Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

My Man by jihanvelia

🇮🇩jihanvelia
14
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 14 chs / week.
--
NOT RATINGS
107
Views
Synopsis
Yang Talitha tahu, pria itu adalah model terkenal dari Taiwan. Pria itu blasteran Indonesia-Taiwan. Namun, tiba-tiba, pria itu menjadi bos besar perusahaan otomotif tempat di mana kakak laki-laki Talitha bekerja. Ketika Talitha yang bernotabene cewek jomblo dari lahir ini sadar, rupanya Talitha telah dikekang dan dijerat. Talitha bahkan tak yakin dia bisa dengan bebas lagi mengagumi sosok kakak-kakak tingkat dari Fakultas Teknik di Universitas Indonesia, tempatnya berkuliah, semenjak pria yang bernama Deon itu ada dengan seluruh sifat posesif dan out of control yang dimilikinya. Namun, bedakanlah terjerat dengan dijerat. Dia... Deon itu... Iblis yang bersemayam di tubuh manusia.
VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog

Prolog :

 

Taiwan, 24 Januari 1994

Rumah Kebesaran Keluarga Abraham

 

BETIS beserta kaki milik anak laki-laki itu bergetar. Sebuah pemandangan yang baginya yang kali lebih mustahil ketimbang pemandangan membalikkan bumi dan langit kini berasa seperti petir yang menghancurkan keyakinannya, seperti mencuci bersih otaknya dari segala apa yang ia terima.

Anak laki-laki itu hilang akal dan porak poranda, pandangannya melebar dan kosong. Mainan pemberian ibunya jatuh begitu saja ke lantai, seolah tangannya itu tak sanggup lagi bahkan untuk sekedar memegang sebuah mainan. Mainan yang kini seolah seonggok sampah terbuang di kakinya, seolah tidak pernah menjadi bagian di hidupnya setelah mata anak itu melihat dengan penuh ketidakkuasaan ke satu arah.

Dia mulai bersiap teriak sekencang-kencangnya, air mukanya berubah nelangsa, dan air mata sudah siap meluncur.

 

"MAMA!!"

 

Ibunya. Bertelanjang dada di pangkuan seseorang yang bukan merupakan ayahnya. Saling mencium satu sama lain dan terhenti ketika langkah anak itu masuk ke dalam ruangan. Tangisan anak itu terdengar meraung-raung, anak itu terduduk dan menutup mata beserta wajahnya lalu meraung kuat.

Ibunya terpelotot tak menyangka bahwa ia akan akan terlihat oleh anaknya di ruangan itu dan tidak mampu bergerak, selain menjatuhkan air mata melihat betapa bejatnya dia terlihat di mata anak laki-lakinya. Perempuan itu shock, lalu dengan langkah tertatih ia menghampiri anaknya. Dia terenyak kuat terdengar ketika ia justru melihat anaknya berteriak lebih kencang, ia segera mengambil bajunya di lantai hanya untuk sekadar menutupi dadanya. Tidak ia pakai sama sekali, hanya untuk menutupi dadanya seraya menghampiri anak tersebut yang meraung keras, terus memanggil-manggil ibunya.

"Sayang, Mama bukan—"

"JANGAN DEKATI AKU!!!" teriak anak itu dan air mata jatuh begitu saja atas naluri seorang ibu. Perempuan itu tetap mendekati anaknya, berusaha menggapai tubuh anaknya.

"Sayang—"

Anak itu dengan cepat melangkah mundur, menjauh dan meraung sekencang mungkin. "Mama—mengapa Mama melakukan ini? Itu siapa, Mama? Dia bukan Papa, Mama! Dia bukan Papa! Mama jahat sama Papa, Mama jahat! Sama Papa, sama aku!"

Perempuan itu merasa seolah tercekik, isakan tangisnya membuatnya terasa sesak dan air mata jatuh tanpa bisa ditolerir. Dengan berjuta keperihan dan kesesakan hati ia berlari dengan tertatih menghampiri tubuh anak kandungnya itu dan memaksa anak itu untuk berada di dalam pelukannya. Menekan tubuh anak itu di dekapannya dan mengecup berkali-kali kepala anak itu dengan penuh rasa pilu. Anak itu memberontak keras. "LEPASKAN ARCO!!! MAMA JAHAT!! MAMA JAHAT!!! MAMA JAHAT!!!!!!"

