Chereads / My Man by jihanvelia / Chapter 4 - Bab 3

Chapter 4 - Bab 3

Bab 3 :

 

PINTU kamar Talitha terbuka. Talitha tak tahu kapan jelasnya matanya terbuka kembali setelah terpejam kuat hanya karena pusing memikirkan kasusnya dengan bosnya Gavin. Bos baru Abraham Groups yang tak lain dan tak bukan adalah Marco Deon! 

Gavin masuk dengan langkah tergesa dan langsung duduk di pinggir kasur adiknya yang kini tengah tengkurap penuh penderitaan itu.

"Dek, lo kenapa? Ga enak badan?" tanya Gavin dengan wajah penuh ingin tahu. Talitha bahkan tetap tidak melihat Gavin saking pusingnya dan saking bingungnya dia dengan apa yang sudah terjadi.

Bayangkan saja, seenak itu Marco Deon mengekangnya bahkan di pertemuan pertama mereka. Itu orang atau iblis, sih? Apa dia itu bahkan punya hati? Yang anehnya lagi, apa-apaan dengan ancaman serta perintahnya yang tak masuk akal itu?

"Ita capek dan pusing aja, Bang. Udah, deh, Abang masuk kamar aja sono. Serius, Ita pengin tidur dulu."

"Oke. Abang sebenernya ga percaya kalo penyebabnya cuma itu, tapi ya udah, tidur aja dulu. Istirahat biar besok bisa masuk kuliah." Gavin menghela napasnya, kemudian pria berkacamata itu berdiri dan mulai meninggalkan kamar Talitha. Tak lupa ia menutup pintu kamar adiknya itu kembali.

Baru berjalan meninggalkan pintu kamar Talitha, ponsel Gavin yang ada di saku pria itu berbunyi. Gavin mengangkat teleponnya kemudian terdengar suara Revan dari seberang sana.

"Yo, Vin. Gimana Si Ita?"

"Ya...gue juga bingung dia kenapa. Yang jelas gue curiga kayaknya terjadi sesuatu pas dia di luar sendirian dan gue ada di dalem aula pesta," jawab Gavin, kini dia melepas dasinya sambil berjalan dan membuka pintu kamarnya yang dominan berwarna abu-abu hitam plus banyak poster The Beatles.

"Ya emang dianya ngomong apa sama lo?"

"Dia ga mau ngomong ada apa. Dia cuma bilang kalo dia lagi ga enak badan gitu."

"Ya udahlah. Tunggu aja, mungkin besok dia udah mau cerita. Bikin khawatir banget tuh bocah. Oh ya, Vin, gilee lo ninggalin gue sendiri di sini. Suasananya, kan, agak berat satu ton semenjak si Ita manggil nama Pak Dirut. Gue cuma bisa unjuk gigi buat nyengir sana-sini. Mana Si Veroksin ngetawain gue lagi tuh, kamfret banget asli. Temenin gue napa, Nyet."

"Nyat nyet nyat nyet! Elo tuh yang monyet! Bhahaha, ya udahlah, gak papa lo tunjukin aja gigi lo. Mumpung gigi lo bagus. Gue capek banget mau ke sana lagi. Kalo lo bosen ya pulang aja. Jangan pacaran aja terus yang lo pikirin."

"Ya terus cewek gue yang di sini mau gue kemanain bro. E—eeeh, sialan lo! Veroksin! Gue sumpahin kena virus ebola lo!"

Gavin mengernyitkan dahinya sejenak, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Lha, rupanya di seberang sana Revan masih sempat berdebat dengan Vero yang terdengar terus meledek Revan.

"Hahaha—ya udah Revanyet, pulang aja kenapa, sih? Daripada lo bacot di sana. Tinggalin aja cewek lo yang di situ. Wong cewek lo juga ada dua lusinan. Atau mungkin satu rim?"

"Lo kira kertas HVS?!"

"Ya badannya juga ceking-ceking banget kayak kertas. Diet kali ya mereka buat lo?" kata Gavin sambil geleng-geleng kepala. "Gue heran kenapa mereka bisa tergila-gila sama cowok yang ga pernah cuci kaos kaki macem lo. Entah berapa kaos kaki yang lo buang tiap dua hari sekali."

