Chereads / My Man by jihanvelia / Chapter 6 - Bab 5

Chapter 6 - Bab 5

Bab 5 :

 

PAGI INI, seperti biasa Talitha bangun jam lima pagi. Gadis itu sudah ada di dapur dan mulai membantu mamanya memasak. Talitha pergi mengambil persediaan ikan di kulkas dan memberikannya kepada mamanya.

"Kamu tadi malem ngapain teriak-teriak, Ta?" tanya mama Talitha sembari menggeleng. "Udah malem kok berisik."

Talitha membulatkan mata. Ia mendadak tertunduk dan meneguk ludahnya. Mati. Mamanya mendengar teriakannya tadi malam.

Lha, ini bukan salahnya juga. Deon sableng itu yang meneleponnya dan mendadak memintanya menghapus untuk nomor laki-laki lain selain keluarga atau yang dianggap sebagai keluarga di ponselnya.

Talitha nyengir. "Entah juga, Ma. Kayaknya Ita fangirling sama Justin Bieber semalam. Haha." Dalam hati Talitha merutuki dirinya sendiri.

Mama Talitha mencibir, lalu ia membuat ekspresi ingin muntah. "Udah gede, Ta. Udah mau Mama kawinin, nih. Insaf dikit kek dari Justin Bieber."

Talitha menganga dan wajahnya kelihatan konyol bukan main. Ia mencibir pada mamanya. "Yee Mama juga nih sableng. Sama aja kayak biro jodoh." Talitha menggeleng menyadari betapa gilanya mamanya. Sama seperti dirinya; buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. "Lha, salah Mama apa, toh? Kamu juga nggak pernah punya pacar. Bikin malu aja."

Walah walah... Kalau biasanya orangtua lebih senang anaknya tidak berpacaran, mamanya Talitha justru kepengin anaknya punya pacar. Sakitnya tuh di sini, gengs. Mengapa jomblo harus selalu dideskriminasi?

"Hooo..." Talitha mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi matanya terlihat seperti sedang menantang mamanya. "Awas Mama, ya, kalo aku dapet cowok ganteng."

Tiba-tiba terdengar suara berat seorang pria yang menginterupsi pembicaraan mereka.

"Heh! Ngomongin cowok ganteng terus."

Talitha dan mamanya langsung menatap ke asal suara. Rupanya itu adalah suara papanya yang baru saja selesai mandi dan pergi ke dapur untuk mengambil segelas kopi di atas counter dapur. Kopi itu sudah dibuat oleh mamanya beberapa menit yang lalu.

Mama Talitha jadi tertawa. "Gak apa-apa, Pa. Soalnya nih Anak Kucel kok nggak pernah ada sisi dewasanya."

Anak Kucel? Astaga.

Papa Talitha lantas melihat ke arah Talitha. "Ita mah calon perawan tua," kata papanya sembari mencibir.

Talitha menganga. "Weleh-weleh... Doanya jelek banget! Apa salahnya, sih, didoain yang bagus-bagus? Ita baru masuk dua puluh, Pa, Astaga... Ampun dah ah. Berasa kayak wanita karir umur tiga puluh tahunan lebih aja, dituntut punya pasangan."

Mama dan papanya lantas tertawa kencang.

Tak lama kemudian, papa Talitha pun berhenti tertawa. "Mandi sana. Noh, abangmu sama Si Revan lagi rebutan kamar mandi. Tuh dua anak memang kunyuk juga. Entah kapan kalian bertiga nih bisa dewasa," ujarnya.

Talitha membulatkan kedua bola matanya, kemudian dia tertawa terbahak-bahak. Gavin dan Revan memang agak childish, tetapi yah...mereka juga bisa diandalkan kok. Mereka sosok kakak yang konyol, tetapi mereka tahu mana yang baik dan mana yang buruk untuk mereka maupun untuk orang lain. Hal yang membuat Talitha tertawa adalah cara papanya berbicara. Bagi papa dan mamanya, Revan sudah seperti anak mereka juga karena dari kecil Revan sering kali tidur di rumah mereka. Dari kecil Revan juga sudah bersahabat dengan Gavin.

Gavin pun sekarang malah tertular sifat sablengnya Revan. Masih dalam keadaan ngakak, Talitha langsung berlari mengambil handuknya dan pergi menuju ke kamar mandi. Mama dan papanya sampai menggeleng-geleng sendiri melihat betapa gilanya semua anak-anak mereka. Mereka waktu muda sebenarnya ada salah apa?

Talitha pergi ke kamar mandi dapur—sebenarnya, kamar mandi itu adalah salah satu kamar mandi yang ada di rumah Talitha, selain kamar mandi yang ada di ruang keluarga—dan di sana berdirilah Gavin. Gavin tengah menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Talitha langsung saja tertawa kencang.

