Samsul berjalan dengan langkah hati-hati, membawa Agus yang masih pingsan keluar dari apartemen yang kini terasa semakin mencekam. Udara malam terasa dingin menusuk tulang, dan suasana sunyi semakin mempertegas kesan bahwa dunia ini sudah berubah menjadi tempat yang berbahaya.
Namun, belum sempat ia merasa lega, sebuah sosok muncul di depannya. Samsul langsung menghentikan langkahnya dan menatap pria tua yang pernah ia temui sebelumnya di hutan. Pria itu masih menggenggam kapaknya yang berlumuran darah. Tatapannya kosong namun menyeramkan, seakan menyimpan kebencian yang dalam. Samsul bisa merasakan hawa dingin merayap di tengkuknya, membuatnya merinding tanpa alasan yang jelas.
Mereka saling bertatapan dalam keheningan. Samsul menelan ludah, mencoba menenangkan pikirannya. Ia ingin bertanya sesuatu, tetapi mulutnya terasa kelu. Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, Samsul akhirnya memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan pria itu dan segera pergi. Ia menghindari kontak mata lebih lama dan mempercepat langkahnya menuju basecamp, membawa Agus yang masih tidak sadarkan diri di pundaknya.
Selama perjalanan, Samsul mulai merasa lelah. Tubuhnya pegal karena membawa beban yang cukup berat, dan pikirannya masih terganggu oleh kejadian barusan. Sesekali, ia menghela napas berat dan bergumam, "Ini kedua kalinya aku merasa menyesal. Seharusnya aku langsung membawa anak nakal ini tanpa mengerjainya." Kenangan tentang bagaimana ia melempar sepatu ke Agus membuatnya sedikit tersenyum, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa tindakan itu sedikit keterlaluan.
Setelah berjalan selama beberapa jam, akhirnya basecamp mulai terlihat. Samsul merasa sedikit lega. Tempat itu adalah satu-satunya tempat yang masih memberinya rasa aman, meskipun di dunia ini, tidak ada tempat yang benar-benar aman. Saat mendekati area basecamp, Samsul melihat Isma sedang duduk di tepi danau kecil, memegang pancingan dengan santai.
Samsul mendekatinya dan membuka pembicaraan dengan basa-basi, "Sudah dapat berapa ikan?"
Isma menoleh sekilas dan tersenyum tipis. "Lumayanlah, cukup untuk beberapa hari ke depan," jawabnya sambil tetap fokus pada kailnya.
Samsul duduk di sebelahnya, mencoba mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Ia kemudian berkata, "Tadi aku ketemu sonovore. Monster itu memang mengerikan, tapi tetap saja, setiap makhluk pasti punya kelemahannya."
Isma mendengarkan dengan seksama sebelum berkomentar, "Wow, kau cukup kuat ya. Berani menghadapi monster itu sendirian." Ada nada kekaguman dalam suaranya, meskipun ia tahu bahwa di dunia ini, bertahan hidup lebih penting daripada sekadar keberanian.
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Samsul merasa aneh dengan suasana ini, jadi ia mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal lain. "Saat aku dalam perjalanan ke sini membawa anak nakal itu, aku bertemu pak tua lagi. Dia menatapku dengan tatapan mengerikan. Aku ingin mengabaikannya, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa salah darinya. Seperti ada aura kebencian yang mengelilinginya."
Isma tidak langsung menanggapi. Ia tampak berpikir sejenak, lalu menundukkan kepalanya. "Aku juga pernah bertemu dengannya," katanya akhirnya. "Dan aku juga merasakan hal yang sama. Ada sesuatu yang aneh darinya. Seperti… dia menyembunyikan sesuatu."
Samsul menelan ludah. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaannya saja, jadi ia tertawa kecil dan berkata, "Mungkin aku hanya halusinasi, hehe."
Namun, Isma tetap diam. Wajahnya menunjukkan bahwa ia masih memikirkan pak tua itu dengan serius.
Tiba-tiba, keheningan mereka pecah oleh suara teriakan keras dari dalam basecamp. "Aku ada di mana ini?!"
Samsul dan Isma langsung berdiri dan bergegas masuk ke dalam. Mereka melihat Agus yang kini sudah sadar, duduk di tempat tidur dengan wajah panik. Matanya berkeliaran ke segala arah, mencoba memahami situasi yang sedang terjadi.