"Maafkan Mama, Sayang, tolong maafkan Mama.." 

"TIDAK!! ARCO TIDAK AKAN MEMAAFKAN MAMA! PAPA SANGAT MENYAYANGI MAMA SAMA ARCO, PAPA SAYANG SAMA MAMA!! ARCO TAHU!!"

Berontakan keras itu menunjukkan bahwa tidak ada penerimaan lagi untuk ibunya, tidak ada lagi sisi dirinya yang menyukai sifat ibunya, semua penilaian telah berubah.

Perempuan itu terkejut. Serena terkejut bukan main. Ia kepalang dibenci oleh anaknya sendiri. Tuhan, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada ini. Dia kotor. Dia dibenci anaknya. Dia mengkhianati suaminya hanya karena ingin mendapat perhatian lebih dari suaminya yang hanya terus bekerja. Serena mendongak dan menatap anaknya yang tengah berdiri; anak itu melihat ke arahnya seraya menangis, tetapi matanya menatap Serena penuh kebencian.

Serena menatap anaknya dengan tatapan menerawang, penuh kesedihan. Air matanya berjatuhan ke lantai porselen yang terasa begitu dingin saat itu.

 

"Aku benci Mama."

 

Saat itulah, Serena merasa jantungnya berhenti berdetak, seolah efeknya menggerogoti seluruh jaringan tubuhnya. Dunia serasa berputar di pandangannya, waktu serasa terhenti. Saat anak laki- lakinya yang selalu ia sayangi di dunia ini...langkah mungil anak itu pergi dari ruangan itu, Serena berteriak kencang. Berteriak, seolah tiada lagi harapan hidupnya. Ia berteriak sekencang mungkin.

 

*****

 

SEMBILAN BELAS TAHUN KEMUDIAN

Taiwan, 10 Mei 2015

 

Keringat itu bercucuran jatuh dari rahang tegasnya, mata tajamnya menatap ke depan dengan kontradiktif.

Gym memang tempat untuk berolahraga paling sempurna, yang selalu dijalani dengan rutin terutama bagi yang suka menjaga kebugaran tubuhnya, terutama seorang pria yang menginginkan kesempurnaan otot tubuh. Pria bertubuh atletis itu terus menjalankan dan menikmati kegiatan olahraganya, meskipun hanya tampang seriuslah yang tetap ia pancarkan, matanya memancarkan aura binatang buas dan tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan dirinya kecuali satu, otoriter.

Seorang gadis melihatnya dari pintu masuk ruangan gym khusus milik pria itu dan gadis itu menggigit bibirnya malu-malu, atau lebih tepatnya ia berubah seratus delapan puluh derajat menjadi perempuan centil yang tiba- tiba menyelipkan rambutnya di belakang telinga dan hanya sisa rambut di telinganya itulah yang tidak terikat oleh gaya rambut ponytail-nya. Gadis itu mendekati pria yang ia lihat dengan tatapan suka dan ia tertunduk malu-malu. Atau lebih tepatnya, ia berusaha untuk bersikap malu-malu.

"Kau di sini?" Gadis itu berujar pelan sembari tertunduk dan menggigit bibirnya.

Pria itu tiba-tiba berhenti dari aktivitasnya dan menonaktifkan alat gym yang ia gunakan. Ia mengusap wajahnya dengan sapu tangan yang ada di saku celana olahraganya dan menatap ke arah gadis itu.

 

"Hm."

 

Pria itu berjalan pelan, menjauh dari jangkauan gadis itu dan meraih air mineralnya yang ia letakkan di ujung ruangan, di atas kursi yang sengaja ditempatkan di sana. Tubuh tegapnya yang tampak dari belakang itu benar-benar maskulin dan seksi; otot-ototnya tampak begitu keras. Tubuhnya begitu proporsional.

"Ada apa? Sampai-sampai kau ke sini," ujar pria itu dengan suara maskulinnya.

Gadis itu mendekat dengan perasaan gembira tatkala pria itu meminum air mineralnya. "Aku ingin melihatmu, apa itu salah? Kita sahabat, bukan? Kau berkata bahwa kau menyayangiku."

Pria itu meletakkan minumannya ketika rasa dahaganya telah hilang, lalu ia membalikkan tubuhnya dan menatap lurus ke arah gadis itu. Ia menghela napas, lalu ia tersenyum. "Ya, aku sayang padamu karena kau sahabatku, Chintya."