"Bhahahahahah!!! Jadi, lo kalah sama Bang Revan, Bang?"

Gavin menoleh ke arah Talitha dan berdecak kecal. "Berisik ah lo, Dek. Gue ga kalah. Gue ngalah."

Talitha semakin tertawa kencang. "Halah... Sok banget, sih. Makanya, Bang, kalo ngelawan Bang Revan dalam urusan kamar mandi itu, lo harusnya pake pisau!" saran Talitha.

Gavin menganga. "Pikiran lo, Ta! Ampun, belajar dari mana nih anak?! Lo pasti kebanyakan baca novel yang ada unsur violence-nya, 'kan? Ngaku!"

Talitha diam sebentar, sok berpikir. Dia sampai berlagak meletakkan jemarinya di dagu. "Nggak, Bang. Ita baca yang ada unsur S&M-nya."

Gavin memelotot. Benar-benar memelotot. Gavin nyaris saja mau menempeleng kepala Talitha sampai tiba-tiba dia mendengar Revan yang ada di dalam kamar mandi mulai tertawa keras. Gavin menganga.

"Kampret, Van, nggak usah ketawa lo!" teriak Gavin jengkel.

Revan masih tertawa kencang. Pria itu mulai bersuara, tetapi terdengar bergema. "Njir, Bro, Ita baca S&M! Good job, Dek!! Whahahahahah!! Mantap!!"

Gavin menutup matanya dengan sebelah telapak tangannya. Ia mengeluh. "Astaga..."

Sementara itu, Talitha malah tertawa kesetanan. "Bercanda, Bang. Bercanda. Gitu aja kok dibawa serius banget, sih, hahaha!"

 

******

 

"Van, lo duluan ke kantor, gih," ujar Gavin ketika Revan, Talitha, dan dirinya sudah sampai di teras rumahnya. Mobil Gavin dan mobil papanya ada di dalam garasi, sementara mobil Revan ada di halaman depan rumah mereka. Setelah itu, Gavin melanjutkan, "Gue mau nganter Ita dulu."

Revan yang baru saja ingin membuka pintu mobilnya kini beralih menatap Gavin. "Ah, nggak ah, males. Gue ikut lo aja nganter Ita."

Gavin berdecak. "Buat apa coba rame-rame nganterin Ita? Bagusan lo ke kantor, noh, nyelesain kerjaan lo yang lo tinggal kemaren. Daripada ngikutin gue."

Revan mulai menaruh tasnya di dalam mobil. "Gue males ketemu Si Vero sialan itu, Nyet. Udah ah, gue ngikut lo aja biar barengan," katanya sembari masuk ke dalam mobilnya dan berusaha untuk mengeluarkan mobilnya itu dari halaman depan rumah Gavin.

"Yeee benci aja lo. Ntar lama-lama jadi suka," cibir Gavin sembari menyeringai. Membuat Revan memelotot padanya.

"Sialan lo, Nyet! Mana mau gue sama Veroksin gila itu! Hii!"

Gavin kontan tertawa keras. Lho, siapa tahu itu akan terjadi, bukan?

Talitha menggeleng dengan wajah datar. "Bang, sebenernya lo berdua itu emang sama-sama geblek."

Mata Gavin terbelalak; Gavin menatap adiknya itu dengan mulut yang menganga. "Lo juga satu Ta, kok seneng banget ngatain abang sendiri. Yang geblek itu lo kali, Dek."

Talitha tertawa kencang. Ya mungkin sudah gennya.

Gavin mulai berjalan menuju ke garasi dan membuka pintu garasi itu. Talitha mengikutinya hingga akhirnya ia duduk di dalam mobil. Gavin melihat kaca spionnya dan mendapati bahwa mobil Revan sudah keluar dari halaman sehingga dia pun menghidupkan mesin mobilnya dan mulai memainkan roda kemudi serta persnelingnya untuk mundur.

Sambil berusaha untuk mengeluarkan mobilnya dari garasi, Gavin mulai membuka pembicaraan dengan Talitha yang sedari tadi hanya bengong di sampingnya. "Dek, kemaren lo didatengin Dirut gue, nggak?"

Mata Talitha terbelalak seketika. Ia langsung memelotot ke arah Gavin.

"Kok lo tau, Bang?"

Gavin menghela napas. "Ya taulah, wong gue yang ngasih tau dia soal di mana lo kuliah."

Talitha mendadak menjewer telinga abangnya. "Ohohh... Jadi, lo yang ngasih tau? Bang, lo itu kampret banget, tau nggak?!!"

Gavin otomatis langsung menghadap ke arah Talitha. Mobilnya kini sudah keluar dari garasi. "Lha, kenapa? Dia ngomong apa sama lo? Terus katanya waktu acara malem-malem itu kalian sempet ngobrol, ya?"

