Chereads / Terpaksa Menikah dengan CEO Dingin / Chapter 3 - Celah Hati yang Membeku

Chapter 3 - Celah Hati yang Membeku

Rania terbangun lebih awal pagi itu. Udara dingin masih menyelimuti rumah megah yang kini menjadi tempat tinggalnya, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya.

Ia melangkah ke dapur, membantu para asisten rumah tangga menyiapkan sarapan, meskipun mereka sudah terbiasa melakukannya sendiri.

"Bu Rania, Anda tidak perlu repot-repot," ujar Bu Sita dengan canggung.

Rania tersenyum. "Aku suka memasak. Lagipula, aku tidak punya banyak hal yang bisa kulakukan."

Bu Sita tampak ragu, tetapi akhirnya membiarkan Rania membantu. Dengan cekatan, Rania mulai membuatkan sesuatu yang spesial—nasi goreng sederhana dengan telur mata sapi di atasnya. Ia tahu Rafi lebih suka makanan praktis di pagi hari, jadi ia berharap pria itu akan memakannya.

Ketika akhirnya semuanya siap, Rania duduk di meja makan dan menunggu.

Beberapa menit kemudian, Rafi muncul dengan jas rapih dan ekspresi seperti biasa—dingin dan tidak terbaca.

Tanpa sepatah kata pun, ia duduk dan mulai menyendok makanannya.

Rania menahan napas, menunggu reaksi.

Namun, pria itu tetap diam. Ia hanya makan dengan cepat, lalu meneguk kopinya sebelum akhirnya bangkit berdiri.

Sebelum pergi, Rafi melirik piring kosongnya, lalu menatap Rania sekilas. "Masakanmu lebih baik dari yang biasanya disiapkan di rumah ini."

Rania terdiam, hatinya menghangat sedikit. Itu bukan pujian manis, tetapi setidaknya itu pengakuan.

"Terima kasih," ucapnya pelan.

Rafi tidak membalas, hanya mengambil jasnya dan berjalan pergi.

Rania menghela napas, lalu tersenyum kecil.

Sedikit demi sedikit, ia mulai melihat celah di hati Rafi yang membeku.

Panggilan Tak Terduga

Siang itu, Rania duduk di taman belakang rumah sambil membaca buku. Udara sejuk dan angin yang berembus lembut membuatnya merasa lebih tenang.

Namun, ketenangan itu terhenti ketika ponselnya tiba-tiba bergetar.

Nama Rafi tertera di layar.

Rania terkejut. Ini pertama kalinya pria itu meneleponnya sejak mereka menikah.

Dengan cepat, ia menjawab. "Halo?"

"Aku butuh kau datang ke kantorku sekarang."

Nada suaranya tetap datar, tetapi ada ketegangan di dalamnya.

Rania mengerutkan kening. "Ada apa?"

"Ayahku datang. Dia ingin bertemu dengan menantunya."

Rania terdiam sejenak setelah mendengar permintaan Rafi.

Ayahnya datang?

Sejak pernikahan mereka, Rania belum pernah bertemu dengan keluarga Rafi secara langsung. Ia tahu bahwa mertuanya adalah orang yang sangat berpengaruh di dunia bisnis, dan tentu saja, ia juga tahu bahwa pernikahan mereka bukanlah sesuatu yang benar-benar direstui.

Dengan cepat, Rania berdiri dan merapikan bajunya. "Baik, aku akan segera ke sana."

Tanpa menunggu jawaban dari Rafi, ia segera melangkah masuk ke dalam rumah.

"Bu Sita, tolong siapkan mobil. Aku harus pergi ke kantor Rafi sekarang."

Bu Sita tampak sedikit terkejut. "Sekarang, Bu?"

Rania mengangguk. "Ya, ayah Rafi ada di sana."

Raut wajah Bu Sita sedikit berubah, tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi dan segera menyiapkan mobil untuknya.

Perjalanan Menuju Kantor

Di dalam mobil, Rania merasa gugup. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Bagaimana jika ayah Rafi tidak menyukainya? Bagaimana jika mertuanya menolaknya mentah-mentah?

Ia menggenggam tangannya erat, mencoba menenangkan diri.

Tidak. Ia tidak boleh takut.

Pernikahan ini mungkin dimulai tanpa cinta, tetapi ia tidak akan lari hanya karena ketakutan.