Setelah itu, pria itu berjalan melewati Chintya sembari menyempatkan diri untuk menepuk puncak kepala Chintya.

Chintya memberengut begitu pria itu berlalu dan Chintya berbalik. "Tsk. Mengapa kau selalu seperti ini?!"

Pria itu berhenti. Ia berbalik, tubuh tegapnya terlihat bersinar akibat terkena sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan gym saat itu. Membuatnya terlihat begitu seksi dan berkarisma. Pria itu berkulit putih, sedikit eksotis, memiliki rahang yang kokoh dan tajam, dan bentuk matanya tajam seperti elang. Dia memiliki tindikan yang ia pasangkan sebuah anting di telinga sebelah kirinya. Tubuhnya kekar dan berotot; Tuhan betul-betul sedang tersenyum saat menciptakannya.

"Bukankah aku sudah bilang bahwa aku menyayangimu?" Pria itu menghela napas, tetapi tatapannya menyiratkan bahwa ia mengucapkan itu dengan tulus.

"Kau tidak pernah tahu rasa sayang apa yang kumaksud dan rasa sayang apa yang kuinginkan darimu. Mengapa kau seperti ini, sih?!"

"Chintya Valissisa!" Mata pria itu itu mendadak berubah menatap gadis itu dengan tajam, kata-katanya lebih dari cukup untuk memerintah dengan suara yang mampu menekan habis orang lain. Namun, ternyata Chintya kali ini balas menatap tajam padanya. Gadis itu tampak tidak terima.

"Kau pergi ke Indonesia?! Lalu bagaimana pekerjaanmu di sini? Kau itu seorang model, Deon. Kau begitu terkenal di Asia! Kau foto model pria terbaik di Asia dan setelah semua yang kau raih itu kau membuangnya begitu saja? Kau tahu mengapa aku menjadi seorang model? Mengapa aku tinggal di Taiwan—negara asing ini—sementara keluargaku di Indonesia? Karena aku sayang padamu, aku tak ingin berpisah denganmu! Kau mau meninggalkanku? Deon you were born here, in Taiwan," ujar Chintya, ia mulai mengeluarkan air mata. Ia betul-betul menangis, wajahnya memerah. Gadis itu menatap Deon dengan putus asa.

"Chintya, aku tidak benar-benar ingin menjadi seorang model, kau tahu itu. I didn't even know what I was doing and what I'm going to do. Aku hanya berusaha untuk tetap menjalani kehidupanku. Aku sudah meminta pengunduran diri dari manajemenku dan keinginanku mutlak. Perusahaan di sana membutuhkanku."

"Tapi kau membenci ibumu, Deon." Chintya berujar sarkastis.

"Aku akan membeli apartemen di sana. Jadi, aku tidak perlu bertatapan wajah dengannya." Deon menggeram, kilatan sketsa yang ia benci itu kembali terkilas di otaknya, berputar bagaikan kaset rusak yang terus mengganggu akal sehatnya. Deon tahu, dia tidak mungkin terus berada di titik yang sama, terus memikirkan potongan masa lalu itu hingga menjadi dendam, tetapi ia juga tidak mungkin bisa meninggalkan pikiran itu. Sebab sosok yang ia benci itu sampai sekarang tetap ada bersamanya. Di dalam dunianya. Di dalam jangkauannya.

"Tetapi bukankah karena kebencianmu itulah kau tetap tinggal di Taiwan sementara keluargamu pindah ke Indonesia, tempat kelahiran ayahmu?"

"Aku tidak memiliki pilihan lain—bukan, kurasa inilah kesempatanku. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi seperti dulu lagi. Aku benci ketika orang yang kusayangi tersakiti." Pria itu menghela napas. Rahangnya terkatup rapat. Tulang rahangnya yang tercetak jelas itu tampak mengeras.

"Tapi, Deon..." Chintya merengek.

Pria itu menghela napas. Menormalkan kembali air mukanya dan berusaha untuk tetap tenang. Sebab bila ia tak terkendali, ia bisa saja mencelakai Chintya. Ia malah akan menyakiti salah satu orang yang berharga baginya. Demi Tuhan, dia membenci segala bentuk rasa sakit seperti itu. Dia ingin menjauhkan dirinya dari kata menyakiti orang lain, tetapi tampaknya secara tanpa sadar dia malah lebih mudah dalam menyakiti orang lain. Dia keras dan tidak suka ditentang. Dia egois. Dia begitu protektif.