Nah, Gavin tahu juga masalah itu. Apa yang sudah terjadi tanpa sepengetahuan Talitha?

Talitha menatap abangnya dengan antusias. "Bang, lo mesti kasih tau gue. Deo—eh, Pak Dirut itu ngomong apa sama lo?"

Gavin berdecak. "Lo kasih tau gue dulu pas acara malem-malem itu kalian ngomongin apa."

"Bah!" teriak Talitha. "Apa salahnya, sih, Bang, lo ngasih tau gue duluan?"

"Kalo nggak ngasih tau, nggak gue anter, nih," ancam Gavin.

Alamak!

"Kalian. Ngomongin. Apa?" tekan Gavin sekali lagi.

Aduh, andai saja Gavin tak se-overprotective ini.

Pasalnya...di mata Gavin, Talitha itu selalu jadi bocah.

Talitha menggaruk kepalanya. "Elah nih Abang," ujar Talitha. "Ga ada, Bang. Dirutnya Abang itu ganteng-ganteng ganas. Dia marah malem itu karena tau kalo kita bohong."

Gavin berdeham panjang. "Wah, kalo gitu...sama, dong, dengan yang dia bilangin ke gue," ujar Gavin. "Dia juga bilang kalo dia mau minta maaf langsung ke lo. Awalnya gue bilang ga usah repot-repot, tapi dia pengin minta maaf ke lo langsung. Jadi...ya gue kasih tau di mana dia bisa nemuin lo."

Talitha menghela napas. Aduh... Ternyata seperti itu ceritanya? Akan tetapi, sebenarnya kemauan Deon waktu itu bukanlah untuk meminta maaf, melainkan mencekoki Talitha dengan segala perintah penuh kuasanya. Mobil Gavin kini sudah keluar dari halaman rumah dan pria itu lantas turun dari mobil untuk menutup pagar rumah. Pagar itu sebetulnya sudah lama terbuka sejak papanya pergi kerja setengah jam yang lalu. Papanya pasti lupa menutup pagar. Untung saja kompleks mereka ini terbilang aman, kalau tidak, pasti berbahaya untuk mobil Revan yang tadi terparkir di halaman depan. Ketika Gavin baru saja ingin masuk ke dalam mobilnya kembali, ia dikejutkan dengan sebuah mobil yang tiba-tiba datang ke dekat mobil mereka. Mobil itu benar-benar berhenti di hadapan mereka.

Mata Gavin memicing. Ia sadar bahwa Revan juga keluar dari mobilnya. Hanya Talitha-lah yang tetap di dalam mobil dan mencondongkan kepalanya ke luar jendela mobil karena ingin tahu siapa gerangan yang ada di dalam mobil itu. Maksudnya, mobil yang berhenti di dekat mobil Revan dan Gavin.

Tiba-tiba pintu mobil itu terbuka. Lantas turunlah sosok itu: seorang pria yang penuh dengan kuasa itu. Seorang pria yang otoriter itu. Seorang pria tampan yang seksi, tetapi penuh dengan rahasia masa lalu itu.

It's Marco Deon Abraham for sure.

Talitha membelalakkan mata. Ternyata Deon tak main-main soal ucapannya tadi malam: ucapan bahwa dialah yang akan mengantar jemput Talitha mulai sekarang. Deon hari ini membawa mobil yang berbeda dari mobilnya kemarin sehingga tadi Talitha sama sekali tak menyangka bahwa itu adalah Deon.

Baik Gavin maupun Revan kini melongo bukan main. Daripada merasa terberkahi karena bertemu Dirut di luar perusahaan, mereka lebih merasa tercengang karena tiba-tiba bertemu dia yang kejam itu di depan rumah!!

Sosok itu, Deon, kini tersenyum simpul kepada Gavin dan Revan. Gavin dan Revan sontak merunduk singkat. Mereka berdua mengernyitkan dahi; mereka menyatukan alis karena merasa heran.

Gavin mulai tersenyum dengan sopan.

"Pak Direktur," sapa Gavin. "Kalau boleh tau...em...ada apa, ya, Pak?"

Tampak ia dan Revan sama-sama sedang menanti jawaban dari Deon. Sementara itu, Talitha, gadis itu mencoba untuk merosot ke bawah jok mobil agar tak terlihat oleh Deon.

"Good morning, Pak Gavin," ujar Deon dengan penuh wibawa. "Saya datang ke sini untuk menjemput Talitha."

Gavin dan Revan sontak membulatkan mata. Revan lantas berbicara, "Ada apa memangnya dengan Talitha, Pak?"

