Malam itu, langit terasa lebih gelap dari biasanya.
Di luar jendela apartemen yang kumuh, Arkan Satria menatap kosong ke jalanan yang basah oleh hujan. Angin berhembus kencang, menggoyangkan daun-daun pohon yang diterangi samar oleh lampu jalanan. Tetapi semua itu tak berarti apa-apa baginya. Hujan yang turun seolah mencerminkan isi hatinya—dingin, suram, dan terperangkap dalam rutinitas tanpa akhir.
Arkan bukan seseorang yang banyak berharap. Sejak kecil, ia tahu bahwa hidupnya akan berjalan seperti ini: bekerja keras hanya untuk bertahan, menjalani hari demi hari dalam kebosanan tanpa akhir. Satu-satunya hal yang pernah membuatnya penasaran adalah Rift—celah-celah dimensi misterius yang mulai muncul di berbagai tempat beberapa tahun terakhir.
Orang-orang percaya bahwa di balik celah itu terdapat makhluk raksasa dan kekuatan dahsyat yang bisa mengubah hidup siapa saja yang cukup berani untuk mendekatinya. Namun bagi Arkan, itu semua tak lebih dari cerita dongeng. Ia tak pernah berpikir untuk menjadi bagian dari keajaiban itu. Hidupnya terlalu membosankan dan terlalu biasa untuk melibatkan diri dalam urusan sebesar itu.
Namun, malam ini segalanya berubah.
Di depan apartemennya yang reyot, langit mendadak disinari cahaya terang yang memancar dari kejauhan. Sumbernya adalah sebuah Rift yang terbuka tepat di tengah kota. Berbeda dari biasanya, celah dimensi ini luar biasa besar. Cahaya yang dipancarkan begitu kuat hingga membuat langit malam tampak seperti siang.
"Arkan, kamu lihat itu?" Suara Fadil, tetangga sekaligus teman kerjanya, terdengar dari arah pintu.
Arkan menoleh sekilas. Fadil, pria yang biasanya sama apatisnya terhadap hal-hal seperti ini, kini tampak tergugah. "Tentu saja, aku lihat," jawab Arkan datar, meski dalam hatinya ada sesuatu yang terasa aneh.
Ia merasakan dorongan kuat, seolah sesuatu memanggilnya dari dalam Rift itu. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, ia mendapati dirinya berjalan keluar dari apartemen, mendekati kerumunan orang yang berkumpul.
Langit semakin terang. Rift itu membesar hingga akhirnya terdengar dentuman keras yang menggetarkan bumi. Dari dalam celah dimensi itu, sesosok makhluk raksasa muncul. Kulitnya hitam berkilau, matanya bersinar merah menyala, dan tubuhnya memancarkan aura mengerikan yang membuat udara di sekitarnya terasa berat.
"Abyss Beast..." bisik Fadil dengan suara gemetar.
Nama itu langsung membuat kerumunan panik. Orang-orang mulai berteriak dan berlari menjauh. Hanya mereka yang benar-benar berani—atau mungkin terlalu terpesona—yang tetap berdiri memandang makhluk itu.
Namun, Arkan tidak lari. Kakinya seolah terpaku di tempat. Pandangannya terkunci pada makhluk itu. Dan kemudian, sesuatu terjadi.
Suara berat bergema di dalam kepalanya. "Kau dipilih."
Arkan membelalak. Ia merasakan sesuatu bangkit dari dalam dirinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tubuhnya terasa panas, seakan energi yang luar biasa mengalir melalui nadinya.
Tiba-tiba, tangan kanannya terangkat dengan sendirinya. Dari telapak tangannya, sinar biru terang melesat keluar, menghantam Abyss Beast dengan kekuatan besar.
BOOM!
Ledakan menggema di udara. Makhluk raksasa itu terpental mundur, mengeluarkan raungan marah yang mengguncang seisi kota.
Kerumunan yang sebelumnya terdiam kini berhamburan, lari ketakutan. Tetapi Arkan tidak ikut berlari. Sebaliknya, ia berdiri tegak di tempat, menatap tangan kanannya yang masih bersinar biru. Sensasi aneh merambati tubuhnya, campuran antara kekaguman dan ketakutan.
Kekuatanmu telah terbangun.
Suara itu bergema lagi di kepalanya. Arkan menarik napas panjang, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, makhluk raksasa itu kembali menggeram dan bersiap menyerangnya.
Sebelum makhluk itu bergerak, sebuah sosok muncul di hadapan Arkan.
"Sudah cukup," suara berat itu memecah ketegangan.
Arkan menoleh. Sosok itu adalah seorang pria tinggi dengan tubuh kekar, mengenakan pakaian hitam legam yang memancarkan aura otoritas. Di tangannya, ia memegang pedang besar yang bersinar tajam, seperti mampu memotong apapun yang menghalanginya.
"Jangan takut, pemuda," kata pria itu dengan suara tenang namun penuh wibawa. "Kau baru saja dipilih oleh sistem Ascension. Namaku Darius, Ascendant level tertinggi. Dan... mulai hari ini, hidupmu tak akan pernah sama lagi."
Arkan menatap pria itu dengan mata penuh kebingungan. Namun di balik kebingungannya, ada percikan kecil keberanian yang mulai muncul. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa takdirnya berubah. Dan meskipun ia belum tahu apa yang akan terjadi, ia tahu satu hal: perjalanan ini baru saja dimulai.