"Jangan buka aib orang, oi. Ck. Lo sekarang sedang dalam mode emak-emak? Ya udah, deh. Gue cabut, nih. Ehm—diem-diem, mumpung cewek gue lagi ngambil minum," kata Revan. Sejenak kemudian pria itu berbicara kembali, "Oi Vin, gue ke rumah lo, ya. Males pulang ke kost."

Revan yang malang. Punya orangtua kaya, tetapi memilih untuk nge-kost sendirian di tempat yang dekat dengan tempat kerja. Untung saja fasilitas kost-nya lumayan seperti kamar hotel.

"Ck. Ngerepotin gue aja lo," ujar Gavin. "Sampe di sini sepuluh menit atau gue kunci pintu."

"Emang lo kira Jakarta gimana hah? Gue bawa mobil, Man. Lo tau jalan macet. Maen kunci aja lo. Sabar dikit ngapa, Sayang."

"Masuk kuburan lo sana! Jijay gue astaga. Ya udah, gue tutup teleponnya."

"Sip, Bro."

 

******

 

Talitha mengusap matanya yang masih mengantuk sebab baru saja bangun tidur. Gadis itu diam sejenak dan pikirannya kembali mengingat apa yang telah terjadi tadi malam. Mendadak, dia menghela napas berat dan tubuhnya merunduk lemas. Dia mengerang dan mengacak rambutnya jengkel. Sial, kok bisa, sih, ada orang seperti itu? Bagaimana nasib Gavin nantinya sebagai bawahan pria yang sifatnya tidak masuk akal itu? 

Dengan mata yang masih malas terbuka dan rambut yang berantakan, Talitha turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke luar kamar dengan agak oleng karena baru bangun tidur. Mulutnya bahkan masih menguap berkali-kali. Serampangan dan tak peduli adalah sifat nomor satu Talitha. Untung saja dia tidak bergaya sok gaul. Untung saja. Dia malah ibarat orang yang tak peduli dengan majunya zaman. Talitha turun ke bawah dengan piamanya dan langsung menuju ke dapur. Sampai di dapur, dia mulai mengerjapkan matanya dan langsung mencari keberadaan lemari es. Mengambil salah satu botol yang berisi air dingin dan langsung meneguknya bak orang kehausan.

Tak lama kemudian, Talitha melihat Gavin lewat di ruang tamu. Talitha yang dari dapur memang masih bisa melihat ke ruang tamu secara langsung karena posisinya berhadapan. Talitha langsung bertanya dengan santai, "Bang, Mama sama Papa mana?"

Gavin langsung menatap Talitha dan menggeleng dengan ekspresi tak habis pikir. "Dek, coba cuci muka dulu sana. Kok jadi gue yang malu liat elo. Mama sama Papa ke pasar tadi."

"Oh," kata Talitha. Setelah itu, Talitha terkejut melihat ada sosok lelaki lain yang ikut menunjukkan dirinya ke ruang tamu dan mulai duduk di kursi depan TV bersama Gavin.

"Lah, Bang Revan?! Weleeeh kapan Abang ke sini? Abang nginep di sini, ya, semalem?"

Revan melihat ke arah Talitha dan langsung memelotot. "Astaga, Ta! Liat rambut lo, tuh! Kayak Mak Lampir, serius!!"

Talitha berdecak. Ha, susah kalau berhadapan dengan Gavin dan Revan. Yang satu cerewet, yang satu suka mengejek. Sejoli dan larut bersama banget. Dengan malas, Talitha pergi ke kamar mandi dan mencuci muka, lalu menggosok gigi. Biasanya dia tak semalas ini, tetapi problem semalam membuatnya berada dalam mood yang buruk. Semoga saja Marco Deon itu nanti tak memarahi Gavin atau menegur Gavin karena masalah Talitha semalam.

"Bang, kita gak punya sarapan, ya?" tanya Talitha tak lama kemudian, yang membuat Gavin dan Revan hanya menatapnya dengan cengiran.

