Chereads / Terpaksa Menikah dengan CEO Dingin / Chapter 2 - Suami yang Acuh

Chapter 2 - Suami yang Acuh

Matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar luas yang masih diselimuti keheningan. Rania perlahan membuka matanya, tubuhnya terasa sedikit kaku setelah tidur dalam posisi yang sama semalaman.

Ia menoleh ke arah sofa dan mendapati bahwa Rafi masih tertidur. Wajah pria itu terlihat jauh lebih tenang saat tidur—berbeda dengan ekspresi dingin yang selalu ia tunjukkan saat terjaga.

Tanpa sadar, Rania mengamati suaminya lebih lama. Garis wajahnya tegas, hidungnya mancung sempurna, dan bibir tipisnya tampak sedikit mengerut.

Tiba-tiba, pria itu bergerak.

Rania buru-buru memalingkan wajahnya dan bangkit dari tempat tidur. Ia tidak ingin ketahuan sedang memperhatikannya.

Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju kamar mandi, tetapi suara berat Rafi menghentikannya.

"Kamu lihat apa?"

Rania membeku sejenak, lalu menoleh. Rafi sudah duduk di sofa, menatapnya dengan mata menyipit.

"Tidak," jawabnya cepat. "Aku hanya bangun lebih dulu."

Pria itu mendengus pelan sebelum berdiri dan merenggangkan tubuhnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan ke kamar mandi dan menutup pintunya dengan sedikit kasar.

Rania menghela napas.

Hari pertama setelah pernikahan, dan sikap Rafi masih sama dinginnya.

Sarapan Tanpa Kehangatan

Satu jam kemudian, Rania sudah duduk di meja makan, menunggu Rafi yang masih sibuk dengan ponselnya.

Meja di hadapan mereka penuh dengan berbagai hidangan lezat—semuanya hasil masakan asisten rumah tangga mereka. Namun, suasana yang tercipta jauh dari kata hangat.

Rafi mengambil secangkir kopi dan menyesapnya tanpa mengangkat wajahnya dari layar ponsel.

"Kamu tidak makan?" tanya Rania akhirnya.

Rafi meletakkan ponselnya dan menatapnya sekilas. "Aku tidak terbiasa sarapan dengan orang lain."

Jawaban itu membuat Rania terdiam.

Rafi kembali menyesap kopinya, lalu berdiri. "Aku pergi."

Tanpa menunggu respons, ia mengambil jasnya dan berjalan keluar rumah.

Rania hanya bisa menatap punggung suaminya yang menghilang di balik pintu.

Ia tahu, perjalanan ini akan sulit.

Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja.

Rania menatap meja makan yang masih penuh dengan makanan yang tak tersentuh. Tangannya perlahan menggenggam sendok, tetapi ia kehilangan selera makan setelah melihat perlakuan Rafi yang begitu dingin.

Ia tidak bodoh. Rafi jelas tidak menganggapnya sebagai istri—bahkan mungkin sebagai manusia pun tidak.

Menghela napas, Rania akhirnya memutuskan untuk tetap makan. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin membuat tubuhnya lemah hanya karena merasa sakit hati.

Saat ia hendak menyendok nasi ke piringnya, seorang wanita paruh baya yang merupakan kepala asisten rumah tangga di rumah itu mendekat.

"Bu Rania, apa saya perlu membuang makanan yang tidak dimakan Tuan Rafi?" tanya wanita itu sopan.

Rania mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. "Tidak perlu, Bu Sita. Biarkan saja untuk nanti."

Bu Sita tampak ragu. "Biasanya, kalau Tuan Rafi tidak menyentuh makanan, beliau tidak akan memakannya sama sekali."

Rania terdiam sejenak.

Ia tahu Rafi memang keras kepala, tetapi ia juga tidak ingin menyia-nyiakan makanan yang sudah dibuat dengan susah payah.

"Kalau begitu, bungkus saja untuk makan siangnya di kantor," kata Rania akhirnya.

Bu Sita mengangguk dan segera menyiapkan makanan yang dimaksud.

Sementara itu, Rania kembali melanjutkan sarapannya, meski pikirannya masih dipenuhi dengan sikap suaminya yang begitu acuh.