"Apakah dia ada di dalam salah satu dari antara dua mobil ini?" tanya Deon tanpa memedulikan pertanyaan dari Revan.

Gavin menatap ke belakang sejenak sebelum akhirnya kembali menatap ke arah Deon. "Ah... Ya, Pak, dia ada di dalam mobil, tetapi..."

Deon terkekeh. Pria itu mengangguk. "Kalau begitu, saya ingin mengantarnya."

Gavin dan Revan saling menatap satu sama lain. Revan kemudian kembali menimpali, "Tidak usah repot-repot, Pak. Anda benar-benar baik, tetapi..."

Pikiran mereka masih benar-benar buntu. Bayangkan saja, alasan apa yang bisa dipikirkan oleh mereka tentang Pak Dirut yang tiba-tiba ingin mengantar adiknya Gavin? Talitha masih mengintip-intip dari dalam mobil.

Ini tak beres. Revan dan Gavin pasti bingung setengah mati.

Talitha pun akhirnya menghela napas. Setelah itu, dengan cepat gadis itu memilih untuk turun dari mobil. Suara pintu mobil yang terbuka itu sukses mengalihkan tatapan Revan, Gavin, dan Deon. Ketiga pria itu langsung menoleh ke arah Talitha.

Talitha kini mulai berjalan mendekati mereka.

"Bang, Ita sama Pak Deo—" Ita menatap Deon dan ekspresi Deon langsung berubah, langsung terlihat tak suka. Ita spontan langsung meralat ucapannya, "Ita sama Deon ini..."

Gavin mendadak menutup mulut Talitha. "Dek! Sopan dikit! Biar muda gini, Bapak ini adalah direktur utama perusahaan tempat gue kerja!"

Deon kemudian mendekati Gavin dan Talitha. Pria itu tersenyum dengan ekspresi yang ramah, tetapi Talitha tahu, semua ekspresi Deon itu punya arti. Setelah itu, Deon meraih tangan Talitha dan seketika Talitha langsung berada di dalam rangkulan Deon. Tubuh kekarnya, parfum beraroma maskulinnya yang begitu menggoda...

Talitha sontak membulatkan mata dan gadis itu langsung mendongak untuk melihat wajah Deon. Namun, kini rangkulan Deon itu terasa semakin posesif. Gavin dan Revan nyaris tak bisa bernapas saking terkejutnya mereka dengan apa yang sedang mereka lihat sekarang.

"De—Deon! Lepasin gue, oi!"

Deon hanya terkekeh. Setelah itu, Deon menatap ke arah Gavin dan Revan. "Saya akan mengantar jemput Talitha mulai sekarang, Pak Gavin dan Pak..."

"Revan," potong Revan. "Saya Ketua Direksi Pemasaran, Pak."

Deon mengangguk singkat. "...Pak Revan." Deon bernapas. "Talitha berhasil mendapatkan hati saya dan sekarang dia adalah kekasih saya. Jadi, bisa saya mengantar jemput dan memperhatikan Talitha mulai hari ini?"

Revan tak pernah melongo separah ini di sepanjang hidupnya. Kalau Gavin...wajah pria itu kontan memucat.

Talitha...pacaran dengan bosnya?

 

******

 

Talitha menatap Deon dengan sarkastis. "Kamu nih emang nggak ada kerjaan, ya. Aku nggak mau Bang Gavin sama Bang Revan sampe mikir yang aneh-aneh! Jangan nyelonong aja kalo mau dateng ke rumah orang!!"

Deon memicingkan mata, pria itu menatap ke arah Talitha. "Kamu itu kekasihku. Apa aku perlu meminta izin?"

Talitha menggeram. "Kekasih palamu! Kapan jadiannya?! Aku cukup tau diri kalo aku jomblo dari lahir!"

Deon mengernyitkan dahinya heran. Dia lantas menatap Talitha seraya memiringkan kepalanya.

"Jo...mblo?" tanya Deon. Dari ekspresi wajahnya, ia tampak benar-benar tak mengerti. Ia mengatakan itu seraya menggeleng samar.

Talitha lantas membulatkan matanya. Ah...iya. Manusia posesif satu ini adalah blasteran yang baru datang ke Indonesia dan dia tak mungkin tahu istilah itu.

Deon dapat berbicara dalam Bahasa Indonesia saja sudah luar biasa, meskipun logatnya masih terdengar agak aneh. Wajah Talitha sekarang jadi memerah karena menahan tawa. Setelah itu, ketika tawanya meledak, ia jelas sukses membuat Deon tambah bingung.

"Berbicaralah dengan bahasa yang bisa kumengerti, Talitha."

"Ya kamu itu lucu!! Wahaha—hahahahahahah! YA TUHAAN! HAHAHA!" gelak Talitha. Deon menghela napas.

