Rania menatap pantulan dirinya di cermin besar di depan meja rias. Gaun pengantin putih yang membalut tubuhnya terlihat begitu indah, tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan seorang pengantin. Hatinya terasa hampa. Pernikahan ini bukanlah sesuatu yang ia impikan, melainkan sebuah paksaan.
Di luar kamar, suara tamu undangan yang bercengkerama terdengar samar. Semua orang mengira hari ini adalah momen bahagia bagi dirinya dan pria yang akan menjadi suaminya. Namun, hanya dia yang tahu bahwa pernikahan ini tidak lebih dari sebuah kesepakatan bisnis.
Tok… tok…
Pintu kamar diketuk, lalu terbuka tanpa menunggu jawaban. Seorang wanita paruh baya masuk dengan raut wajah khawatir. Itu adalah Ibunya, Ny. Rahayu.
"Kamu sudah siap, Nak?" tanya Ibunya dengan suara lembut, meskipun ada kecemasan yang tersembunyi dalam tatapannya.
Rania mengangguk kecil, meski hatinya masih penuh dengan kebimbangan. "Iya, Bu."
Ny. Rahayu menghela napas, lalu menggenggam tangan putrinya. "Maafkan Ibu, Rania. Jika saja keadaan berbeda, Ibu tidak akan membiarkanmu menikah seperti ini."
Rania tersenyum lemah. "Tidak apa-apa, Bu. Aku akan baik-baik saja."
Kata-kata itu lebih ditujukan untuk menenangkan sang Ibu daripada dirinya sendiri. Ia tahu, hidupnya setelah ini tidak akan mudah. Rafi Pratama—pria yang akan menjadi suaminya—terkenal sebagai pria dingin dan tidak berperasaan.
Pernikahan yang Penuh Ketegangan
Ruang pernikahan dipenuhi tamu-tamu dari kalangan elite. Para pebisnis ternama, pengusaha sukses, dan selebritas hadir untuk menyaksikan pernikahan dua keluarga berpengaruh ini.
Di tengah ruangan, Rafi berdiri tegap dengan ekspresi dingin. Setelan jas hitamnya membuatnya tampak lebih berwibawa, tetapi mata tajamnya memperlihatkan ketidaksenangan. Ia tidak ingin pernikahan ini terjadi.
Ketika Rania berjalan masuk dengan langkah pelan, semua mata tertuju padanya. Ia terlihat anggun, tetapi ekspresi wajahnya menyiratkan kegugupan.
Rafi tidak menyambutnya dengan senyuman atau tatapan hangat. Sebaliknya, pria itu hanya meliriknya sekilas sebelum kembali menatap ke depan, seolah-olah pernikahan ini hanya sebuah formalitas belaka.
Ketika penghulu mulai membacakan akad, suasana terasa semakin tegang.
"Aku terima nikahnya Rania Putri binti Surya dengan maskawin tersebut, dibayar tunai."
Kata-kata itu keluar dari mulut Rafi tanpa sedikit pun emosi.
Semua tamu bertepuk tangan, tetapi tidak ada kebahagiaan di antara kedua mempelai.
Rania menundukkan kepala, berusaha menahan gejolak di hatinya. Ia sudah resmi menjadi istri Rafi Pratama—seorang pria yang bahkan tidak mau menatapnya saat mengucapkan akad.
Malam Pertama yang Dingin
Setelah resepsi pernikahan yang melelahkan, Rania dibawa ke rumah baru mereka—sebuah penthouse mewah di pusat kota. Interiornya modern dan megah, tetapi suasananya terasa begitu dingin, sama seperti pemiliknya.
Begitu masuk ke dalam kamar, Rafi melempar jasnya ke sofa dan membuka beberapa kancing kemejanya. Ia tidak mengatakan apa pun sejak mereka meninggalkan tempat resepsi.
Rania berdiri canggung di tengah kamar, merasa seperti orang asing di rumah sendiri.
"Kita tidur di kamar yang sama?" tanyanya hati-hati.
Rafi, yang sedang menuangkan minuman ke gelasnya, menoleh dengan tatapan tajam. "Jangan salah paham. Aku tidak menikahimu karena aku menginginkannya."
Kata-kata itu menusuk hati Rania.
Pria itu mendekatinya, berdiri tepat di hadapannya. Mata gelapnya menatap lurus ke arah Rania, membuat wanita itu merasa terintimidasi.
"Aku tidak mencintaimu, Rania," lanjutnya dengan nada rendah, tetapi dingin. "Pernikahan ini hanya untuk kepentingan bisnis. Jangan berharap lebih."
Rania menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk.
"Aku mengerti," jawabnya pelan.
Rafi mendengus, lalu berjalan menuju balkon tanpa berkata apa-apa lagi. Rania tahu, malam ini akan menjadi awal dari kehidupan baru yang penuh tantangan.
Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja.
Rania menatap pintu kamar yang tertutup rapat, menghela napas panjang sebelum duduk di tepi ranjang. Malam pertama pernikahannya dengan Rafi sudah dimulai, tetapi tidak ada kebahagiaan atau keintiman di antara mereka.
Ia mencoba memahami situasinya. Pernikahan ini memang bukan atas dasar cinta, dan ia tidak berharap Rafi tiba-tiba menjadi pria yang hangat dan penyayang. Namun, perlakuan dingin dan kata-kata tajamnya tadi tetap saja menyakitkan.
Ketika ia masih larut dalam pikirannya, suara langkah kaki terdengar mendekat. Pintu balkon terbuka, dan Rafi masuk dengan ekspresi datar. Pria itu berjalan ke arah lemari, membuka laci, lalu mengambil sebatang rokok.
"Kita akan membuat beberapa aturan," katanya tanpa menoleh.
Rania menegakkan punggungnya, menunggu apa yang akan dikatakannya.
Rafi menyalakan rokoknya, lalu bersandar di meja dengan tatapan tajam yang membuat Rania sedikit gugup.
"Pertama, jangan menggangguku. Aku tidak terbiasa tinggal dengan orang lain, jadi jangan berharap aku akan bersikap manis padamu," ucapnya dingin.
Rania menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit yang kembali menyeruak.
"Baik," jawabnya singkat.
"Dua, jangan pernah mencampuri urusanku—baik itu bisnis, kehidupan pribadi, atau apa pun yang kulakukan. Aku tidak ingin ada wanita yang terlalu ikut campur dalam hidupku."
Sekali lagi, Rania hanya mengangguk. Ia memang tidak berniat mengganggu kehidupan Rafi.
"Dan yang terakhir…" Rafi menghembuskan asap rokoknya sebelum menatapnya dengan tajam. "Jangan pernah berharap aku akan mencintaimu."
Hati Rania mencelos.
Ia sudah tahu sejak awal bahwa pernikahan ini tidak berdasarkan cinta. Tapi mendengarnya langsung dari mulut Rafi tetap saja menyakitkan.
Namun, ia tetap berusaha tenang. Dengan suara lembut, ia menjawab, "Aku mengerti."
Rafi menatapnya sejenak, seolah terkejut dengan responsnya yang begitu tenang. Ia mungkin mengira Rania akan menangis atau memohon agar ia lebih lembut. Tapi tidak—wanita itu hanya menerimanya dengan lapang dada.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rafi mematikan rokoknya dan berjalan menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian, suara air terdengar, menandakan bahwa pria itu sedang mandi.
Rania menatap ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Hidupnya baru saja berubah drastis. Ia sekarang adalah istri dari seorang pria yang bahkan tidak ingin menyentuhnya.
Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja. Jika Rafi memilih untuk bersikap dingin, maka ia akan bersabar.
Karena jauh di dalam hatinya, ia percaya bahwa setiap hati yang beku pasti bisa mencair dengan kehangatan yang cukup.
Setelah beberapa saat, suara air di kamar mandi berhenti. Rania buru-buru menarik selimut dan berbaring di sisi tempat tidur, membelakangi arah kamar mandi. Ia tidak ingin terlihat seperti sedang menunggu Rafi keluar.
Pintu kamar mandi terbuka, dan ia bisa mendengar langkah kaki pria itu menuju lemari. Suara gesekan hanger terdengar ketika Rafi mengganti pakaian. Rania memejamkan mata, berpura-pura sudah tertidur.
Namun, detik berikutnya, suara Rafi membuatnya kembali sadar.
"Aku akan tidur di sofa."
Rania menoleh perlahan dan mendapati Rafi sudah membawa bantal serta selimut tipis ke sofa panjang di ujung ruangan. Ia sedikit terkejut.
"Tidur saja di ranjang. Aku bisa di sisi lain," kata Rania pelan.
Rafi meliriknya sekilas, lalu mendengus. "Aku tidak perlu berbagi ranjang dengan orang asing."
Kata-katanya menusuk, tapi Rania tidak menunjukkan reaksi. Ia hanya menunduk dan kembali memejamkan mata.
Lama setelah itu, suasana menjadi sangat sunyi. Hanya suara detak jam dan gemerisik angin dari luar yang terdengar.
Rania menghela napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan sakit di hatinya. Ia tahu ini akan sulit. Ia tahu Rafi tidak akan menerimanya dengan mudah.
Namun, jauh di dalam hatinya, ia berjanji bahwa ia tidak akan menyerah.
Karena meskipun pernikahan ini dimulai dengan kebencian, ia ingin percaya bahwa suatu hari nanti, ada kesempatan bagi mereka untuk saling memahami.