakkan matanya mendengar ucapan Nala, "Na, jangan gila lo!"
"Iya, Na. Terlalu beresiko kalau kita tetap nyari tau, kita nggak tau apa yang bakalan terjadi nanti, Na." Sahut Juna.
"Iya kak, bahkan pelakunya aja belum ketemu sampai sekarang." Jingga pun ikut menahan.
"Tapi kejadian itu udah lebih dari lima puluh tahun, mungkin aja udah nggak ada apa-apa di sana." Ucap Harsa.
"Kalau kalian nggak ikut nggak apa-apa kok, biar gue, kak Nala, sama bang Harsa aja yang kesana." Sahut Cakra tetap memaksa untuk pergi mencari pohon itu. Nala dan Harsa mengangguk mengiyakan ucapan Cakra.
"Tapi, Cak-"
"Sorry kak, tapi ini benar-benar penting buat gue dan gue tetap harus kesana."
---
Malam itu, setelah makan malam satu persatu dari mereka mulai beranjak ke kamar untuk beristirahat, mereka sudah sepakat untuk sekamar berenam di kamar Jingga. Walau sedikit sempit tapi tak apa, mereka tetap merasa nyaman. Posisinya yang ada di kasur Jingga dan Cakra, lalu yang tidur di lantai dengan karpet berbulu tebal ada Harsa, Jendra, Juna, dan Nala yang berada paling pojok dekat dengan dinding.
Malam kian larut, jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Terlihat ke-enam bersahabat itu sudah terlelap, kecuali Nala.
Nala masih belum bisa tidur, pikirannya masih terus saja memikirkan pohon yang akan mereka cari esok hari. Ya, pada akhirnya tidak ada yang bisa menghentikan Nala, Harsa, dan Cakra untuk kesana. Nala menghela nafas panjang, semoga tidak ada apapun yang terjadi besok.
"Na, lo belum tidur?"
Nala menolehkan kepalanya kebelakang, terlihat Juna tengah memandanginya. Ah, ternyata ada yang masih terjaga.
"Kenapa belum tidur?" Karena tak ada jawaban Juna pun bertanya ulang.
"Gue nggak bisa tidur, Jun. Gue kepikiran pohon itu terus." Sahut Nala.
"Kenapa, lo berubah pikiran nggak mau kesana?"
Nala menggelengkan kepalanya. "Nggak, bukan itu. Gue tetap akan kesana, cuma agak kepikiran aja."
Juna menghela napas panjang. "Na, gue udah bilang kan, berbahaya kalau kita kesana."
"Gue tahu, Jun. Tapi, gue ngerasa kalau gue tetap harus pergi, ada sesuatu yang harus gue cari tau di sana."
Juna menggelengkan kepala. "Na, jangan keras kepala, lo bisa aja membahayakan nyawa lo dan juga yang lain."
Nala terdiam mendengar ucapan Juna. Ia tahu bahwa Juna sangat mengkhawatirkannya. Namun, tekadnya untuk mencari pohon itu sudah bulat.
"Gue minta maaf, Jun. Tapi gue tetap harus pergi."
Juna terdiam, sedikit menggertakkan giginya karena Nala yang masih tetap egois dan memaksa untuk pergi ke sana.
"Sebenarnya apa yang kalian cari sih, Na?" Tanya Juna, menatap mata Nala dalam. "Ada yang kalian sembunyikan dari gue, Jendra, sama Jingga kan?" Lanjutnya.
Nala terdiam. "Maaf, gue nggak bisa bilang ke lo."
"Na..."
"Gue minta maaf kalau gue egois, Jun. Gue janji buat hati-hati besok."
"Tapi, Na-"
"Udah ya, Jun. Gue ngantuk mau tidur dulu, gue nggak mau kesiangan besok." Ucap Nala memotong kalimat Juna.
Terlihat Nala membalikkan badannya menghadap ke arah dinding kembali, seolah ia enggan untuk melanjutkan pembicaraan.
Juna menatap punggung Nala dengan sedih. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menghentikan Nala, Harsa, ataupun Cakra. Dalam hatinya ia berdoa, semoga besok tidak terjadi apa-apa dan mereka semua bisa pulang dengan selamat tanpa kurang apapun.
-To be Continued-