 

******

 

"Vin, kamu dipanggil ke ruangan Pak Dirut. Temui dia sekarang katanya," kata Mbak Rei, salah satu Ketua Direksi, dengan wajah menornya. Dia langsung masuk saja ke area direksi Gavin, lalu masuk ke dalam ruangan Gavin, dan menyampaikan pesan itu.

Gavin mengangkat kepalanya tatkala mendengar suara Mbak Rei. Dia lantas mulai terlihat terkejut. "Hah? Pak Dirut, Mbak? Lho...ada apa, ya?"

"Nggak tau. Duh, beruntung kamu, Vin... Saya malah kepengin liat wajah Pak Dirut ganteng kita itu lagi, lho... Haha."

"Mbak, Mbak tadi dikasih tau sama siapa?" ujar Gavin, jujur dia agak panik. Yang memanggilnya ini Dirut! "Tadi saya lewat, habis ngambil kertas. Tiba-tiba ketemu sama sekretarisnya Dirut. Dia suruh saya buat manggil kamu. Ntar kamu bisa lapor ke dia di lantai 32 biar dianter masuk ke ruang Dirut. Emang ada apa Vin? Kamu ada salah?"

"Duh, Mbak...saya bingung juga. Ya udah, deh. Makasih, ya, Mbak Rei."

"Yup," jawab Mbak Rei sambil mengedipkan mata. Setelah itu, wanita itu melenggang pergi dengan diiringi suara ketukan high heels-nya.

Gavin menghentikan aktivitasnya sebentar dari komputernya dan keluar dari ruangannya. Berhubung dia adalah seorang ketua direksi, dia pamit sebentar dengan anggota direksinya dan keluar dari ruangan bagian direksi pengembangan itu.

Ia merapikan pakaian kemejanya dan menghela napas lewat mulutnya sembari berjalan santai ke arah lift. Di dalam lift, Gavin menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan hanya bisa menunggu hingga ia sampai di lantai 32 khusus untuk Dirut. Ketika keluar dari lift, Gavin berjalan melalui koridor hingga ia bertemu Sekretaris Dirut yang juga berjalan menghampirinya.

"Silakan, Pak Gavin Aryadinata," ujar sekretaris berwajah manis itu sembari membawa Gavin menuju ke sebuah pintu besar. "Pak Direktur Utama menunggu Anda."

Dengan wajah heran yang bercampur dengan ketidaktahuan, Gavin pun menatap ke arah Sekretaris Dirut itu. "Em... Maaf, Bu. Saya mau tanya. Sebenarnya ada apa Pak Direktur Utama mau menemui saya, ya, Bu?"

"Beliau hanya meminta saya untuk memanggil Anda ke ruangannya. Mungkin Anda akan tahu begitu Anda masuk ke dalam."

Gavin menghela napas lewat mulutnya. "Oke. Terima kasih, Bu."

Sekretaris itu kemudian mengangguk sembari tersenyum. Setelah itu, sekretaris itu mengetuk pintu ruangan Dirut sebanyak tiga kali.

"Pak, Bapak Gavin Aryadinata sudah datang."

"Masuk saja." Suara khas Direktur Utama itu terdengar begitu mendominasi. Gavin mengangguk.

Sekretaris itu lantas membukakan pintu untuk Gavin dan Gavin mulai masuk ke dalam ruangan. Sekretaris itu merunduk sebentar, memberi hormat kepada Direktur Utama, kemudian menutup kembali pintu besar itu. Kini tinggal Gavin, suasana tenang di ruangan itu...beserta kedua mata Deon yang ternyata telah menatapnya dengan tatapan tajam.

Gavin merunduk hormat.

"Silakan duduk, Pak Gavin," ujar Pak Dirut itu ketika Gavin kembali berdiri tegak.

Mengangguk, Gavin akhirnya maju ke depan dan duduk di kursi yang disediakan di depan meja Dirut itu.