Setelah puas tertawa, Talitha pun kembali berbicara sembari berusaha untuk menghentikan tawanya yang membahana itu. "Denger ya, Deon. Aku ini single dari aku lahir. Aku nggak pernah merasa ditembak ataupun punya pacar. Terus tiba-tiba kamu datang dan bilang kalau kita ini adalah sepasang kekasih? Astaga, ampun dah..."

Deon memicingkan mata. "Tapi kamu harus setuju untuk jadi kekasihku jika kamu tak mau Gavin dipecat."

Talitha berdecak. "Bisa nggak, sih, nggak usah disangkut-sangkutin ke Bang Gavin? Dia udah cukup banyak pikiran, tuh, gara-gara kamu yang terlalu ngagetin dia. Kamu ini ganteng, tapi kok sifatmu kayak gini, hah?!"

"Aku akan memperjuangkan apa pun supaya bisa mempertahankan apa yang seharusnya menjadi milikku, Talitha," ujar Deon, ia menatap Talitha seraya memiringkan kepalanya. Suaranya yang berat dan seksi itu terdengar mengalun.

"because what's mine is mine," lanjutnya.

 

******

 

Ketika mobil Deon berhenti di depan universitas, Talitha pun menghela napas. Ia belum turun dari mobil. Ia hanya tertunduk dan tampak diam.

"Turunlah, Talitha," ujar Deon, suaranya terdengar begitu mendominasi.

Talitha menatap Deon perlahan, ia menghela napas. "Jangan ganggu abang-abangku, Deon," ujar Talitha. "Oke, kita sepasang kekasih, tetapi hanya untuk pura-pura di depan keluargamu, 'kan?"

"Kita bukan kekasih pura-pura," ujar Deon. "berulang-ulang aku memikirkan ini, tetapi aku pikir sepertinya itu adalah keputusan yang salah. Jadi, kamu benar-benar kekasihku. Bukan pura-pura."

Talitha kontan menganga, ia langsung menatap ke arah Deon. "Kita nggak saling suka! Nggak mungkin aku bisa pacaran sama kamu tanpa ada rasa suka. Di kamusku masih tertera bahwa pacaran itu harus karena sama-sama suka. Bukan sekedar pasang-pasangan kayak ngejodoh-jodohin burung!"

"Kalau merpati, setahuku mereka tak akan meninggalkan pasangannya, bukan?" sambung Deon dengan senyuman miring. Ah...padahal pria ini tampan sekali, tetapi otaknya tidak beres.

Talitha berdecak. "Halaaah sok tau kamu," ujar Talitha. "Aku yang pernah ngintip merpati kawin aja nggak sampai segitunya."

Deon jadi mengangkat sebelah alisnya. "Aku nggak begitu ngerti apa yang kamu maksud, tetapi...kamu mengintip merpati...kawin?"

Deon tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

Hal itu sukses membuat Talitha terpesona bukan main. Pria yang ganas ini...bisa tertawa? Pria yang penuh dengan bayangan masa lalu yang buruk ini...bisa tertawa lepas seperti itu? Oh, Tuhan, betapa tampannya dia. Betapa indahnya wajahnya ketika dia tertawa.

Talitha sadar bahwa dia terpesona...dan sontak dia menggeleng. Dia tak boleh salah fokus.

"Ya, benar, dan aku nggak sok tau kayak kamu," jawab Talitha.

Deon menarik napas dalam, kemudian pria itu mengeluarkannya lewat mulut.

"Ayo ke luar," ajak Deon.

"Udah, aku bisa ke luar sendiri. Bisa berabe kalo kamu ikut ke luar. Bikin heboh seantero jagat ntar kamu," balas Talitha sembari berdecak. Namun, anehnya Deon tetap ke luar. Talitha langsung membulatkan kedua bola matanya, kemudian dia dengan cepat menyusul Deon ke luar.

Baru beberapa detik Deon keluar dari mobil, teriakan histeris sudah mulai terdengar.

Talitha langsung menghampirinya. "Oi! Kamu nih gila banget, sumpah! Dibilangin jangan ke luar masih aja ke luar!"

Namun, tanpa disangka-sangka, sesuatu terjadi.

Sesuatu yang bahkan tak membiarkan Talitha untuk mencerna keadaan terlebih dahulu. Talitha bahkan belum sempat bernapas.

Deon menarik tangannya dan mencium bibirnya.

Mengambil ciuman pertama Talitha dengan ciuman manis yang singkat. Di depan semua orang.

Talitha hanya bisa terpaku dengan bola mata yang nyaris keluar. Namun, Deon justru berkata dengan lirih, "Kita memang tak saling menyukai. Namun, kamu itu milikku dan tak boleh menjadi milik orang lain. I need you and I'll protect you as my girl. Salahkan dirimu yang telah membuatku tertarik, Talitha."