Namun, saat matanya bertemu dengan Samsul, ekspresinya langsung berubah. Ketakutan terpancar jelas dari wajahnya. Agus mengingat kejadian sebelumnya bagaimana ia dengan sengaja melempar botol kaca untuk menarik perhatian monster agar mengejar Samsul. Kini, ia merasa sangat bersalah dan takut akan pembalasan.
Tanpa berpikir panjang, Agus langsung melompat dari tempat tidur dan berlutut di hadapan Samsul. "Bang… tolong maafin saya! Saya salah karena melempar botol kaca ke arah Abang. Saya cuma bercanda… saya nggak nyangka bakal jadi seperti ini! Tolong jangan bunuh saya, Bang!" suaranya terdengar putus asa, dan tubuhnya sedikit gemetar.
Samsul menatap anak itu tanpa ekspresi. Dalam hatinya, ia sebenarnya ingin mengerjai Agus lagi, tetapi ia tahu bahwa kali ini berbeda. Jika ia terlalu keras pada anak itu, Agus bisa mengalami trauma yang lebih parah. Akhirnya, Samsul menghela napas dan berkata dengan nada datar, "Aku tidak pernah memaafkanmu."
Tanpa menunggu reaksi dari Agus, Samsul berbalik dan berjalan keluar dari ruangan. Agus yang panik langsung berusaha mengejarnya, tetapi Isma menahan pundaknya.
"Lebih baik biarkan Samsul sendirian dulu," ujar Isma dengan lembut. "Dia pasti lelah setelah membawamu ke sini saat kau pingsan. Lebih baik kau istirahat lagi."
Agus terdiam. Ia masih merasa bersalah, tetapi tidak punya pilihan selain mengikuti saran Isma. Dengan perlahan, ia kembali berbaring, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.
Di luar, Samsul berdiri di tepi basecamp, menatap langit malam yang kelam. Ia tidak bisa menghilangkan pikiran tentang pak tua itu. Ada sesuatu yang salah… sesuatu yang belum ia ketahui.
Malam semakin larut ketika Isma memperhatikan Samsul yang sedang serius memotong ikan untuk makan malam mereka. Sesekali, suara pisau yang mengenai talenan terdengar di antara keheningan. Isma terdiam sejenak, mengamati Samsul yang tampak fokus dengan pekerjaannya. Setelah beberapa saat, ia bangkit dan membuka tasnya.
"Aku masih punya stok beras," gumam Isma dalam hati. Ia segera mengambil beberapa genggam beras, menuangkannya ke dalam wadah, lalu berjalan ke luar rumah. Dengan cekatan, ia menyalakan api unggun kecil dan mulai menanak nasi, sesekali melirik Samsul yang masih sibuk menyiapkan ikan.
Setelah semua bahan siap, Samsul mulai mengolah ikan yang sudah ia bersihkan. Saat ia hendak memasaknya, Isma mendekat dan menawarkan bantuan. Mereka akhirnya memasak bersama, berbagi tugas seperti tim yang sudah terbiasa bekerja sama. Tak butuh waktu lama, aroma harum ikan goreng yang renyah dan nasi yang hangat memenuhi udara.
Sambil mengaduk nasi, Samsul menoleh ke Isma dan berkata, "Isma, tolong bangunkan Agus. Suruh dia makan bersama kita."
Isma mengangguk dan berjalan masuk ke dalam basecamp. Ia melihat Agus yang masih tertidur pulas di tempat tidurnya. Dengan perlahan, ia mengguncang bahu Agus. "Agus, bangun. Ayo makan dulu," katanya dengan suara lembut.
Agus membuka matanya dengan malas, masih setengah sadar. Setelah beberapa detik, ia akhirnya bangkit dan mengikuti Isma keluar untuk bergabung bersama Samsul. Mereka bertiga duduk melingkar, menikmati makanan dengan tenang. Setelah melalui berbagai kejadian mencekam, momen makan malam ini terasa begitu berharga bagi mereka.
Satu jam setelah mereka selesai makan, Agus tiba-tiba berkata, "Biar aku saja yang cuci peralatan masak dan piring."