"Baik... Pak Gavin... Ketua Direksi Pengembangan?" tanya Deon sembari memiringkan kepalanya. Jemari tangannya bertaut di depan wajahnya, sikunya bertumpu pada meja. Aroma segar dan maskulin dari dirinya beserta aroma harum dari ruangan itu telah bercampur menjadi satu.

"Iya, Saya, Pak Direktur." Gavin menjawab dengan perasaan heran. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?

Deon mengangguk dan tersenyum simpul ketika dia menatap Gavin dengan lebih saksama.

"Bagaimana pesta kemarin, Pak Gavin? Bapak datang?" tanya Deon dengan keramahan yang seolah sulit ditebak, muncul begitu saja bagaikan memiliki alter ego. Dia bahkan berbasa-basi.

Gavin tertawa renyah...atau malah hambar? "Ah...ya, Pak. Saya datang, tentu saja."

"Tentunya Anda membawa pasangan yang sangat cantik dan terlihat muda." Deon tersenyum.

Gavin mulai mengernyit. Mengapa Pak Direktur ini tahu bahwa pasangan Gavin terlihat muda? Itu Ita, 'kan?

Namun, Gavin menjawab dengan rasional. Agak bersilat lidah sedikit, sih. "Ya, Pak. Banyak sekali memang orang-orang yang suka berpacaran dengan kekasih yang berwajah awet muda."

Deon memicingkan mata. Jelas dia tahu bahwa itu adalah adik Gavin. Di hadapannya, sekarang Gavin menutupinya dengan cerdik.

"Hm...tetapi saya tahu bahwa yang kemarin itu adik Bapak. Ya...meskipun itu tidak berpengaruh pada saya." Deon berujar sarkastis, tetapi dia tersenyum.

Mata Gavin terbelalak. Aduh, jangan-jangan inilah yang terjadi pada Ita semalam? Wah, meski Sang Dirut ini berkata bahwa hal itu tak berpengaruh padanya, tetapi mengapa wajahnya tampak begitu sarkastis sekarang?

"Ah, ya Tuhan. Tolong maafkan saya, Pak. Saya benar-benar meminta maaf. Saya memang terbiasa meminta Adik saya untuk menemani saya dalam acara seperti itu. Yah...maklumlah, Pak...belum ada pasangan," ujar Gavin, mencoba untuk mendinginkan suasana dengan sedikit humor.

Namun, herannya, Deon benar-benar tertawa! Pria dengan garis wajah yang terlihat mengerikan itu tertawa dihadapan Gavin sekarang, dia tertawa lepas di hadapan Gavin.

"Benar sekali, Pak. Anda benar. Saya juga agak sulit dalam hal pasangan," ujar Deon seolah Gavin adalah teman bisnisnya.

Mau tidak mau, suka tidak suka, segan tidak segan, Gavin ikut tertawa.

Akan tetapi, sesudahnya Deon melanjutkan, "Saya sebenarnya kecewa mendengar kebohongan Bapak. Jujur, saya memang marah sekali," ujar Deon, mendadak matanya memicing dan berkilat kembali.

Gila, orang ini punya berapa kepribadian? Kok jadi seram begini, sih?

"Namun...karena saya suka Talitha, saya tidak akan memecat Pak Gavin," ujar Deon sembari tersenyum penuh arti.

Gavin sontak terperanjat.

"Bapak... Maaf kalau saya asal tebak dan asal bicara, Pak," ujar Gavin yang dihadiahi anggukan oleh Deon. Gavin kemudian melanjutkan, "Bapak...telah bertemu dengan Adik saya semalam?"

Mata Gavin jelas membulat dan ia benar-benar ingin tahu. Oh, Tuhan, apa yang terjadi?

Deon tersenyum. Pria tampan itu mengangguk. "Iya, benar. Saya bertemu adik Anda di koridor semalam. Dia sangat manis," ujar Deon. "Mungkin karena saya banyak bicara, dia jadi agak stress, ya, tadi malam?" tebak Deon yang sama sekali tidak meleset.