Perhatian Kecil yang Tak Terduga

Beberapa jam kemudian, Rania menghabiskan waktunya di ruang kerja kecil yang ada di rumah itu. Ia memang sudah tidak bekerja sejak pernikahannya, tetapi bukan berarti ia ingin hanya berdiam diri.

Ia membaca beberapa artikel bisnis di laptopnya, mencoba memahami dunia yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan Rafi.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bu Sita.

"Bu Rania, makanan yang Anda siapkan tadi sudah dimakan oleh Tuan Rafi di kantor."

Rania menatap layar ponselnya dengan sedikit terkejut.

Rafi memakan makanan yang ia siapkan?

Mungkin ini bukan sesuatu yang besar, tetapi tetap saja, ini di luar dugaannya.

Ia tersenyum kecil.

Mungkin… hanya mungkin… masih ada sedikit harapan untuk membuat Rafi melihatnya sebagai seorang istri.

Bab 3 – Suami yang Acuh (Lanjutan)

Rania menatap layar ponselnya cukup lama, membaca ulang pesan dari Bu Sita.

"Bu Rania, makanan yang Anda siapkan tadi sudah dimakan oleh Tuan Rafi di kantor."

Entah kenapa, ada perasaan hangat di hatinya.

Ia tidak berharap banyak, tetapi setidaknya ini membuktikan bahwa Rafi tidak sepenuhnya mengabaikan keberadaannya. Meskipun pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun sebelum pergi tadi pagi, setidaknya ia tetap memakan makanan yang disiapkannya.

Apakah itu berarti sesuatu?

Rania menggeleng pelan. Tidak, mungkin ia hanya berpikir terlalu jauh. Rafi bisa saja makan karena lapar, bukan karena peduli padanya.

Namun, perasaan kecil di hatinya tetap bertahan.

Setidaknya, ini awal yang baik.

Kepulangan yang Masih Dingin

Hari berlalu dengan cepat, dan sebelum ia menyadarinya, langit sudah mulai gelap. Rania duduk di ruang tamu, menunggu Rafi pulang.

Ketika akhirnya suara mobil terdengar di halaman depan, ia buru-buru berdiri. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya—menyambutnya di depan pintu? Atau pura-pura sibuk agar tidak terlihat terlalu menunggu?

Sebelum ia bisa memutuskan, pintu terbuka, dan Rafi masuk dengan ekspresi lelah. Pria itu melepas jasnya, lalu melemparkannya ke sofa.

Rania menelan ludah.

"Selamat datang," katanya pelan.

Rafi hanya meliriknya sekilas. Tanpa membalas, ia berjalan melewatinya begitu saja menuju kamarnya.

Rania menggigit bibirnya, mencoba menahan kekecewaan yang muncul.

Ia tidak boleh berharap terlalu cepat.

Namun, sebelum pria itu benar-benar menghilang di balik pintu, ia tiba-tiba berhenti sejenak.

"Kau menyiapkan makan malam?" tanyanya tanpa menoleh.

Rania terkejut. Ini pertama kalinya Rafi menanyakan sesuatu tentangnya sejak mereka menikah.

"I-iya, aku sudah menyiapkan makanan di meja," jawabnya cepat.

Rafi tidak mengatakan apa-apa lagi, tetapi ia berjalan ke ruang makan dan duduk.

Rania mengikuti dengan hati-hati, lalu mulai menyajikan makanan untuknya.

Pria itu makan dalam diam, tanpa komentar apa pun. Namun, bagi Rania, ini sudah cukup.

Setidaknya, untuk pertama kalinya, mereka makan bersama.

Dan mungkin, ini adalah langkah pertama menuju perubahan kecil di hati Rafi.

Suasana makan malam terasa begitu sunyi. Rania duduk di seberang Rafi, mengaduk makanannya tanpa benar-benar lapar. Sesekali, ia melirik pria di depannya, berharap ada satu atau dua kata yang keluar dari mulutnya.

Namun, Rafi tetap diam, hanya fokus pada makanannya.

Setelah beberapa saat, pria itu akhirnya meletakkan sendoknya. "Makanannya cukup enak," katanya singkat sebelum berdiri dan berjalan pergi.

Rania membeku. Itu bukan pujian langsung, tetapi bagi pria seperti Rafi, ini sudah lebih dari cukup.

Senyum kecil muncul di wajahnya. Mungkin ini awal yang baik.