Samsul terkejut, tapi ia tidak melarang. Ia tahu bahwa Agus ingin berkontribusi setelah kejadian sebelumnya. Samsul hanya mengangguk sebagai tanda persetujuan, lalu berjalan ke depan basecamp, duduk di sebelah Isma yang sedang menatap langit malam.
"Sepertinya besok aku akan keluar lagi," ujar Samsul tiba-tiba.
Isma menoleh dengan ekspresi penasaran. "Keluar? Untuk apa?" tanyanya.
"Aku masih harus mencari bahan makanan. Saat aku pergi ke toko tua itu sebelumnya, aku melihat beberapa stok makanan, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Mudah-mudahan besok masih ada yang tersisa," jawab Samsul sambil menatap ke arah gelapnya hutan di kejauhan.
Isma terdiam sejenak sebelum berkata, "Kalau begitu, aku yang akan mengurus basecamp. Aku bisa memasak, membersihkan, dan menjaga tempat ini. Lagipula, kakiku masih belum sepenuhnya pulih, jadi aku tidak bisa ikut denganmu."
Samsul mengangguk. "Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Aku akan pergi istirahat sekarang. Tolong jaga Agus," ucapnya sebelum berdiri dan berjalan masuk ke dalam basecamp.
"Baik..." jawab Isma singkat.
Beberapa jam kemudian, Samsul terbangun. Ia melirik ke sekeliling ruangan dan melihat Isma serta Agus sedang tertidur. Ia menarik napas lega.
"Hah... Kukira akan ada sesuatu yang menakutkan saat aku tidur," gumamnya pelan.
Karena masih merasa mengantuk, ia kembali merebahkan diri dan tertidur lagi.
Namun, tanpa sepengetahuan Samsul, Agus sebenarnya belum tidur. Setelah sebelumnya pingsan cukup lama, ia masih merasa sulit untuk tidur.
"Aku akan berjaga-jaga malam ini. Biarkan mereka beristirahat," pikir Agus dalam hati. Ia bersandar di dinding, menjaga basecamp seperti seorang penjaga malam.
Ketika matahari mulai terbit, Samsul terbangun lebih awal dari yang lain. Saat ia keluar dari kamar, ia melihat Agus tertidur dalam posisi duduk, bersandar di dinding.
Samsul mengangkat alis. "Anak ini begadang?" gumamnya, sedikit terkejut.
Namun, ia tidak terlalu memikirkan hal itu. Ia segera pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, lalu mengambil sisa ikan yang dimasak Isma semalam untuk sarapan.
Beberapa jam kemudian, setelah semua persiapannya selesai, Samsul bersiap untuk berangkat ke kota lagi. Ia ingin mencari bahan makanan tambahan dan, jika memungkinkan, menemukan anak-anak muda yang tersesat di kota.
Setelah memastikan semua perlengkapannya siap, ia berpamitan kepada Isma dan Agus.
"Aku pergi dulu. Jaga basecamp baik-baik," ucapnya singkat.
Isma mengangguk. "Hati-hati di luar sana."
Agus, yang baru saja bangun, hanya bisa menatap Samsul tanpa berkata apa-apa. Dalam hatinya, ia masih merasa bersalah atas perbuatannya sebelumnya.
Samsul melangkah keluar dari basecamp dan memulai perjalanannya kembali ke kota yang penuh bahaya.
Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, akhirnya Samsul sampai di perbatasan kota. Ia berjalan dengan waspada, mengamati sekelilingnya. Kota itu masih terlihat sunyi dan mencekam, dengan bangunan-bangunan yang sudah hancur dan jalanan yang dipenuhi reruntuhan.
Namun, saat ia melangkah lebih dalam, ia tiba-tiba berhenti.
Di depannya, berdiri seorang pria tua yang ia kenali, pria yang sebelumnya ia temui di hutan.
Namun, kali ini, pria tua itu tidak sendirian.
Dua orang lainnya berdiri di sampingnya, masing-masing memegang senjata. Salah satunya membawa kapak besar, sementara yang lain menggenggam celurit dengan erat.
Mata pria tua itu menatap Samsul dengan tajam, penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan bukan hanya kebencian, tetapi juga sesuatu yang lebih mengerikan.
Samsul merasakan bulu kuduknya berdiri.
"Siapa mereka...? Apa mereka musuh atau sekutu?" pikirnya sambil bersiap siaga.
Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
To be continued...