Gavin mengernyitkan dahi, kemudian dia mencoba untuk mencerna semuanya. Gavin lantas merenggangkan alisnya yang bertaut itu, kemudian pria itu mengangguk. "Oh, itulah yang sebenarnya terjadi, rupanya," ujarnya. "Iya, Pak. Dia sepertinya banyak pikiran semalam. Saya kira ada apa... Ya ampun...ternyata seperti itu kejadiannya."

Deon tertawa renyah.

"Bolehkah saya bertemu dengannya? Barangkali...saya bisa meminta maaf," ujar Deon dengan pandangan penuh arti. Tangannya masih bertaut di depan wajahnya. Dia masih tersenyum.

Gavin mendadak menggeleng. "Ah, tidak apa-apa kok, Pak. Nanti saya akan jelaskan soal ini ke dia. Tidak perlu repot-repot, Pak."

"Tidak," ujar Deon. "Saya harus bertemu dengannya, Pak Gavin. Saya merasa tidak enak jika tidak meminta maaf dengannya."

Gavin mulai berpikir sejenak.

Ya... Bagaimana, ya? Gavin tidak berani untuk langsung berpikir negatif karena Deon saat ini bersikap sangat baik kepadanya. Lagi pula, wajar saja kalau seseorang mau meminta maaf.

Akhirnya, Gavin pun menjawab, "Baiklah, Pak."

Deon mengangguk. "Di mana saya bisa menemuinya, Pak Gavin?"

Gavin menatap Deon. "Pak Direktur bisa menemui Adik saya di tempatnya kuliah. Dia di UI dan dia mungkin akan pulang sekitar jam dua siang hari ini."

"Baiklah, Pak Gavin. Terima kasih banyak. Untuk seterusnya, saya harap kita bisa berhubungan dengan baik seperti ini," ujar Deon sembari berdiri dan gerakan itu kontan diikuti oleh Gavin. Mereka lantas bersalaman.

"Saya akan mempromosikan Bapak untuk kenaikan gaji," ujar Deon sembari tersenyum penuh arti. Kedua matanya menatap Gavin dengan fokus, tetapi penuh dengan rahasia. Gavin terperangah. Ia bahkan tak sempat menjawab pernyataan itu (mungkin lebih kepada tak tahu harus menjawab apa) dan ia hanya tertawa. Setelah itu, yang ia lakukan hanya merunduk hormat, kemudian permisi keluar dari ruangan elegan direktur utama itu.

Setelah keluar dari sana, ia merasa seakan baru saja keluar dari ruangan hampa udara. Ia masih begitu tak mengerti. Namun, yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu dan mungkin mengorek informasi dari Talitha.

 

******

 

Talitha dan Basuki baru saja keluar dari area Universitas Indonesia saat itu. Mereka berjalan ke luar dan seperti biasa, mereka berencana untuk nongkrong bersama. Barangkali minum es di pinggir jalan atau mungkin...di rumah makan? Kegiatan sehari-hari yang bahkan tak pernah membosankan untuk dilakukan.

"Bas, traktirin gue napa," ujar Talitha yang sukses membuat Basuki mencibir seraya memutar bola matanya.

"Nana lagi ga ada duit, tau ngga siih? Lupa bawa duit. Masa lo ngga inget? Yah orang Nana ajah mau minum es rencananya pake duit lo dulu."

"Kamvret, makin hari lo makin jadi bencong." Ita tergelak. "Ya elah, kenapa kita harus ditakdirkan buat jadi orang miskin begini?"

"Gue hampir menjadi wanita tulen keles. Sekarang status gue adalah Banci Kece Badai," balas Basuki dengan penuh bangga. "Lagian, lo doang kali yang miskin di rumah lo. Minta duit sana lo sama Bang Gavin! Jabatannya udah tinggi gitu."

"Duit Bang Gavin udah sering gue curi, Bung," ujar Talitha. "Bisa berabe soalnya kalo gue mintain terus. Abisnya dia tau kalo gue minta duit pasti cuma buat jajan."

Namun, sebelum Basuki sempat menjawab, tiba-tiba Talitha bersuara lagi, "Eh, BTW, kalo status lo sekarang adalah Banci Kece Badai, berarti kalo disingkat jadi BANGKAI, ya?" ujar Talitha, kemudian dia tertawa setengah mati. 