Pria itu bernapas pelan di depan bibir Talitha. Gadis itu masih dengan idiotnya tak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia tak pernah dicium oleh pria lain selain keluarganya! Pegangan tangan pun tak pernah, selain dengan papanya atau dengan Gavin! Ia hanya bisa mengernyitkan dahinya kesal dengan Deon; ia mengepalkan tangannya. Terdengar semua orang mulai mengerumuni kedua orang itu, meneriaki dengan penuh kecemburuan dan dengan histeris. 

Deon lalu berkata, "Oh ya, kamu nggak lupa untuk menghapus nomor ponsel kakak-kakak tingkatmu itu, 'kan?"

"Egois," ujar Talitha tajam. "Aku memang udah menghapus semua nomor itu. Kita memang ada persetujuan, Pak Deon." Talitha mendengkus. Ia selalu mengucapkan embel-embel 'Pak' ketika ia kesal dengan Deon. "Namun, jangan sok memperalat orang lain," sambungnya.

Mata Deon melebar. "Kamu nggak tau rasanya dikhianati dan ditinggalkan, Talitha. Kamu nggak tau!!" teriak Deon kencang. Dia tak peduli, meski banyak sekali orang yang sedang menonton mereka.

"Aku memang nggak tau, Deon!" teriak Talitha, lalu suaranya memelan. "Oke. Kita pacaran. Tapi aku bisa menjamin bahwa aku nggak akan pernah bisa suka sama kamu kalau sikap kamu seperti ini. Itu hanya status dan terserah kamu kalau kamu mau marah sama aku. For me, the love is not real," peringat Talitha sinis, tetapi suaranya pelan sehingga kerumunan yang sedang histeris itu tak dapat mendengarnya.

Ekspresi Deon menggelap; ia menatap Talitha dengan tajam sebelum akhirnya Talitha mendorongnya dan berjalan menjauhinya dengan langkah yang lebar.

Orang sialan itu!! Mengapa ciuman pertama Talitha harus direbut olehnya?!!

Talitha meninggalkan Deon yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

"Talitha!!!!" teriak Deon dengan penuh amarah. "Berhenti, Talitha!!! Dengar aku dan berhenti sekarang juga!!"

Deon tak suka itu.

Entah mengapa Deon tak suka mendengar Talitha berbicara seperti itu.

 

******

 

"Anjir, Itaaaaaaa!!! Lo ke mana aja, Boo!! Nana cariin dari tadi, lhoo, tau nggak!" teriak Basuki dengan histeris. Ia langsung memeluk tubuh Talitha kuat-kuat hingga Talitha terbatuk.

"OI! SESAK—SESAK NEH!!" teriak Talitha. Basuki kini melepaskan Talitha dan mengguncang- guncangkan tubuh gadis itu ke depan dan ke belakang.

"ELO. HARUS. CERITA. KE GUE. TENTANG. MARCO DEON!! LO. TADI. DICIUM—AH KAMVRET! JUJUR LO! TADI PAGI LO DICIUM DIA, 'KAN? KAMVRET BANGET LO! KAMVRET!" teriak Basuki.

Talitha menghela napas.

Ia kemudian melepaskan tangan Basuki dari tubuhnya. "Ga tau ah, Bas. Pusing gue. Ketemu orang supersialan kayak dia. Ganteng, sih, iya. Tapi otaknya terganggu." Basuki mengernyitkan dahi, lalu mendadak memelotot. "Terganggu? Ayo ceritain ke gue. Cerita gak lo?!!"

Talitha memutar bola matanya.

"Sebenernya bukan sinting. Tapi...dia itu kayak ada anehnya. Seenak perutnya aja ngatur orang. Agak laen."

Basuki menarik Talitha untuk berdiri dan bersandar ke dinding. Setelah itu, dengan antusias Basuki bertanya lagi, "Lho, kok bisa, sih—LAGIAN, KENAPA KALIAN BISA KETEMU DAN BISA DEKET?!! SETAU GUE YANG NGE-FANS SAMA DIA ITU GUE NJIR!!! GUE SANG NANA CANTIK NAN SEXY INI!! KAMVRET BANGET, GUE DIKHIANATI SOHIB GINI! ARTIS TERKENAL KOK BISA DEKET SAMA LO DAN—DIA CIUM LO, NYET!"

"Sabar—oke. Sabar. Iya, gue cerita. Sumpah jijay hoeek," ujar Talitha seraya berpura-pura muntah.

Akhirnya, Talitha pun mulai bercerita.

"Jadi gini..." ujar Talitha, yang langsung membuat Basuki mengangguk-angguk dengan antusias.

 

******

 

Siang ini hujan.

