Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

On the Wavering Board

Langit_hijau
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
54
Views
Synopsis
Dunia porak-poranda oleh tsunami maha dahsyat yang menghancurkan seluruh daratan, menyisakan lautan tak berujung dan manusia yang bertahan dengan mengais sisa-sisa peradaban. Awan, seorang pemuda tanpa ingatan, terbangun di atas sepotong papan kayu yang terombang-ambing di tengah samudra. Tanpa tahu identitas atau asal-usulnya, ia harus belajar bertahan: mengumpulkan air hujan, menjaring ikan, dan merakit perahu dari puing-puing gedung, plastik, serta kayu yang terserak di lautan.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1

Langit berwarna abu-abu kelam, seolah menangisi dunia yang telah hancur. Angin berhembus pelan, membawa aroma asin yang menusuk hidung. Matahari tersembunyi di balik awan tebal, hanya menyisakan cahaya redup yang menyinari permukaan air yang tak berujung. Di tengah lautan yang begitu luas, seorang pemuda terbaring di atas sepotong papan kayu yang terombang-ambing.

Pemuda itu perlahan membuka matanya. Kepalanya terasa berat, seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk yang panjang. Dia mencoba mengingat, tapi ingatannya kosong. Siapa namanya? Dari mana asalnya? Mengapa dia ada di sini? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, tapi tak ada jawaban yang muncul.

Dia mencoba duduk, tapi papan kayu itu bergoyang, membuatnya hampir terjatuh ke air. Dengan hati-hati, dia menyeimbangkan tubuhnya. Di sekelilingnya, hanya ada air. Lautan biru kehijauan yang membentang sejauh mata memandang. Di kejauhan, dia melihat beberapa puing-puing bangunan mengambang, seperti sisa-sisa peradaban yang telah tenggelam.

"Di mana... aku?" gumamnya, suaranya parau dan lemah.

Tiba-tiba, dia mendengar suara gemericik air. Dia menoleh ke samping dan melihat sesuatu yang besar mengapung di dekatnya. Itu adalah sebuah pintu kayu, mungkin dari sebuah rumah yang hancur. Di atasnya, ada seorang wanita dengan rambut panjang yang basah kuyup. Wanita itu terlihat lemah, tapi matanya tajam, penuh kewaspadaan.

"Hey! Kamu baik-baik saja?" teriak wanita itu, mencoba mendayung mendekatinya dengan tangan kosong.

Pemuda itu mengangguk pelan, meski sebenarnya dia tidak yakin. "Aku... aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa."

Wanita itu mendekat, dan kini dia bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia terlihat sekitar pertengahan dua puluhan, dengan mata cokelat yang penuh ketegasan. "Namaku Rara," katanya. "Kamu?"

Pemuda itu mengerutkan kening, mencoba mengingat. Tapi tidak ada nama yang muncul. "Aku... aku tidak tahu. Aku tidak ingat namaku."

Rara menghela napas. "Sudah banyak yang seperti kamu. Bencana ini... tsunami itu, membuat banyak orang kehilangan ingatan. Tapi tenang, kita akan mencari cara untuk bertahan."

"Tsunami?" tanya pemuda itu, matanya membesar.

Rara mengangguk, wajahnya muram. "Ya. Tsunami raksasa. Seluruh daratan tenggelam. Hanya sedikit yang selamat. Sekarang, kita harus bertahan di lautan ini. Membuat perahu, mencari makanan, dan berharap ada daratan di suatu tempat."

Pemuda itu terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Dunia yang dia kenal—jika dia pernah mengenalnya—telah hilang. Sekarang, yang tersisa hanyalah lautan dan puing-puing peradaban.

"Kita harus bergerak," kata Rara tiba-tiba. "Lihat di sana." Dia menunjuk ke arah sekumpulan puing-puing yang lebih besar di kejauhan. "Mungkin kita bisa menemukan bahan untuk membuat perahu yang lebih baik. Atau setidaknya, mencari makanan dan air."

Pemuda itu mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi ketidakpastian. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi dia tahu satu hal: dia tidak bisa tinggal di sini, sendirian, di atas papan kayu yang rapuh.

Dengan hati-hati, dia mencoba berdiri, tapi papan kayu itu bergoyang keras. Rara tertawa kecil. "Pelan-pelan, kawan. Kita punya waktu. Tapi tidak banyak."

Mereka mulai mendayung, menggunakan tangan mereka untuk mendorong papan dan pintu kayu itu mendekati kumpulan puing-puing. Di tengah perjalanan, pemuda itu merasa sesuatu menggelitik di ingatannya. Sebuah bayangan, seperti mimpi yang hampir terlupakan. Tapi sebelum dia bisa menangkapnya, bayangan itu menghilang.

"Kamu yakin kita bisa bertahan?" tanyanya tiba-tiba, suaranya hampir berbisik.

Rara menatapnya, matanya penuh tekad. "Kita harus. Tidak ada pilihan lain. Dunia mungkin sudah berubah, tapi selama kita masih bernapas, kita harus berjuang."

Pemuda itu mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Tapi di tengah lautan yang luas ini, dia tahu satu hal: dia tidak sendirian. Dan mungkin, itu sudah cukup untuk memulai petualangannya.