Basuki mulai menoyor kepala Talitha dengan kencang, sampai Talitha hampir oleng. Namun, Talitha justru tertawa semakin kencang. "Sialan loooo Itaik Anyuk!!!"

Mereka bahkan masih berisik, padahal mereka sedang berjalan. Tiba-tiba Talitha melihat sesuatu dari ekor matanya. Tanpa sengaja ia menatap ke arah orang yang ada di ujung sana. Orang itu tampak bersinar dan banyak dihadiahi bisik-bisik dari perempuan yang ada di sepanjang jalan.

Setelah Talitha melihat orang itu dengan lebih jelas, Talitha kontan membulatkan matanya. Mati! Dia akan melewati orang itu nanti. Orang itu adalah orang yang sangat tak ingin ia lihat sekarang!

"Buset, Bas, cepet yok jalannya!" ujar Talitha sembari tertunduk dan menarik lengan Basuki agar berjalan cepat.

"Oi oi oi oi! Lo kenapa, sih? Ada apaan, sihTaaaa? Aduh, sakittt! Lengan mulus akooeeh!" teriak Basuki, dia merengek pada Talitha yang menarik lengannya dengan begitu keras dan memaksanya untuk berjalan cepat.

"Udah, diem aja dulu!! Gue ga mau diliat oleh seseorang," ujar Talitha panik, dia berbicara dengan cara berbisik.

"Aduh, emangnya siapa, sih?!!" Basuki mulai kesal.

Dari ujung Talitha sudah menutupi wajahnya dengan buku-buku tebalnya. Kini Talitha mulai melewati laki-laki ber-sunglasses itu sembari berjalan cepat-cepat. Ia benar-benar menutup matanya kuat-kuat dan mengembuskan napasnya berkali-kali; dia berdoa agar keberadaannya tidak diketahui. Entah mengapa dia yakin bahwa orang itu ke sini untuk mencarinya.

 

"Hello, Talitha."

 

Mati. Ini tidak serius, 'kan? Astaga...ketahuan kah?! Talitha kontan berhenti melangkah. Dia merutuki dirinya sendiri dan menoyor kepalanya sendiri seperti orang gila. Setelah itu, dengan sangat perlahan...dia pun membalikkan tubuhnya.

Benar saja, itu adalah Deon. Pria itu membuka kacamatanya dan berjalan ke arah Talitha yang kini hanya bisa nyengir. Cengiran yang dipaksakan.

"Eh, Bapak. Ha ha... Apa kabar, Pak?" ujar Talitha dengan tawa hambar dan ekspresi sok kenal sok dekat.

"OH MY GOD!!! OH MY WOW!!!! MARCO DEOOOOOON!!!!!! ASTAGA, ASTAGA!! GA BISA NAPAS ASTAGA!!! ASTAGA NAPASKU!! NAPASKU!!! KIPAS MANA KIPAS?!!! MARCO DEON? INI BENERAN MARCO DEON?!! APAKAH KITA BERJODOH SEHINGGA KITA BERTEMU DI SINI SECEPAT INI? YA TUHAN, MARCO DEOOOOONNNNN HUAAAAAAAAAAAAAA!!!!" teriak Basuki panjang lebar, histeris, dan dia mulai fangirling. Eh, lupa. Dia aslinya cowok. Punya burung. Jadi, yang benar fanboying.

Astaga. Bonus derita: dia lupa bahwa Basuki ada di sini. Penggemar Marco Deon fanatik ada di sini. Double sial. Oke, mana paparazzi? Mungkin saja Talitha bisa numpang eksis lewat Marco Deon yang sedang berdiri menunggunya di depan kampus.

"Marco Deon!!"

"Eh, serius? Itu Marco Deon yang main drama Catch You, My Superhero itu, 'kan? SIALANN!!! KEJAR DIAAA!!! YA TUHAN!!! YA TUHAN!!!!!"

"AAAAA DEON!!!!"

"WUAAAA WUAAAAAAA!!"