Untungnya, Basuki dan Talitha sempat duduk di warung langganan mereka untuk minum es sepulang kuliah. Hujan deras itu membuat keduanya jadi merasa lapar. Jadi, mereka memutuskan untuk memakan gorengan. Waktu terlewat begitu saja ketika mereka mengobrol dengan gila sembari memakan gorengan dan minum minuman hangat.

Ah, surga dunia.

"Eh, Ta, gue ga habis pikir pertemuan lo sama Deon sampe berakibat segitunya."

Talitha hanya mengedikkan bahu sembari terus memakan gorengannya.

"Ya maksud gue, lo pikir aja, deh, orang mana yang baru ketemu langsung menancapkan hak milik?" ujar Basuki.

Talitha mengembuskan napasnya dengan jemu. "Ya makanya gue bilang ke elo kalo dia itu rada aneh."

"Tapi...rasional juga, sih, Ta. Gue rasa dia itu punya trauma karena masa lalunya itu loh. Makanya sifatnya kayak gitu. Yang nggak mungkin bakalan jadi mungkin," kata Basuki dengan logat bancinya. "Haah...andaikan sajaaah yang ditandai kepemilikan itu gue. Aaahh plis, Banggg, butuh belaiann. Hah... Gak papa deh mau diatur-atur atau dijagain dengan posesif... Adek ikhlas."

Talitha terbatuk-batuk. "Anjir! Si Kunyuk! Stop ngapa, Bas?! Lo gila banget, sumpah! Ngedengernya bikin merinding hii!"

Basuki ngakak setengah mati.

"Ah, seharusnya lo yang stop, Itaik Kucing. Soalnya lo ngerebut pangeran gue, tau nggak? Lo nggak tau betapa sexy-nya dia kalo lagi nggak pake baju. WOOH, KIPAS MANA KIPAS!"

Talitha memelotot. "Siapa yang lo sebut Taik Kucing, Nyong? Gue sumpahin mulut lo bau tai kucing baru tau rasa lo!"

Basuki baru saja ingin membuka mulutnya ketika laki-laki itu sadar bahwa Talitha tiba-tiba memandang ke arah lain. Tatapan Talitha tampak agak berbeda kali ini. Gadis itu kelihatan terkejut. Basuki mengernyitkan dahi, mulutnya agak maju ke depan karena heran. Setelah itu, dengan perlahan dia mengikuti arah pandang Talitha.

Betapa terkejutnya dia ketika melihat banyak gadis-gadis yang hujan-hujanan datang ke warung ini dan memanggil Talitha dengan excited. Mereka mulai menyerbu Talitha. Memandang Talitha dengan penuh harap.

 

"Talitha!! Kasih tau gue, dong, gimana ceritanya lo bisa ketemu sama Marco Deon!!"

"Kak Talitha!! Kakak! Minta tanda tangan Kakak, dong! PIN BBMnya juga, dong, Kak! Biar bisa akrab sama Kakak! Ya Tuhaaann, aku akhirnya bisa kenal sama pacarnya artis terkenal!!"

"TALITHA, LO KOK BISA PACARAN SAMA MARCO DEON ASTAGA!!!! SEBENERNYA, KAPAN DIA KE INDONESIA, TA?!"

"ITAAA!! PLIS BAWA MARCO DEON TIAP HARI KE KAMPUS, PLISSSSSS!!!"

"TALITHA!! KAMVRET, GUE PENGIN JAMBAK RAMBUT ELO!! PARAH LO, DIEM-DIEM NGEJOMBLO TAUNYA SEKALI PACARAN DAPET AKTOR PLUS MODEL YANG GANTENG!! DARI TAIWAN PULA!"

"KAK ITA!!!!"

 

Saat itu juga, Talitha dan Basuki mulai bersiap-siap.

Bersiap-siap untuk kabur.

 

******

 

Akhirnya, Talitha terduduk di halte bus terdekat. Basah kuyup...sementara Basuki tadi sudah naik bus. Jalur mereka berbeda. Jadilah Basuki meninggalkannya untuk pulang duluan, sementara dia sekarang hanya duduk termenung di halte bus bersama dengan orang-orang lain yang juga sedang menunggu di halte itu. Talitha menundukkan kepalanya dan mulai menggigil; ia baru merasakan kedinginan itu setelah sedari tadi basah kuyup. Bibirnya bergetar. Dia merasa seolah sedang diterpa angin dari kutub utara tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Tangannya bergetar dan bibirnya mulai membiru. Gawat, dia tak mau kalau sampai demam.

Namun, Talitha mengerjap ketika tiba-tiba ada sebuah tangan yang menggenggam tangan Talitha. Tangan itu terlihat kekar dan ada jam tangan di tersemat di pergelangan tangannya. Talitha mengangkat kepalanya ke atas dan dia melihat sosok itu lagi.