"Chintya," Deon mendekat pada Chintya. Berujar begitu lembut, "aku menyayangimu. Kau sahabatku yang paling kusayangi di dunia. Jangan khawatir."

"Deon..." Chintya memeluk Deon erat, mengendus dalam-dalam pada aroma pria itu yang tetap terasa memabukkan, meskipun sudah bercampur dengan keringat. Chintya memejamkan matanya dan mengerucut seperti anak manja di dalam pelukan Deon. "Aku pasti menyusulmu. Pasti!"

Deon tersenyum dan ia melepaskan tubuh Chintya perlahan, didapatinya Chintya mengerucut sebal seperti anak-anak di hadapannya. Anak-anak dengan sejuta cintanya.

"Baiklah," ujar Deon pada akhirnya.

Suara ponsel berdering dari saku celana Deon dan dengan segera pria itu mengambil ponselnya, menekan tanda hijau di layarnya, tanda bahwa ia menerima panggilan yang baru saja masuk.

"Mr. Deon. The flight is ready for tomorrow. Everything was settled and no problem at all."

Tatapan mata pria itu menajam dan rahangnya mengeras lagi. Dia memang lahir di Taiwan. Namun, perjalanan ke luar negeri yang sering dilakukannya membuatnya nyaris selalu menggunakan bahasa Inggris.

Dia adalah Marco Deon Abraham.

"Okay. Thank you for everything."

Jakarta, ibu kota Indonesia. Dia berangkat ke Jakarta besok pada penerbangan internasional. Siap menjalankan hidup baru sebagai penerus perusahaan otomotif milik ayahnya, tidak peduli apa yang akan ia hadapi dan temui di sana, di negara itu. Yang jelas, ia ke sana dengan tekad untuk menyelamatkan perusahaan ayahnya, meringankan beban ayahnya yang begitu membutuhkannya. Telepon tiba-tiba tadi malam telah membuatnya bereaksi cepat.

Ia tidak akan membiarkan ayahnya menderita lagi.

Ia tidak akan pernah menganggap bahwa ia memiliki seorang ibu seperti Serena.

Tekadnya untuk hidup sukses di Taiwan telah ia raih, setelah ia lulus dari Harvard University sembari bekerja sebagai model sejak kecil. Ia ditinggal di Taiwan oleh keluarganya sepuluh tahun yang lalu, memilih untuk tetap tinggal karena ia muak melihat wajah Ibu—ah, tidak pantas membicarakannya sebagai seorang Ibu. Ibunya masih mengikuti ayahnya setelah kejadian itu.

Deon terlampau muak, diselimuti kebencian yang mendalam.

Ayah hanya terlalu baik, ia selalu berpikir demikian.

Persetan dengan hubungan ibu-anak, dia menjadi buta akan cita-citanya di dunia. Ia seorang jenius, tetapi dia buta akan tujuan hidupnya.

Hanya karena tiga hal: trauma, kebencian, dan tekad untuk menghancurkan.

Dia lepas kontrol ketika ia mendengar sebuah pengkhianatan. Ia membangun pribadi yang kejam dalam dirinya, tertutup benteng setebal dan seluas labirin yang kokoh. Pribadinya begitu tidak masuk akal. Dia selalu berpikir di luar akal sehat, kekejaman dan otoriternya membuat banyak orang takut kepadanya, tetapi dia selalu dihormati karena hal itu. Dia juga tidak percaya lagi dengan yang namanya perempuan.

Kecuali Chintya, yang sudah menjadi temannya sejak kecil, sejak sebelum kejadian laknat itu terpampang di depan matanya dulu. Tidak ada perempuan lain yang dekat dengannya kecuali Chintya Valissisa. Hanya pada Chintyalah, ia bisa bersikap baik pada perempuan. Chintya tidak pernah mengkhianatinya. Setidaknya itulah yang Deon percayai sampai sekarang. Ia hanya harus bersiap jika suatu hari nanti ia terpaksa bertemu dengan perempuan laknat bernama Serena itu di Indonesia, tepatnya di Jakarta.

Dia. Sang Pemimpin baru Abraham Groups, Marco Deon Abraham. []