Beratus kilatan kamera ponsel mulai memotreti Deon. Ditambah lagi, dia datang ke kampus dengan tuxedo-nya. Talitha yakin bahwa sekarang ini masih jam kerjanya Deon. Dia itu adalah bosnya abang Talitha!! Apa yang sebenarnya dia lakukan di sini? Siapa yang memberitahunya soal di mana Talitha kuliah?

Marco Deon tampak menghalangi matanya dari kilatan kamera itu dengan menggunakan sebelah tangannya. Dia tampak mengernyitkan dahi. Basuki juga mulai mencoba untuk meraihnya. Sementara itu, Talitha yang menggaruk kepalanya tatkala melihat situasi kacau ini tiba-tiba merasa tubuhnya terdorong ke depan. Dia ditarik. Dia ditarik oleh Deon!!

Kontan saja mata Talitha membeliak. Deon menariknya dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil pria itu. Dengan cepat ia membawa mobilnya agar menghindari banyaknya orang-orang yang tengah memegangi mobilnya. Basuki juga mengejar mobil itu karena terlampau terperangah melihat Talitha ditarik oleh Deon. Mobil itu akhirnya melaju dengan kencang.

Tak membuang waktu, Talitha pun langsung menatap ke arah Deon. "Pak, ap—"

"Jangan memanggilku Bapak, Pak, atau apa pun itu. Kamu bisa memanggilku Deon. Aku sudah bilang bahwa kamu itu sekarang terikat denganku. Jangan bilang kamu lupa?" tanya Deon. Dia mulai mengayunkan kepalanya untuk menatap Talitha. Dia tampak tersenyum miring...

Orang ini sudah gila. Sialnya dia mengingat perkataan gilanya itu semalam. Bagaimanapun juga, terikat dengannya hanya karena sebuah kebohongan itu tetap tidak masuk akal bagi Talitha. Berulang-ulang Talitha memikirkannya dari semalam, itu tetaplah tak bisa diterima oleh akal sehat.

"Oke, Pak—"

"Jangan memanggilku seperti itu, Talitha!!" Deon meninggikan suaranya. 

Talitha kontan terperanjat. 

Apa...yang...?

Rahang Deon mengeras.

Dia kini kembali menatap ke arah Talitha...untuk yang kesekian kalinya.

"Panggil aku Deon. Cukup seperti itu," perintah Deon kemudian.

Talitha menghela napas.

"Oke, Deon. Jadi, mengapa kamu seperti dikejar-kejar hantu dan mengharuskanku untuk terikat sama kamu? Apa ada sesuatu yang membuat kamu begitu tertarik untuk menjadikan orang lain sebagai milik kamu? Aku nggak percaya ini terjadi hanya karena kebohonganku bersama Bang Gavin."

Wah... Ngomong sama orang asing memang awkward, pikir Talitha.

"Bagaimanapun juga, kamu harus percaya," jawab Deon.

Talitha memutar bola matanya. "Kamu sudah gila, ya? Terserah apa kata kamu, turunkan aku di sini sekarang juga."

"Kamu ternyata memang sulit diatur," ucap Deon. "Aku bertanya-tanya apakah kamu akan tetap serampangan seperti itu apabila aku menjadi kekasihmu?"

"Dengar ya, Pak Deon," ujar Talitha dengan penuh penekanan. Dia sengaja menggunakan 'Pak' supaya berbicara pada Deon dengan sarkastis. "Cukup semalam aja kamu ancam aku. Cukup semalam aja aku menerima kebengisan kamu. Sekarang aku sadar sepenuhnya bahwa itu tak mungkin kulakukan. Perihal Abangku yang mau dipecat, mungkin kalau aku berbicara dengan perlahan sama dia, dia bakal ngerti."

Deon menatap Talitha dengan penuh amarah. "Jangan membuatku benar-benar marah, Talitha."

"Oke, sebenarnya aku kurang suka berbicara formal, kecuali ketika berada di kelas," kata Talitha. "tapi begini, Pak Deo—"

"Talitha!!" teriak Deon, decitan ban mobilnya terdengar begitu ia mengerem dengan paksa setelah kecepatan yang tinggi.