Deon, dengan wajah khawatirnya.

Deon mengangkat tubuh Talitha, membuat gadis itu berdiri, dan pria itu melepaskan jasnya dengan cepat.

Menyisakan tubuh kekarnya yang hanya dibalut dengan kemeja berwarna kehijauan dan dasi yang berwarna senada. Dengan cepat Deon memasangkan jas itu ke atas kepala mereka berdua. Ia menarik tangan Talitha dan membawanya turun dari halte itu. Mobilnya terparkir tak jauh dari halte bus. Talitha tahu bahwa semua orang tengah menatap ke arah mereka. Kepada Deon, tepatnya. Ia terlambat menjemput Talitha dan itu membuatnya khawatir di sepanjang jalan. Ia tak bisa meninggalkan rapat dengan investor. Rapat itu tak bisa berjalan jika tanpanya.

Seraya berkendara dengan cepat, ia tak sengaja melihat Talitha yang tengah duduk di halte dengan baju yang basah kuyup. Dia bisa melihat Talitha, meski halte itu dipenuhi dengan orang-orang. "Mengapa kamu basah kuyup, Talitha?!" teriak Deon dengan penuh amarah, dia membawa Talitha berlari sembari merangkulnya dan menghalangi mereka berdua dari air hujan dengan menggunakan jas kerjanya.

Ia mengantar Talitha ke dekat mobil, lalu membukakan pintu mobilnya untuk gadis itu. Menyuruh gadis itu untuk masuk ke dalam mobil dan ia akhirnya memutari mobil untuk ikut duduk di kursi pengemudi. Deon duduk dan dengan cepat menutup kembali pintu mobil yang ada di sisinya, kemudian dia memanjangkan tubuhnya ke jok belakang dan mengambil sesuatu. Sekali lagi Talitha dibuat sedikit terkejut karena Deon langsung menyelimutinya dengan sebuah jaket kulit. Jaket itu terasa begitu hangat...dan nyaman.

Talitha menatap ke arah Deon. Deon tampak murka. "Mengapa kamu basah kuyup seperti itu, hah?! Kan sudah kubilang bahwa aku akan mengantar jemput kamu! Jangan coba-coba untuk mencari risiko terburuk!"

Talitha sebenarnya kesal dengan teriakan Deon. Namun, ia tak ingin mengatakan bahwa dia dikejar oleh fans Deon sendiri. Dia tahu itu akan berakibat fatal. Deon akan murka. Talitha bisa menebaknya karena ia mulai hafal dengan sifat kejam pria itu.

"Maaf." Hanya itu yang bisa Talitha ucapkan. Dia kedinginan dan tak ingin berbicara panjang lebar. Lagi pula, saat ini dia merasa kalau tubuhnya tak sekuat biasanya.

"Kamu membuatku marah dua kali," ujar Deon, matanya tampak menggelap dan tajam...seolah mampu menyesatkan dan menenggelamkan apa pun. Pria itu mendengkus, kemudian melanjutkan, "Aku tak tahu apa maksudmu mengatakan hal-hal sialan itu padaku tadi pagi, tetapi aku tahu bahwa untuk melanjutkan hubungan ini, kita harus saling mencintai. Aku akan berusaha untuk mencintaimu. Aku akan berusaha, Talitha. Jadi, jangan membuatku sakit kepala hanya karena memikirkan kata-katamu," ucap Deon dengan tajam. "Bila kau mau kita saling mencintai untuk memulai suatu hubungan, maka belajarlah untuk mencintaiku."

Mata Talitha kontan terbelalak. Ia menatap Deon dengan ekspresi yang sangat heran. Mulutnya sampai terbuka.

"Oi—aku nggak apa-apa. Aku cuma kehujanan. Kamu gak perlu ngomong yang aneh-aneh—"

"Just say yes," perintah Deon dengan nada tajam. Deon mendekatkan wajahnya ke arah Talitha; wajahnya kini benar-benar dekat dengan Talitha. Embusan napas hangatnya terdengar di telinga Talitha, meskipun di luar mobil saat itu sedang hujan.

Talitha akhirnya mengalah. Ia benar-benar kedinginan dan ia rasa kepalanya mulai pusing. Ia tak mau banyak beradu mulut. Jadi, dia sekadar menjawab sebisanya saja.

"Ya sudah, Deon."

Deon mengangguk. Pria itu pun kembali ke posisinya semula.

"We'll go to my apartment now. Aku akan melakukan sesuatu karena kau tampaknya akan demam," ujar Deon sembari menghidupkan mesin mobil Mercedes-Benz miliknya.

Talitha langsung menatapnya dengan ekspresi terkejut. []