Mobil melaju melewati jalanan kota yang sibuk, dan dalam waktu kurang dari 30 menit, ia sudah tiba di gedung perusahaan milik Rafi.

Dengan langkah mantap, ia masuk ke dalam, melewati resepsionis yang menatapnya dengan sedikit rasa ingin tahu.

"Permisi, saya ingin bertemu dengan Tuan Rafi," ucapnya sopan.

Resepsionis itu langsung mengenali wajahnya dan mengangguk. "Silakan langsung ke lantai atas, Bu Rania. Tuan Rafi sudah menunggu."

Dengan hati berdebar, Rania berjalan menuju lift.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

Namun, satu hal yang pasti—ia harus siap menghadapi apa pun itu yang menunggunya di sana nanti.

Rania melangkah keluar dari lift dengan hati berdebar. Kantor Rafi berada di lantai tertinggi, dengan desain interior modern yang mencerminkan kekuasaan dan ketegasan pemiliknya.

Setelah berjalan melewati beberapa ruangan, seorang sekretaris menghentikannya dengan senyum sopan.

"Bu Rania, Tuan Rafi sedang menunggu di dalam bersama ayahnya."

Rania mengangguk, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu besar di depannya.

"Masuk," terdengar suara berat dari dalam.

Rania mendorong pintu perlahan dan melangkah masuk.

Di dalam, Rafi duduk di belakang meja kerjanya dengan ekspresi serius, sementara seorang pria paruh baya dengan aura yang tak kalah kuat duduk di sofa mewah di sudut ruangan.

Ayah Rafi.

Tatapan tajam pria itu langsung tertuju padanya, menelusuri Rania dari atas ke bawah seolah sedang menilai sesuatu yang tak ia sukai.

Rania menelan ludah, tetapi tetap tersenyum sopan.

"Selamat siang, Ayah," sapanya lembut.

Pria itu menyipitkan mata. "Jadi, kau yang sekarang menjadi istri anakku?"

Nada suaranya terdengar dingin dan penuh keraguan.

Rania tidak gentar. "Benar, Ayah. Saya Rania."

Pria itu tidak segera menjawab. Ia menatap putranya, lalu kembali melihat Rania.

"Aku tidak menyangka bahwa menantu pilihanku adalah wanita seperti ini."

Rania merasakan hatinya mencelos, tetapi ia tetap mempertahankan ekspresi tenangnya.

Rafi yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Ayah, aku sudah menikah dengannya. Tidak ada gunanya menentangnya sekarang."

Ayahnya mendengus. "Aku tahu ini hanya pernikahan bisnis, tetapi aku berharap kau tidak membuat kesalahan dengan memilih wanita yang tidak pantas untuk keluarga kita."

Rania mengepalkan tangannya di balik punggungnya. Kata-kata itu menyakitinya, tetapi ia menolak untuk terlihat lemah.

"Saya akan membuktikan bahwa saya pantas," ucapnya dengan suara yang tenang namun sangat tegas.

Ayah Rafi menatapnya dengan mata yang sangat tajam, seolah ingin menantangnya.

Suasana ruangan terasa semakin menegangkan.

Rafi sendiri hanya diam, menatap Rania dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Entah darimana dan kenapa, di matanya ada sedikit kilatan kekaguman yang tidak ia sadari sebelumnya.

Keheningan menyelimuti ruangan setelah pernyataan tegas dari Rania.

Ayah Rafi menyipitkan matanya, seolah menilai ulang wanita di hadapannya. "Membuktikan diri? Itu bukan hal yang mudah, Nona Rania," katanya dengan nada meremehkan.

Rania tetap berdiri tegak dan tegar. "Saya tahu, Ayah. Tapi saya tidak akan mundur hanya karena kata-kata."

Rafi melirik Rania sekilas, sedikit terkejut dengan keberanian istrinya. Ia mengenalnya sebagai wanita lembut, tetapi sekarang ia bisa melihat tekad yang berbeda dalam sorot matanya.

Ayahnya mendengus pelan. "Kita lihat saja seberapa lama kau bertahan dalam keluarga ini."

Dengan kalimat itu, pria itu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar tanpa berkata apa-apa lagi.

Rania menghela napas lega, tetapi ia sadar—ini baru awal dari tantangan yang lebih besar.