"Aku tak pernah main-main dengan ucapanku," ujar Deon dengan bengis, dia menatap Talitha dengan tatapan yang setajam silet. Dia kini mulai mendekati wajah Talitha dengan perlahan. "Aku akan memecat kakakmu."

Talitha kini benar-benar membulatkan matanya.

"SEBENARNYA APA YANG KAMU MAU?! Ini semua maksudnya apa, sih?!!" teriak Talitha, entah mengapa ia jadi merasa direndahkan sekali.

Akhirnya, Deon menghela napas. Dia agak mundur ke posisinya semula. "Aku akan menceritakan padamu betapa mengerikannya kebohongan itu...yang kudapatkan pertama kali dari keluargaku. Namun, di luar dari itu semua, aku ingin kamu membantuku. Aku ingin menunjukkan kepada seseorang bahwa aku memiliki seorang kekasih, bukan, calon istri. Calon istri yang kupedulikan," ujar Deon dengan rahang yang mengeras dan pandangan mata yang tajam.

Talitha menganga. Matanya sekarang terlihat seakan nyaris ke luar.

Namun, di luar ekspektasi Deon, gadis itu dengan gilanya malah tertawa kencang. "APA KATAMU?! HAHAHAHAHA!!!! Jadi, kamu melakukan ancaman itu karena masalah percintaan?!!! HAHAHAHAHAH!!" tawa Talitha terdengar menggelegar di mobil, meskipun akhirnya dia berhenti tertawa karena dia ingat kalau tadi Deon berkata bahwa pria itu punya masalah keluarga.

Aaaaak, matilah Talitha. Mungkin dia akan kena bentakan Deon lagi?

Namun, tanpa disangka-sangka, Deon tidak menjawabnya secara langsung. Pria itu kembali menghidupkan mesin mobilnya dan mobilnya itu berjalan kembali.

"Mungkin aku memilihmu karena kamu adalah orang yang kurang peduli dengan tanggapan orang lain. Kamu perlu mendengarkanku," ujar Deon, matanya memicing tajam tatkala menatap ke arah jalanan.

Deon kemudian melanjutkan, "Mungkin kamu sedikit menarik dan kebetulan kau memancing emosiku saat itu. Kalau tidak kuancam seperti itu, mungkin kau akan melupakan apa yang terjadi semalam itu, 'kan? Kebetulan sekali, aku memang membenci kebohongan."

Talitha mengernyitkan dahinya heran. "Kamu itu direktur, tetapi bicaramu seenak membalikkan telapak tangan, ya? Coba kamu pikirkan dulu apa yang sedang kamu katakan itu. Kamu pikir aku mau jadi calon istri pura-pura kamu? Ya nggaklah! Lagian, gak mungkin keluargamu percaya, wong kamu juga baru datang ke Indonesia." Talitha tertawa lagi. Dia mulai bicara sedikit non-formal.

Deon tersenyum miring, kemudian dia menatap ke arah Talitha. Dia memiringkan kepalanya.

"Kakakmu sudah kuberitahu semua yang kukatakan padamu tadi malam, kecuali masalah kamu terikat denganku. Aku yakin jauh di dalam hatimu, kamu tidak ingin kakakmu dipecat," ujar Deon yang membuat Talitha melongo bukan main. "Jadi, kamu tak punya pilihan lain," lanjut Deon dengan nada tajam.

"Sumpah...aku nggak ngerti. Duh. Terus kamu sekarang memaksaku? Dan lagi kok harus aku, sih?!" Talitha menganga lagi. Otak minimnya memang butuh waktu lebih untuk bisa sinkron dengan keadaan.

"Kan sudah kubilang bahwa aku tertarik denganmu." Deon mendengkus. "Lagi pula, apa yang sudah kuputuskan untuk menjadi milikku akan tetap menjadi milikku, Talitha." 

Deon tersenyum miring, ia menoleh ke arah Talitha dan memperhatikan gadis itu dengan matanya yang berkilat tajam.

"Maka dari itu, seharusnya kamu tidak bermain api dengan orang sepertiku." []